Ensiklik LUMEN FIDEI - Cahaya Iman

 

Lumen Fidei - Ensiklik Pertama Paus Fransiskus

 

Ensiklik LUMEN FIDEI

 

Paus Fransiskus baru saja merilis ensiklik pertama, Lumen Fidei, atau “Cahaya Iman.” Sebagimana telah kita ketahui, ensiklik pertama dari seorang Paus selalu diawasi ketat, karena isinya menyangkut cara Paus mengatur Gereja. Ensiklik Lumen Fidei sendiri tampil lebih menarik, sebab kebanyakan isinya memuat tulisan mantan Paus Benediktus.

 

Sebuah ensiklik adalah sejenis surat. Ensiklik kepausan biasanya berurusan dengan masalah-masalah ajaran Gereja (doktrin). Paus menulis ensiklik pada saat mereka merasa memiliki sesuatu yang penting untuk disampaikan mengenai ajaran-ajaran tertentu. Meskipun ensiklik-ensiklik itu tidak sempurna, tetapi ensiklik tetaplah dipandang sebagai ajaran yang berwibawa. Kata “ensiklik” berasal dari kata Yunani untuk “lingkaran”. Etimologi ensiklik dengan demikian berarti harus beredar di kalangan orang yang berbeda. Sebagaimana juga ensiklik Lumen Fidei ditujukan kepada “para uskup, imam, dan diakon, orang kudus, dan awam.” Ini menunjukkan khalayak luas.

 

Seputar Ensiklik Lumen Fidei

Draft ensiklik Lumen Fidei ini sudah dimulai oleh Paus Benediktus dalam rangka memperingati Tahun Iman dan untuk menyelesaikan trilogi ensiklik yang ia rangkai dalam tiga kebajikan teologis , yakni iman, harapan, dan kasih. Sementara dua ensiklik sebelumnya sudah selesai, yakni Deus Caritas Est yang memuat tentang kebajikan teologis kasih dan Spe Salvi yang berisi mengenai kebajikan harapan. Kesehatan Paus Benediktus yang tidak memungkinkan untuk menuntaskan ensiklik ketiganya menggiring Paus Fransiskus untuk melanjutkan dan melengkapinya hingga selesai dan dipublish.

 

Pola seperti ini memang pernah terjadi sebelumnya. Bahkan, sebagian ensiklik pertama paus Benediktus  XVI didasarkan pada ensiklik yang draft sebelumnya telah dipersiapkan Yohanes Paulus II, tetapi belum selesai. Paus Fransiskus bahkan tidak memungkiri peran Paus Benediktus  dalam ensiklik perdananya ini. Di dalam ensikliknya, Paus Fransiskus menulis: Eensiklik mempertimbangkan tentang iman - dalam kontinuitasnya dengan semua magisterium Gereja yang telah diucapkan pada 3 kebajikan teologis di atas -dan dimaksudkan untuk melengkapi apa yang telah ditulis Benediktus XVI  yakni ensiklik tentang kasih dan beliau berharap menyelesaikan draft pertama dari ensiklik tentang iman. Untuk ini saya sangat berterima kasih kepada beliau dan sebagai saudaranya di dalam Kristus aku telah mengambil pekerjaannya dengan baik dan menambahkan beberapa kontribusi ku di dalamnya. ” [LF 7].

 

Tak mengherankan apabila membca sebagian besar isi ensiklik Lumen Fidei kita akan melihat gaya bahasa Paus Benediktus, mulai dari sentuhan karakteristik dan tema tulisan Paus Benediktus, seperti banyaknya referensi sejarah, termasuk sejarah awal Kristen, sejarah Yahudi, dan sejarah pagan. Ensiklik ini juga mengacu pada pemikiran tokoh sejarah, termasuk Bapa Gereja: St. Yustinus Martir dan St. Ireneus. Lagi, ensiklik Lumen Fidei mengacu pada pemikiran tokoh intelektual teranyar, termasuk pemikir Katolik Romano Guardini, filsuf Yahudi Martin Buber, filsuf gnostik seperti Ludwig Wittgenstein dan filsuf ateis Friedrich Nietzsche.

Kekhasan Tulisan Paus Fransiskus

Pada bagian mana dari Ensiklik Lumen Fidei memperlihatkan gaya tulisan Paus Fransiskus ? Sulit untuk menilainya. Sekilas tampak dalam gaya bertuturnya yang khas, dan untuk mengenali nya secara jelas dibutuhkan waktu. Satu sentuhan yang jelas dari Paus Fransiskus adalah cara beliau menandatangani ensiklik ini. Biasanya paus memberikan nama mereka dalam bahasa Latin, diikuti oleh “PP” (singkatan bahasa Latin untuk “Paus”) dan diikuti oleh jumlah mereka. Paus Benediktus, misalnya, ditandatangani Spe Salvi dengan menulis “Benedictus XVI PP.” Paus Fransiskus, menjadi Paus pertama yang menggunakan nama ini, dalam ensikliknya tidak menggunakan nomor, sehingga Anda tidak akan mengharapkan bahwa ada tanda tangan beliau. Paus Fransiskus tampaknya memilih untuk tidak menggunakan judul “Paus”, dan lebih memilih “Uskup Roma,” sebagai gantinya. Jadi dia meninggalkan “PP” di tanda tangannya dan hanya menandatangani ensiklik “Franciscus.”

Struktur Ensiklik Lumen Fidei

Ensiklik Lumen Fidei disusun dengan skema berikut:

 

    Pendahuluan (1-7)

 

    Bab Satu: Kita Harus Percaya in Love (8-22)

 

    Bab Dua: Kecuali Anda Percaya, Anda Tidak Akan Mengerti (23-36)

 

    Bab Tiga: Saya Disampaikan Untuk Anda Apa yang saya Juga Diterima (37-49)

 

    Bab Empat: Allah Menyiapkan sebuah kota untuk Mereka (50-60)

 

1. Resume Pendahuluan

Dalam pendahuluannya Paus Fransiskus memperkenalkan gagasan tentang “terang iman” (Latin, Lumen Fidei) dan peran yang dimainkannya dalam kehidupan. Bagian ini membahas kekurangan seorang pagan, agama pra-Kristen yang mengabaikan iman sepanjang hidup mereka. Di titik inilah LF menekankan adanya kebutuhan untuk mencari kembali peran “terang iman Kristen” yang juga berperan dalam hidup kita dan hidup masyarakat pada umumnya. Kutipan berikut yang menekankan secara langsung  : “Di dunia pagan, yang lapar akan cahaya, telah melihat pertumbuhan kultus dewa matahari, Sol Invictus, yang mereka panggil setiap hari saat matahari terbit. Namun meskipun matahari dilahirkan kembali setiap pagi, itu jelas tidak mampu memendarkan cahaya pada semua eksistensi manusia. Matahari tidak menerangi semua realitas, sinarnya tidak dapat menembus bayang-bayang kematian, tempat di mana mata manusia tertutup untuk cahaya. “Tidak satu pun - sebagaimana ditulis St. Yustinus Martir - yang pernah siap untuk mati karena imannya pada matahari” [LF 1].

 

2. Resume Bab I

Bab pertama menelusuri kembali sejarah kebenaran iman, datang dari Abraham, bergerak maju melalui iman bangsa Israel, menuju kepenuhan iman Kristen. Bagian yang disebut terakhir membentangkan mengenai keselamatan oleh iman dan “bentuk gerejawi iman”, yakni, peran gereja dalam hidup beriman yang  tidak akan hidup dalam isolasi dari Gereja. Sebuah kutipan menarik pada bab pertama ini adalah: “Iman bukanlah persoalan pribadi, gagasan sepenuhnya individualistik atau pendapat pribadi. Iman berasal dari pendengaran, bertujuan untuk menemukan ungakapan dalam kata-kata dan selanjutnya diwartakan, agar “mereka percaya kepada-Nya kendati mereka tidak pernah mendengarnya. Lalu, bagaimana mereka mendengar tanpa pengkhotbah?” (Rom 10:14). Iman akan berkarya dalam diri kita orang Kristen, yakni atas dasar rahmat yang ia terima, cinta yang menarik hati kita kepada Kristus (lih. Gal 5:06), dan memungkinkan kita untuk menjadi bagian dari peziarahan agung Gereja melalui sejarah hingga akhir dunia” [LF 22].

 

3. Apa Gambaran Bab II

Bab kedua menekankan kaitan penting antara Iman dan Kebenaran: tanpa iman, kebenaran tidak lebih dari sebuah dongeng, ilusi kebahagiaan, dan tidak mampu bertahan dalam masa sulit. Masyarakat kontemporer, kata ensiklik, cenderung untuk melihat kemajuan teknologi dan kesenangan individu sebagai satu-satunya kebenaran obyektif, melihat pertanyaan yang lebih luas tentang asal-usul keberadaan kita dengan kecurigaan yang mendalam. Tanpa cinta di dalam hati kita, kebenaran menjadi dingin, impersonal, menindas, tidak mampu mengubah kehidupan orang lain. Tapi dengan mendengarkan, melihat dan percaya kehadiran Kristus dalam hidup kita hari ini, kita dapat memperluas wawasan kita dan menemukan cara yang lebih baik untuk melayani kepentingan umum. Cahaya iman kita di dalam Kristus juga dapat berkontribusi bagi dialog yang lebih bermanfaat dengan agama non-Kristen dan non-percaya, menunjukkan bagaimana semua orang yang mencari Tuhan atau mencari kebenaran akan disambut dan diterangi oleh cahaya tersebut.

 

4. Apa Gambaran Bab III

Bab ketiga sebagai pusat ensiklik membentangkan tentang Gereja sebagai tempat di mana cahaya iman terjaga dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Melalui sakramen Pembaptisan dan Ekaristi, melalui Credo, berdoa Bapa Kami dan menaati Sepuluh Perintah Allah, Gereja mengajarkan bahasa iman dan membawa kita ke dalam hubungan cinta Trinitas, sehingga “setiap orang yang percaya tidak akan pernah sendirian”.

 

5. Gambaran IV

Bab terakhir ini berfokus pada iman dan kebaikan bersama sembari menunjukkan bagaimana cahaya iman itu dapat mempromosikan perdamaian dan rekonsiliasi, dan mengajarkan rasa hormat terhadap ciptaan Allah. Ensiklik juga mempertimbangkan daerah-daerah yang diterangi oleh iman, mulai dengan keluarga yang didasarkan pada perkawinan, dipahami sebagai suatu kesatuan yang stabil antara pria dan wanita. Iman, tulis Paus, tidak bisa menghilangkan penderitaan di dunia kita, tetapi bisa menemani kita dengan menggiring kita pada harapan baru dalam kasih Allah. Akhirnya, sebagai penutup dari ensiklik ini Paus Fransiskus mengajak kita berdoa bersama Maria, Bunda Yesus dan ikon iman, yang akan  membawa kita ke dalam terang kasih Allah.

Simpulan

Paus  Fransiskus menekankan bahwa Perkawinan adalah penyatuan pria dan wanita. Paus tidak menyebutkan secara ekspilist mengenai gagasan homoseksual di dalam ensikliknya, tetapi paus dengan jelas menekankan pemahaman Gereja tentang makna perkawinan: Penataan utama di mana iman menerangi kota manusia adalah keluarga. Terang iman yang pertama dan utama terdapat pada kesatuan yang stabil antara pria dan wanita dalam perkawinan. Kesatuan ini lahir dari cinta mereka, sebagai tanda dan kehadiran Allah, Sang cinta dan dari pengakuan dan penerimaan dari kebaikan perbedaan seksual, di mana pasangan bisa menjadi satu daging (lih. Kej 2:24) dan dimampukan untuk melahirkan kehidupan baru yang adalah manifestasi kebaikan, hikmat, rencana dan kepenuhan kasih dari Sang Pencipta [LF 52].

Ensiklik Lumen Fidei tidak memberitahukan banyak hal tentang cara Paus Fransiskus menata Gereja di abad ini. Tidak seperti Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik pertamanya, Redemptor Hominis, Paus Fransiskus tidak memunculkan kerangka cetak biru masa kepausan beliau  dalam ensiklik Lumen Fidei  Hal ini terutama disebabkan oleh kenyataan bahwa ia mewarisi sebuah draft ensiklik yang ditulis oleh Paus Benediktus. Mungkin saja  Paus Fransiskus, dalam ensiklik keduanya nanti akan menjelaskan lebih lanjut tentang agenda kepausannya sendiri

Ensiklik Lumen Fidei mengandung beberapa petunjuk menarik, termasuk penekanan pada peran iman dalam masyarakat, kiasan untuk perkawinan sebagai persatuan pria dan wanita, dan gambaran diri Paus Fransiskus itu sendiri sebagaimana tampak dalam tanda tangannya.

Semarang, Juli 2013

Lusius Sinurat


10 Kutipan Terbaik dari Ensiklik Lumen Fidei (Terang Iman)

By Cornelius

Lumen Fidei

Jumat, 5 Juli 2013 Paus Fransiskus menerbitkan Ensiklik berjudul Lumen Fidei (Terang Iman). Awalnya ensiklik ini ditulis oleh Paus Benediktus XVI untuk melengkapi trilogi ensikliknya yang bertema kebajikan kristiani, yaitu iman, harapan dan kasih. Namun karena beliau mengundurkan diri, maka tugas untuk menyelesaikan enskiklik ini diteruskan kepada penerusnya, yaitu Paus Fransiskus. Namun hampir secara keseluruhan enskiklik tersebut ditulis oleh Paus Emeritus Benediktus XVI. Berikut ini kutipan2 dari enskiklik tersebut (Ensiklik Lumen Fidei berbahasa Inggris bisa dibaca disini : Lumen Fidei)

Perlahan tapi pasti, menjadi jelas bahwa terang akal budi yang otonom tidaklah cukup untuk menerangi masa depan; pada akhirnya masa depan tetaplah samar dan penuh kekhawatiran, dengan rasa takut terhadap hal yang tak diketahui. Akibatnya, manusia meninggalkan pencarian terang yang besar, Kebenaran itu sendiri, agar menjadi puas dengan terang-terang kecil yang menerangi suatu masa sesaat namun terbukti tidak mampu menunjukkan jalan. Dalam ketiadaan terang [iman] segala sesuatu menjadi membingungkan; tidaklah mungkin menmbedakan yang baik dari yang jahat, atau jalan menuju tujuan kita dari jalan-jalan lain yang membawa kita kepada lingkaran tak berujung, yang tak pergi kemanapun.

Lawan dari iman adalah penyembahan berhala. Selagi Musa berbicara kepada Allah di Sinai, umat Israel tidak tahan dengan misteri ketersembunyian Allah, mereka tidak mampu bertahan dari lamanya waktu penantian untuk melihat wajah Allah. Iman pada hakekatnya menuntut [seseorang] meninggalkan kepemilikan langsung yang ditawarkan oleh pandangan [mata]; iman merupakan undangan untuk berbalik kepada sumber terang, sementara menghormati misteri sebuah wajah yang akan menyingkapkannya secara pribadi pada waktunya….Tampak lebih baik menggantikan iman dalam Allah dengan menyembah suatu berhala, yang wajahnya dapat kita lihat secara langsung dan asal usulnya kita ketahui, karena ia merupakan hasil karya tangan kita. Dihadapan berhala, tidak ada resiko bahwa kita akan dipanggil untuk meninggalkan rasa aman kita, karena berhala-berhala “memiliki mulut, tetapi mereka tidak bisa bicara” (Maz 115:5). Berhala ada, kita memahaminya, sebagai alasan palsu untuk menempatkan diri kita di pusat realita dan menyembah karya tangan kita. Sekali manusia telah kehilangan orientasi fundamental yang menyatukan keberadaannya, ia terpecah ke dalam keanekaragaman dari keinginannya.

Iman bukan persoalan pribadi, gagasan yang sungguh individualistik atau sebuah opini pribadi; iman berasal dari pendengaran, dan iman dimaksudkan untuk menemukan ungkapannya dalam perkataan dan untuk dinyatakan. Karena “bagaimana mereka percaya padanya yang tidak pernah mereka dengar? Dan bagaimana mereka mendengar tanpa seorang pengkhotbah” (Rom 10:14). Iman bekerja dalam [diri] orang Kristen atas dasar karunia yang diterima, kasih yang menarik hati kita kepada Kristus (Gal 5:6), dan memampukan kita menjadi bagian dari peziarah agung Gereja melalui sejarah sampai akhir zaman.

…Kita membutuhkan pengetahuan, kita membutuhkan kebenaran, karena tanpa keduanya kita tidak dapat berdiri kokoh, kita tidak dapat melangkah maju. Iman tanpa kebenaran tidak menyelamatkan, juga tidak memberikan pijakan yang pasti. Ia tetap merupakan kisah yang indah, proyeksi kerinduan mendalam kita akan kebahagiaan, sesuatu yang mampu memuaskan kita sejauh kita rela menipu diri kita sendiri.

Tetapi Kebenaran sendiri, kebenaran yang dapat secara komprehensif menjelaskan kehidupan kita sebagai individu dan dalam masyarakat, ditanggapi dengan kecurigaan. Tentu jenis kebenaran ini – kita mendengar bahwa dikatakan demikian – adalah apa yang diklaim oleh gerakan totalitarian besar akhir abad ini, kebenaran yang memaksakan pandangannya tentang dunia untuk menghancurkan kehidupan individual yang aktual. Pada akhirnya, kita ditinggalkan hanya dengan relativisme, dimana pertanyaan tentang kebenaran universal – dan pada akhirnya ini berarti pertanyaan tentang Allah – tidak lagi relevan. Merupakan hal yang logis sekali, dari sudut pandang ini, untuk berupaya memutuskan ikatan antara agama dan kebenaran, karena ia tampaknya berakar pada fanatisme, yang terbukti menindas siapapun yang tidak memiliki keyakinan yang sama.

Hanya sebatas kasih yang didasarkan pada kebenaran ia dapat bertahan sepanjang waktu, dapat melampaui momen yang berlalu dan cukup kokoh untuk menopang perjalanan bersama. Bila kasih tidak terikat pada kebenaran, ia menjadi korban dari emosi yang berubah-ubah dan tidak dapat bertahan bila menghadapi ujian waktu. Kasih yang benar/Kasih sejati, di sisi lain, menyatukan semua unsur pribadi kita dan menjadi terang baru yang menunjukan jalan kepada kehidupan yang agung dan terpenuhi. Tanpa kebenaran, kasih tidak mampu mendirikan ikatan yang kuat; ia tidak bisa membebaskan ego kita yang terisolasi atau menebusnya dari momen sesaat untuk menciptakan kehidupan dan menghasilkan buah.

Bila kasih membutuhkan kebenaran, kebenaran juga membutuhkan kasih, kasih dan kebenaran tidak terpisahkan. Tanpa kasih, kebenaran menjadi dingin, impersonal, dan menindas orang jaman sekarang. Kebenaran yang kita cari, kebenaran yang memberi makna perjalanan kita melalui kehidupan, menerangi kita kapanpun kita disentuh oleh kasih. Hanya mereka yang mencintai yang menyadari bahwa kasih merupakan pengalaman akan kebenaran., ia membuka mata kita kepada realita dalam cara yang baru, dalam persatuan dengan Ia yang kita kasihi.

Karena iman adalah sebuah jalan, ia harus berhubungan dengan kehidupan pria dan wanita, yang walaupun bukan orang beriman, namun berkeinginan untuk percaya dan terus mencari. Sejauh mereka secara tulus terbuka kepada kasih dan mulai dengan terang apapun yang mereka temukan, mereka sudah, tanpa menyadarinya, berada di jalan menuju iman. Mereka berjuang untuk bertindak seolah-olah Allah itu ada, karena mereka menyadari betapa pentingnya Ia untuk menemukan petunjuk arah yang pasti bagi kehidupan bersama kita atau karena mereka mengalami kenginan akan terang ditengah kegelapan, tetapi juga dalam memahami kemegahan dan keindahan mereka mengetahui melalui hati, kehadiran Allah yang menjadikan semuanya lebih indah…Siapapun yang memulai perjalanan dalam melakukan kebaikan kepada orang lain sudah mendekat kepada Allah, ia ditopang oleh pertolongan-Nya, karena hal ini merupakan ciri terang ilahi untuk menerangi mata kita kapanpun kita berjalan menuju kepenuhan kasih.

Teologi juga menjadi bagian dalam bentuk iman gerejawi; terangnya adalah terang subjek yang percaya, yang adalah Gereja. Implikasinya, di sisi lain, teologi harus melayani iman orang Kristiani, ia harus bekerja dengan rendah hati untuk melindungi dan memperdalam iman setiap orang, khususnya orang beriman biasa. Di sisi lain, karena ia menarik kehidupannya dari iman, teologi tidak dapat menganggap magisterium Paus dan Para Uskup dalam persatuan dengannya sebagai sesuatu yang ekstrinsik, batasan bagi kebebasannya, melainkan sesbagai satu dari dimensinya yang internal, dimensi konstitutif, karena magisterium melindungi kontak kita dengan sumber primordial dan karenanya memberikan kepastian dalam mencapai sabda Kristus dalam segala integritasnya.

Sebagai pelayanan bagi kesatuan iman dan penyebaran integralnya, Tuhan memberikan Gereja-Nya karunia suksesi apostolik. Melalui sarana ini, keberlanjutan memori Gereja dilindungi dan akses tertentu kepada air mancur yang darinya iman mengalir, dapat [kita] miliki. Kepastian keberlanjutan dengan asal usulnya karenanya diberikan oleh pribadi-pribadi yang hidup, dalam cara yang selaras dengan iman yang hidup yang diteruskan oleh Gereja. Gereja bergantung pada kesetiaan para saksi yang dipilih Tuhan untuk tugas ini. Untuk alasan ini, magisterium selalu berbicara dalam keataatan kepada perkataan sebelumnya, dimana iman didasarkan padanya; magisterium dapat dipercaya karena kepercayaannya kepada sabda yang ia dengar, ia lindungi dan ia jelaskan. [45] Dalam diskursus perpisahan St. Paulus kepada tua-tua Efesus di Miletus, yang dikisahkan kembali oleh St. Lukas pada kita dalam Kisah Para Rasul, ia memberi kesaksian bahwa ia telah melaksanakan tugas yang Tuhan percayakan padanya untuk “menyatakan seluruh nasehat Allah” (Kis 20:27). Syukur kepada Magisterium Gereja, nesehat ini dapat sampai kepada kita dalam integritasnya, dan dengan suka cita mampu mengikutinya secara penuh.

Quote tambahan :

Karena Iman itu hanya satu, hal tersebut harus dipercayai dengan jelas dan utuh. Lebih tepatnya karena semua isi dari Iman berhubungan satu dengan lainnya, maka menolak salah satu, bahkan hal kecil yang kelihatan tidak terlalu penting, maka menodai sampai pada menyimpang dan penolakan seluruh Iman tersebut. Setiap lembaran sejarah kita dapat melihat bahwa hal tertentu dalam Iman mudah atau susah diterima, tetapi kita harus membutuhkan kesadaran dan pengawasan yang penuh untuk memastikan deposit dari Iman diteruskan atau diturunkan secara kesuluruhan (bdk 1 Tim 6:20) dan lebih dari itu semua aspek dari kepercayaan dari Iman harus dijelaskan secara apa adanya. Memang, dalam persatuan dalam Iman adalah persatuan dalam Gereja, maka menambah sesuatu yang berbeda dalam Iman, maka menambah sesuatu yang berbeda dari kebenaran dalam persekutuan dengan Gereja juga. Para Bapa Gereja menjelaskan bahwa Iman bagaikan sebuah tubuh, tubuh dari kebenaran yang berisi hal yang beragam, dan hal ini menyamakan Tubuh Kristus yang didalamnya juga berhubungan dengan Gereja [42]. Kejelasan dalam Iman juga berhubungan dengan gambaran dari Gereja layaknya perawan dan cinta-Nya yang tulus kepada Kristus sebagai pengantin pria-Nya, maka dari itu melukai Iman sama saja melukai hubungan persekutuan dengan Kristus [43]. Persatuan dalam Iman, juga merupakan persatuan dalam tubuh yang hidup, hal ini dijelaskan dengan jelas oleh Beato John Henry Newman ketika beliau menjelaskan karakter dari ciri-ciri pengembangan doktrin dalam masa ke masa dan pengaruhnya dalam menjelaskan berbagai hal ketika hal tersebut bertemu dengan berbagai masalah pada saat muncul yang juga berpengaruh dalam kultur dan kebiasaan pada saat tersebut dan dijelaskan dalam Iman [44], maka dari itu dengan menjelaskan secara pasti dan memurnikan segala hal berhubungan dengan Iman maka dengan begitu ekspresi dalam Iman sampai ketitik paling sempurna. Maka dari itu Iman itu bersifat Universal dan Katolik, karena hal tersebut menerangi seluruh jagat raya dan seluruh sejarah.


Lumen Fidei: Iman Bukan Ilusi

Prasetyantha

 

 

Lumen Fidei (Terang Iman) adalah ensiklik pertama dari Paus Fransiskus. Ensiklik ini ditandatangani pada tanggal 29 Juni 2013 dan dipromulgasikan satu minggu sesudahnya, tepatnya pada tanggal 5 Juli 2013. Lumen Fidei (LF) berbicara tentang iman akan Yesus Kristus, yang merupakan anugerah agung Allah bagi manusia dan dunia. 

 

Ensiklik ini terdiri dari empat bab yang diawali dengan pendahuluan dan diakhiri dengan ajakan untuk mengarahkan pandangan kepada Ibu Maria, ikon iman yang sempurna. Pendahuluan (no. 1-7) berisi tentang latar belakang, maksud dan tujuan Ensiklik. Bab Pertama (no. 8-22) menguraikan tentang paham iman mengacu pada pengalaman iman Abraham, bapa kaum beriman, Bangsa Israel dan Gereja Perdana. Bab Kedua (no. 23-36) membahas iman dalam kaitannya dengan kebenaran, akal budi, pencarian akan Allah dan teologi. Bab Ketiga (no. 37-49) berbicara tentang penerusan iman sepanjang sejarah dan seluas dunia. Bab Keempat (no. 50-60) menerangkan tentang iman sebagai sebuah proses membangun suatu tempat di mana manusia bisa hidup bersama dengan orang lain. 

 

Ensiklik ini tergolong unik. Mengapa? Karena ditulis oleh “empat tangan”. Draf pertama ensiklik ini disiapkan oleh Paus Benediktus XVI sedang sentuhan akhir diberikan oleh Paus Fransiskus. Lumen Fidei meski dilihat sebagai kelanjutan dari Magisterium Gereja sebelumnya, yang dipanggil untuk meneguhkan umat beriman akan kekayaan Iman yang tak ternilai yang dianugerahkan Allah kepada manusia. Di satu sisi, ensiklik ini melengkapi trilogi ensiklik yang mengajarkan tentang keutamaan teologal sebelumnya, yakni Deus Caritas Est (2005) tentang kasih dan Spe Salvi (2007) tentang harapan. Di sisi lain, sebagai ensiklik pertama, Lumen Fidei bisa dilihat sebagai arah kepausan Bapa Suci Fransiskus dalam menggembalakan Gereja zaman ini ke masa depan.

 

Iman Adalah Terang

 

Di zaman modern ini, iman sering diperlawankan dengan pengetahuan. Iman dianggap sebagai ilusi, khayalan, sesuatu yang menghambat kebebasan manusia untuk mengeksplorasi cara-cara baru bagi masa depan. Iman seakan-akan mengurangi makna eksistensi manusia yang penuh. Bagaimanapun, pelan namun pasti, menjadi semakin jelas juga di zaman ini bahwa sains dan teknologi tidak memadai untuk menerangi masa depan. Hari esok tetap diwarnai dengan bayang-bayang ketidakpastian. Sebagai akibatnya, manusia meninggalkan pencariannya akan terang sejati dan menjadi puas dengan terang-terang kecil yang memberi kedamaian sesaat namun tidak mampu menunjukkan jalan.

 

Berhadapan dengan krisis iman zaman ini, melalui ensiklik ini, Paus ingin menegaskan pentingnya menemukan kembali terang iman. Iman adalah cahaya yang mampu menerangi setiap aspek esistensi manusia (LF 4). Iman lahir dari suatu perjumpaan personal dengan Allah yang hidup, yang menyatakan kasih-Nya dan yang memanggil kita untuk menjadikannya sebagai jaminan hidup dan keselamatan.

 

Secara khusus di Tahun Iman dan peringatan 50 tahun pembukaan Konsili Vatikan II - Konsili mengenai Iman – ini, Paus mengundang semua pelayan dan umat beriman untuk menempatkan supremasi Allah dalam Kristus sebagai pusat hidup, baik sebagai Gereja maupun sebagai pribadi (LF 6). Iman yang berpusat pada Kristus memungkinkan kita untuk memahami makna terdalam kenyataan hidup serta untuk melihat betapa Allah mengasihi dunia ini dan senantiasa membawanya menuju kepada-Nya.

 

Percaya pada Kasih

 

Apa itu iman? Iman adalah tanggapan kita terhadap kata yang melibatkan kita secara pribadi, untuk "Engkau" yang memanggil kita dengan nama (LF 8). Sejalan dengan paham iman Konsili Vatikan II (Dei Verbum 5), Paus berbicara tentang iman dalam kaitan yang tidak terpisahkan dengan wahyu, pemberian diri Allah dalam sejarah keselamatan, mulai dari panggilan Abraham hingga memuncak dalam diri Yesus Kristus, kepenuhan wahyu. 

 

Iman adalah penyerahan pribadi seluruh hidup kepada “Pribadi” yang telah lebih dulu menyatakan diri. Aspek personal iman ini tampak jelas dalam pengalaman iman Abraham. Meskipun tidak melihat Allah, Abraham mendengarkan suara Allah. Abraham mendengarkan panggilan Allah dan ia menjawab “ya” pada panggilan itu. Abraham mendengarkan janji Allah dan ia menaruh kepercayaan pada janji itu. Dalam Kitab Suci, digunakan kata Ibrani ’emûnāh yang diturunkan dari akar kata kerja ’amān yang berarti “tetap, teguh, bertahan”. Orang yang beriman menemukan kekuatan dengan meletakkan seluruh diri di tangan Allah yang adalah setia (LF 10).

 

Iman adalah lawan dari idolatri (pemberhalaan). Belajar dari sejarah Bangsa Israel, menjadi jelas bahwa orang beriman ketika ia memalingkan wajahnya dari berhala-berhala buatan tangan manusia kepada Allah yang hidup dalam perjumpaan personal. Beriman berarti mempercayakan diri pada kasih yang selalu menerima dan mengampuni, yang menopang dan mengarahkan hidup serta yang menunjukkan dayanya untuk meluruskan sejarah yang berliku. Iman tidak lain adalah kemauan – dalam perjumpaan dengan yang lain – untuk membiarkan diri sendiri terus menerus ditransformasi dan dibarui oleh panggilan Allah. Menurut Paus, disinilah letak paradoks iman: dengan terus menerus berbalik kepada kasih Allah, kita menemukan jalan pasti yang membebaskan kita dari kegalauan yang dibebankan kepada kita oleh berhala-berhala (LF 13).

 

Iman kristiani meyakini bahwa kasih Allah sungguh hadir, berdaya dan menentukan sejarah manusia. Itulah kasih Allah yang dapat dialamirasakan, kasih yang secara penuh dinyatakan oleh Yesus Kristus: hidup, karya dan terutama sengsara, wafat dan kebangkitan-Nya. Oleh karena iman kristiani berpusat pada Kristus, maka beriman tidak hanya berhenti sekedar mengarahkan pandangan kepada Yesus. Lebih daripada itu, beriman berarti pilihan mendasar untuk ambil bagian pada cara Yesus memandang segala sesuatu. Kita percaya pada Yesus ketika kita secara pribadi menyambut-Nya ke dalam hidup kita dan berjalan menuju kepada-Nya, mengikatkan diri pada kasih-Nya dan mengikuti jejak-Nya sepanjang jalan (LF 18).

 

Beriman itu Memahami

 

“Jika kamu tidak percaya, kamu tidak akan memahami” (Yes 7:9). Dengan mengacu pada teks Yesaya terjemahan Septuaginta, Lumen Fidei menegaskan bahwa iman terkait erat dengan akal budi, pengetahuan dan kebenaran. Kita membutuhkan pengetahuan dan kebenaran karena tanpa keduanya kita tidak dapat berdiri teguh dan berjalan ke depan. Iman tanpa kebenaran tidak menyelamatkan dan tidak memberikan pijakan yang pasti (LF 24).

 

Untuk menjelaskan hal itu, Paus menggunakan gambaran Ludwig Wittgenstein. Beriman dapat dibandingkan dengan pengalaman jatuh cinta, suatu pengalaman subyektif yang tidak dapat diajukan sebagai sebuah kebenaran kepada setiap orang. Bagaimanapun, cinta tidak dapat direduksi pada perasaan sesaat. Cinta memang melibatkan afeksi. Namun untuk dapat keluar dari keterpusatan pada diri sendiri dan mengarah pada yang dikasihi, cinta membutuhkan kebenaran. Hanya cinta yang didasarkan pada kebenaran akan bertahan dalam waktu, mengatasi saat-saat yang berlalu, dan mantap mengarungi perjalanan bersama. Sebaliknya, kebenaran juga membutuhkan cinta. Tanpa cinta, kebenaran menjadi dingin, impersonal dan menyesakkan untuk dihidupi hari demi hari (LF 27).

 

Iman bukanlah gerak jiwa yang buta. Iman berciri intelektual. Karena lahir dari kasih Allah, iman memungkinkan kita memahami kebenaran kasih Allah yang total dan panggilan untuk saling mengasihi agar dapat tetap tinggal dalam kasih Allah itu. Terang kasih yang tepat untuk iman itu, menurut Paus, dapat menerangi pertanyaan-pertanyaan zaman kita tentang kebenaran. Iman mendorong ilmuwan untuk selalu terbuka terhadap realitas dengan segala kekayaannya yang tidak terhingga. Iman membangkitkan rasa kritis dengan mencegah penelitian dari puas dengan formula-formula sendiri dan membantu untuk menyadari bahwa alam selalu lebih besar. Dengan merangsang rasa kagum pada misteri penciptaan yang mendalam, iman memperluas cakrawala akal budi untuk menjelaskan lebih penuh dunia yang mengungkapkan dirinya untuk penyelidikan ilmiah (LF 34).

 

Meneruskan Iman

 

Iman bukanlah urusan privat, gagasan individualistik, atau pendapat pribadi. Iman pada dasarnya berciri eklesial. Iman bekerja dalam diri orang kristiani atas dasar rahmat yang diterima, yakni kasih yang menarik hati kita kepada Kristus dan memungkinkan kita menjadi bagian Gereja yang berziarah sepanjang sejarah sampai akhir dunia (LF 22). Pertanyaannya: bagaimana kita yakin, setelah berabad-abad, bahwa kita berjumpa dengan “Yesus yang riil”?

 

Untuk menjawab pertanyaan itulah, pada bab ketiga yang diberi judul “Aku menyampaikan kepadamu, apa yang telah kuterima” (1Kor 15:3), secara khusus Paus Fransiskus berbicara tentang penerusan iman. Gereja adalah subyek utama yang menjaga “memori” iman akan pemberian diri Allah yang penuh dalam pribadi Yesus Kristus senantiasa hidup hingga zaman ini. Gereja adalah Bunda yang mengajar kita untuk berbicara bahasa iman (LF 38). 

 

Iman diteruskan kepada kita melalui Tradisi Apostolik yang dipelihara dalam Gereja dengan bimbingan Roh Kudus. Dengan mengutip ajaran Konsili Vatikan II, Lumen Fidei menegaskan bahwa “Adapun apa yang telah diteruskan oleh para Rasul mencakup segala sesuatu, yang membantu Umat Allah untuk menjalani hidup yang suci dan untuk berkembang dalam imannya. Demikianlah Gereja dalam ajaran, hidup serta ibadatnya melestarikan serta meneruskan kepada semua keturunan dirinya seluruhnya, imannya seutuhnya.” (Dei Verbum 8).

 

Ketika berbicara tentang Tradisi yang hidup, secara spesifik Paus menyebut empat sarana yang sesuai dan proporsional untuk mengkomunikasikan iman, “cahaya baru yang lahir dari perjumpaan dengan Allah yang benar, cahaya yang menyentuh kita pada inti keberadaan kita dan yang melibatkan pikiran, kehendak dan emosi kita, yang membuka bagi kita hubungan yang dihidupi dalam persekutuan” (LF 40). Keempat sarana khusus itu adalah Pengakuan Iman (syahadat), Sakramen-sakramen khususnya Baptis dan Ekaristi, Sepuluh Perintah Allah, dan Doa terutama Bapa Kami (LF 46). Empat hal ini merupakan isi pokok iman Gereja, yang oleh Magisterium dengan setia dan taat diajarkan demi kesatuan iman dan penerusannya yang integral.

 

Membangun Dunia

 

Pada bab terakhir, Paus Fransiskus menekankan iman yang terwujud dalam usaha-usaha konkret untuk membangun dunia yang lebih baik. Iman penting untuk mempromosikan keadilan, hukum dan perdamaian. Iman tidak menjauhkan diri kita dari dunia. Sebaliknya, iman justru membuat kita mampu mengapresiasi arsitektur hubungan antar manusia, karena iman menggenggam dasar terdalam dan tujuan terakhir pertalian manusia itu dalam Allah, dalam kasih-Nya. Terang iman tidak hanya mencerahkan interior Gereja. Terang iman juga tidak semata-mata berguna untuk membangun sebuah kota abadi di akhirat. Terang iman membantu kita untuk membangun masyarakat kita sedemikian rupa sehingga mereka dapat melakukan perjalanan menuju masa depan yang penuh harapan (LF 51).

 

Lumen Fidei menunjuk keluarga sebagai tempat pertama dimana iman menerangi masyarakat. Keluarga pertama-tama dan terutama adalah persatuan yang utuh antara laki-laki dan perempuan dalam perkawinan. Persatuan ini lahir dari cinta mereka yang menjadi tanda dan kehadiran kasih Allah sendiri. Persatuan ini juga lahir dari pengenalan dan penerimaan kebaikan dari perbedaan seksual, dimana pasangan bisa menjadi satu daging (Kej 2:24). Dalam keluarga dimungkinkan lahir kehidupan baru, manifestasi kebaikan, kebijaksanaan dan rencana kasih Allah (LF 52). Dalam keluarga, anak belajar percaya pada kasih orangtua mereka. Inilah sebabnya, menurut Paus, mengapa sangat penting bahwa dalam keluarga-keluarga, orang tua saling meneguhkan ekspresi iman bersama, yang dapat membantu anak-anak secara bertahap untuk dewasa dalam iman mereka sendiri (LF 53).

 

Diserap dan diperdalam dalam keluarga, iman menjadi cahaya yang mampu menerangi semua hubungan kita dalam masyarakat. Pengalaman iman akan kasih Allah Bapa memungkinkan kita membangun persaudaraan. Sebagai alternatif dari persaudaraan universal berdasarkan kesetaraan yang dibangun oleh modernitas, kita menawarkan persaudaraan sejati. Iman mengajarkan kita untuk melihat bahwa setiap laki-laki dan perempuan adalah berkah bagi saya, bahwa cahaya wajah Allah bersinar pada saya melalui wajah saudara-saudara saya (LF 54). 

 

Pada akhirnya, Paus Fransiskus menunjukkan terang iman berhadapan dengan penderitaan. Iman bukanlah cahaya yang menyebarkan semua kegelapan kita, tapi lampu yang menuntun langkah kita di malam hari dan sudah cukup untuk perjalanan. Untuk mereka yang menderita, Allah tidak memberikan argumentasi yang menjelaskan semuanya. Jawabannya adalah Allah hadir menyertai. Dalam Kristus, Allah sendiri ingin berbagi jalan ini dengan kita dan untuk menawarkan kepada kita tatapan-Nya agar kita bisa melihat cahaya di dalamnya. Kristus adalah Ia yang, setelah mengalami penderitaan, adalah “pelopor dan penyempurna iman kita”. (LF 57).


Picture taken from: http://rlcfchurch.org/wp-content/uploads/2011/01/faith1.jpg


ENSIKLIK “LUMEN FIDEI” (TERANG IMAN) : POKOK-POKOK UNTUK DIRENUNGKAN

 

Berikut adalah delapan kutipan penting dari ensiklik pertama Paus Fransiskus, Lumen Fidei (Terang Iman) :


1. Dari Paragraf 4 : "Terang iman adalah unik, karena mampu menerangi setiap aspek keberadaan manusia. Terang yang kuat ini tidak bisa datang dari diri kita sendiri tetapi dari sumber yang lebih primordial: dalam sebuah sabda, itu harus datang dari Allah. Iman lahir dari suatu perjumpaan dengan Allah yang hidup yang memanggil kita dan mengungkapkan kasih-Nya, suatu kasih yang mendahului kita dan yang di atasnya kita dapat bersandar untuk keamanan dan untuk membangun kehidupan kita. Diubah oleh kasih ini, kita memperoleh daya pandang yang menyegarkan, mata baru untuk memandang; kita menyadari bahwa itu berisi suatu janji agung penggenapan, dan maka daya pandang masa depan terbuka di hadapan kita".

 

 

2. Dari Paragraf 16: "Bila seseorang memberikan nyawa bagi sahabat-sahabatnya adalah bukti teragung dari kasih (bdk. Yoh 15:13), Yesus memberikan nyawa-Nya sendiri bagi semua orang, bahkan bagi musuh-musuh-Nya, untuk mengubah hati mereka. Hal ini menjelaskan mengapa para penginjil dapat melihat saat penyaliban Kristus sebagai puncak tatapan iman; pada saat itu kedalaman dan keluasan kasih Allah tampak bersinar".

 

3. Dari Paragraf 18: "Di banyak daerah dalam hidup kita kita mempercayai orang lain yang mengetahui lebih banyak dari yang kita ketahui. Kita mempercayai arsitek yang membangun rumah kita, apoteker yang memberikan kita obat untuk penyembuhan, pengacara yang membela kita di pengadilan. Kita juga perlu seseorang yang bisa dipercaya dan berpengetahuan sehubungan dengan Allah. Yesus, Putra Allah, adalah pribadi yang membuat Allah dikenalkan kepada kita (bdk. Yoh 1:18). Kehidupan Kristus, cara-Nya mengetahui Bapa dan hidup dalam hubungan penuh dan terus-menerus dengan Dia, membuka pandangan baru dan mengundang bagi pengalaman manusia".

 

4. Dari Paragraf 25: "Dalam budaya kontemporer, kita sering cenderung untuk mempertimbangkan satu-satunya kebenaran nyata yaitu teknologi : kebenaran adalah apa yang membuat kita berhasil dalam pembangunan dan ukuran berdasarkan kepandaian ilmu pengetahuan kita, kebenaran adalah apa yang mengerjakan dan apa yang membuat hidup lebih mudah dan lebih nyaman. Dewasa ini hal tersebut muncul sebagai satu-satunya kebenaran yang pasti, satu-satunya kebenaran yang bisa dibagikan, satu-satunya kebenaran yang dapat berfungsi sebagai dasar untuk diskusi atau untuk perbuatan umum. Namun di ujung lain dari timbangan tersebut kita sedang berkehendak untuk memungkinkan kebenaran subjektif secara perorangan, yang terdiri dalam ketaatan kepada pendiriannya yang terdalam, namun ini adalah kebenaran yang hanya berlaku untuk perorangan tersebut dan tidak mampu untuk ditawarkan kepada orang lain dalam upaya untuk melayani kebaikan umum. Tetapi Kebenaran itu sendiri, kebenaran yang secara menyeluruh akan menjelaskan kehidupan kita sebagai perorangan dan dalam masyarakat, dipandang dengan prasangka".

 

5. Dari Paragraf 26: "Iman mengubah seluruh pribadi justru kepada taraf sehingga ia menjadi terbuka akan kasih. Melalui perpaduan iman dan kasih ini kita datang untuk melihat jenis pengetahuan di mana iman diperlukan, kekuatannya meyakinkan dan kemampuannya menerangi langkah kita. Iman memahami karena dipertalikan kepada kasih, karena kasih itu sendiri membawa pencerahan. Pemahaman iman lahir ketika kita menerima kasih Allah yang sangat besar yang mengubah kita dalam batin dan memampukan kita untuk melihat kenyataan dengan mata baru".

 

6. Dari Paragraf 46: "Sepuluh Perintah Allah bukanlah seperangkat perintah negatif, tetapi arah nyata bagi pemunculan dari padang gurun keegoisan dan ketertutupan cinta diri untuk masuk ke dalam dialog dengan Allah, dipeluk oleh rahmat-Nya dan kemudian membawa rahmat itu bagi orang lain. Dengan demikian iman mengakui kasih Allah, asal dan penegak segala hal, dan memungkinkan dirinya dipandu oleh kasih ini dalam rangka perjalanan menuju kepenuhan persekutuan dengan Allah. Sepuluh Perintah Allah muncul sebagai jalan syukur, tanggapan akan kasih, dimungkinkan karena dalam iman kita menjadi cepat mengerti terhadap pengalaman pengubahan kasih Allah bagi kita".

 

7. Dari Paragraf 52: "Pengaturan pertama yang di dalamnya iman menerangi kota manusia adalah keluarga. Saya memikirkan pertama-tama dan terutama persatuan teguh pria dan wanita dalam perkawinan. Persatuan ini lahir dari kasih mereka, sebagai tanda dan kehadiran kasih Allah sendiri, serta  pengakuan dan penerimaan kebaikan perbedaan jenis kelamin, di mana pasangan bisa menjadi satu daging (bdk. Kej 2:24) dan dimampukan untuk melahirkan kehidupan baru, suatu pengejawantahan kebaikan, kebijaksanaan dan rencana penuh kasih Sang Pencipta".

 

8. Dari Paragraf 57: "Iman bukanlah terang yang menguraikan seluruh kegelapan kita, tetapi sebuah lampu yang menuntun langkah kita di malam hari dan memadai untuk perjalanan. Bagi mereka yang menderita, Allah tidak memberikan argumentasi yang menjelaskan semuanya; sebaliknya, tanggapan-Nya yaitu suatu kehadiran yang menyertai, suatu sejarah kebaikan yang menyentuh setiap kisah penderitaan dan menyingkapkan suatu cahaya terang. Dalam Kristus, Allah sendiri ingin berbagi jalan ini dengan kita dan menawarkan kita tatapan-Nya sehingga kita dapat melihat terang di dalamnya. Kristus adalah pribadi yang, telah mengalami penderitaan, adalah "pembuka jalan dan penyempurna iman kita" (Ibr 12:2)."


Sumber : Radio Vatikan

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PEMBELAJARAN LURING SEBAGAI BAGIAN DARI KEGIATAN WORK FROM HOME (WFH)

  LAPORAN PELAKSANAAN KEGIATAN PEMBELAJARAN LURING SEBAGAI BAGIAN DARI KEGIATAN WORK FROM HOME (WFH) GURU SMPN SATAP TOBOTANI   TAHUN 2020...