ENSIKLIK DEUS CARITAS EST - ALLAH ADALAH CINTAKASIH
ENSIKLIK
DEUS CARITAS EST
BAPA SUCI BENEDIKTUS XVI
KEPADA PARA USKUP, IMAM DAN DIAKON
KAUM RELIGIUS DAN SEMUA UMAT BERIMAN
TENTANG CINTA KASIH KRISTIANI
PENGANTAR
1.
"Allah adalah kasih, dan barangsiapa tetap berada dalam kasih, dia tetap
berada dalam Allah dan Allah dalam dia" (1 Yoh 4,16). Kata-kata dari surat
pertama Yohanes ini mengungkapkan secara jelas inti terdalam dari iman
Kristiani: gambaran Kristiani akan Allah dan buah gambaran akan umat manusia
dan panggilannya. Dalam ayat yang sama, Santo Yohanes memberikan ringkasan akan
hidup Kristiani, "Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah
kepada kita".
Kita telah menjadi percaya dalam kasih Allah: dalam
kata-kata ini umat Kristiani dapat menyatakan keputusan-keputusan mendasar
hidupnya. Menjadi Kristiani bukanlah buah dari pilihan etis atau gagasan
cemerlang, namun dari perjumpaan dalam realitas, dengan seorang pribadi, yang
hidupnya memberikan wawasan baru dan pengarahan mendasar. Injil Santo Yohanes
menggambarkan peristiwa tersebut dengan ungkapan, "Karena begitu besar
kasih Allah akan dunia ini sehingga Ia telah mengaruniakan Putera-Nya yang tunggal
supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya ... memperoleh hidup yang
kekal" (Yoh 3,16). Dengan menyadari pentingnya kasih, iman Kristiani
mengungkap kembali, dengan memberikan pendasaran dan cakupan baru, inti dari
iman Israel. Umat Yahudi yang saleh mendoakan setiap hari kata-kata dari Kitab
Ulangan, "Dengarkanlah hai umat Israel, Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu
esa! Kasihanilah Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu
dan dengan segenap kekuatanmu" (Ul 6,4-5). Yesus menyatukan perintah kasih
pada Allah dengan perintah kasih akan sesama, sebagaimana ditemukan dalam Kitab
Imamat, "Kasihanilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Im
19,18; lih. Mark 12,29-31), dalam satu ajaran. Karena Allah terlebih dahulu
mengasihi kita (lih 1 Yoh 4,10), maka kasih tidak lagi sekedar sebagai suatu
'perintah', namun merupakan tanggapan akan rahmat kasih yang menjadikan Allah
menjadi dekat dengan kita.
Di tengah dunia di mana nama Allah seringkali
dikaitkan dengan balas dendam atau tindakan kebencian dan kekerasan, pesan ini
menjadi aktual dan penting. Dengan alasan ini saya bermaksud dalam ensiklik
pertama saya ini berbicara tentang kasih, yang dicurahkan Allah secara
berlimpah kepada kita dan karenanya harus kita bagikan kepada sesama. Inilah,
pada intinya, yang dibicarakan dalam dua dua bagian pokok dari surat ini, dan
keduanya saling terkait satu sama lain. Bagian pertama lebih spekulatif,
sebagaimana saya inginkan di sini - di awal masa kepausan saya - untuk
memperjelas beberapa fakta-fakta dasar terkait dengan kasih, yang telah secara
misterius dan melimpah dicurahkannya kepada umat manusia, bersama dengan kaitan
tak terpisahkan antara kasih dan kenyataan cinta manusiawi. Bagian kedua
berbicara secara lebih konkret, sebagaimana ditandai dengan pewujudan kristiani
perintah kasih akan sesama. Pernyataan ini memiliki implikasi meluas, karenanya
pewujudannya secara menyeluruh akan melampaui cakupan ensiklik ini. Saya ingin
menekankan beberapa unsur dasar, untuk menantang dunia bagi terbangunnya
pembaharuan semangat dan komitmen dalam menanggapi kasih Allah.
BAGIAN I
KESATUAN KASIH
DALAM PENCIPTAAN DAN SEJARAH KESELAMATAN
Persoalan
bahasa
2. Cinta
kasih Allah kepada kita merupakan sesuatu yang fundamental bagi kehidupan kita,
karena hal itu membawa kita sampai pada pertanyaan penting tentang siapakah
Allah dan siapakah diri kita. Dengan menyadari hal itu, kita akan langsung
menghadapi persoalan bahasa. Dewasa ini, kata 'cinta' telah menjadi kata yang
sering dipakai namun pula disalahpahami, sebuah kata yang kita mengerti dalam
berbagai arti yang berbeda. Betapapun ensiklik ini terutama berbicara mengenai
pemahaman serta penghayatan cinta kasih berdasarkan Kitab Suci dan tradisi
Gereja, namun kita tidak dapat menghindar dari pengertian mengenai cinta dalam
berbagai budaya dan penggunaannya dewasa ini.
Baiklah pertama-tama kita lihat cakupan semantik dari
kata cinta: cinta akan tanah air, cinta akan suatu profesi, cinta antar
sahabat, cinta akan pekerjaan, cinta antara orangtua dan anak, cinta antar
anggota keluarga, cinta akan sesama dan cinta akan Allah. Akan tetapi di antara
keberagaman pengertian ini, orang akan secara khusus memberikan perhatian akan:
cinta antara pria dan wanita, di mana tubuh dan jiwa bersatu secara tak
terpisahkan dan dengannya memandang harapan besar akan kebahagiaan. Cinta dalam
gambaran ini akan mudah dipandang sebagai wujud paling nyata dari cinta,
sehingga segala wujud cinta yang lain cenderung tidak akan ditempatkan sebagai
bandingan dari bentuk cinta antara pria-wanita. Karena itu akan langsung muncul
pertanyaan: semua bentuk pewujudan cinta yang ada itu pada dasarnya satu, cinta
dalam berbagai pewujudan dari realitas cinta yang satu dan sama, ataukah kita
menggunakan kata yang sama untuk menggambarkan realitas yang sama sekali
berbeda?
"Eros"
dan "Agape" – perbedaan dan kesamaannya
3. Cinta
antara pria dan wanita bukanlah sesuatu yang tidak disadari ataupun diinginkan,
sebab hal itu merupakan sesuatu yang melekat pada umat manusia, sebagaimana
disebut sebagai eros dalam ungkapan Yunani kuno. Mari kita simak secara singkat
bahwa Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani hanya dua kali menggunakan kata eros,
sementara Perjanjian Baru sama sekali tidak menggunakan kata itu. Dari tiga
kata Yunani lain akan cinta: eros, philia (cinta persahabatan) dan agape,
penulis Perjanjian Baru lebih memakai yang terakhir, yang sebenarnya jarang
muncul dalam bahasa Yunani. Sedangkan kata philia, cinta persahabatan, dipakai
dalam pengertian secara mendalam oleh Santo Yohanes untuk menggambarkan relasi
antara Yesus dengan para muridnya. Kecenderungan untuk menghindari pemakaian
kata eros, dengan mengungkapkan pemahaman baru akan cinta dengan memakai kata
agape, jelas memperlihatkan sesuatu yang baru dan berbeda dalam pemahaman
Kristiani mengenai cinta. Dalam kritik akan Kristianitas, yang diawali dalam
masa Fajar Budi (Enlightenment) dan kemudian berkembang secara radikal,
kenyataan ini dipandang secara negatif. Menurut Friedrich Nietzsche,
Kristianitas telah meracuni kata eros, karena tidak memahami secara utuh, dan
mereduksinya dalam pengertian yang sebaliknya . Di sini filsuf Jerman tersebut
menggambarkan persepsi yang beredar secara umum: bukankah dengannya Gereja,
dengan segala perintah dan larangannya, menampik apa yang paling berarti dalam
kehidupan? Bukankah dengannya Gereja melebih-lebihkan pengertian tentang
kegembiraan, yang dianugerahkan Pencipta kepada kita sebagai kebahagiaan hanya
sebagai pengertian yang melulu ilahi?
4. Inikah
persoalannya? Apakah Gereja memang telah merusak pengertian mengenai eros?
Marilah kita menyimak dunia pra-Kristiani. Orang-orang Yunani - tidak seperti
dalam budaya lain - pada dasarnya memahami eros pertama-tama sebagai kemabukan,
rasionalisasi secara berlebihan dalam "kegilaan ilahi" (divine madness),
yang menjauhkan manusia dari keterbatasan dirinya dan memampukannya, dalam
kondisi keberlimpahan daya ilahi, mengalami kebahagiaan tertinggi. Segala
kekuatan surgawi dan duniawi menjadi kurang penting, "Omnia vincit
amor" demikian kata Virgil dallam Bucolics — cinta mengatasi segala — dan
dia menambahkan, "et nos cedamus amori"— marilah kita memberikan diri
kepada cinta . Di dalam agama-agama, pandangan ini menemukan pewujudannya dalam
ritus kesuburan, bagian dari apa yang dinamakan sebagai pelacuran 'suci' yang
dijalankan di banyak kuil. Eros dengan demikian dirayakan sebagai kuasa ilahi,
keikutsertaan bersama yang Ilahi.
Perjanjian lama jelas tegas menentang cara beragama
seperti ini, karena sangat bertentangan dengan iman monoteistik, sehingga
dilawannya sebagai penyalahgunaan religiositas. Dengan menolak eros yang
seperti itu, diperanginya bentuk penyalahgunaan dan pembusukan dalam dirinya,
karena dengan memberi bentuk illahi secara palsu akan eros sebenarnya merampas
keluhuran martabatnya dan menodainya. Tak terelakkan, praktek pelacuran kuil,
dengan menghadirkan kemabukan illahi seperti itu, menodai kemanusiaan dan
kepribadian, dan menggunakannya sebagai sarana untuk menumbuhkan "kegilaan
ilahi": jauh dari menjadi ilahi, mereka mengeksploitasi umat manusia.
Kemabukan dan kelepaskontrolan eros, akhirnya bukanlah sesuatu yang menuntun
dalam 'ekstase' kepada Yang Ilahi, sebaliknya suatu kejatuhan, suatu degradasi
pada pribadi manusia. Jelas, dengan demikian, eros perlu ditata dan dimurnikan,
agar tidak sekedar dimaksudkan bagi kepuasan sesaat, sebaliknya dimaksudkan
untuk menandakan kemendalaman pribadi kita, sehingga kebahagiaan bagi
keseluruhan diri pribadi dapat dipetik.
5. Dua sisi arus muncul jelas dari amatan singkat akan gagasan tentang eros di
masa lalu dan di saat dewasa ini. Pertama, ada relasi tertentu antara cinta dan
Keilahian: cinta menjanjikan pada keabadian, ketakterbatasan - realitas yang
jauh lebih besar dan utuh daripada keberadaan kita sehari-hari. Secara
bersamaan kita telah melihat bahwa cara untuk mencapainya tidak dengan begitu
saja mengikuti dorongan naluri. Pemurnian dan pertumbuhan dalam kedewasaan
dibutuhkan pula, dan hal itu dibuahkan lewat jalan pengorbanan. Jauh daripada
penolak atau meracuni eros, mereka menyembuhkannya dan memulihkan martabatnya
secara benar.
Hal ini terkait pertama-tama dan pada dasarnya pada
kenyataan bahwa manusia diciptakan dengan badan dan jiwa. Pribadi manusia
menjadi dirinya sendiri, ketika badan dan jiwanya secara utuh menyatu;
tantangan akan eros dapat dikatakan teratasi jika kesatupaduan ini tercapai.
Jika manusia hanya roh murni dan tubuh hanya dinilai sekedar sebagai kodrat
kebinatangan belaka, roh dan badan kehilangan martabatnya. Sebaliknya pula,
jika seseorang menyangkal akan adanya roh dan hanya mengakui badan sebagai
satu-satunya realitas, dia akan kehilangan keluhurannya. Seorang pencicip
kelezatan hidangan Gassendi mengucapkan salam kepada Descartes dengan
mengatakan, "Oh, Roh!". Dan Descartes akan menjawab, "Oh, tubuh!"
. Akan tetapi bukan hanya jiwa belaka atau tubuh belaka yang dicintai: adalah
pribadi manusia, ciptaan utuh yang terdiri dari jiwa dan badan, yang dicintai.
Hanya jika kedua dimensi tersebut sungguh bersatupadu, manusia akan mencapai
kepenuhan gambaran dirinya. Hanya cinta seperti ini —eros— dapat berkembang
utuh dan mencapai keluhurannya secara utuh.
Akhir-akhir ini, sering dikritik bahwa Kristianitas
masa lalu menentang tubuh; kecenderungan seperti itu memang masih tampak. Akan
tetapi saat ini kecenderungan untuk memuja tubuh menjadi ilusi. Eros, yang
direduksi sekedar sebagai "seks", telah menjadi komoditi, sekedar
sebagai "barang" yang dapat dibeli dan dijual, atau lebih lagi,
pribadi manusia menjadi komoditi. Hal ini bukanlah suatu ungkapan penuh "Ya"
manusia akan tubuh. Sebaliknya, dia kini menyadari tubuh dan seksualitasnya
hanya sekedar menjadi bagian material akan dirinya, digunakan dan dieksploitasi
seturut kehendaknya. Dengannya dia tidak menempatkannya sebagai pewujudan
kebebasannya, namun sekedar sebagai objek yang dia coba, sejauh dia inginkan,
baik untuk memuaskan atau melukai diri. Di sini kita, pada kenyataannya,
melihat adanya perendahan tubuh manusiawi: tidak lagi terintegrasi kepada
keseluruhan kebebasan eksistensial kita; tidak lagi menjadi ungkapan mendalam
dari keutuhan diri kita, namun kurang lebih dipersempit sekedar dalam cakupan
biologis belaka. Tanda-tanda pemujaan tubuh dapat dengan segera beralih dengan
membenci kejasmanian. Iman Kristiani, sebaliknya, senantiasa menyadari pribadi
manusia sebagai kesatuan yang berdimensi ganda, sebuah realitas di mana yang
rohani dan jasmani saling melengkapi satu sama lain, sehingga dengannya
masing-masing menemukan keluhurannya. Benar, eros yang mengarah dalam
"ekstase" akan Yang Ilahi, akan menuntun kita untuk mengatasi diri
kita; dan untuk memenuhi ini dituntut kita menelusuri jalan bagi pertumbuhan,
pengorbanan, pemurnian diri dan penyembuhan.
6. Secara konkret, bagaimana jalan pertumbuhan dan pemurnian ini ditapaki?
Bagaimana cinta dapat dialami sehingga dapat mewujudkan secara penuh harapan
manusiawi dan rohani? Di sini kita dapat menemukan pertama-tama indikasi
pentingnya dalam kitab Kidung Agung, kitab dalam Perjanjian Lama yang sangat
dikenal para mistikus Menurut penafsiran yang secara umum dipahami dewasa ini,
syair-syair yang termuat dalam kitab itu pada dasarnya adalah kidung cinta,
yang mungkin dimaksudkan bagi pesta perkawinan Yahudi dan dimaksudkan untuk
mengagungkan cinta perkawinan, Dalam konteks ini sangatlah berguna untuk
mencatat bahwa dalam susunan buka tersebut dua kata Ibrani dipakai untuk
menggambarkan "cinta". Pertama adalah kata dodim, bentuk jamak yang
menandakan sebuah cinta yang tetap tidak pasti, tak tergambarkan secara jelas
dan karena masih terus dalam pencarian. Kata ini dipakai untuk menggantikan
kata ahabĂ , yang dalam kitab Perjanjian lama bahasa Yunani diterjemahkan dengan
kata yang terdengar berbunyi sama, agape, yang, sebagaimana telah kita lihat,
menjadi ungkapan khas dalam Kitab Suci. Berbeda dengan tentang cinta yang tak
terumuskan dan dalam pencarian, kata ini mengungkapkan cinta yang memuat suatu
pencarian konkret akan yang lain, bergerak mengatasi ciri egoistis yang tampak
dalam pengertian kata sebelumnya. Cinta tidak lagi suatu pencarian diri,
tenggelam dalam kemabukan kebahagiaan, namun mencari apa yang baik pada mereka
yang dicintai: itu menjadi penyerahan diri dan sedia, bahkan berkehendak, untuk
berkorban.
Hal itu merupakan bagian dari cinta yang tumbuh menuju
tingkat yang lebih tinggi dan pemurnian diri yang berusaha untuk menjadi
semakin pasti, dan berjalan demikian dalam dua pengertian: dalam pengertian
eksklusif (untuk orang tertentu saja) dan dalam pengertian "untuk
selalu". Cinta memuat keseluruhan diri dalam masing-masing dimensinya,
termasuk dalam dimensi waktu. Tidak bisa menjadi sesuatu yang lain, karena
cinta itu menjanjikan suatu tujuan yang pasti: cinta memandang keabadian. Cinta
sungguh adalah suatu 'ekstase', bukan dalam pengertian saat mabuk, namun lebih
sebagai suatu perjalanan, perjalanan untuk terus-menerus keluar dari pemusatan
diri menuju pada pembebasan melalui pemberian diri, dan kemudian menuju pada
pencarian diri secara sungguh, dan pencarian akan Allah. "Barangsiapa
memelihara nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya,
ia akan menyelamatkannya" (Luk 17,33), sebagaimana dikatakan Yesus dalam
Injil (lih pula Mat 10,39; 16,25; Mrk 8,35; Luk 9,24; Yoh 12,25). Dengan
kata-kata ini Yesus menggambarkan jalan yang ditapakinya, yang menuntun melalui
Salib menuju kebangkitan: jalan biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati, dan
karenanya menghasilkan banyak buah. Berangkat dari kemendalaman pengorbanan
dirinya dan cinta yang mencapai kepenuhan di dalamnya, Dia menggambarkan dengan
kata-kata itu inti dari kasih dan karenanya kehidupan umat manusia sendiri.
7.
Pendasaran kita untuk memahami pengertian tentang makna cinta kasih, yang lebih
merupakan refleksi filosofis akan hakikat cinta telah membawa kita masuk
kedalam iman kitab suci. Kita mengawalinya dengan mempertanyakan apakah perbedaan,
atau tepatnya sesuatu yang bertentangan, dari pengertian dari kata 'cinta' yang
ada, menunjuk pada sesuatu yang memiliki aspek penyatu secara mendasar, ataukah
sebaliknya mereka tetap saling tak berhubungan satu sama lain, yang satu berada
di sisi yang lain. Namun secara mendalam, kita mempertanyakan apakah pesan
cinta kasih yang diwartakan Injil dan tradisi Gereja memiliki keterkaitan
dengan pengalaman bersama umat manusia akan cinta, ataukah malahan bertentangan
dengan pengalaman tersebut. Semua ini membawa kita untuk mengenali dua kata
dasar: eros, sebuah istilah yang lebih menandakan cinta 'duniawi' dan agape,
yang mengacu padda cinta yang didasarkan dan dibentuk pada iman. Dua gagasan
tersebut tidak jarang terbedakan sebagai cinta yang "naik" (menumbuhkan
gairah) dan cinta yang "turun" (melepaskan diri). Ada pula gagasan
lain yang berdasarkan kriteria sama lalu membedakan antara cinta posesif dan
cinta dalam pemberian diri dalam kemurahan hati (amor concupiscentiae – amor
benevolentiae), yang kadang ditambahkan pula cinta yang mencari keuntungan
dirinya sendiri.
Dalam perbincangan filsafat dan teologi pengartian ini
kadang secara berlebihan dibicarakan untuk menetapkan suatu pembedaan yang
saling mempertentangkan satu sama lain: cinta yang 'turun', cinta kemurahan
hati —agape— merupakan sesuatu yang khas Kristiani, sementara sebaliknya, cinta
yang 'naik', posesif dan nafsu —eros— khas budaya non Kristiani, terlebih
budaya Yunani. Jika anti tesis ini ditempatkan secara ekstrem, hakekat
Kristianitas akan dijauhkan dari relasi vital mendasar umat manusia, dan
terlepas dari dunia, mungkin dikagumi namun secara hakiki terpisah dari
keseluruhan struktur kehidupan umat manusia. Akan tetapi eros dan agape — cinta
yang menumbuhkan gelora dan cinta yang melepaskan diri — sama sekali tidak
dapat dipisahkan satu sama lain. Lebih daripada itu semua, semakin keduanya,
dalam aspek yang berbeda, menemukan kesatuan yang tepat dalam satu realitas
kasih, semakin kodrat sejati cinta diwujudkan. Maka kalau eros, betapapun
pertama-tama berupa gairah yang semakin menggelora, sebagai suatu daya tarik
bagi janji kebahagiaan, semakin terarah pada yang lain, dia akan semakin tidak
berpusat pada diri sendiri, dan semakin mencari kebahagiaan yang lain, ingin
semakin bersama dia yang dicintai, semakin memberikan dirinya dan hadir bagi
yang lain. Unsur agape kemudian menyatu dengan cinta tersebut, sebaliknya eros
semakin melemah dan kehilangan hakekatnya. Sebaliknya, orang tidak dapat hidup
hanya dengan cinta kemurahan hati, kasih yang memberikan diri. Dia tidak bisa
hanya selalu memberi, dia juga harus menerima. Seseorang yang ingin memberikan
cintanya harus pula menerima cinta sebagai suatu hadiah. Tentu, sebagaimana
Tuhan mengajarkannya kepada kita, seseorang dapat menjadi sumber yang darinya
mengalir air kehidupan (lih Yoh 7, 37-38).
Dalam menjelaskan kisah tangga Yakub, para Bapa Gereja
melihat adanya relasi tak terpisahkan antara cinta yang naik dan yang turun,
antara eros yang mencari Allah dan agape yang tumbuh dalam hadiah yang
diterima, dalam berbagai bentuk yang menandainya. Dalam bagian Kitab Suci itu
kita membaca bagaimana Bapa Yakub melihat dalam sebuah mimpi tidurnya, dengan
batu sebagai alas kepalanya, sebuah tangga yang ujungan sampai ke langit,
dengan Malaikat-malaikat Allah turun-naik (lih Kej 28,12; Yoh 1,51). Secara
khusus penafsiran yang mengagumkan ini dikatakan oleh Paus Gregorius Agung
dalam Patokan Pastoralnya. Dia menceriterakan bahwa gembala yang baik harus
berakar pada kontemplasi. Hanya dengan demikian dia dapat menanggung dalam
dirinya sendiri kebutuhan sesama, "per pietatis viscera in se infirmitatem
caeterorum transferat" . Santo Gregorius mengungkapkan ini dalam konteks
Santo Paulus, yang terangkat naik ke dalam misteri Allah, sehingga setelah
turun dia menjadi mampu memberikan diri dalam segala bagi semua orang. Dia juga
menunjuk pada teladan Musa, yang dengan senantisa berulangkali masuk ke Kemah
Suci, senantiasa berada dalam dialog dengan Allah, agar dapat semakin melayani
umatnya. Di dalam (Kemah Suci) dia terangkat naik dalam kontemplasi, sebab
tanpa itu dia sama sekali tidak sanggup melayani mereka yang menderita, intus
in contemplationem rapitur, foris infirmantium negotiis urgetur."
8. Kita
telah membicarakan persoalan dasar, yang dengannya kita menanggapi dua
pertanyaan yang telah muncul sebelumnya. Secara mendasar, "cinta"
merupakan realitas tunggal, namun memiliki dimensi yang berbeda; dalam
waktu-waktu yang berbeda, satu atau dimensi yang lain tampil secara lebih
mencolok. Akan tetapi kalau dua dimensi tersebut sama sekali dipisahkan dari
yang lain, hasilnya adalah suatu gambaran karikaturis yang tidak tepat atau
paling tidak pemiskinan bentuk kasih. Dan kita telah pula melihat, secara
menyeluruh, bahwa iman Kitab Suci tidak membangun suatu gambaran dunia lain
atau menentang gejala mendasar umat manusia tentang cinta, namun sebaliknya
menerima keseluruhan diri umat manusia, dan masuk ke dalamnya dalam pencarian
akan cinta untuk memurnikannya dan membangun dimensi baru di dalamnya.
Kebaharuan dari iman Kitab Suci ini terutama diperlihatkan dalam dua unsur,
yang mendapatkan penekanan secara kuat: gambaran akan Allah dan gambaran akan
pribadi manusia.
Kebaharuan dalam iman Kitab Suci
9. Pertama,
dunia Kitab Suci menyajikan gambaran baru akan Allah. Dalam budaya-budaya
sekitarnya, gambaran akan Allah dan akan dewa-dewa pada dasarnya tidak jelas
dan saling bertolak belakang satu sama lain. Namun dalam perkembangan iman
Kitab Suci apa yang termuat dalam doa dasar umat Israel, Shema, gambaran itu menjadi
semakin jelas dan pasti, "Dengarkanlah, umat Israel, Tuhan itu Allah kita,
Tuhan itu esa!" (lih Ul 6,4). Hanya ada satu Allah, pencipta langit dan
bumi, yang adalah Allah pencipta umat manusia. Ada dua fakta penting dari
pernyataan ini: semua illah-illah yang lain bukanlah Allah, dan alam semesta
tempat di mana kita hidup menemukan sumbernya di dalam Allah dan dicipta
oleh-Nya. Tentu, gagasan mengenai penciptaan dapat ditemukan ditempat lain,
namun hanya di sini gagasan tersebut menjadi sangat jelas, bahwa bukannya ada
satu illah di antara illah-illah yang lain, tetapi hanya ada satu Allah yang
benar, yang adalah sumber dari segala yang ada; keseluruhan dunia hanya ada dan
hidup berkat kuasa sabda penciptaan Allah. Konsekuensinya, ciptaan-Nya berarti bagi-Nya,
sebab dikehendaki dan diciptakan-Nya. Unsur penting kedua kemudian muncul:
Allah ini mencintai manusia. Kuasa Ilahi yang dicari oleh Aristoteles dalam
puncak filsafat Yunani untuk dipahaminya lewat refleksi, dalam kenyataannya
merupakan objek keinginan dan cinta bagi semua ciptaan - dan sebagai objek
cinta realitas Ilahi ini menggerakkan dunia - akan tetapi dirinya sendiri tak
kehilangan apapun dan tidak mencintai: sebab hanya merupakan objek dari cinta.
Allah yang esa, yang diimani umat Israel, sebaliknya, mencintai dengan cinta
personal. Cintanya, lebih daripada itu, adalah cinta yang memilih: dari segala
bangsa Dia memilih Israel dan mencintainya - namun dengannya Dia berkehendak
menyelamatkan seluruh umat manusia. Allah mencintai, dan cinta-Nya dapat
disebut sebagai eros, namun adalah pula sepenuhnya agape .
Para Nabi, khususnya Hosea dan Yehezkiel,
menggambarkan cinta Allah untuk memiliki umat-Nya dalam gambaran erotis. Relasi
Allah dengan Israel digambarkan dengan menggunakan gambaran mempelai dan
perkawinan; pemujaan berhala adalah ketidaksetiaan dan pelacuran. Di sini kita
menemukan acuan khusus - sebagaimana telah kita lihat - kultus kesuburan dan
penyelewengan eros, tetapi juga sebuah penggambaran relasi kesetiaan antara
Israel dan Allah mereka. Sejarah relasi kasih antara Allah dan Israel
ternyatakan, pada tataran terdalamnya, bahwa Dia memberi mereka Taurat, yang
dengannya mata umat Israel terbuka untuk mengenali kodrat asali umat manusia
dan menunjukkan kepadanya jalan menuju pada kemanusiaan sejati. Hal itu tampak
dalam kenyataan bahwa manusia, dalam kesetiaan hidupnya akan Allah yang esa,
sampai pada pengalaman bahwa dirinya dikasihi Allah, dan menemukan kegembiraan
dalam kebenaran dan keadilan - kegembiraan dalam Allah yang menjadi kebahagiaan
sejati baginya, "Siapa gerangan ada padaku di Surga selain Engkau? Selain
Engkau tidak ada yang kuinginkan di bumi. ... Tetapi aku, aku suka dekat pada
Allah" (Mzm 73, 25.28).
10. Kita telah melihat bahwa eros Allah sepenuhnya adalah agape. Dikatakan
demikian bukan hanya karena itu dicurahkan sepenuhnya secara cuma-cuma, tanpa
syarat apapun sebelumnya, tetapi juga karena itu adalah pula kasih yang
mengampuni. Hosea terutama memberikan gambaran bahwa dimensi agape dari kasih
Allah kepada umat manusia ini jauh melampaui aspek balas-jasa. Israel tidak
setia dan menghancurkan perjanjian; Allah seharusnya mengadili dan menolak
mereka. Di sini secara tepat digambarkan bahwa Allah menyatakan diri-Nya
sebagai Allah dan bukan manusia, "Masakan Aku membiarkan engkau, hai
Efraim, menyerahkan engkau, hai Israel! .. Hati-Ku berbalik dalam diri-Ku,
belas kasihan-Ku bangkit serentak. Aku tidak akan melaksanakan murka-Ku yang
bernyala-nyala itu, tidak akan membinasakan Efraim kembali. Sebab Aku ini Allah
dan bukan manusia!" (Hos 11, 8-9). Kasih Allah yang mau merangkul
umat-Nya, - umat manusia - pada saat yang sama adalah kasih yang mengampuni.
Kasih ini begitu agung, karena kasih itu menanggalkan-Nya sendiri, kasih yang
menentang keadilan-Nya. Di sini umat Kristiani dapat melihatnya dalam rahasia
yang tersembunyi dalam misteri Salib: sedemikian besar kasih Allah kepada
manusia, sehingga dengan menjadi manusia Dia membawa diri-Nya sampai pada
kematian, dan dengannya Dia memperdamaian keadilan dan kasih.
Dimensi filsafat terdapat dalam visi Alkitabiah ini,
dan maknanya dari sudut pandang sejarah agama-agama terletak dalam fakta bahwa
di satu sisi kita dapat menemukan diri di hadapan gambaran metafisik akan
Allah: Allah adalah sumber mutlak dan akhir semua ciptaan; tetapi prinsip
universal penciptaan - Logos, nalar asali - pada saat yang sama Pecinta yang
rela menderita demi kasih sejatinya. Eros kemudian dimuliakan pada tingkat
tertinggi, dan karenanya dimurnikan dengan disatukan dengan agape. Kita dapat
dengannya memahami bahwa penerimaan Kitab Kidung Agung dalam kanon Kitab Suci
dapat dijelaskan dengan penjelasan bahwa kidung kasih tersebut pada dasarnya
menggambarkan relasi Allah dengan manusia dan relasi manusia dengan Allah. Maka
Kidung Agung menjadi, baik dalam literatur Kristiani maupun Yahudi, sumber
pengetahuan dan pengalaman mistik, ungkapan dari inti iman Kitab Suci: bahwa
manusia dapat sungguh masuk dalam kesatuan dengan Allah - dambaan asali
manusia. Akan tetapi kesatuan ini tidak berarti lebur, tenggelam dalam lautan
Ilahi yang tak bernama, melainkan sebuah kesatuan, yang membuahkan kasih,
kesatuan baik Allah maupun manusia tetap menjadi dirinya sendiri dan karenanya
menjadi satu sepenuhnya, "Siapa yang mengikatkan dirinya pada Tuhan,
menjadi satu roh dengan Dia" ( 1 Kor 6,17).
11. Kebaharuan pertama dari iman Kitab Suci, sebagaimana telah kita lihat,
terletak pada gambarannya mengenai Allah. Yang kedua, pada dasarnya terkait
dengannya, dapat ditemukan dalam gambaran mengenai manusia. Kisah penciptaan
dalam Kitab Suci bertutur tentang kesendirian Adam, manusia pertama, dan Allah
setelahnya memberinya seorang penolong baginya. Di antara semua ciptaan yang
lain, tidak ada yang dapat menjadi penolong baginya, betapapun dia yang memberi
nama semua binatang hutan dan segala burung, sehingga dengannya menjadikan
semua sebagai bagian dari hidupnya. Maka Allah menciptakan seorang perempuan
dari tulang rusuk lelaki. Kini Adam memiliki penolong yang dibutuhkannya,
"Inilah dia tulang dari tulangku, dan daging dari dagingku" (Kej
2,23). Di sini kita dapat menemukan gagasan yang dapat pula ditemukan, seperti
misalnya, dalam mitos yang dikisahkan oleh Plato, yang menggambarkan bahwa
manusia pada dasarnya berciri bulat utuh, sebab dia sepenuhnya sempurna dalam
dirinya dan berdiri sendiri. Akan tetapi sebagai hukuman atas kesombongannya,
dia dipisah menjadi dua oleh Zeus, sehingga dia menginginkan separuh bagian
dirinya, terdorong sepenuhnya untuk memilikinya, sehingga menemukan kembali
keutuhannya . Sementara kisah Alkitabiah tidak berbicara mengenai penghukuman,
sebab penggambaran yang dihadirkannya adalah bahwa manusia sepenuhnya tidak
lengkap, sehingga terdorong oleh kodratnya untuk mencari yang lain yang dapat
menjadikannya utuh, sebuah penggambaran bahwa hanya dalam kesatuan dengan yang
berjenis lain dia dapat menjadi penuh. Kisah dalam Kitab Suci karenanya
kemudian 5menyimpulkan dengan sebuah nubuat tentang Adam, "Sebab itu
seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan
isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging" (Kej 2,24).
Ada dua
aspek penting di sini. Pertama, eros adalah sesuatu yang berakar pada kodrat
manusia; Adam adalah seorang pencari, yang 'meninggalkan ayahnya dan ibunya'
untuk mencari seorang perempuan, sebab dalam kebersamaan keduanya dapat
membangun keutuhan kemanusiaan dan menjadi 'satu tubuh'. Aspek kedua sama
pentingnya. Dari sudut pandang penciptaan, eros mengarahkan manusia pada
perkawinan, pada suatu ikatan yang adalah unik dan pasti, sehingga, dan hanya
dengannya, dia dapat memenuhi maksud terdalam hidupnya. Dan terkait dengan
gambaran akan Allah monoteistik maka perkawinan pun monogami. Perkawinan yang
berdasar pada cinta yang eksklusif dan tetap menjadi tanda relasi antara Allah
dengan umat-Nya dan sebaliknya. Jalan kasih Allah menjadi ukuran cinta manusia.
Kaitan erat antara eros dan perkawinan dalam Kitab Suci ini praktis tidak dapat
ditemukan padanannya dalam literatur non biblis.
Yesus Kristus - kasih Allah yang menjelma
12. Hingga
kini kita telah mengupas terutama dari Perjanjian Lama, walaupun demikian toh
kesatuan yang utuh saling melengkapi antara dua Perjanjian sebagai satu Kitab
Suci dari iman Kristiani hadir di dalamnya. Kebaharuan sejati dalam Perjanjian
Baru bukan dalam kebaharuan gagasan, namun dalam gambaran akan Kristus, yang
memberikan tubuh dan darah-Nya bagi gagasan tersebut - suatu realisme yang
sangat mengagumkan. Sebenarnya telah tercermin dalam Perjanjian Lama bahwa
kebaharuan yang dinyatakan dalam Kitab Suci tidak terletak terutama dalam
gagasan abstrak, namun dalam tindakan Allah yang tidak terduga dan mengagumkan.
Tindakan Allah ini kini terwujud secara dramatis ketika, dalam Yesus Kristus,
Allah sendiri, dalam mencari 'domba-domba yang hilang', masuk dalam penderitaan
dan kehilangan kemanusiaan. Ketika Yesus menceriterakan perumpamaan tentang
gembala yang mencari domba yang hilang, perempuan yang mencari dirham yang
hilang, atau tentang seorang bapa yang berlari mendapatkan dan merangkul
anaknya yang hilang, maka tidak hanya sekedar kata-kata: penjelasan mengenai
realitas diri dan tindakan Allah. Kematiannya di kayu salib adalah puncak
tindakan Allah yang menanggalkan diri-Nya, dengan mengorbankan dirinya sendiri
untuk mengangkat kembali manusia dan menyelamatkannya. Di sini kasih menemukan
bentuknya yang paling radikal. Dengan memandang Kristus yang tertikam,
sebagaimana dikatakan Yohanes (lih Yoh 19,37), kita dapat memahami titik tolak
ensiklik ini, "Allah adalah kasih" (1 Yoh 4,8). Di sanalah kebenaran
ini dapat dikontemplasikan. Dari sini pulalah pengertian kita akan cinta
berawal. Dengan memandangnya umat Kristiani menemukan tapak jalan hidup dan
kasih yang harus ditelusurinya.
13. Yesus memberikan tindakan kurban diri-Nya agar senantiasa hadir dengan
menetapkan Ekaristi pada perjamuan malam terakhir. Dia mempersiapkan kematian
dan kebangkitan-Nya dengan memberikan pada murid-murid-Nya, dalam wujud roti
dan anggur, diri-Nya sendiri, tubuh dan darah-Nya sebagai manna yang baru (lih
Yoh 6,31-33). Dunia lama secara sederhana membayangkan makanan sejati manusia -
apa yang dibutuhkannya sebagai manusia - pada dasarnya adalah Logos,
kebijaksaaan abadi, dan kini Logos yang sama itu sungguh menjadi santapan bagi
kita - sebagai kasih. Ekaristi membawa kita ke dalam tindakan penyerahan diri
Yesus. Lebih daripada secara statistik menerima Logos yang menjelma, kita masuk
dengannya ke dalam dinamika terdalam pemberian diri. Gambaran perkawinan antara
Allah dengan Israel kini diwujudkan dalam cara yang sepenuhnya tidak bisa
tergambarkan sebelumnya: dulu dengan berdiri di hadapan kehadiran Allah, kini
menjadi bersatu dengan Allah dengan ikut serta dalam pengorbanan diri Yesus,
ikut serta dalam tubuh dan darah-Nya. Mistik sakramental, berdasar pada
penyatuan diri Allah ke dalam hidup kita, bekerja lebih lanjut dan mengangkat
kita jauh lebih tinggi daripada apa yang dapat digapai dalam segala
pengangkatan mistis.
14. Di sini
kita perlu menyadari aspek lain: mistik sakramental dalam ciri sosialnya, dalam
persekutuan sakramental di mana saya, bersama penerima komuni lainnya, menjadi
satu dengan Tuhan. Sebagaimana Santo Paulus mengatakan, "Karena roti
adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua
mendapat bagian dalam roti yang satu itu" (1 Kor 10,17). Kesatuan dengan
Kristus adalah pula kesatuan dengan semua, yang kepadanya Dia memberikan
diri-Nya sendiri. Saya tidak dapat memiliki Kristus karena diri saya sendiri;
saya hanya dapat menjadi bagian dari diri-Nya hanya dalam kesatuan dengan
semua, yang telah, dan yang akan, menjadi milik-Nya. Komuni membawa saya keluar
dari diri saya sendiri menuju pada-Nya, dan dengannya pun menuju pada kesatuan
dengan semua umat Kristiani. Kita menjadi 'satu tubuh', lebur sepenuhnya
bersama yang lain dalam satu keberadaan. Kasih akan Allah dan kasih akan sesama
kini sepenuhnya satu: Allah yang menjelma membawa semua kedalam diri-Nya
sendiri. Dengannya kita dapat mengerti mengapa agape juga menjadi istilah bagi
ekaristi: di sana agape Allah secara badani datang kepada kita, untuk
melanjutkan karya-Nya di dalam dan melalui kita. Hanya dengan memahami
pendasaran kristologis dan sakramental ini kita dapat memahami secara tepat
ajaran Yesus tentang kasih. Perubahan yang Dia buat dari ajaran Taurat dan para
Nabi pada perintah kasih yang berdimensi ganda, kasih akan Allah dan sesama,
serta pendasaran-Nya akan kepenuhan hidup iman dalam ajaran sentral ini,
bukanlah sekedar perkara moralitas - sesuatu yang dapat hidup terpisah atau
diluar iman akan Kristus dan pewujudnyataan sakramentalnya. Iman, ibadah dan
ethos mewujud dalam satu realitas, yang terbentuk dalam perjumpaan kita dengan
agape Allah. Di sini pemisahan secara bertolak-belakang antara ibadah dan etika
sepenuhnya tidak berlaku. Ibadah, pada dirinya sendiri, kebersamaan ekaristis,
merupakan realitas baik dicintai maupun mencintai sesama. Ekaristi yang tidak
menuntun pada tindakan kasih yang konkret pada dirinya sendiri tidak lengkap.
Sebaliknya, sebagaimana nanti akan kita simak secara lebih mendetil, perintah
kasih hanya mungkin sebab dia lebih daripada sekedar suatu kebutuhan. Kasih
dapat 'dituntut' sebab dia pertama-tama diberi.
15. Prinsip
ini merupakan titik tolak bagi pemahaman akan perumpamaan terkenal dari Yesus.
Seorang kaya (lih Luk 16,19-31) memohon dari tempat penghukumannya agar
saudara-saudaranya diperingatkan akan apa yang bakal terjadi pada mereka yang
tidak peduli pada kebutuhan orang miskin. Yesus memakai permohonan ini sebagai
peringatan agar kita mengambil jalan yang benar. Perumpamaan tentang orang
Samaria yang murah hati (lih. Luk 10,25-37) secara khusus memberikan dua
penjelasan penting. Sampai pada waktu itu, gagasan mengenai 'sesama' dipahami
dalam acuan pada orang sebangsa dan pada orang asing yang tinggal di Israel,
atau, dengan kata lain, komunitas terdekat sebagai bangsa atau negara tertentu.
Batasan ini kini dibongkar. Setiap orang yang membutuhkan saya, dan kepada
siapa saya dapat memberikan bantuan, adalah sesama saya. Gagasan mengenai
sesama kini menjadi universal, betapapun tetap bersifat konkret. Di samping
diperluas pada semua umat manusia, gagasan tentang sesama tidak dipersempit
pada ungkapan kasih yang umum, abstrak dan tak mewujud, akan tetapi memanggil
pada pewujudan komitmen praktis kini dan di sini. Gereja berkewajiban untuk
senantiasa menafsirkan kaitan antara gambaran sesama yang jauh dan dekat ini di
tengah kehidupan sehari-hari anggotanya. Akhirnya, kita harus secara khusus
memperhatikan, perumpamaan tentang pengadilan terakhir (lih Mat 25,31-46), di
mana kasih menjadi kriteria bagi keputusan akhir akan berharga dan tidak
berharganya hidup manusia. Yesus mengidentifikasikan dirinya sendiri dengan
mereka yang membutuhkan, dengan mereka yang lapar, haus, orang asing,
telanjang, mereka yang sakit dan berada dalam penjara. "Segala sesuatu
yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini,
kamu telah melakukannya untuk Aku" (Mat 25,40). Kasih akan Allah dan kasih
akan sesama menjadi satu: dalam diri mereka yang hina kita menemukan Yesus
sendiri, dan dalam Yesus kita menemukan Allah
Kasih akan
Allah dan kasih akan sesama
16. Setelah
merefleksikan hakekat kasih dan artinya dalam iman Kitab Suci, dua pertanyaan
muncul sehubungan dengan sikap kita: dapatkah kita mencintai Allah tanpa
melihat-Nya? Dapatkah cinta itu diperintah? Bertentangan dengan perintah kasih
yang berdimensi ganda pertanyaan-pertanyaan tersebut menumbuhkan keberatan
ganda. Tak seorang pun pernah melihat Allah, maka bagaimana kita mencintai-Nya?
Lebih lanjut, cinta tidak dapat diperintah, sebab dia sepenuhnya suatu perasaan
yang dapat ada atau tidak ada, maka tidak dapat dihasilkan oleh kehendak. Kitab
Suci sepertinya menanggapi keberatan pertama dengan mengatakan, "Jika
seseorang berkata: 'Aku mengasihi Allah,' dan ia membenci saudaranya, maka dia
adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya,
tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya" (1 Yoh 4,20). Teks
ini secara jelas menyangkal anggapan bahwa kasih Allah adalah sesuatu yang
mustahil. Sebaliknya, keseluruhan konteks ayat yang dikutip dari surat pertama
Yohanes memperlihatkan bahwa kasih pada dasarnya dituntut. Kesatuan yang tak
terpisahkan antara kasih akan Allah dan kasih akan sesama ditekankan. Yang satu
secara erat terkait dengan yang lain, sehingga dikatakan bahwa cinta kita pada
Allah merupakan suatu kebohongan jika kita menutup diri pada sesama atau
sepenuhnya membencinya. Kata-kata dari Santo Yohanes perlu lebih ditafsirkan
untuk mengerti bahwa kasih akan sesama adalah jalan yang menuntun pada
perjumpaan dengan Allah, dan bahwa dengan menutup mata akan sesama menjadikan
kita buta akan Allah.
17. Benar,
tak seorang pun dapat melihat Allah sebagaimana Dia adanya. Namun Allah tidak
sepenuhnya tidak terlihat bagi kita; Dia tidak sama sekali tak terdekati. Allah
telah terlebih dahulu mencintai kita, tulis surat Yohanes (lih 1 Yoh 4,10), dan
kasih Allah ini hadir di tengah kita. Dia menjadi terlihat sebagaimana Dia
"telah mengutus Putera-Nya yang tunggal ke dalam dunia, supaya kita hidup
oleh-Nya" (1 Yoh 4,9). Allah menjadikan diri-Nya sendiri terlihat: dalam
Yesus kita dapat melihat Bapa (lih Yoh 14,9). Dengan demikian, Allah terlihat
hadir dalam berbagai cara. Dalam kisah kasih yang diceriterakan oleh Injil, Dia
datang kepada kita, Dia berupaya meraih hati kita, sampai akhirnya sampai pada Perjamuan
Malam terakhir, sampai hati-Nya tertikam di kayu Salib, sampai pada
penampakan-Nya setelah kebangkitan dan pada perbuatan-perbuatan besar melalui
tindakan para rasul, Dia menuntun Gereja yang baru tumbuh dalam jalan-Nya. Tak
pernah sekali pun Tuhan tidak hadir dalam perjalanan sejarah Gereja: Dia
senantiasa menjumpai kita, dalam pria dan wanita yang hidupnya memancarkan
kehadiran-Nya, dalam sabda-Nya, dalam sakramen-sakramen-Nya, dalam terlebih
dalam Ekaristi. Di dalam liturgi Gereja, dalam doanya, dalam hidup komunitas
umat beriman, kita mengalami kasih Allah, merasakan kehadiran-Nya dan karenanya
kita belajar mengenali kehadiran-Nya di tengah kehidupan kita sehari-hari. Dia
terlebih dahulu mencintai kita dan senantiasa mencintai kita, kita pun, kemudian,
dapat menanggapinya dengan kasih. Allah tidak menuntut kita suatu kasih yang
kita sendiri tidak dapat menghasilkannya. Dia mencintai kita, Dia membuat kita
melihat dan mengalami kasih-Nya, dan karena Dia telah terlebih dahulu mengasihi
kita, maka kasih dapat berbuah sebagai suatu tanggapan kasih dalam diri kita.
Dengan menapaki proses perjumpaan ini, menjadi semakin
jelas bahwa cinta bukan hanya soal perasaan. Perasaan datang dan pergi.
Perasaan dapat menjadi pijar yang mengagumkan, akan tetapi dia bukanlah wujud
kepenuhan kasih. Sebelumnya kita telah berbicara mengenai pemurnian dan
pendewasaan, di mana eros mencapai kepenuhan dirinya, menjadi cinta dalam arti
kepenuhan katanya. Ini adalah tanda cinta yang dewasa, yang mengundang
pewujudan potensi dirinya, melibatkan keseluruhan diri manusia, demikian
dikatakan. Perjumpaan dengan pewujudannyataan secara kelihatan kasih Allah
dapat menumbuhkan dalam diri kita perasaan kegembiraan yang lahir dari
pengalaman dicintai. Namun perjumpaan ini juga melibatkan kehendak dan budi
kita. Pengakuan akan Allah yang hidup adalah sebuah langkah menuju pada kasih,
dan jawaban 'ya' kehendak kita akan kehendak-Nya menyatukan budi, kehendak, dan
perasaan untuk menerima secara penuh tindakan kasih. Akan tetapi proses ini senantiasa
berakhir terbuka; kasih tidak pernah 'berakhir' dan penuh; dalam perjalanan
hidup, dia berubah dan berkembang, dan karenanya senantiasa setia pada dirinya.
Idem velle atque idem nolle - menginginkan yang sama dan menolak yang sama -
dikenali di zaman kuno sebagai muatan otentik cinta: seseorang menjadi semakin
mirip dengan yang lain, dan hal ini menuntun pada persekutuan kehendak dan
pikiran. Kisah kasih antara Allah dengan manusia terletak pada kenyataan bahwa
persekutuan kehendak tumbuh dalam kesatuan pikiran dan perasaan, sehingga
kehendak kita dan kehendak Allah berkembang menyatu: kehendak Allah tidak lagi
asing bagi kehendakku, sesuatu yang dari luar dengan begitu saja tertanam dalam
diriku, dan kini menjadi kehendakku sendiri, hal ini terwujud karena Allah
semakin hadir secara mendalam dalam diriku lebih daripada aku hadir dalam
diriku sendiri . Kemudian penyerahan diri kepada Allah semakin tumbuh dan Allah
menjadi kegembiraanku (lih Mzm 73, 23-28).
18. Kasih
akan sesama sebagaimana dinyatakan dalam pewartaan Injil, oleh Yesus, menjadi
mungkin. Menjadi demikian karena, di dalam Allah dan bersama Allah, saya dapat
mencintai seseorang betapapun dia tidak saya sukai atau saya kenali. Hal ini
hanya dapat terwujud berdasar pada relasi intim dengan Allah, suatu relasi yang
berbuah pada kesatuan kehendak, betapapun hal itu melukai perasaanku sendiri.
Kemudian saya belajar untuk orang lain tidak sekedar dari mata dan perasaanku,
namun dari perspektif Yesus Kristus. Sahabat-Nya adalah sahabatku, Dengan
memandang melampaui penampilan luar, saya menerima dalam diri sesama kehendak
batin akan tanda kasih, akan perhatian. Dengan ini saya dapat memberi mereka
tidak hanya melalui intensi organisatoris akan maksud tujuan tertentu, atau
menerimanya mungkin sebagai kebutuhan politis. Dengan memandang dengan mata
Kristus, saya dapat memberikan kepada sesama lebih banyak daripada apa yang
secara kelihatan dibutuhkannya; saya dapat memberi mereka pandangan kasih yang
mereka butuhkan. Di sini kita melihat suatu kebutuhan akan adanya relasi antara
kasih akan Allah dan kasih akan sesama sebagaimana secara jelas dibicarakan
dalam Surat pertama Yohanes. Jika saya tidak memiliki relasi apapun dengan
Allah dalam diri saya, maka kemudian saya mampu memandang dalam diri sesama
tidak lebih dari dirinya, dan saya tidak memandang dalam dirinya gambaran akan
Allah. Demikian juga jika hidup saya, saya sepenuhnya tidak mampu memperhatian
sesama, hanya secara eksklusif ingin menjadi 'saleh' dan hanya mau menjalani
'kewajiban-kewajiban religius' belaka, maka relasi saya dengan Allah akan
kering dan layu. Itu memang baik, tapi tanpa kasih. Hanya dalam kesediaan untuk
menjalin relasi dengan sesama dan menampakkan kasih kepada mereka kita akan
semakin peka akan Allah. Hanya jika saya melayani sesama mata saya dapat
terbuka akan apa yang Allah kerjakan pada diri saya dan mengenali betapa Dia
begitu mencintai saya. Para kudus - dengan menyadari akan teladan Beata Teresa
dari Calcutta - senantiasa memperbaharui ketersediaan dirinya untuk mengasihi
sesama dalam perjumpaan mereka dengan Tuhan ekaristis, dan sebaliknya
perjumpaan ini semakin membawanya dalam kenyataan dan kedalaman pelayanannya
akan sesama. Kasih akan Allah dan kasih akan sesama dengan demikian tidak
terpisahkan, mereka membentuk satu perintah tunggal. Namun keduanya hidup dari
kasih Allah, yang telah terlebih dahulu mengasihi kita. Dia tidak lagi perintah
yang datang dari sesuatu yang hampa dan mustahil, dari luar, melainkan tumbuh
dari pengalaman rahmat kasih dari batin, kasih yang dari hakekatnya harus
dibagikan kepada sesama. Kasih tumbuh melalui kasih. Kasih adalah 'illahi'
karena datang dari Allah dan menjadikan kita satu dengan Allah; dengan proses
penyatuan ini, dia menjadikan kita sebagai 'kita' , yang mentransendensi keterpisahan
kita dan menjadikan kita satu, sampai akhirnya Allah adalah "semua di
dalam semua" (1 Kor 15,28).
BAGIAN II
CARITAS
TINDAKAN KASIH GEREJA
SEBAGAI PERSAUDARAAN KASIH
Tindakan
karitatif Gereja sebagai pewujudan kasih Trinitaris
19. "Jika kamu melihat kasih, kamu memandang Tritunggal", tulis Santo
Augustinus . Dalam refleksi sebelumnya kita telah meletakkan perhatian kita
akan Dia yang tertikam (lih Yoh 19,37; Zef 12,10), dengan memahami rencana Bapa
yang, terdorong oleh kasih (lih Yoh 3,16), mengutus Putra tunggal terkasih-Nya
ke dalam dunia untuk menebus umat manusia. Dengan wafat di kayu Salib -
sebagaimana Santo Yohanes mengisahkannya kepada kita - Yesus " menyerahkan
roh-Nya" (Yoh 19,30), sebagai persiapan akan tercurahkannya rahmat Roh
Kudus setelah kebangkitan-Nya (lih Yoh 20,22). Hal ini merupakan pemenuhan
janji 'aliran-aliran air hidup' yang akan mengalir dari hati umat beriman,
melalui pencurahan Roh Kudus (lih Yoh 7, 38-39). Roh, kenyataannya, adalah
kuasa batin yang menyatukan hati mereka dengan hati Kristus dan menuntun mereka
untuk mencintai sesamanya sebagaimana Kristus mencintai mereka, ketika Dia
membungkuk untuk membasuh kaki para murid-Nya (lih Yoh 13,1-13) dan terlebih
lagi ketika dia memberikan hidup-Nya bagi kita (lih Yoh 13,1; 15,13).
Roh adalah pula daya kekuatan, yang mengubah hati
persekutuan Gereja, sehingga menjadi tanda kesaksian di hadapan dunia akan
kasih Bapa, yang menghendaki umat manusia membangun satu keluarga di dalam
Putera-Nya. Keseluruhan tindakan Gereja ini merupakan ungkapan kasih, yang
mencari apa yang secara mendasar merupakan sesuatu yang baik bagi umat manusia:
melalui pewartaannya dalam sabda dan sakramen, yang dalam sejarahnya tidak
jarang dijalankan dalam cara yang heroik; melalui upayanya untuk membantu
perkembangan umat manusia dalam berbagai bidang kehidupan dan aktivitas
kemanusiaan. Kasih dengan demikian adalah pelayanan yang dijalani Gereja untuk
senantiasa menjumpai mereka yang menderita dan membutuhkan, termasuk
kebutuhan-kebutuhan material. Aspek inilah, pelayanan kasih, yang ingin saya
titik beratkan dalam bagian kedua ensiklik ini.
Karitas
sebagai tugas Gereja
20. Kasih
akan sesama, yang berakar pada kasih akan Allah, pertama-tama dan pada dasarnya
adalah tugas setiap pribadi umat beriman, akan tetapi adalah pula merupakan
misi seluruh komunitas gerejani di setiap level: dari persekutuan umat beriman
lokal ke Gereja setempat dan pula sampai pada Gereja universal sebagai
keseluruhannya. Sebagai persekutuan umat, Gereja harus mewujudkan kasih. Kasih
membutuhkan suatu penataan, jika dimaksudkan untuk melayani komunitas.
Kesadaran akan misi ini sejak awal memiliki relevansi konstitutif dalam tubuh
Gereja, "Semua orang yang telah menjadi percaya tetap bersatu, dan segala
kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama, dan selalu ada dari mereka yang
menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya kepada semua orang sesuai
dengan keperluan masing-masing" (Kis 2,44-45). Dengannya, Santo Lukas
memberikan suatu bentuk perumusan akan identitas Gereja , yang unsur-unsur
hakikinya mencakup kesetiaan akan 'ajaran para Rasul', 'persekutuan'
(koinonia), 'memecah-mecahkan roti' dan 'doa' (lih Kis 2,42). Unsur
'persekutuan' (koinonia) pada mulanya belum secara jelas terumuskan, namun
tampak secara konkret dalam ayat yang dikutip di atas: bahwa dalam kenyataannya
umat beriman memiliki semua secara bersama, dan di antara mereka tidak ada
pembedaan antara yang kaya dan yang miskin (juga lihat Kis 4,32-37). Ketika
Gereja semakin berkembang, bentuk radikal kebersamaan material tidak dapat lagi
diwujudkan. Akan tetapi inti dasarnya tetap: di dalam komunitas umat beriman
tidak ada ruang bagi kemiskinan, penolakan akan seseorang yang membutuhkan
sesuatu untuk martabat hidupnya.
21. Langkah
penting untuk mencari cara pewujudan prinsip fundamental hidup menggereja ini
digambarkan dalam pemilihan tujuh orang, yang menandai mulainya pelayanan
diakonal (lih Kis 6, 5-6). Dalam Gereja perdana, kenyataannya, dengan mengacu
pada pembagian bagi janda-janda, pembedaan muncul antara umat yang berbahasa
Yahudi dan Yunani. Para Rasul, yang terutama menjalankan tuhas pelayanan dengan
'doa' (Ekaristi dan liturgi) dan 'pelayanan sabda', merasa terlalu terbebani
dengan 'pelayanan sabda', sehingga mereka lalu memutuskan agar mereka
memusatkan pelayanan mereka pada tugas utama mereka dan mendelegasikan tugas
lain, yang juga penting bagi kehidupan Gereja, pada kelompok tujuh orang. Tidak
seorang pun dari kelompok ini menjalankan tugas tersebut hanya dalam pelayanan
secara teknis belaka, sebab mereka adalah orang-orang yang "penuh Roh dan
hikmat" (Kis 6,1-6). Dengan kata lain, pelayanan sosial yang sepenuhnya
adalah tindakan konkret, pada saat yang sama adalah pula suatu pelayanan
rohani; pelayanan mereka merupakan kuasa rohani yang menjalankan tanggungjawab
dasar Gereja, yang adalah pewujudan kasih akan sesama. Dengan pembentukan
kelompok tujuh orang ini, 'diaconi' - pelayanan kasih yang terwujud secara
komuniter, dan tertata - menjadi bagian fundamental dari struktur Gereja.
22. Ketika waktu terus berjalan dan Gereja semakin tersebar, pewujudan karitas
dikenal sebagai aktivitas Gereja yang mendasar, di samping pelayanan sakramen
dan pewartaan sabda: kasih akan janda-janda dan yatim piatu, narapidana, dan
mereka yang sakit dan membutuhkan apapun juga, merupakan sesuatu yang vital
baginya sebagaimana pula pelayanan sakramen dan pewartaan Injil. Gereja tidak
dapat melalaikan pelayanan kasih, sebagaimana pula dia tidak dapat melalaikan
pelayanan sakramen dan sabda. Beberapa acuan cukuplah untuk menunjukkan hal
ini. Yustinus Martir (* sekitar 155) berbicara dalam suatu perayaan hari minggu
umat Kristiani, juga menunjukkan tindakan karitatif mereka terkait dengan
Ekaristi. Mereka yang mampu memberikan persembahan sesuai dengan kemampuan
mereka, seberapapun mereka berikan, dan uskup kemudian menggunakannya untuk
membantu para yatim piatu, janda-janda, mereka yang sakit atau mereka yang
karena kondisi tertentu membutuhkan, seperti misal narapidana dan orang-orang
asing . Penulis besar Kristiani Tertullianus (* setelah 220) menceriterakan
betapa orang-orang tak beriman sangat tersentuh dengan perhatian Kristiani pada
segala orang yang membutuhkan . Dan ketika Ignasius dari Antiochia (* sekitar
117) menggambarkan Gereja Roma sebagai "memimpin dalam kasih (agape)"
, kita dapat menduga bahwa penggambaran ini dalam arti tertentu mengungkapkan
tindakan konkret Gereja akan kasih.
23. Di sini
sangatlah membantu untuk mencermati sekilas struktur legal awal yang terkait
dengan pelayanan kasih di dalam tubuh Gereja. Sampai pada pertengahan abad
keempat kita melihat perkembangan di Mesir akan "diaconia": institusi
dalam setiap biara yang bertanggungjawab akan karya-karya bantuan, yang dapat
dikatakan, bagi pelayanan kasih. Sampai pada abad keenam institusi ini berkembang
dalam suatu badan, yang secara yuridis berdiri sendiri, di mana otoritas sipil
kemudian yang dipercaya untuk menjalankan pembagiannya untuk umum. Di Mesir
tidak hanya tiap biara, akan tetapi setiap keuskupan pada kenyataannya memiliki
diaconia-nya masing-masing; institusi ini kemudian berkambang baik di Timur
maupun di Barat. Paus Gregoris Agung (* 604) memberitakan tentang diaconia di
Napoli, sementara di Roma diaconiae dicatat tumbuh pula di abad 7 dan 8. Akan
tetapi pelayanan karitatif pada mereka yang miskin dan menderita pada dasarnya
telah menjadi bagian utama Gereja Roma sejak awal mulanya, berdasar pada
prinsip hidup Kristiani yang diberikan dalam Kisah para Rasul. Dapat ditemukan
ungkapan yang jelas akan hal ini dalam kasus Diakon Laurensius (* 258). Penuturan
dramatis akan kemartiran Laurensius telah dikenal lewat Santo Ambrosius (* 397)
dan dia memberikan gambaran otentik akannya. Sebagai orang yang
bertanggungjawab untuk memperhatikan orang-orang miskin di Roma, Laurensius,
setelah Paus dan diakon lainnya ditahan, disuruh untuk dalam waktu tertentu
mengumpulkan seluruh harta milik Gereja dan menyerahkannya pada otoritas sipil.
Akan tetapi dia membagi-bagikannya kepada orang-orang miskin apapun yang ada
dan membawa kepada penguasa orang-orang miskin itu sebagai kekayaan Gereja .
Entah seberapa tepatnya data historis dalam kisah tersebut, Laurensius akan
senantiasa menjadi bagian dari kenangan Gereja sebagai tokoh besar pejuang
pelayanan kasih Gereja.
24. Catatan akan kaisar Yulianus Apostatus (* 363) dapat pula dipakai untuk
menunjukkan bagaimana secara mendasar Gereja awal telah mewujudkan secara
tertata praktek karitatif. Sebagai seorang anak berusia 6 tahun, dia telah
menyaksikan pembunuhan ayah, saudara dan anggota keluarga lainnya oleh penjaga
istana; entah benar atau tidak, dia melemparkan tuduhan akan tindakan brutal
ini pada Raja Konstantinus, orang besar yang telah menjadi Kristen. Iman
Kristiani kemudian sepenuhnya baginya terkutuk. Ketika menjadi kaisar, Yulianus
memutuskan untuk memulihkan paganisme, agama Romawi kuno, dengan
memperbaharuinya dengan harapan menjadi sumber kekuatan penyokong
pemerintahannya. Dalam maksud ini dia sepenuhnya terinspirasikan oleh
Kristianisme. Dia membentuk hirarki dari metropolitan dan imam-imam, yang
didorong untuk menumbuhkan kasih akan Allah dan sesama. Dalam salah satu
suratnya , dia menuliskan bahwa satu-satunya unsur dari agama Kristiani yang
mengesan baginya adalah karya karitatif Gereja. Maka dia kemudian memikirkan
bahwa hal itu adalah penting pula bagi agama baru yang dibangunnya lagi,
sehingga di samping sistem karitatif gerejani, karya yang serupa olehnya
dibentuk pula. Menurutnya, karya kasih inilah yang menjadikan alasan mengapa
agama orang Galilea menjadi dikenal luas. Mereka perlu ditiru untuk dikalahkan.
Dengan demikian, jelas kaisar mengakui bahwa karitas adalah ciri yang
menentukan dalam komunitas Kristiani.
25. Sejauh
ini dua fakta penting muncul dalam refleksi kita:
a) Hakekat
terdalam Gereja terwujud alam tiga bidang tugas: pewartaan sabda Allah
(kerygma-martyria), perayaan sakramen-sakramen (leitourgia), dan pewujudan
pelayanan kasih (diakonia). Masing-masing tugas perutusan ini mengandaikan satu
sama lain dan tidak saling terpisahkan. Maka bagi Gereja, karitas bukanlah
bentuk pelayanan sosial, yang dapat dengan begitu saja dilalaikan demi yang
lain, namun merupakan bagain dari hakekat dirinya, ungkapan yang tak
terpisahkan dari keberadaannya .
b) Gereja
adalah keluarga Allah di dunia. Dalam keluarga ini tak seorang pun dapat
dibiarkan tanpa mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Kini pada saat yang sama
caritas- agape berkembang melampauai batas Gereja. Perumpamaan mengenai orang
Samaria yang murah hati tetap merupakan patokan yang mendorong diwujudkannya
kasih universal pada mereka yang membutuhkan, mereka yang kita temukan secara
kebetulan (lih Luk 10,31), siapapun dia. Tanpa dengan cara apapun menarik diri
dari perintah cinta universal ini, Gereja menyatakan tugasnya secara khusus:
jangan sampai di dalam keluarga Gereja ada orang yang mengalami penderitaan
apapun juga. Ajaran dari surat Galatia secara jelas menegaskannya, "Karena
itu, selama masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada
semua orang, tetapi terutama kepada kawan-kawan kita seiman" (Gal 6,10).
Keadilan
dan kasih
26. Sejak
abad 19, gugatan ditujukan pada kegiatan karitatif Gereja, sebagai konsekuensi
dari berkembangnya klaim khas dari Marxisme: orang miskin, yang dinyatakan
tidak membutuhkan kasih, melainkan keadilan. Karya karitatif - derma - tampak
menjadi cara bagi orang-orang kaya untuk pada menghindar dari kewajiban mereka
untuk berkarya bagi keadilan, dan menjadi sarana untuk menenangkan suara hati
mereka, sambil tetap mempertahankan status mereka dan mengambil hak-hak
orang-orang miskin. Lebih daripada terlibat melalui karya-karya kasih
individual yang mempertahankan status quo kita perlu lebih membangun tata
sosial yang adil, di mana semua semua menerima bagian dari harta dunia dan
tidak lagi bergantung pada belas kasih. Memang dapat ditemukan beberapa hal yang
benar dari argumen ini, akan tetapi banyak pula kekeliruannya. Benar bahwa
upaya untuk menegakkan keadilan harus menjadi norma dasar negara dan bahwa
tujuan dari tata sosial yang adil adalah untuk menjamin setiap pribadi, sesuai
prinsip subsidiaritas, agar mendapatkan bagian dari kekayaan masyarakat. Hal
ini senantiasa ditekankan oleh ajaran Gereja mengenai pemerintahan dan ajaran
sosial Gereja. Secara historis, persoalan tata keadilan masyarakat mendapatkan
dimensi baru di tengah industrialisasi masyarakat di abad 19. Tumbuhnya
industri modern menyebabkan struktur sosial lama runtuh, sementara tumbuhnya
kelas pekerja yang bergaji mendorong suatu perubahan radikal dalam struktur
masyarakat. Kaitan antara kapital dan pekerja kini menjadi issu penting - persoalan
yang semula tidak dikenal. Kapital dan sarana-sarana produksi kini menjadi
sumber baru kekuasaan, yang terkonsentrasi di tangan sedikit orang, akhirnya
mengarag pada penindasan hak kelas pekerja, sesuatu yang hendak mereka lawan.
27. Harus
diakui bahwa pimpinan Gereja lambat menyadari bahwa persoalan keadilan
membutuhkan suatu pendekatan baru. Akan tetapi ada beberapa pionir yang muncul,
seperti misal Uskup Ketteler dari Mainz, Jerman (* 1877), dan secara muncul
kebutuhan dengan tumbuhnya berbagai kelompok, asosiasi, liga, federasi, dan
secara khusus, dengan bermunculannya tarekat-tarekat religius baru yang
didirikan di abad 19 untuk melawan kemiskinan, penyakit dan kebutuhan akan
pendidikan yang lebih baik. Di tahun 1891, magisterium kepausan ikut terlibat
dengan ensiklik Rerum Novarum dari Paus Leo XIII. Hal ini kemudian diikuti di
tahun 1931 dengan ensiklik Pius XI, Quadragesimo Anno. Di tahun 1961, Beato
Yohanes XXIII mengeluarkan ensiklik Mater et Magistra, sementara Paulus VI,
dalam ensiklik Populorum Progressio (1967) dan dalam surat apostolis Octogesima
Adveniens (1971), secara jelas menanggapi problem sosial, yang pada saat itu
telah menjadi persoalan akut terutama di Amerika Latin.
Pendahulu saya yang besar, Yohanes Paulus II
meninggalkan kepada kita trilogi ensiklik sosial: Laborem Exercens (1981),
Sollicitudo Rei Socialis (1987) dan akhirnya Centesimus Annus (1991).
Menghadapi situasi dan persoalan-persoalan baru, ajaran sosial Gereja secara
terus-menerus berkembang, dan kini menemukan suatu sajian komprehensifnya dalam
Kompendium Ajaran Sosial Gereja yang diterbtkan di tahun 2004 oleh Dewan
Kepausan Iustitia et Pax. Marxisme memandang revolusi dunia dan apa yang
mengawalinya solusi akan persoalan sosial: revolusi dan yang diikuti dengan kolektivisasi
sarana-sarana produksi, sebagaimana dinyatakannya, dapat dengan segera mengubah
semua menjadi lebih baik. Ilusi semacam ini telah tidak laku. Dalam situasi
kompleks dewasa ini, paling tidak karena berkembangnya globalisasi ekonomi,
ajaran sosial Gereja menjadi suatu kumpulan penuntun langkah yang secara
mendasar memberikan pendekatan yang valid yang melampaui batas Gereja: dalam
menghadapi perkembangan yang terus berjalan orientasi yang disajikannya perlu
digumuli dalam konteks dialog dengan semua orang yang sungguh peduli akan umat
manusia dan dunia tempat kita hidup.
28. Untuk
dapat merumuskan secara lebih tepat kaitan antara kebutuhan komitmen akan
keadilan dan pelayanan kasih, dua situasi mendasar perlu diperhatikan:
a) Tata keadilan dalam masyarakat dan negara merupakan tugas tanggungjawab
utama politik. Sebagaimana pernah dikatakan oleh Augustinus, sebuah negara yang
tidak dipimpin sesuai dengan keadilan hanya akan menjadi kumpulan para pencuri,
"Remota itaque iustitia quid sunt regna nisi magna latrocinia?" .
Yang menjadi sesuatu yang fundamental bagi umat Kristiani adalah pembedaan
antara apa yang milik kaisar dan apa yang milik Tuhan (lih Mat 22,21), dengan
kata lain, pembedaan antara Gereja dan negara, atau, sebagaimana dinyatakan
dalam Konsili Vatikan II, otonomi ruang dunia . Negara tidak dapat mengatur
agama, namun harus menjamin adanya kebebasan beragama dan harmoni antar para
pemeluk agama-agama yang berbeda. Dari sisinya, Gereja, sebagai wujud sosial
iman Kristiani, memiliki indepedensi sepenuhnya dan hal itu distrukturkan
berdasarkan dasar imannya sebagai komunitas yang harus diakui oleh negara.
Keduanya berada dalam dua wilayah yang berbeda, namun toh saling berkaitan satu
sama lain.
Keadilan merupakan baik tujuan maupun kriteria dasariah
semua politik. Politik tidak hanya sekedar suatu mekanisme untuk menetapkan
aturan ruang kehidupan, sebab asal dan tujuannya ditemukan dalam keadilan, yang
dari hakekatnya terkait dengan etika. Negara musti secara tak terelakkan
menghadapi pertanyaan bagaimana keadilan dapat tercapai kini dan di sini. Akan
tetapi hal ini mengantar pada suatu pertanyaan mendasar: apakah keadilan itu?
Ini adalah persoalan penalaran praktis, akan tetapi agar nalar dapat sepenuhnya
bekerja, dia harus senantiasa dimurnikan, sebab dia tidak dapat sepenuhnya
bebas dari bahasa kebutaan etis karena pengaruh bias kekuasaan dan kepentingan
tertentu.
Di sini politik dan iman bertemu. Iman dari hakekat
khasnya adalah perjumpaan dengan Allah yang hidup - sebuah perjumpaan yang membuka
horison baru yang melampaui ruang cakupan akal budi. Maka itu adalah pula suatu
daya yang memurnikan akal budi. Dari sudut pandang Allah, iman membebaskan akal
budi dari situasi kebutaannya dan karenanya membantunya semakin menjadi dirinya
sendiri. Iman memampukan akal budi menjalankan tugasnya secara lebih efektif
dan melihat perkara yang dihadapinya secara lebih jelas. Di sinilah ajaran
sosial Gereja mendapatkan tempatnya: tidak dimaksudkan untuk memberikan ruang
kekuasaan pada Gereja yang melebihi ruang kekuasaan pemerintah. Tidak juga dia
mencoba untuk mempengaruhi mereka yang tidak ambil bagian dalam cara berpikir
dan sikap yang tidak sesuai dengan iman. Tujuannya sangatlah sederhana membantu
untuk memurnikan akal budi dan memberikan sumbangan, kini dan di sini, untuk
mengenali dan mewujudkan apa yang adil.
Ajaran sosial Gereja berargumen berdasarkan nalar dan
hukum kodrat, yaitu berdasarkan apa yang sesuai dengan kodrat setiap umat
manusia. Diakuinya bahwa bukanlah tugas Gereja untuk menjadikan ajarannya
menguasai kehidupan politik. Melainkan, Gereja berharap, untuk membantu
pembentukan nurani dalam kehidupan politik dan memberikan inspirasi bagi
semakin luasnya wawasan yang dibutuhkan untuk mewujudkan keadilan, demikian
pula kesediaan yang lebih besar untuk bertindak secara benar, betapapun hal itu
mungkin membawa pada konflik dengan kepentingan pribadinya. Membangun tata
sosial dan norma yang adil, di mana setiap pribadi menerima apa yang seharusnya
diterimanya, merupakan tugas utama yang setiap generasi harus membangunnya
secara baru. Sebagai suatu tugas politik, ini bukanlah tugas langsung Gereja.
Akan tetapi karena ini adalah pula tugas penting umat manusia, Gereja
berkewajiban untuk memberikan sumbangannya khasnya, melalui pemurnian akal budi
dan pembentukan etika, sehingga tuntutan akan keadilan dipahami dan terwujudkan
secara politis.
Gereja tidak dapat dan tidak harus masuk dalam
pertarungan politik untuk memungkinkan terwujudnya keadilan. Dia tidak dapat
dan tidak harus menggantikan pemerintah. Namun dia pada saat yang sama tidak
dapat dan tidak harus tinggal diam dalam memperjuangkan keadilan. Dia memainkan
perannya melalui argumentasi rasional dan dia menumbuhkan daya rohani yang
tanpanya keadilan, yang senantiasa menuntut pengorbanan, tidak akan dapat
terwujud dan tumbuh dengan baik. Masyarakat yang adil harus dicapai melalui
politik, bukan melalui Akan tetapi perjuangan akan keadilan dalam upayanya agar
berjalan dalam keterbukaan budi dan kehendak akan apa yang dibutuhkan oleh
kepentingan umum adalah sesuatu yang sangat menjadi perhatian Gereja.
b) Kasih
—caritas— akan senantiasa semakin dibutuhkan, walaupun dalam masyarakat yang
paling adil sekalipun. Tidak ada memang tatanan negara yang begitu adil
sehingga dapat menghapuskan kebutuhan akan adanya pelayanan kasih. Namun siapa
saja yang ingin menghapuskan kasih bersiap untuk menghapus pribadi manusia
pula. Senantiasa ada penderitaan yang meneriakkan datangnya penghiburan dan
pertolongan. Senantiasa ada kesepian. Senantiasa ada situasi kebutuhan material
di mana pertolongan dalam bentuk konkret kasih akan sesama sangatlah penting .
Pemerintahan yang menyediakan segalanya, menarik semua ke dalam dirinya,
sepenuhnya hanya menjadi birokrasi, yang tidak mampu menjamin semua hal yang
dibutuhkan mereka menderita, dan bahkan setiap orang, yaitu perhatian kasih
personal. Kita tidak membutuhkan suatu pemerintahan yang mengatur dan
mengontrol segala hal, melainkan sebuah pemerintahan yang, sesuai dengan
prinsip subsidiaritas, dengan besar hati mengakui dan mendukung inisiatif yang
muncul dari berbagai kekuatan sosial yang berbeda serta mampu memadukan
spontanitas dengan kedekatan pada mereka yang membutuhkan. Gereja adalah salah
satu dari kekuatan hidup itu: dia hidup dengan kasih yang terpancar dari Roh
Kristus. Kasih ini tidak sekedar memberikan pada sesama pertolongan material,
namun menguatkan dan memperhatikan jiwa mereka, sesuatu yang tidak jarang jauh
lebih dibutuhkan daripada dukungan material. Akhirnya, pernyataan bahwa
struktur sosial yang adil dapat menjadikan karya-karya karitatif tidak lagi
dibutuhkan menguakkan konsepsi materialistik akan manusia: gagasan keliru bahwa
manusia dapat hidup "hanya dari roti saja" (Mat 4,4; Ul 8,3) - suatu
keyakinan yang merendahkan manusa dan sepenuhnya tidak menghargai segala apa
yang secara khas manusiawi.
29. Kita
kini dapat memastikan secara lebih tepat, dalam kehidupan Gereja, relasi antara
komitmen akan keadilan yang dijalani pemerintah dan masyarakat di satu sisi,
dan kegiatan kasih yang dijalankan secara terorganisatoris di sisi lain. Kita
telah melihat bahwa pembentukan struktur yang adil tidak secara langsung
merupakan tugas Gereja, namun menjadi bagian dari dunia politik, tataran
otonomi pertanggungjawaban akal budi. Gereja memiliki tugas tidak langsung di
sini, yang di dalamnya dia dipanggil untuk memberikan sumbangan bagi pemurnian
akal budi dan pembangkitan daya-daya moral yang tanpanya struktur yang adil
tidak saja tidak dapat dibangun namun pula tidak akan dapat secara efektif
dijalankan.
Sebaliknya yang mengemban tugas untuk secara langsung
berkarya bagi terbangunnya tata masyarakat yang ada sepenuhnya adda pada kaum
awam beriman. Sebagai warga negara, mereka sesuai dengan kapasitas pribadinya
dipanggil untuk ambil bagian dalam kehidupan masyarakat. Maka mereka tidak bisa
menghindar dari keterlibatan "secara berbeda-beda dalam berbagai bidang
ekonomi, sosial, legislatif, administratif maupun budaya, yang dimaksudkan
untuk memperjuangkan kepentingan umum baik secara organikalis maupun institusionalis"
. Tugas perutusan yang diemban umat beriman awam dengan demikian adalah
membangun kehidupan sosial yang baik, yang di dalam menghargai otonomi yang sah
dan dalam kerjasama dengan warga lain seturut kompetensi masing-masing dan
dalam pewujudan tugas tanggungjawab yang dimilikinya . Pun jika pewujudan karya
kasih khas Gereja tidak dapat disamakan dengan aktivitas negara, tetaplah
berlaku benar bahwa kasih harus menjiwai seluruh hidup umat beriman awam, dan
demikian pula keterlibatan politisnya, mewujudkan hidup sebagai 'kasih sosial'.
Organisasi-organisasi karitatif Gereja, di sisi lain,
mewujudkan suatu opus proprium, tugas yang sesuai dengannya, yang di dalamnya
dia tidak bekerjasama secara kolateral, namun berkarya sebagai subjek dalam
tugas tanggungjawabnya secara langsung, menjalankan apa yang sesuai dengan
hakekatnya. Gereja tidak dapat dikecualikan dari karya kasih sebagai
keterlibatan terorganisasi umat beriman, dan di sisi lain, tidak ada situasi di
mana tindakan cintakasih masing-masing umat Kristiani tidak diperlukan, sebab
di mana ada kebutuhan akan keadilan, di situ selalu dibutuhkan pula kasih.
Keberagaman struktur karya pelayanan kasih dalam konteks sosial dewasa ini
30. Sebelum mencoba merumuskan gambaran khas karya Gereja dalam melayani umat
manusia, saya hendak mencoba untuk menyimak secara umum situasi penegakan
keadilan dan kasih di dunia dewasa ini.
a) Kini
sarana komunikasi masa membuat bumi ini menjadi semakin kecil, jarak antara
bangsa dan budaya dengan cepat semakin dipersempit. "Kebersamaan"
yang seperti ini dapat menimbulkan kesalahpahaman dan ketegangan, karenanya
kemampuan kita untuk segera mengenali kebutuhan sesama menantang kita untuk
terlibat dalam situasi dan kesulitan mereka. Di samping kemajuan pesat yang
dibuat oleh ilmu pengetahuan dan teknologi, setiap hari kita menyaksikan betapa
masih banyak penderitaan di tengah dunia ini, akibat adanya berbagai bentuk
kemiskinan, baik material maupun spiritual. Kesediaan baru untuk membantu
sesama yang membutuhkan merupakan panggilan bagi kita dewasa ini. Konsili
Vatikan II membicarakan persoalan ini dengan sangat jelas, "Dewasa ini,
melalui sarana komunikasi yang semakin baik, jarak antar kelompok masyarakat
dapat dikatakan hampir terhapus, pelayanan kasih dapat dan harus menyapa semua
kelompok masyarakat dan semua kebutuhan".
Di sisi lain - di sini kita melihat salah satu
tantangan yang adalah pula sisi positif dari globalisasi - kini tersedia
berbagai sarana pendukung bagi bantuan kemanusiaan pada saudara-saudari kita
yang membutuhkan, paling tidak sistem modern dalam membagikan makanan dan
pakaian, dan dalam menyediakan perumahan dan kesehatan. Perhatian akan sesama
melampaui batas kebangsaan dan horisonnya berkembang luas ke seluruh dunia.
Konsili Vatikan II secara tepat memberikan amatannya, "di antara
tanda-tanda zaman dewasa ini, salah satu yang patut dicatat adalah perkembangan
pesat rasa solidaritas antar kelompok masyarakat" . Badan-badan negara dan
kelompok-kelompok kemanusiaan telah berupaya memperkembangkan dan mewujudkan ini
semua, badan-badan negara dengan melalui pemberian subsidi atau pemotongan
pajak, sedangkan kelompok-kelompok kemanusiaan dengan kemampuannya untuk
mengumpulkan sumber-sumber dana. Solidaritas yang tumbuh dalam masyarakat
sosial ini merupakan tanda nyata dari solidaritas yang ditampakkan oleh
pribadi-pribadi.
b) Situasi
ini membawa pada lahir dan berkembangnya bentuk-bentuk kerjasama antara
badan-banda negara dan Gereja, yang telah membuahkan hasil. Badan-badan Gereja,
dengan cara kerja yang transparan dan kesetiaannya dalam menjalankan tugas
perutusan untuk memberikan kesaksian kasih, dapat pula dengannya
menumbuhkembangkan kualitas Kristiani pada badan-badan sipil, dengan mendorong
adanya saling koordinasi sehingga semakin mengembangkan efektivitas pelayanan
karitatif . Berbagai organisasi-organisasi yang bertujuan karitatif atau
philantropik telah pula dibentuk dan mereka berkehendak untuk menanggapi secara
tepat solusi kemanusiaan akan problem-problem sosial dan politik dewasa ini.
Tanda jelasnya, dewasa ini dapat dilihat tumbuhnya dan tersebarnya berbagai
bentuk kelompok-kelompok relawan, yang bergerak dalam berbagai bentuk pelayanan
. Di sini saya ingin secara khusus memberikan ungkapan terimakasih dan
penghargaan pada mereka yang dengan berbagai cara ambil bagian dalam
kegiatan-kegiatan tersebut. Bagi kaum muda, keterlibatan secara penuh pada
kegiatan ini merupakan suatu sekolah kehidupan yang memberi mereka pendidikan
akan solidaritas dan akan kesiapsediaan memberi pada sesama tidak saja bantuan material
namun pula dirinya sendiri. Budaya kematian yang negatif, yang mewujud antara
lain dalam penggunaan obat, kini dilawan dengan kasih yang tidak mementingkan
diri sendiri yang ditampakkan oleh budaya kehidupan, dalam kesediaan untuk
"kehilangan dirinya sendiri" (lih Luk 17,33 dan pararelnya) bagi
sesama.
Di dalam Gereja Katolik, pun pula dalam Gereja-gereja
dan komunitas Gerejani lainnya, bentuk-bentuk baru pelayanan karitatif
berkembang, sementara yang lain, yang lama menemukan hidup dan daya baru. Dalam
bentuk-bentuk baru ini, tidak jarang memungkinkan untuk membangun kaitan yang
berharga antara evangelisasi dan karya-karya karitatif. Di sini saya ingin
secara jelas menegaskan kembali apa yang telah oleh pendahulu saya yang besar,
Yohanes Paulus II, ditulis dalam ensikliknya Sollicitudo Rei Socialis , ketika
dia menyatakan kesediaan Gereja Katolik untuk bekerjasama dengan badan-badan
karitatif dari Gereja maupun komunitas tersebut, karena kita semua memiliki
motivasi dasar yang sama dan mengarah pada tujuan yang sama: kemanusiaan
sejati, yang mengakui bahwa manusia dicipta seturut gambar Allah dan bermaksud
membantunya untuk hidup dalam cara yang sesuai dengan martabatnya. Ensikliknya
Ut Unum Sint menekankan bahwa pembentukan dunia yang lebih baik menuntut agar
umat Kristiani berbicara dalam satu suara dalam karya-karya yang
terinspirasikan oleh "penghargaan akan hak-hak asasi dan kebutuhan setiap
orang, terlebih yang miskin, rendah dan tak terlindungi" . Di sini saya
ingin menyatakan rasa gembira bahwa permintaan tersebut telah menemukan
tanggapan yang meluas dalam berbagai inisiatif di seluruh kawasan dunia.
Kekhasan
karya kasih Gereja
31.
Berkembangnya organisasi-organisasi berbeda yang terlibat untuk menjawab
berbagai kebutuhan umat manusia pada dasarnya menunjukkan secara tepat
kenyataan perintah kasih akan sesama adalah sesuatu yang ditanamkan oleh
Pencipta di dalam hakekat terdalam manusia. Hal itu adalah pula buah dari
kehadiran Kristianitas di dunia, karena sejak semula Gereja Kristiani secara terus-menerus
menghidupkan dan mewujudkan perintah ini, betapapun tidak jarang hal itu tidak
terlihat jelas di tengah perjalanan waktu. Pembaharuan paganisme yang dicoba
oleh Kaisar Yulianus Apostatus merupakan suatu contoh awal akan hal ini; di
sini kita melihat bagaimana daya Kristiani berkembang meluas melampaui batas
iman Kristiani. Karenanya, menjadi sangat penting bahwa karya kasih Gereja
tetap mempertahankan semua sinar terang keluhurannya dan tidak hanya sekedar
melaksanakan bantuan sosial belaka. Akan tetapi, apakah sebenarnya unsur dasar
dari kasih Kristiani dan Gerejani?
a) Mengikuti
contoh yang diberikan dalam perumpamaan tentang Orang Samaria yang murah hati,
kasih Kristiani terutama adalah tanggapan seketika akan kebutuhan langsung dan
akan situasi-situasi tertentu: memberi makan mereka yang lapar, memberi pakaian
mereka yang telanjang, merawat dan menyembuhkan yang sakit, mengunjungi mereka
yang berada dalam penjara, dan seterusnya. Organisasi-organisasi karitatif
Gereja, dimulai dengan Caritas (baik di tingkat keuskupan, nasional maupun
internasional), harus melakukan dengan segala upaya dan daya untuk menyediakan
sumber dana, namun terlebih personal yang dibutuhkan bagi karya tersebut.
Pribadi-pribadi yang terlibat dalam karya pada mereka yang membutuhkan itu
harus memiliki kompetensi profesional: mereka telah terlatih sehingga tahu apa
yang harus dibuat dan bagaimana menjalankannya, serta setia dalam komitmen
untuk terus melayani. Namun, betapapun kompetensi profesional sesuatu yang
utama dan mendasar, hanya dengan itu saja tidaklah cukup. Kita berhadapan
dengan pribadi manusia, dan pribadi manusia senantiasa membutuhkan sesuatu
lebih daripada sekedar pelayanan teknis. Mereka membutuhkan kemanusiaan. Mereka
membutuhkan perhatian penuh kasih. Mereka yang bekerja bagi organisasi
pelayanan kasih Gereja harus pula memiliki tanda nyata bahwa mereka tidak hanya
begitu saja melayani sesama yang membutuhkan secara instans, namun
mendedikasikan dirinya bagi sesama dengan perhatian kasih, sehingga menjadikan
mereka mampu mengalami kekayaan kemanusiaan mereka yang dilayaninya.
Konsekuensinya, perlu ditambahkan dalam persyarakat profesionalitas ini,
pelayan kasih membutuhkan "pendidikan hati": mereka perlu dituntun
untuk berjumpa dengan Allah di dalam Kristus, yang telah menumbuhkan kasih
dalam diri mereka dan membuka hati mereka akan sesama. Kasih akan sesama bagi
mereka, dengan demikian, tidak lagi suatu perintah yang tertanam dari luar,
demikian bisa dikatakan, namun sebagai suatu konsekuensi yang tumbuh dari iman
mereka, iman yang menjadi nyata melalui kasih (lih. Gal 5,6).
b) Karya
kasih Kristiani harus bebas dari partai dan ideologi. Karya kasih bukanlah
sarana untuk secara ideologis mau mengubah dunia, dan tidak pula melayani
kepentingan strategis dunia, namun suatu tanda yang menghadirkan kini dan di
sini kasih yang dibutuhkan umat manusia. Abad modern, terlebih sejak abad 19,
didominasi oleh berbagai versi filsafat perkembangan, yang bentuknya yang
paling radikal adalah Marxisme. Salah satu bagian dari strategi Marxisme adalah
teori pemiskinan: dalam situasi ketidakadilan kekuasaan, demikian
dinyatakannya, setiap orang yang terlibat dalam tindakan karitatif pada
dasarnya melayani sistem yang tidak adil, sebagaimana hal itu tampak paling
tidak sampai pada beberapa wujud yang masih dapat ditolerir. Hal ini perlahan
menggerakkan suatu kemungkinan adanya revolusi, dan karenanya malahan
menghalangi upaya perjuangan bagi dunia yang lebih baik. Tampak dalam cara ini,
kasih ditolak dan dituduh sebagai sarana untuk melanggengkan status quo. Akan
tetapi apa yang ada di sini, sepenuhnya adalah filsafat yang tak manusiawi.
Orang-orang dewasa ini dikorbankan demi suatu moloch masa depan - masa depan
yang pewujudannya secara efektif sangat diragukan. Seseorang tidak dapat
membangun dunia menjadi semakin manusiawi dengan menolak tindakan manusiawi
kini dan di sini. Kita memberikan sumbangan bagi dunia yang lebih baik hanya
dengan secara personal dan konkret berbuat baik, dengan komitmen sungguh, dan
kapanpun juga ada kesempatan untuk itu, bebas dari strategi dan program
partisan. Program Kristiani - adalah program Orang Samaria yang murah hati,
yang tak lain adalah program Yesus - adalah "hati yang mencari". Hati
mencari di mana kasih dibutuhkan dan diwujudkan di dalamnya. Tentu saja, ketika
karya karitatif dijalankan oleh Gereja sebagai inisiatif komunitarian,
spontanitas pribadi harus dipadukan dengan rencana, antisipasi dan kerjasama
dengan lembaga-lembaga serupa lainnya.
c) Kasih,
lebih lanjut, tidak dapat digunakan sebagai sarana yang terkait dengan akan apa
yang dewasa ini disadari sebagai proselitisme. Kasih itu bebas, tidak dibuat
sebagai cara untuk menggapai tujuan lain . Akan tetapi hal itu tidak berarti
bahwa karya kasih dengan berbagai cara dapat menanggalkan Allah dan Kristus.
Senantiasa perhatian akan umat manusia lah yang bekerja dalam karya kasih. Dan
tidak jarang akar terdalam dari penderitaan adalah ketidakhadiran Allah. Mereka
yang menjalankan karya kasih atas nama Gereja jangan sampai tidak mencoba untuk
menanamkan iman Gereja pada sesama. Mereka menyadari bahwa kasih sejati dan
cuma-cuma adalah kesaksian terbaik akan Allah, yang di dalamnya kita percaya
dan olehnya kita didorong untuk mengasihi. Orang Kristiani tahu kapan waktunya
berbicara tentang Allah, dan kapan waktu untuk lebih baik tidak berkata apa-apa
serta membiarkan kasih itu sendiri yang berbicara. Dia tahu bahwa Allah adalah
kasih (lih 1 Yoh 4,8) dan kehadiran Allah dirasakan jika satu-satunya yang
dibuat hanyalah kasih. Dia tahu - kembali pada pertanyaan yang muncul
sebelumnya - bahwa penyangkalan akan kasih adalah penyangkalan akan Allah, dan
pun akan manusia; dia mencoba melakukan sesuatu tanpa Allah. Konsekuensinya,
pembelaan terbaik akan Allah dan manusia terletak persis di dalam kasih. Maka
adalah tugas tanggungjawab badan pelayanan kasih Gereja untuk menumbuhkan
kembali kesadaran ini pada para anggotanya, sehingga mereka dalam
aktivitas-aktivitas mereka - baik dalam kata-kata, maupun dalam diam, dalam
tindakan nyata - mereka menjadi saksi Kristus yang terpercaya.
Mereka yang bertanggungjawab akan pelayanan kasih Gereja
32.
Akhirnya, kita harus memberikan sorotan sekali lagi pada mereka yang
bertanggungjawab menjalankan tugas pelayanan kasih Gereja. Sebagaimana jelas
dalam refleksi saya sebelumnya, bahwa subjek sesungguhnya dari berbagai
organisasi Gereja yang mengemban tugas pelayanan kasih adalah Gereja sendiri -
di segala tingkatnya, dari paroki, melalui Gereja setempat dan sampai pada
Gereja universal. Dengan alasan ini maka merupakan sesuatu yang sangat tepat
kalau pendahulu saya yang terhormat Paulus VI mendirikan Dewan Kepausan Cor
Unum sebagai badan kepausan yang bertanggungjawab akan orientasi dan koordinasi
organisasi-organisasi dan kegiatan-kegiatan karitatif yang dijalankan oleh
Gereja Katolik. Sesuai dengan struktur keuskupan Gereja, para uskup, sebagai
pengganti para Rasul, memegang tanggungjawab utama untuk mewujudkan dalam
Gereja-Gereja setempat program yang ditetapkan dalam Kisah para Rasul (lih
2,42-44): kini sebagaimana dulu, Gereja sebagai keluarga Allah harus menjadi
tempat di mana bantuan diberikan dan diterima, dan pada saat yang sama, menjadi
tempat menjadi tempat di mana orang-orang disiapkan melayani mereka, betapapun
berada di luar Gereja, yang membutuhkan pertolongan. Dalam ritus tahbisan
uskup, sebelum bagian pentahbisan, calon harus menjawab beberapa pertanyaan
yang menggambarkan unsur-unsur mendasar jabatannya dan mengingatkan akan tugas
tanggungjawab pelayanannya nanti. Dia mengungkapkan janji juga untuk, dalam
nama Tuhan, menerima dan mengasihi mereka yang miskin dan mereka yang
membutuhkan penghiburan dan pertolongan . Kitab Hukum Kanonik, dalam kanon
tentang pelayanan uskup, tidak secara jelas menyebut kasih sebagai bagian
khusus dari tugas uskup, namun lebih bicara secara umum tentang tanggungjawab
uskup untuk mengkoordinasi berbagai karya-karya pastoral sesuai dengan karakter
yang melekat padanya . Belum lama ini Direktorium Pelayanan Pastoral Para Uskup
mengungkapkan secara khusus pelayanan kasih sebagai tugas yang melekat pada
jati diri seluruh Gereja dan pada masing-masing Uskup di keuskupannya , dan
menekankan bahwa pewujudan kasih pada dirinya sendiri merupakan tindakan
Gereja, dan bahwa, sebagaimana pelayanan Sabda dan Sakramen, sejak semula
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tugas pelayanan Gereja .
33. Terkait dengan personil yang secara praktis menjalankan tugas pelayanan
kasih Gereja, hal pokok telah dikatakan: mereka jangan mendapatkan inspirasi
dari ideologi-ideologi yang bermaksud mau memperbaiki dunia, melainkan harus
lebih dibimbing oleh iman yang bekerja dalam kasih (lih Gal 5,6).
Konsekuensinya, lebih daripada yang lain, mereka harus menjadi pribadi yang
digerakkan oleh kasih Kristus, pribadi-pribadi yang hatinya telah dikuasai oleh
Kristus dengan cinta-Nya, sehingga tumbuh dengannya kasih akan sesama. Kriteria
yang menjadi inspirasi kegiatan mereka haruslah adalah pernyataan Santo Paulus
dalam surat keduanya kepada umat di Korintus, "Kasih Kristus menguasai
kami" (2 Kor 5,14). Kesadaran bahwa, di dalam Kristus, Allah memberikan
diri-Nya sampai mati kepada kita, harus menjadi inspirasi bagi kita untuk hidup
tidak lagi bagi diri kita sendiri, melainkan bagi Dia, dan di dalam Dia, bagi
sesama. Siapa saja yang mencintai Kristus pasti mencintai Gereja, dan
menghendaki Gereja menjadi semakin berkembang sebagai gambaran dan sarana kasih
yang mengalir dari Kristus. Mereka yang berkarya bagi organisasi-organisasi
karitatif Gereja senantiasa ingin bekerja bersama Gereja, dan karenanya dengan
Uskup, sehingga kasih Allah dapat tersebar ke seluruh penjuru dunia. Dengan
ikut serta dalam tindakan kasih Gereja, mereka ingin menjadi saksi Allah dan
saksi Kristus, dan mereka menginginkan itu untuk sepenuhnya secara berbuat
segala hal yang baik bagi semua.
34.
Keterbukaan batiniah akan dimensi katolisitas Gereja mendorong para pelayan
kasih untuk bekerja dalam kesatupaduan dengan organisasi-organisasi lainnya
dalam melayani berbagai bentuk kebutuhan, akan tetapi di dalamnya tetap perlu
ada penghargaan akan apa yang menjadi ciri menentukan akan pelayanan yang
dimintakan Kristus dari para murid-Nya. Santo Paulus, dalam kidung kasihnya
(lih 1 Kor 13) mengajarkan kepada kita bahwa kasih lebih daripada sekedar suatu
aktivitas, "Sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku,
bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai
kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku" (1 Kor 13,3). Kidung
tersebut merupakan suatu Magna Charta bagi semua pelayanan gerejani; karena itu
menyimpulkan semua refleksi tentang kasih yang saya paparkan dalam ensiklik
ini. Aktivitas praktis tidak akan menjadi penuh, jika tidak secara nyata
mengungkapkan kasih akan manusia, sebuah kasih yang bersumber pada perjumpaan
dengan Kristus. Tindakan terdalam diri saya untuk ambil bagian pada kebutuhan
dan penderitaan sesama menjadi suatu wujud ambil bagian keseluruhan diri saya
dengan mereka: agar pemberian saya tidak merendahkan, saya harus memberikan
kepada sesama tidak saja sesuatu yang dari milik saya, namun memberikan diri
saya sendiri; Saya harus secara personal hadir dalam apa yang saya berikan.
35. Cara
tepat dalam melayani sesama seperti ini akan membawa pada kerendahan hati.
Seseorang yang melayani tidak melihat dirinya lebih daripada mereka yang dilayani,
betapapun secara menyedihkan hal ini suatu ketika bisa terjadi. Kristus
mengambil tempat yang paling hina di dunia - salib - dan dengan kerendahan hati
yang radikal ini Dia menebus kita dan senantiasa hadir untuk membantu kita.
Seseorang yang berada dalam posisi menolong sesama perlu menyadari bahwa dengan
memberi dia sendiri menerima; ketersediaan untuk melayani sesama bukanlah untuk
keuntungan atau kebanggaan diri sendiri. Tugas tanggungjawab ini adalah rahmat.
Semakin kita melakukannya untuk sesama, semakin kita memahami dan dapat
meresapkan kata-kata Kristus, "Kami ini adalah hamba-hamba yang tidak
berguna" (Luk 17,10). Kita mengakui bahwa kita bertindak tidak berdasarkan
superioritas atau bayangan diri lebih besar, namun karena Allah secara cuma-cuma
telah memampukan kita untuk melakukan itu. Beberapa kali terjadi ketika
kebutuhan begitu membengkak sementara kita memiliki keterbatasan untuk
menanggapinya bisa jadi lalu kita menjadi patah semangat. Akan tetapi kemudian
kita terbantu dengan memahami bahwa, akhirnya, kita hanyalah alat di tangan
Tuhan; dan kesadaran ini membebaskan kita dari pikiran yang menganggap bahwa
kita sendiri bertanggungjawab akan terwujudnya dunia yang lebih baik. Dengan
segala kerendahan hati kita mempercayakan hasilnya kepada Tuhan. Allah yang
mengatur, dan bukan kita. Kita mempersembahkan kepada-Nya pelayanan kita hanya
sejauh kita mampu, dan sejauh Dia memberi kita daya kekuatan. Melakukan segala
apa yang kita dapat lakukan dengan daya kekuatan yang ada pada diri kita, adalah
tugas pelayanan yang menjadikan hamba setia Yesus Kristus senantiasa saat
berkarya mengingat, "Kasih Kristus yang menguasai kami" (2 Kor 5,14).
36. Kalau kita menyadari akan begitu besarnya kebutuhan sesama, kita dapat, di
satu pihak, berpaling pada ideologi yang bertujuan untuk mewujudkan apa yang
dianggap tidak dapat ditangani oleh kuasa Allah di dunia ini: sepenuhnya
memecahkan setiap problem. Atau kita dapat tergoda untuk mengambil sikap pasif,
tidak peduli, karena terlihat dalam semuanya tidak ada yang dapat dicapai. Pada
saat seperti ini, suatu relasi yang hidup dengan Kristus adalah mutlak agar
kita dapat senantiasa berada pada jalan yang benar, tanpa terjebak jatuh ke
dalam kesombongan yang menghancurkan diri, sesuatu yang tidak saja tidak membantu
namun pula sebenarnya destruktif, atau menyerah dengan menarik diri yang
menjadikan kita tidak mau dibimbing oleh kasih untuk melayani sesama. Doa,
sebagai sarana untuk menimba daya kekuatan baru dari Kristus, lalu secara
konkret dan mendesak dibutuhkan. Mereka yang berdoa tidaklah membuang-buang
waktu mereka, betapapun mungkin situasi terlihat mendesak dan sepertinya hanya
memanggil untuk bertindak. Kesalehan tidaklah memperlemah perjuangan melawan
kemiskinan sesama kita, seberapapun ekstremnya. Dari teladan Ibu Teresa kita
mendapatkan suatu gambaran yang jelas bahwa waktu yang dikhusukan bagi Allah
dalam doa tidak hanya tidak menjauhkan kita dari pelayanan kasih akan sesama
yang berguna, namun kenyataannya merupakan sumber bagi pelayanan yang tiada pernah
habis mengalir. Dalam surat Prapaskanya di tahun 1996, Beata Teresa menulis
pada para rekan kerja awamnya, "Kita membutuhkan relasi mendalam dengan
Allah dalam hidup kita sehari-hari. Bagaimana kita dapat memenuhinya? Dengan
doa!".
37. Kinilah
saatnya untuk menegaskan kembali pentingnya doa di tengah kenyataan aktivisme
dan berkembangnya sekularisme di kalangan umat Kristiani yang terlibat dalam
karya karitatif. Jelas, doa umat Kristiani tidak dimaksudkan untuk mengubah
rencana Allah atau mengoreksinya apa yang telah ditetapkan-Nya. Lebih daripada
itu, dia membangun relasi dengan Bapa Yesus Kristus dan memohon agar Allah
hadir dalam bimbingan penghiburan Roh Kudus dalam dirinya dan karyanya. Suatu
relasi pribadi dengan Allah dan penanggalan kehendak dirinya dapat mencegah
seseorang menjadi tidak berharga dan menyelamatkannya agar tidak jatuh menjadi
kurban ajaran yang menumbuhkan fanatisme dan terorisme. Sikap religius yang
otentik mencegah seseorang mengangkat diri menjadi hakim untuk mengadili Allah,
menuduh-Nya membiarkan kemiskinan dan gagal menyatakan belarasanya pada
ciptaan-Nya. Kalau orang-orang bermaksud memperkarakan Allah untuk membela
manusia, kepada siapa mereka bergantung ketika aktivitas manusia tidak lagi
berdaya?
38. Benar,
Ayub berkeluh-kesah di hadapan Allah tentang adanya penderitaan di dunia yang
tak terpahami dan terasa pula tidak adil. Dalam keterlukaannya dia berteriak,
"Ah, semoga aku tahu mendapatkan Dia, dan boleh datang ke tempat Dia
bersemayam. ... Maka aku akan mengetahui jawaban-jawaban yang diberikan-Nya
kepadaku. Sudikah Dia mengadakan perkara dengan aku dalam kemahakuasaan-Nya?
... Itulah sebabnya hatiku gemetar menghadapi Dia, kalau semuanya itu
kubayangkan, maka aku ketakutan terhadap Dia. Allah telah membuat aku putus
asa, Yang Mahakuasa telah membuat hatiku gemetar" (Ayb 23,3.5-6.15-16).
Sering kita tidak dapat memahami mengapa Allah seakan menolak untuk campur
tangan. Namun Dia tidak melarang kita untuk berteriak, sebagaimana Yesus
berseru dari atas kayu Salib, "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau
meninggalkan Aku?" (Mat 27, 46). Kita dapat melanjutkan mengajukan gugatan
semacam ini ke hadapan-Nya dalam dialog bersuasanakan doa, "Berapa lama
lagi, yang Penguasa yang kudus dan benar?" (Why 6,10). Adalah Santo
Augustinus yang memberi kita jawaban iman akan penderitaan kita, “Si
comprehendis, non est Deus”—”Kalau kamu memahaminya, Dia bukanlah Allah" .
Ungkapan gugatan kita tidaklah untuk menantang Allah, atau untuk menyatakan
bahwa kesalahan, kelemahan atau ketidakpedulian ada pada-Nya. Bagi umat
beriman, adalah mustahil membayangkan bahwa Allah itu tidak berdaya atau
"barangkali ia tidur" (lih 1 Raj 18,27). Sebaliknya, seruan kita
adalah, sebagaimana pada Yesus di kayu Salib, ungkapan peneguhan iman yang
paling dalam dan radikal di hadapan kemuliaan kuasa-Nya. Malahan dalam
kebingungan serta kegagalan untuk memahami dunia di sekitarnya, umat Kristiani
terus senantiasa percaya bahwa "nyata kemurahan Allah dan kasih-Nya kepada
manusia" (Tit 3,4). Kg 18:27). Betapapun sebagaimana setiap orang yang
lain tenggelam dalam rangkaian kompleksitas peristiwa historis yang dramatis,
mereka tetap kukuh dalam iman bahwa Allah adalah Bapa kita dan Dia mencintai
kita, pun saat Dia secara tak terselami tinggal diam.
39. Iman,
harapan dan cintakasih ada bersama. Harapan diwujudkan melalui keutamaan
kesabaran, yang terus berbuat baik pun saat kegagalan jelas dihadapi, dan
melalui keutamaan kerendahan hati, yang menerima misteri Allah dan percaya
penuh pada-Nya pun di saat kegelapan. Iman menunjukkan kepada kita bahwa Allah
telah memberikan Putra-Nya demi keselamatan kita dan memberi kita keyakinan
yang tak terkalahkan bahwa sungguh benar: Allah adalah kasih! Hal itu akan
mengubah ketidaksabaran dan keraguan kita menuju pada harapan pasti bahwa dunia
berada di tangan Allah dan bahwa, sebagaimana gambaran dramatisnya
diperlihatkan di bagian akhir kitab Wahyu, Dia sepenuhnya mengalahkan segala
kegelapan yang ada dalam kemenangan mulia. Iman, yang melihat kasih Allah
ternyatakan di dalam hati Yesus yang tertikam di Salib, menumbuhkan kasih.
Kasih adalah cahaya - dan pada akhirnya, hanyalah satu-satunya terang - yang
dapat menerangi dunia yang tumbuh dalam kegelapan, dan memberi kita daya
kekuatan yang dibutuhkan agar kasih tetap hidup dan bekerja. Kasih adalah
sesuatu yang mungkin, dan kita dapat mewujudkannya karena kita diciptakan dalam
gambar Allah. Mengalami kasih dan dengan demikian membawakan terang Allah ke
tengah dunia, adalah undangan yang saya sampaikan untuk semakin disebarkan
dengan hadirnya ensiklik ini.
KESIMPULAN
40. Akhirnya, marilah kita mengenang para kudus, yang mewujudkan kasih dengan
cara yang istimewa. Kenangan kita secara khusus terarah pada Martinus dari
Tours († 397), prajurit yang menjadi rahib dan uskup: dia hampir seperti sebuah
ikon, gambaran akan kesaksian kasih pribadi yang nilainya tak tergantikan. Di
pintu gerbang Amiens, Martinus membagi dua mantelnya dan memberikannya pada
seorang miskin: Yesus sendiri, yang pada malam itu menampakkan diri kepadanya
dalam mimpi dengan mengenakan mantel tersebut. Hal itu menegaskan kebenaran
abadi dari apa yang dikatakan dalam Injil, "Ketika Aku telanjang, kamu
memberi Aku pakaian ... segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang
saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku" (Mat
25, 36.40) . Dalam sejarah Gereja, ada begitu banyak kesaksian lain yang bisa
dikutip! Secara khusus, keseluruhan gerakan monastik, dari awal mulanya dari
Santo Antonius Abbas (* 356), menggambarkan kekayaan pelayanan kasih akan sesama
yang mengagumkan. Dalam perjumpaan "dari wajah ke wajah" dengan
Allah, yang adalah kasih, para rahib merasakan dorongan panggilan untuk
mengubah seluruh hidupnya untuk melayani sesama, untuk melengkapi pengabdiannya
pada Allah. Hal ini menjelaskan adanya tekanan besar akan hospitalitas,
penampungan dan perawatan mereka yang sakit di lingkungan sekitar biara. Hal
itu menerangkan pula akan tidak terhitungnya inisiatif akan pertumbuhan manusia
dan pendidikan Kristiani, yang tertuju pada mereka yang sangat miskin, yang
sebelumnya menjadi tujuan pelayanan ordo monastik dan mendikans, dan kemudian
melalui berbagai tarekat religius pria dan wanita di sepanjang perjalanan
sejarah Gereja. Tokoh-tokoh para kudus seperti Fransiskus Assisi, Ignasius
Loyola, Yohanes dari Tuhan, Camillus Lellis, Vincentius de Paulo, Louise de
Marillac, Guiseppe B. Cottolengo, Yohanes Bosko, Luigi Orione, Teresa dari
Calcutta untuk menyebut beberapa - adalah teladan-teladan yang mengagumkan akan
cintakasih pada semua orang yang berkehendak baik. Para kudus tersebut adalah
benar-benar pembawa cahaya di tengah sejarah, sebab mereka adalah pria dan
wanita dalam iman, harapan dan kasih.
41. Yang
paling utama dari kalangan para kudus adalah Maria, Bunda Tuhan dan cermin
segala kesucian. Dalam Injil Lukas kita temukan dia terlibat dalam pelayanan
kasih pada sepupunya, Elisabeth, yang tinggal bersamanya "kira-kira tiga
bulan lamanya" (Luk 1,56) untuk membantunya di masa-masa akhir
kehamilannya. “Magnificat anima mea Dominum”, dia mengatakannya dalam kunjungan
itu, "Jiwaku memuliakan Tuhan" (Luk 1,46). Dengan ungkapan ini dia
menyatakan keseluruhan program hidupnya: tidak meletakkan dirinya di pusat,
namun memberikan tempat bagi Allah, yang dijumpainya baik dalam doa maupun
dalam pelayanan kepada sesama - sebab hanya dengannya dunia menjadi lebih baik.
Kebesaran Maria terletak dalam kenyataan bahwa dia menginginkan kemuliaan
Allah, bukan dirinya. Dia rendah hati: hanya ingin menjadi hamba Tuhan (lih Luk
1,38. 48). Dia tahu bahwa dia ikut ambil bagian dalam keselamatan dunia, jika,
lebih daripada membawa keinginannya sendiri, namun menempatkan diri sepenuhnya
berada dalam kuasa kehendak Allah. Maria adalah perempuan harapan: sebab dia
hanya dalam percaya akan janji Allah dan menanti keselamatan Israel, Malaikat
dapat mengunjunginya dan menyatakan panggilan akan pelayanan menentikan bagi
pewujudan janji tersebut. Maria adalah perempuan beriman: "Berbahagialah
dia yang percaya", demikian dikatakan Elisabeth padanya (lih Luk 1,45).
Magnificat - yang adalah sebuah gambaran, bisa dikatakan demikian, jiwanya -
sepenuhnya tertenun dari rajutan Kitab Suci, rajutan yang berasal dari Sabda
Allah. Di sini kita melihat betapa dia di rumah sepenuhnya tinggal bersama
sabda Allah, dengan mudah dia masuk dan keluar darinya. Dia berbicara dan
berpikir dengan Sabda Allah; sabda Allah menjadi baginya sabdanya, dan sabdanya
bersumber dari Sabda Allah. Di sini kita melihat betapa pikirannya telah
menyatu dengan pikiran Allah, betapa kehendaknya menjadi satu dengan kehendak
Allah. Karena Maria sepenuhnya dipenuhi dengan Sabda Allah, maka dia layak
menjadi Ibu dari Sabda yang Menjelma. Akhirnya, Maria adalah perempuan yang
mencintai. Bagaimana mungkin dia menjadi berbeda dari lain? Sebagai orang
beriman yang dalam iman berpikir dalam pikiran Allah dan berkehendak dalam
kehendak Allah, dia hanya dapat menjadi perempuan yang mengasihi. Kita
merasakan ini dalam sikapnya yang lembut-tenang, sebagaimana diberitakan dalam
kisah kanak-kanak Yesus dalam Injil. Kita menemukannya hal ini secara lebih
jelas saat dia mengetahui apa yang dibutuhkan mempelai di Kana dan
memberitahukannya kepada Yesus. Kita mengenalinya dalam kerendahan hati yang
ditampakkannya dengan menarik diri selama kehidupan publik Yesus, saat
mengetahui bahwa Putera akan membangun keluarga baru dan bahwa saat Maria yang
terwujud hanya dengan Salib, yang adalah saat Yesus yang sebenarnya (lih Yoh
2,4; 23,1). Ketika para murid lari, Maria tetap tinggal di bawah Salib (lih Yoh
19,25-27); kemudian, saat Pentakosta, mereka berkumpul di sekitarnya menantikan
datangnya Roh Kudus (lih Kis 1,14).
42.
Kehidupan para kudus tidak terbatasi pada biografi selama masa hidup mereka,
namun pula termasuk kehadiran dan karya mereka di dalam Allah setelah kematian.
Dalam para kudus ssatu hal menjadi pasti: mereka yang mendekat pada Allah tidak
ditarik dari manusia, namun menjadi semakin sepenuhnya bersatu dengannya.
Tentang ini kita tidak menemukan fakta yang sangat jelas dari pada yang terjadi
dalam diri Maria. Kata-kata yang dinyatakan oleh Tuhan yang tersalib pada
muridnya - pada Yohanes dan dengannya pada semua murid Yesus, "Inilah
ibumu!" (Yoh 19,27) - senantiasa terwujud secara baru dalam setiap
generasi. Maria sungguh adalah bunda umat beriman. Pria dan wanita di setiap masa
dan dari segala tempat datang pada kemurahan hati bundawinya dan pada
keperawanan murni dan suci dalam dirinya, menyampaikan semua kebutuhan dan
keinginan, kegembiraan dan kepedihan, saat-saat kesepian maupun kebersamaan
yang dialaminya. Mereka senantiasa mengalami kebaikan dan kasihnya yang tak
pernah gagal, yang dialirkannya dari kedalaman hatinya. Kesaksian penuh rasa
syukur dari semua benua dan budaya yang selalu dinyatakan padanya merupakan
suatu pengakuan akan kasih murni yang tidak mencari dirinya sendiri namun
senantiasa mau memberi. Pada saat yang sama, devosi umat beriman menunjukkan
suatu intuisi yang tidak pernah bisa salah akan betapa mungkin kasih semacam
itu mungkin: karena itu adalah buah dari relasi paling mendalam dengan Allah,
yang dengannya jiwa sepenuhnya memandang-Nya - suatu kondisi yang memampuan
mereka, yang minum dari sumur kasih Allah menjadi karenanya sumur yang darinya
"mengalir aliran-aliran air hidup" (Yoh 7, 38). Maria, Perawan dan
Bunda, menunjukkan kepada kita apakah kasih itu dan dari mana berasal dan
menemukan daya uang senantiasa memperbaharuinya. Maka kepadanya kita percayakan
Gereja dan tugas perutusannya akan pelayanan kasih:
Santa Maria,
Bunda Allah,
engkau telah
membawakan ke dunia cahaya sejati,
Yesus,
Puteramu - Putera Allah.
Engkau telah
sepenuhnya menanggalkan dirimu
memberikan
diri sepenuhnya pada panggilan Allah
dan
karenanya engkau menjadi sumber kebaikan yang mengalir dari-Nya
Tunjukkanlah
Yesus kepada kami, bimbing kami pada-Nya
Ajarilah
kami untuk mengenali dan mencintai-Nya,
sehingga
kami pun mampu menjadi
kasih sejati
dan sumber air kehidupan
di tengah
kehausan dunia ini.
Diberikan di
Roma, di Basilika Santo Petrus, pada tanggal 25 Desember, Hari Raya Kelahiran
Tuhan, pada tahun 2005, tahun pertama masa kepausan saya.
BENEDICTUS
PP. XVI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar