CANTESIMUS ANNUS - ULANG TAHUN KE SERATUS
ENSIKLIK
PAUS YOHANES PAULUS II
“CENTESIMUS ANNUS”
(ULANG TAHUN KE SERATUS)
KENANGAN ULANG TAHUN KESERATUS
ENSIKLIK “RERUM NOVARUM”
KEPADA
SAUDARA-SAUDARA YANG TERHORMAT DALAM EPISKOPAT KEPADA KAUM ROHANIWAN DAN
TAREKAT-TAREKAT RELIGIUS KEPADA UMAT BERIMAN DALAM GEREJA KATOLIK DAN KEPADA
SEMUA ORANG YANG BERTINDAK BAIK.
Saudara-saudara yang
Terhormat, Para Putera-Puteri yang terkasih, Salam Sejahtera dan Berkat
Apostolik.
1. ULANG TAHUN KESERATUS diumumkannya Ensiklik, yang
diawali dengan kata-kata ”Rerum Novarum”[1], oleh Pendahulu kami Paus Leo XIII
yang dikenang penuh hormat, mempunyai makna penting sekali dalam sejarah Gereja
pun juga di masa Kepausan kami sekarang. Keistimewaannya ialah, bahwa
Ensiklik itu telah dikenang melalui dokumen-dokumen resmi para Paus sejak ulang
tahunnya yang keempat puluh hingga yang kesembilan puluh. Dapat dikatakan,
bahwa perjalan bersejarah Ensiklik ”Rerum Novarum” ditandai dengan
dokumen-dokumen lain, yang menyatakan penghargaan terhadapnya pun
sekaligus menerapkannya pada situasi semasa[2].
Kami putuskan untuk berbuat demikian pula pada ulang tahunnya yang keseratus
atas permohonan banyak para Uskup, Lembaga-Lembaga Gereja, pusat-pusat studi,
para majikan dan kaum pekerja, sebagai perorangan maupun selaku anggota
perserikatan-perserikatan. Terutama kami ingin menyampaikan ucapan syukur
seluruh Gereja kepada Sri Paus itu atas ”dokumennya yang abadi”[3]. Maksud
kami menunjukkan pula, bahwa limpah arus yang mengalir dari sumber itu pada
tahun-tahun yang silam tidak terhentikan, bahkanjustru semakin deras. Itu jelas
ternyata dari pelbagai prakarsa yang mendahului, yang kini menyertai dan yang
masihakan menyusul perayaannya. Inisiatif-inisiatif itu didukung oleh
Konferensi-Konferensi Uskup, badan-badan internasional, pelbagai universitas
dan akademi, oleh sejumlah serikat kaum cendekiawan lembaga-lembaga lain, dan
oleh banyak pribadi di mana-mana.
2. Ensiklik ini ikut
menyemarakkan perayaan itu, untuk mengucap syukur kepada Allah, sumber ”setiap
pemberian yang baik dan setiap kurnia yang sempurna” (Yak 1:17), karena Ia
telah menggunakan dokumen yang seratus tahun yang lalu telah diterbitkan oleh
Takhta Petrus itu, untuk mengerjakan karya baik seagung itu dan memancarkan
cahaya seterang itu dalam Gereja dan di dunia. Kenangan sekarang ini
dimaksudkan untuk menghormati Ensiklik Paus Leo dan sekaligus Ensiklik-Ensiklik
maupun dokumen-dokumen para Pendahulu kami lainnya, yang banyak berjasa untuk menghadirkan
kembali Ensiklik Paus Leo dan meningkatkan daya-gunanya di sepanjang masa,
dengan mewujudkan apa yang kemudian disebut ”ajaran sosial” atau ”asas-asas
sosial” atau juga ”Magisterium sosial Gereja”.
Kewibawaan ajaran itu sudah diutarakan dalam dua Ensiklik yang kami terbitkan
tentang masalah sosial di masa Kepausan kami: yakni ”Laborem Exercens” tentang
kerja manusia, dan ”Sollicitudo Rei Socialis” tentang masalah-persoalan aktual
pengembangan manusia maupun bangsa-bangsa[4].
3. Yang kami kehendaki
sekarang ialah, supaya Ensiklik Paus Leo dibaca ulang untuk ”menilik kembali”
naskahnya, supaya ditemukan lagi harta-kekayaan asas-asas dasar, yang
dirumuskannya untuk memecahkan soal kondisi para pekerja. Tetapi serta merta
kami anjurkan untuk ”melihat kiri-kanan”, mengamati ”hal-hal baru” di sekitar
kita, yang boleh dikatakn membanjiri kita. Hal-hal itu sering jauh
berbeda dengan ”hal-hal baru”, yang menandai dasawarsa terakhir abad yang
lalu. Akhirnya kami anjurkan untuk ”memandang masa depan”, karena millenium
ketiga era kristianisudahdi ambang pintu, penuh ketidak-pastian, tetapi juga
sarat janji-janji. Ketidak-pastian maupun janji-janji itu menantang akalbudi
dan daya-cipta kita, serta membangkitkan tanggungjawab kita sebagai murid-murid
Kristus ”satu-satunya Guru” kita (bdk. Mat 23:8), untuk menunjukkan ”jalan”,
menyatakan ”kebenaran” dan mewartakan ”kehidupan”, yakni Kristus sendiri (bdk.
Yoh 14:6).
Demikianlah bukan hanya akan dinyatakan sekali lagi nilai ajran yang lestari,
melainkan akan nampak juga makna sejati Tradisi Gereja, yang selalu hidup dan
sangat penting, dan bertumpu pada dasar yang diletakkan oleh para leluhur kita
dalam iman, serta terutama pada dasar yang oleh para Rasul atas nama Yesus
Kristus telah diwariskan kepada Gereja[5] sedangkan ”tiada dasar lain dapat
diletakkan oleh siapa pun juga” (1 Kor 3:11).
Tergerakkan oleh kesadaran akan tugas beliau sebagai pengganti Petrus, Paus Leo
XIII membahas persoalannya, dan sekarang in ipengganti beliau terdorong oleh
kesadaran itu juga. Seperti beliau dan para Paus sebelum dan sesudah beliau,
kamimengulangi gambaran Injil tentang ahli Taurat yang menerima pelajaran
tentang Kerajaan Surga, dan oleh Tuhan diibaratkan ”Tuan Rumah”, yang
mengeluarkan dari perbendaharaannya harta yang baru maupun yang lama” (Mati
13:52). Khasanah agunglah Tradisi Gereja, yang mencantum harta yang ”lama” dan
tiada hentinya menerima serta menyalurkannya, sekaligus juga mempersilakan kita
untuk menafsirkan harta yang ”baru”, gelanggang berlangsungnya kehidupan Gereja
dan dunia.
Di antara harta baru, yang karena ditampung dalam Tradisi menjadi ”lama”, dan
yang menyediakan kesempatan-kesempatan maupun bahan sehingga Tradisi sendiri
dan kehidupan iman diperkaya olehnya, termasuklah juga kegiatan subur
orang-orang tak terbilang jumlahnya, yang terdorong oleh ajran sosial
Magisterium berusaha mematuhinya sesuai denga ntugas mereka di dunia. Entah
mereka bertindak sebagai perorangan atau –seperti sering terjadi-tergabung dalam
kelompok-kelompok, serikat-serikat atau organisasi-organisasi, mereka itu
membangkitkan gerakan besar untuk melindungipribadi manusia serta martabatnya.
Di tengah peristiwa-peristiwa sejarah yang silih bergantigerakan itu sungguh
besar jasanya bagi pembangunan masyarakat yang adil, atau setidak-tidaknya
untukmengendalikan dan mengurangi pelanggaran-pelanggaran keadilan.
Maksud Ensiklik ini ialah memperlihatkan kesuburan asas-asas yang dicanangkan
oleh Paus Leo XIII, termasuk pusaka ajaran Gereja, dan karena itu diteguhkan
oleh kewibawaan Magisterium. Tetapi keprihatinan pastoral mengajak kami pula
untuk menyajikan penelaahan beberapa kejadian sejarah akhir-akhir ini. Tak usah
diulangi, bahwa termasuk tugas para Gembala: menyimak dengan seksama rentetan
peristiwa-peristiwa, supaya terungkaplah kebutuhan-kebutuhan baru akan
pewartaan Injil. Tetapi bukanlah maksud penelitian ini untuk menyampaikan
penilaian-penilaian definitif, sebab itu tidak per se termasuk bidang khsusus
Magisterium.
BAB I
CIRI-CIRI ENSIKLIK”RERUM NOVARUM”
4. Menjelang akhir abad yang
lalu Gereja menghadapi proses sejarah, yang sudah berlangsung beberapa waktu
lamanya, tetapi pada saat itu mencapai titik kritis yang cukup gawat. Yang
terutama menyebabkan proses itu ialah keseluruhan perubahan-perubahan yang amat
penting di bidang politik, ekonomi dan sosial, tetapi juga di bidang
ilmu-pengetahuan dan teknologi, selain itu juga besarnya pengaruh
ideologi-ideologi yang merajalela. Di bidang politik hasil perubahan-perubahan
itu ialah faham baru tentang masyarakat dan Negara, oleh karena itu juga
tentang pemerintahan. Struktur masyarakat tradisional mengalami pembongkaran,
dan mulai muncullah struktur lain, disertai harapan akan bentuk-bentuk
kebebasan yang baru, tetapi juga bahaya-bahaya bentuk-bentuk baru
ketidak-adilan dan perbudakan.
Di bidang ekonomi, kancah pertemuan penemuan-penemuan serta penerapan praktis
ilmu-pengetahuan, lambat-laun tercapailah struktur-struktur baru dalam produksi
barang-barang siap pakai. Telah tampillah corak baru harta-milik, yakni modal,
dan corak baru kerja, yakni kerja demi upah, ditandai dengan tingkat
produksi yang intensif, tanpa perhatian yang wajar terhadap jenis, umur atau
kondisi keluarga, melainkan ditentukan semata-mata oleh daya-guna,
untukmenambah keuntungan.
Demikianlah kerja diperdagangkan, dapat dibeli dan dijual di pasar, harganya
ditetapkan oleh hukum kebutuhan dan tawaran, tanpa mengindahkan hal-hal yang
sungguh diperlukan untuk menghidupi manusia perorangan beserta keluarganya.
Kecuali itu bagi pekerja bahkan tidak ada kepastian dapat menjual ”hasil
kerjanya sendiri”, karena selalu terancam oleh pengangguran yang, karena sama
sekali tidak ada jaminan sosial, praktis berarti kemungkinan kelaparan.
Perubahan itu mengakibatkan pembagian masyarakat ”menjadi dua golongan
yang...terpisah oleh jurang yang lebar”[6]. Keadaan itu disertai perubahan yang
makin besar di bidang politik. Demikianlah teori politik yang ketika itu
tersebar luas memperjuangkan kebebasan sepenuhnya di bidang ekonomi melalui
perundang-undangan yang cocok, atau sebalik nya, dengan sengaja mengabaikan
intervensi mana pun juga. Sementara itu muncul dan terbentuklah secara
terorganisasi dan tak jarang disertai kekerasan, faham hak-milik dan kehidupan
ekonomi lain lagi, yang menuntut struktur politik dan sosial yang baru.
Ketika pertentang itu memuncak, dan dengan jelas nampaklah di banyak daerah
ketidak-adilan sosial yang serba kejam serta bahaya revolusi yang
dilontarkanolehpandangan-pandangan yang pada waktu itu disebut ”sosialis”, Paus
Leo XIII memasuki gelanggang melalui dokumen yang berwibawa, dan yang secara
sistematis membahas kondisi para pekerja. Ensiklik beliau itu didahului oleh
beberapa Ensiklik lain yang lebih mengulas, tatanan-tatanan politik, dandisusul
oleh Ensiklik-ensiklik lain lagi[7]. Dalam situasi zaman itu terutama layak dikenang
Ensiklik ”Libertas Praestantissimum”, yang menegaskan hubungan hakiki kebebasan
manusia dengan kebenaran sedemikian rupa, sehingga kebebasan, yang menolak
ikatan dengan kebenaran, terjerumus ke dalam kesewenang-wenangan, dan
akhirnya jatuh ke dalam perhambaan kepada nafsu-nafsu yangpaling keji dan
penghancuran diri. Sebab di manakah letak sumber segala kemalangan, yang mau ditanggulangi
oleh Ensiklik ”Rerum Novarum”, kalau bukandalam keleluasaan, yang di bidang
kegiatan ekonomi dan sosial menyimpang dari kebenaran?
Paus Leo XIII juga menimba inspirasi dari ajaran para Pendahulu beliau
dan dari banyak dokumen para Uskup, dari penelitian-penelitianlah yang
dikembangkan oleh kaum awam, dari kegiatan gerakan-gerakan serta
serikat-serikat katolik, dan dari hasil-hasil kegiatan di bidang sosial selama
pertengahan kedua abad XIX.
5. ”Hal-halbaru”, yang
ditanggapi oleh Paus, sama-sekali bukan hal-hal baik. Dalam alinea pertama
Ensiklik beliau menguraikan ”hal-halbaru”-yang dijadikan judulnya (”Rerum
Novarum”)-dengankata-kata yang tegas-tandas: ”Bila bangkitlah keinginan akan
hal-hal baru, yang memang sudah lama menggoncangkan bangsa-bangsa, akibat yang
akan muncul ialah: bahwa usaha-usaha perombakan suatu ketika akan melampaui
bidang politik dan akan berpengaruh juga atas bidang ekonomi yang berkaitan
dengannya. Memang kemajuan-kemajuan di bidang industri, usaha-usaha baru
yang muncul, perubahan hubungan timbal-balik antara majikan dan buruh,
melimpahnya kekayaan sekelompok kecil di samping kemelaratan banyak orang,
bertumbuhnya sikap percaya diri maupun meningkatnya antar-hubungan di kalangan
para pekerja, tambahanpula kemerosotan akhlak, faktor-faktor itu semua telah
menyebabkan pecahnya konflik sekarang ini”[8].
Maka Paus Leo, dan bersama beliau Gereja maupun khalayak ramai, menghadapi
masyarakat yang terpecah-belah karena pertentangan yang semakin sengit dan
mengganas, karena mengesampingkan segala asas maupun aturan. Itulah konflik
antara modal dan kerja, atau-menurut istilah Ensiklik-masalah ”kondisi kaum
pekerja”. Tentang konflik itulah, yang ketika itu berlangsung dengan amat
sengitnya, Paus tanpa ragu-ragu mengungkapkan pandangan beliau.
Di sini pertama-tama perlu direnungkan hikmah Ensiklik untuk zaman sekarang.
Menghadapi konflik yang mempertentangkan manusia dengan manusia bagaikan
”serigala melawan serigala”, konflik pula antara mereka yang nyaris kehilangan
rezeki dan mereka yang hidup serba mewah, Paus Leo tidak ragu-ragu untuk dengan
kewibawaan beliau mengambil peranan, berdasarkan kesadaran akan ”tugas
apostolik” beliau[9], yakni tugas yang beliau terima dari Yesus Kristus untuk
menggembalakan anak-anak domba maupun domba-domba”(bdk. Yoh 21:15-17) dan
”melepaskan serta mengikat di dunia” untuk Kerajaan Surga (bdk. Mat 16:19).
Jelas maksud Paus ialah mengembalikan damai Pembaca Ensiklik ketika itu tak
mungkin tidak menangkap kecaman beliau secara terang-terangan terhadap
pertentangan kelas[10]. Tetapi beliau sungguh menyadari, bahwa damai
hanya dapat dibangun berdasarkan keadilan: Pokok utama Ensiklik ialah,
menegaskan kondisi-kondisi dasar keadilan dalam situasi ekonomi dan sosial
ketika itu[11].
Begitulah Paus Leo XIII, mengikti jejak para Pendahulu beliau, menaruh teladan
bagi Gereja selanjutnya. Sebab Gereja menyampaikan pesan-pesannya bagi
kondisi-kondisi manusiawi tertentu, yang bersifat perorangan maupun kolektif,
pada tingkat nasional maupun internasional. Tentang itu semua Gereja
menyampaikan ajaran yang sejati, suatu keseluruhan ajaran, yang memungkinkannya
untuk menelaah kenyataan-kenyataan sosial, menyajikan pertimbangan-pertimbangan
dan menggariskan pedoman-pedoman tentangnya, untukmemecahkan soal-soal yang
muncul dari padanya.
Pada zaman Paus Leo XIII pengertian semacam itu tentang hak dan kewajiban
Gereja jauh belum lazim diterima. Sebab terutama terdapat dua pendekatan yang
satu: terarah kepada dunia ini dan hidup di dunia dengan mengesampingkan iman
semata-mata; yang lain terarah kepada keselamatan atas-duniawi melulu tanpa
menerangi atau mengarahkan kehadiran manusia di dunia ini. Maksudnya Paus
menerbitkan Ensiklik ”Rerum Novarum” ketika itu memberi Gereja semacam ”status
kewarga-negaraan di tengah pergolakan peristiwa-peristiwa yang menyangkut
masyarakat maupun hidup kenegaraan; dan posisi itu selanjutnya memang mendapat
peneguhan. Sesungguhnyalah menyampaikan dan menyebarluaskan ajaran sosial
termasuk tugas Gereja untuk mewartakan Injil dan merupakan sebagian pewartaan
kristiani. Sebab ajaran itu memaparkan konsekuensi-konsekuensi langsung
pewartaan itu bagi kehidupan masyarakat; lagipula kerja sehari-hari
danperjuangan demi keadilan berkenaan dengannya memang selaras dengan kesaksian
akan Kristus Sang Penyelamat. Ajaran itu juga menjadi sumber kesatuan dan damai
dalamkonflik-konflik, yangmau tak mau timbul di bidang sosial ekonomi.
Dengandemikian mungkinlah menhadapi situasi-situasi baru tanpa memerosotkan keluhuran
pribadi manusia dalam dirinya atau dalam lawan-lawan, serta membawanya kepada
pemecahan yang adil.
Sekarang ini, sesudah seratus tahun, kekuatan hasrat itu membuka kemungkinan
bagi kami untukmemberi sumbanngan bagi pengembangan ”ajaran sosial kristiani”.
”Evangelisasi baru”, yang dewasa ini sangat dibutuhkan oleh duinia dan yang
seringkali kami tekankan, di antara unsur-unsurnya yang paling pokok harus
mencakup pewartaan ajaran sosial Gereja. Seperti pada zaman Paus Leo XIII,
sekarang pun ajaran itu amat sesuai untuk menunjukkan jalan yang tepat dalam
menanggapi tantangan-tantangan aktual yang cukup berat, sementara masyarakat
makin kehilangan kepercayaannya akan ideologi-ideologi. Seperti telah dilakukan
oleh Paus Leo, perlulah kami ulangi, bahwa tanpa Injil itu dapat ditemukan
ruang untuk memahami ”hal-hal baru” dengan cermat, lagi pula perspektif moral
yang tepat untuk mempertimbangkannya.
6. Dengan maksud untuk
menyoroti konflik antara modal dan kerja, Paus Leo XIII telah menegaskan hak-hak
asasi para pekerja. Maka dari itu prinsip untuk membaca Ensiklik Paus Leo ialah
martabat pekerja sendiri, dan oleh karena itu martabat kerja, yang dapat
dirumuskan begini: ”Inilah makna kerja: berjerih-payah untuk memperoleh apa
yang dibutuhkan untuk mencapai pelbagai sasaran hidup, teristimewa untuk
melestarikan kehidupan”[12]. Sri Paus menandaskan, bahwa kerja bersifat
”pribadi”, ”sebab energi untuknya terikat pada pribadi; dan daya kekuatan itu
khusus menjadi milik dia yang mengerahkannya, dan yang memanfaatkan
hasilnya”[13]. Begitulah kerja termasuk panggilan setiap pribadi; memang benar,
dengan bekerja manusia mengungkapkan dan menyempurnakan diri. Sekaligus kerja
mempunyai dimensi ”sosial” karena hubungannya dengan keluarga maupun dengan
kesejahteraan umum. Sebab ”sungguh benar, hanya berkat jerih-payah kaum
pekerjalah Negara-Negara menjadi kaya”[14]. Pokok-pokok itu telah kami
ulangi dan kami kembangkan dalam Ensiklik ”Laborem Exercens”[15].
Sudah pasti asas lain yang penting ialah: asas hak atas milik perorangan[16].
Besarnya ruang yang oleh Ensiklik disediakan bagi tema itu sudah menunjukkan
betapa pentingnya. Sri Paus sungguh menyadari, bahwa milik perorangan tidak
mempunyai bobot mutlak; beliau juga tiada hentinya menegaskan prinsip-prinsip
yang harus melengkapinya; misalnya: bahwa harta-benda bumi dimaksudkan untuk
semua orang[17].
Di lain pihak memang benar juga, bahwa jenis milik perorangan, yang terutama
dimaksudkan oleh Sri Paus, ialah pemilikan tanah[18]. Tetapi itu tidak berarti,
seolah-olah alasan-alasan yang beliau kemukakan untuk melindungi milik
perorangan, yakni untuk menegakkan hak untuk memiliki apa paun yang perlu bagi
pertumbuhan pribadi maupun pengembangan keluartga sendiri-entah bagaimana pun
bentuk konkrit hak itu-sekarang ini sudah tidak berlaku lagi.
Hal itu perlu ditegaskan sekali lagi di tengah perubahan-perubahan yang sedang
kita saksikan pada sistim-sistim, yang semula dikuasai oleh pelimilikan
kolektif upaya-upaya produksi, begitu pula di tengah bertambahnya
indikasi-indikasi kemiskinan, atau lebihtepat: di tengah rintangan-rintangan
terhadap pemilikan perorangan yang muncul di banyak wilayah dunia, termasuk
pula di mana berlakulah sistim-sistim, yang mendasarkan diri pada pengakuanhak
atas milik perorangan. Karena perubahan-perubahan tersebut tadi, punjuga karena
tetap masih ada kemelaratan, maka sungguh amat perlulah penyelidikan lebih
mendalam mengenai seluruh masalahnya, seperti masih akan disajikan dalam
Ensiklik ini.
7. Sehubungan erat dengan hak
atas milik perorangan, Ensiklik Paus Leo XIII juga menegaskan hak-hak lainnya,
yang menyangkut pribadi manusia dan tidak dapat dirampas dari padanya. Di
antaranya, mengingat banyaknya ruang yang oleh Sri Paus disediakan untuknya
maupunbobot yang beliau berikankepadanya, yang amat penting ialah: ”hak kodrati
manusia untuk membentuk serikat-serikat swasta”. Itu berarti bahwa buruh melulu[19].
Itulah alasannya, mengapa Gereja melindungi dan menyetujui pembentukan
kelompok-kelompok pekerja, yang laxim disebutserikat pekerja: pasti bukan
karena prasangka-prasangka ideologi, atau sebagai konsesi terhadap mentalitas
kelas; melainkan karena hak untuk membentuk serikat secara khas merupkan ”hak
kodrati” manusia, oleh karean itu mendhaului keanggotaan mereka dalam
masyarakat politik. Sebab ”Negara dibentuk untuk melindungi hak kodrati”, bukan
untuk menghapuskannya; maka bila Negara melarang para warganya untuk membentuk
serikaty, Negara menentang prinsip keberadaannya sendiri.”[20]
Adapun bersama dengan hak itu-dan ini perlu ditekankan –yang oleh Sri Paus
secara eksplisit diakui sebagai hak para pekerja, atau untuk menggunakan
istilah beliau, hak ”kelas buruh”, Ensiklik dengan sama jelasnya menegaskan hak
atas ”pembatasan jam kerja”, hak atas masa-masa istirahat, hak anak-anak dan
kaum wanita atas perlkauan yang berbeda sehubungan dengan jenis maupun lamanya
kerja[21].
Kalau selanjutnya diperhatikan apa yang tercatat dalam sejarah tentang
alasan-alasan yang dianggap sah, atau sekurang-kurangnya tidak dilarang oleh
hukum, mengenai perjanjian kerja yang tidak memberi jaminan apa pun tentang
jam-jam kerja atau kondisi-kondisi kesehatan umum di tempat kerja, dan sama
seklai mengabaikan umur maupun jenis para calon pekerja, sungguh dapat difahami
betapa serius pernyataan Sri Paus. ”Keadilan dan perikemanusiaan”, tulis
beliau, ”tidak mengizinkan, bahwa sedemikian beratlkah tuntutan kerja, sehingga
karena tertindih oleh beban kerja yang berlebihan jiwa manusia menjadi tumpul,
dan karena kelelahan badannya jatuh sakit”.Dan sementara Sri Paus dengan lebh
cermat menjelaskan arti kontrak untuk menjamin pelaksanaan ”kondisi-kondisi
kerja”, beliau menegaskan: ”Dalam setiap kewajiban yang secara timbal-balik
disanggupi oleh para majikan dan kaum buruh, selalu harus dicantumkan
atau tersirat secara implisit persyaratan, bahwa dijamin adanya kesempatan
istirahat yang sewajarnya, untuk mengimbangi tenaga yang disita oleh
pekerjaan”. Pada akhirnya beliau katakan: ”Kesepakatan yang menyimpang dari padanya
merupakan tindakan yang tidak terhormat”[22].
8. Sri Paus langsung
mengingatkan suatu hak lain yang ada pada pekerja selaku pribadi,yakni hak atas
”upah yang adil”. Hak itu tidak boleh ditentukan ”atas kesepakatan yang
sukarela antara pihak-pihak yang bersangkutan: seolah-olah majikan, sesudah
membayar upah yang disepakati, sudah memenuhi kesanggupannya, dan rupa-rupanya
tidak wajib berbuat lebih lagi”[23]. Ketika itu dikatakan, bahwa Negara tidak
berwenang untuk campur tangan dalam penentuan unsur-unsur kontrak, kecuali
untuk menjamin, supaya apa yang secara eksplisit telah disepakati dilaksanakan
seutuhnya. Pengertian seperti itu tentang hubungan antara majikan dan buruh,
yang bersifat pragmatis melulu dan diilhami oleh individualisme yang kejam, dengan
keras dikecam oleh Ensiklik, karena bertentangan dengan dua segi kerja, yakni
sebagai kenyataan yang bersifat pribadi dan merupakan kebutuhan. Sebab bila
kerja, sejauh bersifat pribadi, termasuk lingkup kebebasan setiap orang untuk
menggunakan bakat-kemampuan serta daya-kekuatannya sendiri, kerja sebagai suatu
kebutuhan termasuk kewajiban berat setiaporang untuk ”menjamin kelestarian
hidupnya”. Maka Sri Paus menyimpulkan: ”Tak dapat lain muncullah dari situ hak
untuk mendapatkan upaya-upaya guna memelihara kehiduapn: dan hanya upah yang
diperoleh melalui kerjalah yang membuka kemungkinan bagikaum miskin untuk
mendapatkannya”[24].
Gaji pekerja harus mencukupi untuk menghidupi keluarganya. ”Bila karena
kebutuhan memaksanya, atau ia terdorong oleh rasa takut akan ditimpa nasib yang
lebih buruk lagi, seorang pekerja menerima kondisi kerja yang lebih keras, dan
kendati tidak mau ia toh harus menerimanya, karena itu dipaksakan oleh majikan
atau pemborong, itu berarti ia menjadi korban kekerasan dan ketidak-adilan”[25].
Ah, seandainay kata-kata, yang ditulis ketika apa yang disebut ”kapitalisme
yang leluasa” makin merajalela itu, sekaran gtidak usah diulang-ulangi lagi
degnan sama kerasnya. Akan tetapi sungguh sayanglah! Sekarang pun terdapat
contoh-contoh kontrak, yang tidak sedikitpun menghiraukan keadilan, mengenai
soal kerja anak-anak atau kaum wanita, mengenai jam-jam kerja dan kesehatan
kondisi di tempat-tempat kerja, mengenai upah yang adil. Itu semua toh
masih terjadi, betapa pun banyaknya pernyataan-pernyataan dan sidang-sidang
internasional tentang masalah itu[26], maupun undang-undang intern bangsa-bangsa yang
mendukung keadilan. Menurut Sri Paus termasuk ”tugas yang bukan sembarangan dan
cukup berat” bagi ”para penguasa yang sungguh memperhatikan rakyat”, untuk
dengan tekun mengusahakan keselamatan dan kesejahteraan para pekerja; sebab
bila tugas-tugas itu dilalaikan, keadilan dilanggar. Bahkan Sri Paus tidak
ragu-ragu berbicara tentang ”keadilan distributif”[27].
9. Masih ada hak lain lagi
yang kemudian oleh Paus Leo XIII ditambahkan kepada hak-hak itu, dan yang
menyangkut kondisi para pekerja juga. Karena hak itu amat penting, kami ingin
sekali menyebutkannya, yakni: hak untuk denganbebas memenuhi
kewajiban-kewajiban keagamaan. Sri Paus memang menempatkannya di antara hak-hak
dan tugas-tugas para pekerja lainnya, meskipun pandangan yang hampir umum
ketika itu menganggap,bahwa beberapa soal melulu termasuk hidup perorangan.
Beliau menandaskan lagiperlunyaistirahat hari raya, supaya manusia mengangkat
pandangannya kepada perkara-perkara surgawi, dan kepada ibadat yang wajib
dipersembahkan kepada Allah yang Mahaagung[28]. Tidak seorang pun dapat merebut
hak manusia ini, karena didasarkan pada suatu perintah yang jelas juga: ”Tidak seorang
pun boleh melanggar tanpa dihukum martabat manusia, yang oleh Allah sendiri
diperlakukan penuh hormat”. Maka Negara wajib mengukuhkan bagi pekerja sendiri
penggunaan kebebasan itu[29].
Memang amat tepatlah pandangan siapa pun, yang menganggap pernyataan yang
sangat jelas itu sebagai titik-tolak prinsip tentang hak atas kebebasan
beragama, yang kemudian menjadi tema pokok banyak Pernyataan resmi dan
Sidang-sidang internasiona[30]l, begitu pula tema Pernyataan Konsili Vatikan II
dan berulang kali tema pengajaran kami[31]. Dalam konteks itu diperlukan,
betulkah hukum-hukum yang berlaku sekarang ini dan kebiasaan
masyarakat-masyarakat industri memang sungguh menjamin pelaksanaan hak mendasar
atas istirahat hari raya itu.
10. Suatu aspek penting
lainnya, yang dengan pelbagai cara dapat diterapkan pada zaman sekarang, ialah
faham hubungan antara Negara danpara warganya. Ensiklik ”Rerum Novarum”
mengeritik kedua sistem sosial dan ekonomi, yakni Sosialisme dan Liberalisme.
Sosialisme dibahas secara khusus di bagian pembukaan Ensiklik, yang sekali lagi
menegaskan hak atas milik perorangan. Sedangkan Liberalisme memang tidak secara
khas dibicarakan dalam bagian tertentu, melainkan-dan ini tidak secara khas
dibicarakan dalam bagian tertentu, melainkan-dan ini layak
dicatat-kritik-kritik dilontarkan terhadapnya, bila ditelaah
kewajiban-kewajiban Negara[32]. Sebab Negara tidak boleh ”meng-anak-emaskan
sebagian para warganya”, yakni mereka yang kaya dan serba mampu, sedangkan
”sebagian di-anak-tirikannya”, yakni yang jelas-jelas merupkan sebagian
terbesar masyarakat. Sebab kalau begitu dilanggarlah keadilan, yang mewajibkan
supaya setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya. ”Dalam melindungi hak-hak
perorangan mereka yang tak berdaya dan miskinlah, yang terutama meminta
perhatian. Sebab golongan yang kaya mempunyai cara-caranya sendiri untuk
membela diri, dan tidak begitu perlu dilindungi oleh pemerintah; sedangkan
rakyat jelata tidak mempunyai upaya mana pun juga untuk melindungi diri,
sehingga sangat tergantung dari perlindungan Negara. Maka dari itu kaum
buruh, yang termasuk golongan kaum miskin, perlu secara istimewa diperhatikan
dan dilindungi oleh pemerintah”[33].
Adapun sekarang ini pedoman-pedoman itu sangat relevan, melihat meluasnya
bentuk—bentuk baru kemiskinan di dunia, lagi pula mengingat, bahwa
pernyataan-pernyataan itu tidak lagi tergantung pada faham tertentu tentang
Negara atau pada teori politik yang khusus. Sebab di sini Sri Paus menekankan
prinsip utama sistim politik mana pun juga, yakni: semakin warganegara
perorangan tidak terlindungi dalam masyarakat, semakin ia memerlukan bantuan
dan perhatian yang intensif dari pihak sesama, dan terutama perlindungan dari
pihak pemerintah.
Demikianlah apa yang sekarang ini disebut ”prinsip solidaritas”, dan yang
daya-kekuatannya-baik dalam tata-sosial setiap bangsa maupun dalam tata
internasional-telah kami uraikan dalam Ensiklik ”Sollicitudo Rei Socialis”[34],
dimengerti sebagai salah-satu prinsip dasar bagi pandangan kristiani
tentang tata-sosial dan tata-politik. Seringkali pula prinsip itu dikemukakan
oleh Paus Leo XIII dengan istilah ”persahabatan”, suatu gagasan yang sudah
terdengar pada para filsuf Yunani. Paus Pius IX menyebutnya dengan istilah
penuh makna: ”cinta kasih sosial”; sedangkan Paus Paulus VI berbicara tentang
”peradaban cinta kasih”[35], sambil memperluas faham itu untuk meliputi
banyak aspek modern pada masalah sosial.
11. Pembacaan ulang Ensiklik
dalam terang kenyataan-kenyataan zaman sekarang memungkinkan kita untuk
menghargai perhatian dan dedikasi Gereja terus menerus terhadap
golongan-golongan masyarakat yang secara khas dikasihi oleh Tuhan Yesus
sendiri. Sebab isi dokumen itu merupakan kesaksian yang gemilang tentang apa
yang disebut ”pilihan untuk mengutamakankaum miskin”, yagn tiada hentinya
mewarnai kehidupan Gereja. Pilihan itu kami rumuskan pula sebagai ”bentuk
istimewa prioritas dalam mengamalkan cinta kasih kristiani”[36]. Demikianlah Ensiklik Paus
Leo XIII tentang ”masalah para pekerja” merupakan Ensiklik tentang kaum
miskin, sekaligus tentang kondisi-kondisi hidup yang mengerikan, yang proses
industrialisasi yang baru dan tak jarang penuh kekerasan ditimpakan pada massa
besar manusia. Tetapi sekarang pun di banyak daerah di dunia ini proses-proses
perubahan di bidang ekonomi, sosial dan politik yagn serupa menciptakan
situasi-situasi yang sama buruknya.
Adapun bila Paus Leo XIII mendorong Negara untuk menyehatkan kondisi kaum
miskin menurut norma keadilan, tentulah langkah itu beliau ambil, karena beliau
menyadari pada waktunya, bahwa Negara wajib mengurusi kesejahteraan umum, dan
menjamin supaya setiap bidang kehidupan sosial, termasuk pula bidang ekonomi,
memberi sumbangannya untuk meningkatkan kesejahteraan itu, sementara
otonomi masing-masing bidang tet ap dihormati. Tetapi janganlah ada yang
terbawa unutk beranggapan, seolah-olah menurut Paus Leo Negara sajalah yang
boleh diharapkan memecahkan semua kesukaran sosial. Sebaliknya bahkan
seringkali beliau menegaskan perlunya pembatasan terhadap campur tangan Negara,
dan menekankan sifatnya sebagai upaya, karena setiap orang perorangan dan
keluarga serta kelompok mendahului Negara, dan karena tujuan Negara ialah
melindungi hak-hak mereka, bukan menindasnya[37]. Adapun relevansi gagasan-gagasan
tadi untuk zaman sekarang sudah jelas bagi siapa pun juga. Sudah
selayaknya pula kami kemudian masih kembali un tuk menguraikan tema
penting tentang batas-batas yang ada pada Negara menurut hakekatnya. Sementara
itu pokok-pokok yang tadi telah disoroti (pasti bukan hanya itu saja yang
terdapat dalam Ensiklik) memang sungguh selaras dengna ajaran sosial Gereja,
pun dalam rangka pengertian sehat tentang milik dan kerja perorangan, tentan
gposese ekonomi serta kenyataan Negara, dan terutama tentang manusia sendiri.
Kemudian masih akan disebutkanmasalah-maslaah lain juga, bila aspek-aspek
tertentu situasi zaman sekarang akan diselidiki. Tetapi sekarang juga dan
seterusnya perlu disadari benang merah dan dalam arti tertentu asas pemandu
bagi Ensiklik Paus Leo XIII, begitu pula bagi seluruh ajaran sosial Gereja,
yakni pengertian yang saksama tentang pribadi manusia beserta nilainya yang
istimewa. Sebab ” di dunia manusia. Itu satu-satunya ciptaan yang oleh Allah
dikehendaki demi dirinya sendiri”[38]. Sebab dalam diri manusialah Allah telah
memahat gambaran-Nya sendiri (bdk. Kej 1:26). Kepadanyalah Allah mengurniakan
martabat yang tiada bandingnya, seperti seringkali telah ditekankan oleh
Ensiklik. Sesungguhnya, di samping hak-hak yang oleh manusia diperoleh
berkat kerjanya, masih ada pula hak-hak lain yang tidak berhubungan dengan
kerja mana pun juga yang dilakukannya, melainkan yang bersumber pada
martabatnya sendiri sebagai pribadi.
BAB II
MENGHADAPI ”HAL-HAL BARU” ZAMAN
SEKARANG.
12. Perayaan kenangan akan
Ensiklik ”Rerum Novarum” sama sekali takkan lengkap, seandainya situasi zaman
sekarang tidak ditelaah juga. Mengingat prinsip-prinsip yang tercantum di
dalamnya saja dokumen itu sudah cocok sekali sebagai pegangan untuk pembahasan
semacam itu. Sebab lukisan historis peristiwa-peristiwa maupun prognose masa
depan yang disajikan secara sungguh mengagumkan ternyata cermat saksama, bila
dipertimbangkan apa yang terjadi sesudah Ensiklik.
Secara khusus penilaian itu ternyata dibenarkan oleh pergolakan-pergolakan,
yang terjadi pada bulan-bulan terakhir tahun 1989 dan pada bulan-bulan pertama
tahun 1990. Sebab perubahan-perubahan radikal di dunia itu dan yang terjadi
sesudahnya hanya dpat diterangkan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi
sebelumnya, yang sampai batas tertentu telah mengejawantahkan
prakiraan-prakiraan Paus Leo XIII dan tanda-tanda zaman yang semakin memburuk,
seperti diamat-amati juga olehpara Pengganti beliau. Paus Leo sudah sebelumnya
menangkap konsekuensi-konsekuensi negatif dalam segala seginya-politi, sosial,
ekonomi, -yang ditimbulkan oleh tata masyarakat berhaluan ”Sosialisme”, yang
ketika itu baru diselidiki melalui suatu filsafah sosial, dan yang dianggap
sebagai gerakan yang kurang lebih cukup teratur. Barangkali sekarang
mengherankan,bahwa Sri Paus dalam mengritik cara-cara yang ketika itu ditempuh
untuk memecahkan ”masalah pekerja” memulai dengan ”Sosialisme”, karena sistem
itu belum diwujudkan dalam bentuk suatu Negara yang perkasa dan tangguh,
beserta segala sumber daya dan kekuatannya yang tersedia, seperti akan ternyata
kemudian. Tetapi dengan peka beliau menyadari bahaya, jangan-jangan massa
rakyat dikelabui oleh pemecahan semu yang sederhana dan radikal, seperti ketika
itu dikemukakan untuk menanggulangi ”masalah pekerja”. Apalagi itu menjadi
jelas, bila soalnya ditinjau dengan mengingat kondisi ketidak-adilan yang
mengerikan, yang melanda kelas-kelas pekerja pada bangsa-bangsa yang baru saja
mengalami industrialisasi.
Dua halperlu ditekankan di sini: Pertama, betapa jelas Sri Paus memahami
keadaan kaum buruh yang sesungguhnya, dengan segala kengeriannya, pria, wanita
maupun anak-anak. Kemudian, sejelas itu pula beliau menyadari kejahatan yang
ada di balik ”pemecahan soal”, yakni usaha merombak posisi kaum miskin dan kaum
kaya menurut kenyataan justru merugikan mereka yang maksudnya mau ditolong.
Jadi upaya untuk mengatasi kejahatan justru lebih buruk lagi dari kejahatannya
sendiri. Dalam merumuskan hakekat Sosialisme ketika itu, yakni penghapusan
milik perorangan, Paus Leo XIII sungguh menyentuh inti persoalan.
Amanat beliau layak dibaca ulang dengan cermat: ”Untuk menanggulangi situasi
yang buruk itu kaum Sosialis menghidup-hidupkan rasa iri kaum miskin terhadap
orang-orang kaya. Mereka mempertahankan bahwa milik perorangan harus
dihapus, dan sebagai ganti harta-kekayaan perorangan harus dijadikan milik
kolektif semua orang....Akan tetapi sistim kaum Sosialis itu begitu jelas tak
berdaya untuk menyelesaikan pertentangan, sehingga justru merugikan golongan
pekerja sendiri. Selain itu juga sangat tidak adil, karena merampas para
pemilik yang sah, memutarbalikkan fungsi Negara, dan menimbulkan kekacauan
besar dalam masyarakat”[39]. Tak dapat ditunjukkan dengan lebih jelas
malapetaka, yang diakibatkan oleh sistem Sosialisme semacam itu, yang
utuh-utuh menguasai Negara sebagai lembaga, dan yang kemudian disebut
”Sosialisme Reil”.
13. Bila ajaran yang telah
kita terima itu masih mau diperdalam lagi, mengingat pula apa yang tercantum
dalam Ensiklik kami ”Laborem Exercens” dan ”Sollicitudo Rei Socialis”, maka
masih perlu ditambahkan, bahwa kesesatan ”Sosialisme” yang mendasar terletak di
bidang antropologi. Sebab di situ manusia dianggap sebagai suatu unsur melulu,
suat molekul semata-mata dalam organisme sosial, sehingga harta perorangan
terbawahkan belaka kepada berfungsinya mekanisme sosial-ekonomi. Menurut
anggapan ”Sosialisme”, harta perorangan itu tidak usah dikaitkan dengan
kehendak bebas manusia atau dengan tanggungjawabnya atas kebaikan maupun
kejahatan. Demikianlah faham manusia diperdangkal menjadi serangkaian
hubungan-hubungan sosial-ekonomi, dan lenyaplah fahampribadi sebagai pengemban
bebas keputusan moril, sebagai subyek yang dengan keputusan-kpeutusannya
membangun tatasosial. Salah-pengertian tentang pribadi itu membuahkan
pemutarbalikan hukum yang menggariskanbatas-batas kebebasan pribadi serta
persyarakatannya, pun juga penghapusan milik perorangan. Sebab bila manusia
dirampas segala-galanya, sehingga tiada apa pun yang dapat disebut ”miliknya”,
dan bila ia direbut kemungkinannya untuk mencari nafkah melalui kerja atas
pilihannya sendiri, ia menjadi tergantung dari ”mesin” sosial dan dari mereka
yang menjalankannya. Maka dari itu pengakuan martabat pribadi manusia menjadi
lebih sulit, dan dengan demikian ditutuplah jalan menuju pembentukan rukun
hidup manusiawi yang sejati.
Sebaliknya dari ajaran kristiani tentang pribadi tidak dapat disimpulkan lain
kecuali visi yang tepat tentang masyarakat. Menurut ”Rerum Novarum”, begitu
pula menurut ajaran sosial Gereja pada umumnya, hakekat sosial manusia sama
sekali tidak terserap penuh oleh Negara, melainkan dikembangkan dalam aneka
serikat lainnya pada taraf di bawahnya, mulai dari keluarga samapi pelbagai
serikat ekonomi, sosial, politik dan budaya, yang bertumpu pada kodrat
manusia-selalu dengan mengindahkan kesejahteraan umum-dan mempunyai otonominya
sendiri. Justru itulah yang pernah kami sebut ”subyektivitas masyarakat”, dan
yang bersama dengan subyektivitas perorangan telah dihapus oleh ”Sosialisme
Reil”[40].
Kalau selanjutnya ditanyakan: manakah sumber pengertian salah tentang pribadi
manusia maupun ”subyektivitas” masyarakat itu, jawabannya tidak lain ialah,
bahwa keduanya berasal terutama dari ateisme. Bila manusia menaggapi Allah
sendiri, yang memanggilnya melaluikenyataan-kenyataan di dunia ini, ia menjadi
sadar akan martabatnya yang melampaui kenyataan keduniaan. Setiap orang wajib
memberi jawaban itu, yang merupakan puncak realitas orang wajib memberi jawaban
itu,yang merupakan puncak realitas manusiawinya, dan yang tidak dapat
digantikanoleh mekanisme sosial atau subyek kolektif mana pun juga. Akan tetapi
bila orang mengingkari Allah, ia merongrong dasar pribadinya sendiri. Hal itu
akan mendorong ke arah perombakan tata masyarakat, tanpa menghiraukan sedikit
pun kewibawaan dan martabat pribadi.
Ateisme yang sendang dibicarakan itu berhubungan erat juga dengan rasionalisme
zaman ”Penerangan”, yang memandang kenyataan manusiawi bagaikan mesin. Demiian
ditolaklah pengharapan tinggi terhadap keluhuran manusia yang sejati, begitu
pula keunggulannya terhadap hal-hal duniawi, pertentangan dalambatinnya karena
ia terombang-ambingkan antara keinginan akan terpenuhinya apa yang baik dan
ketidak-mampuannya untuk mencapai pemenuhan itu, dan terutama aspirasinya akan
keselamatan yang muncul dari situasi itu.
14. Dari sumber dan sistim
ateisme itu pula dijabarkan cara mimilih upaya-upaya yang termasuk tindakan
khas Sosialisme, dan yang dikecam oleh ”Rerum Novarum”. Yang dimaksudkan ialah
perjuangan kelas. Sudah barang tentu Sri Paus tidak bermaksud mengecam semua
dan setiap bentuk konflik sosial. Sebab Gereja menyadari juga, bahwa di antara
pelbagai golongan sosial praktis pasti akan timbul konflik-konflik kepentingan
tertentu; dan menghadapi itu semua umat kristinai sering harus menentukan
pendiriannya, dengan terus terang dan tepat. Ensiklik ”Laborem Exercens” pun
mengakui sungguh wajarnya konflik, yang berlansung ”untuk memperjuangkan
keadilan sosial”[41]. Dalam Ensiklik ”Quadragesimo Anno” tertulis : ”Sebab bila
perjuangan kelas tidak dijiwai oleh sikap bermusuhan dan saling membenci,
pergumulan itu lambat-laun beralih menjadi diskusi yang jujur, berdasarkan
aspirasi akan keadilan”[42].
Perjuagan kelas yang terutama dikecam ialah suatu perjuangan yang tidak
dikendalikan oleh pertimbangan-pertimbangan etis atau yuridis, dengan kata
lain, tidak mengakui martabat pribadi lain (dan karena itu juga merendahkan
martabatnya sendiri); dengan demikian setiap kompromi yang wajar
dikesampingkan; sasarannya sama sekali bukan kesejahteraan masyarakat,
melainkan kepentingan khusus sebagai ganti kepentingan umum; dan hendak
menyingkirkanapa saja yang menjadi palang-perintang. Akhirnya dialihkanke
bidang pertentangan antar kelas sosialajaran tetang ”perang total:, yang pada
zaman itu ditimbulkan oleh militarisme danimperialisme dalam relasi-relasi
antar bangsa. Usaha untuk menciptkan keseimbangan yagn wajar antara pelbagai
bangsa digantikan dengan kaidah yang menguntungkan , yakni bahwa kepentingan
sendiri bagaimana pun juga harus diutamakan, juga dengan menggunakan
kebohongan, teror terhadapwarga masyarakat, senjata penumpasan total (yang
ketika itu sudah mulai direkayasa_, untuk melumpuhkan daya-lawan musuh-musuh.
Jadi perjuangan kelas baik menurut Marxisme maupun menurut haluan militarisme
sama saja akarnya: keduannya bersumber pada ateisme dan penghinaan pribadi
manusia; maka prinsip kekuatan diutamakan terhadap asas akalbudi yang sehat
maupun hukum.
15. Ensiklik ”Rerum Novarum”
menentang penguasaan upaya-upaya produksi oleh Negara, sebab dengan demikian
setiap warga masyarakat menjadi ibarat sebagian melulu dalam roda bergigi mesin
Negara. Sekaligus Ensiklik itu sama gigihnya melawan kaidah-kaidah, yang
menempatkan bidang perekonomian di luar kompetensi Negara semata-mata. Memang
benarlah, bidang perekonomian mempunyai suatu otonomi yagn wajar, dan tidak
boleh dicampuri oleh Negara. Akan tetapi Negara wajib juga menetapkan
persyaratan yuridis sebagai rambu-rambu bagipengembagnan ekonomi, dan dengan
demikian menjamin asas-asas dasar tentang kebebasan ekonomi, yang menuntut
suatu keseimbangan antara pihak-pihak yang berkepentingan, jangan sampai ada
pihak tertentu yang berkuasa sedemikian rupa, sehingga pihak-pihak lainnya diperalat
semata-mata[43].
Dalam hal itu Ensiklik ”Rerum Novarum” menganjurkan suatu cara pembaharuan yang
adil, untuk mengembalikan nilai tinggi kerja sebagai kegiatan manusia yang
bebas. Pembaharuan itu menuntut kesadaran bertanggung jawab dari pihak
masyarakat maupun dari pemerintah, supaya pekerja dilindungi terhadap tekanan
kegelisahan yang amat berat, jangan-jangan terpaksa menganggur. Di masa lampau
itu diusahakan melalui dua faktor yang bersamaan arah: baik melalui
kebijakan ekonomi yang bermaksud menjaminpertumbuhan ekonomi yang seimbang,
maupun melalui jaminan terhadap pengangguran yang terpaksa dan melalui
program-program penataran ketrampilan dan kejuruan, supaya kaum pekerja secara
berangsur-angsur dapat beralih dari sektor-sektor kerja yang lemah dan sedang
merosot kepada sektor-sektor yang sedang mengalami kemajuan.
Selain itu masyarakat dan Negara wajib mengusahakan pemberian upah sedemikian
rupa, sehingga pekerja beserta keluarganya mendapat nafkah yang memadai, dan
masih mempunyai sekedar tabungan. Di sini diperlukan usaha dan daya-upaya yang
cukup besar untuk membekali kaum pekerja dengan kepadnaian dan ketrampilan yang
semakin memadai, sehingga kerja mereka pun semakin andal dan produktif. Tetapi
dibutuhkan juga kewaspadaan terus menerus, didukung degnan perundang-undangan
yang memadai, supaya teratasilah eksploitasi yang kejam, pertama-tama terhadap
kaum pekerja yang tak berdaya, para imigran, dan mereka yang tersisihkan dari
masyarakat. Di bidang ini sungguh pentinglah peranan serikat-serikat pekerja,
yang menuntut upah minimal dan kondisi kerja yang memadai.
Akhirnya hendaklah dijamin, supaya jam-jam kerja bersifat manusiawi dan ada
istirahat yang memadai, begitu pula hak untuk mengungkapkan kepribadian masing-masing
di tempat kerja sendiri, tanpa suarahati atau martabatnya dilanggar. Di sinilah
hendaknya disebutkan lagi peranan serikat-serikat pekerja, yang bukan hanya
merupkan upaya untuk mengadakan kontrak, melainkan juga ”ruang” bagi para
pekerja untuk mengungkapkan diri. Sebab serikat-serikat itubukan hanya
mendukung bertumbuhnya budaya kerja tertentu, melainkan membantu para pekerja
juga untuk ikut merasakan hidup sungguh manusiawi di lingkungan kerja mereka[44].
Untuk mencapai sasaran-sasaran itu Negara harus berperanserta secara langsung
atau tidak langsung. Secara tak langsung dan menurut prinsip subsidiaritas,
dengan memperbaiki kondisi-kondisi, untuk secara bebas menjalankan kegiatan
perekonomian, yagn akan membuka amat banyak kesempatan kerja dan menjadi sumber
kekayaan. Secara langsung dan menurut prinsip solidaritas, dengan menetapkan
batas-batas tertentu terhadap otonomi pihak-pihak, yang menentukan
kondisi-kondisi kerja, sehingga merek ayang tak berdaya dilindungi, begitu pula
denganmenjamin, supaya pekerja yang sedang mengaggur mendapat bantuan minimal
yang sangat diperlukannya[45].
Ensiklik ”Rerum Novarum” dan ajaran sosial Gereja yang berkaitan dengannya
selam amasa peralihan dari abad XIX ke abad XX mempunyai aneka pengaruhganda.
Pengaruh itu ternyata dari usaha-usaha pembaharuan yang tak terbilang
jumlahnya, yakni berupa jaminan-jaminan sosial serta uang pensiun maupun
asuransi kesehatan dan kompensasi bila terjadi kecelakaan, yakni berdasarkan
penghargaan lebih tinggi terhadap hak-hak kaum pekerja[46].
16. Sebagian
pembaharuan-pembaharuan itu diadakan oleh pelbagai Negara, tetapi untuk
mewujudkannya besarlah peranan gerakan kaum pekerja. Didorong oleh kesadaran
moril, gerakan itu muncul untuk menanggulangi pelanggaran-pelanggaran keadilan
dansituasi-situasi yagn merugikan, dan memperjuangkan pembaharuan-pembaharuan
yang meluas di kalangan serikat-serikat pekerja, dengan menjauhkan diri dari
beberapa ideologi yang kabur, dan denganperhatian sepenuhnya terhadap kaum pekerja
beserta kebutuhan-kebutuhan mereka sehari-hari. Di bidang ini perjuangan
gerakan itu bergabung dengan usaha umat kristiani, supaya perubahan
kondisi-kondisi hidup kaum pekerja berlangsung lebih lancar. Akan tetapi
kemudian gerakan itu dalam arti tertentu dikuasai oleh ideologi Marxis, yagn
disanggah oleh Ensiklik ”Rerum Novarum”. Pembaharuan-pembaharuan itu sebagian
juga merupakan hasil suatu proses terbuka masyarakat yang menata diri dengan
baik, degnan secara efektif mengerahkan upaya-upaya solidaritas, untuk
mengelola suatu perkembangan ekonomi, yang lebih mengindahkan nilai-nilai
pribadi. Di sini layaklah dikenangkan aneka macam usaha, yang terselenggara
dengan bantuan uamt kristiani yang cukup berarti juga, untuk membentuk
badan-badan para podusen maupun para konsumen, dan koperasi-koperasi
simpan-pinjam uang, untuk meningkatkan taraf pendidikan rakyat pada umumnya
serta lebih khusus lagi menyelenggarakan pendidikan kejuruan, untuk mengadakan
eksperimen-eksperimen berupa pelbagai bentuk partisipasi dalam kehidupan di
tempat kerja dan dalam kehidupan masyarakat pada umumnya.
Oleh karena itu, menilik masa yang silam, memang cukup beralasanlah kita
bersyukur kepada Allah, bahwa Ensiklik yang luhur itu samasekali bukannya tanpa
gema-pantulan dalam hati banyak orang, bahkan telah mendorong ke arah jawaban
yang menampilkan kebesaran jiwa dan kemahiran. Tetapi jangan kita lupakan pula,
bahwa amanat kenabian yang disampaikan oleh ensiklik itu tidak diterima
sepenuhnya oleh khalayak ramai ketika itu. Justru karena itulah telah timbul
bencana-bencana yang dahsyat.
17. Kalau Ensiklik ”Rerum
Novarum” kita baca dalam konteks kekayaan seluruh ajaran Paus Leo[47],
ternyatalah bahwa dokumen itu pada dasarnya menunjuk kepada
konsekuensi-konsekuensi suatu kesesatan di bidang sosial-ekonomi, yang
bahkan lebih luas dampaknya. Seperti telah kami sebutkan, kesesatan itu
terletak pada ajaran tentang kebebasan manusia, yang melepaskannya dari sikap
patuh terhadap kebenaran, maka dari itu juga dari kewajiban mengindahkan
hak-hak sesama. Begitulah kebebasan menjadi cinta diri hingga penghinaan
terhadap Allah dan sesama. Cinta diri itu tanpa batas memuja kepentingan
sendiri, dan sama sekali tidak mau dikendalikanoleh keadilan[48].
Kesesatan itu menimbulkan akibat buruk sekali dalam rangkaian perang-perang,
yang menghancurkan benua Eropga dan dunia antara tahun 1914 dan 1945.
Perang-perang itu meletus akibat militarisme dan nasionalisme ekstrim, dan
akibat bentuk-bentuk totalitarisme yang berkaitan dengannya. Ada pula
yang disebabkan oleh perjuangan kelas. Selain itu ada perang-perang saudara dan
pertempuran berdasarkan ideologi. Tanpa kebencian yang memuncak dan
kedengkianitu, yang dikobarkan oleh ketidak-adilan sosial antara
bangsa-bangsa maupun di dalam negeri sendiri , sudah tentu tidak akan
terjadi perang-perang sekeji itu, yang menyerap semua daya-kekuatan
bangsa-bangsa dan golongan-golongan sosial tertentu. Masih jelas
terkenang nasib bangsa Yahudi, yang sekarang dipandang sebagai lambang kejahatan
amat mengerikan, yagn dapat dijalankan oleh manusia yang memberontak melawan
Allah.
Adapun kebencian dan kejahatan sama seklai merasuki bangsa-bangsa dan
mendesaknya ke arah tindakan-tindakan nyata, bila disahkan oleh
ideologiideologi dan diselaraskan degnannya, yang lebih didasarkan atasnya dari
pada bertumpu pada kebenaran tentang manusia[49]. Ensiklik ”Rerum Novarum”
memerangi ideologi-ideologi yang mengobarkan kebencianitu, dan sekaligus
menunjukkan jalan untuk menyingkirkan kekerasan dan kedengkian melalui
keadilan. Semoga kenangan akan peristiwa-peristiwa yagn menimbulkan bencana itu
mengarahkan langkah-perbuatan semua orang, khususnya para pemimpin
bangsa-bangsa di masa sekarang, zamannya pelbagai bentuk lain ketidak-adilan
menghidup-hidupkan kebencian baru, zaman munculnya ideologi-ideologi baru, yang
mempropagandakan kekerasan!
18. Memang sejak tahun 1945 di
Eropa tidak ada pertempuran senjata lagi. Tetapi hendaknya diingat , bahwa
damai yang sejati tidak tercapai dengan kemenangan militer melulu, melainkan
terutama mengandaikan, bahwa sebab-musabab perang disingkirkan, dan bahwa
terwujudkan kerukunan antar bangsa yang tulus. Sudah bertahun-tahun lamanya
situasi di Eropa dan di seluruh dunia lebih tepat dipandang sebagai situasi
”tiada perang”, dari pada sebagai situasi damai yang sejati. Diktatur Marxis
menguasai separuh benua Eropa, sedangkan yang separuh lainnya berusaha
mengelakkan bahaya itu. Banyak bangsa kehilangan kedaulatannya sendiri dan
lumpuh tercengkam terkungkung dalam batas-batas regim tertentu, sedangkan
kenangan sejarah maupun akar-akar kebudayaan mereka yang sudah berabad-abad
umurnya terancam kepunahan. Akibat pembagian benua Eropa dengan kekerasan itu
sudah tidak terhitung masa orang-orang, yang terpaksa meninggalkan tanah air
mereka sendiri, atau dideportasikan secara paksa.
Perlombaan senjata yang kegila-gilaan menguras sumber-sumber daya, yang
diperlukan untuk mengembangkan ekonomi-ekonomi nasional dan untuk membantu
bangsa-bangsa yang belum terkembangkan. Kemajuan ilmu-pengetahuan maupun
teknologi, yang seharusnya diabadikan kepada kepentingan dan kesejahteraan
masyarakat, dijadikan upaya perang. Ilmu-pengetahuan dan teknologi dikerahkan
untuk produksi senjata-senjata yang semakincanggih dandestruktif. Sedangkan
dari ideologi, yang memutarbalikkan filsafat yang sejati, dicari dalih-dalih
untuk membenarkan tindakanmengangkat senjata lagi. Dan perang itu bukan hanya
diperkirakan sebelumnya dan disiapkan, melainkan kenyataanya memang dijalankan
dengan pertumpahan darah yang keji di banyak wilayah dunia. Sistim blok-blok
antar bangsa dan antar Negara, yang dikecam dalam dokumen-dokumen Gereja dan
belum lama ini dalam Ensiklik ”Sollicitudo Rei Socialis”[50], menimbulkan situasi semua
pertikaian dankonflik di kawasan Negara-Negara Dunia Ketiga dibangkitkan
dan diperluas lingkupnya, sehingga Negara lawan terpojokkan oleh
kesulitan-kesulitan.
Kelompok-kelompok revolusioner, yang berusaha memecahkan konflik-konflik itu
dengan mengankat senjata, dengan mudah mendapat dukungan politik dan militer,
danmereka dipersenjatai serta memang sudah terlatih untuk berperang. Sebalinya,
mereka yang berusaha memecahkan persoalan secara damai dan
penuhperikemanusiaan, dan yang tetap menghormati hak-hak yang wajar semua pihak,
mengalami isolasi dan dikepung oleh lawan-lawan mereka. Lagi pula, militarisasi
banyakNegara Dunia Ketiga dankonflik-konflik dalam negeri yang mereka alami,
begitu pula berkembang biaknya terorisme dan penggunaan upaya-upaya
yangmakin biadab untukmelancarkan konflik-konflik politik dan militer, terutama
justru didukung oleh damai yang tidak stabil, yang menyusul Perang Dunia II.
Apalagi seluruh dunia tertekan oleh ancaman perang atom yang dapat
menghancur-leburkan umat manusia.
Akhirnya teknologi dan ilmu-pengetahuan, yang diabadikankepada kegiatanmiliter,
menyediakan upaya yang amat efektif bagi kebencian yang memang masih diteguhkan
lagi oleh beberapa ideologi. Tetapi karena perang yangmereka kobarkan dapat
berakhir dengan kebinasaan umat manusia, tanpa ada pihak yang menang atau
kalah, maka jalan yang membuka perang harus dihindarisama seklai. Sekaligus
harus ditolak pendapat seolah-olah perjuanganuntuk membinasakan musuh ,
konfrontasi dan perang sendiri, merupakan faktor-faktor kemajuan dan
perkembangan sejarah[51]. Bila perlunya penolakan itu difahami, sudah
pasti masih harus dipertanyakan juga faham ”perang total”, begitu pula faham
”perjuangan kelas”.
19. Tetapi menjelang akhir
Perang Dunia II pandangan semacam itu baru sedang berkembang dalam kesadaran
masyarakat umum. Adapun yang paling menyolok dannampak dengan jelasnya ialah:
Totalitarisme Marxis meluas meliputi lebih dari separuh benua Eropa dan
menjalar ke sebagian terbesar dunia. Jelas pula perang, yang semula dimaksudkan
untuk mengembalikan kebebasan dan menegakkan kembalihak para bangsa,berakhir
tanpa mencapai sasaran itu. Bahkan bagi banyak bangsa terutama bagi mereka yang
menanggung keganasanperang, jelaslah perang itu justru bertentangan dengan
maksud-maksud tadi. Dapat dikatakan,bahwa situasi yang diciptakan karenanya
mengundang pelbagai tanggapan.
Sesudah bencan perang, dengan berbagai cara nampaklah di berbagai bangsa usaha
dan daya-upaya untuk membangun kembali masyarakat demokratis yang berhaluan
keadilan sosial, untuk melucuti Komunisme sendiri dari kekuatan danmaksudnya
untuk mengobarkan revolusi, seperti nampak pada massa rakyat yang tersiksa dan
tertindas. Pada umumnya budi-day itu dimaksudkan untuk melestarikanmekanisme
pasar bebas. Sementara itu-melalui sistem moneter yang stabil dan
keselarasan yang sejati dalam hubungan-hubungan sosial-mau diusahakan
kondisi-kondisi untuk pertumbuhan ekonomi yang sehat dan berlangsung secara
teratur, supaya dengan bekerja bagi diri sendiri beserta keluarga mereka rakyat
dapat membangun masa depan yang lebih sejahtera. Sementara itu pula dijalankan
ikhtiar-ikhtiar untuk mencegah , jangan samapi mekanisme pasar dianggap sebagai
tujuan terakhir bagi seluruh hidup manusia, dan untuk menaruhnya di bawah
pengawasan umum, sehingga secara efektif ditegakkan prinsip, bahwa harta-benda
bumi diperuntukkan bagi semua orang.
Dalam konteks itu lapangan kerja yang lebih luas, sistim jaminan sosial yang
tangguh dan sekaligus menyediakan kerja, kebebasan untuk bergabung dengan serikat-serikat
pekerja yang mampu mengambil tindakan efektif, tersedianya bantuan bila
ada pengangguran, wahana-wahana untuk secara demokratis berperan-serta dalam
kehidupan sosial,itu semua dimaksudkan untuk membebaskan kerja sendiri dari
kondisi-kondisi seolah-olah kerja diperdagangkan semata-mata, dan untuk
menjamin martabat kerja.
Kemudian ada pula kekuatan-kekuatan sosial dan gerakan-gerakan lainnya, yang
menentang Marxisme dengan membentuk sistim ”keamanan sosial”, yang dengan
cermat-waspada memantau seluruh masyarakat, untukmencegah infiltrasi dan
merasuknya Marxisme. Ada pula yang mengira dapat melindungi rakyat terhadap
Komunisme, dengan menyanjung-nyanjung dan meningkatkan kekuasaan Negara.
Tetapi dengan menempuh cara itu timbullah bahaya, jangan-jangan kebebasan
maupun nilai-nilai pribadi lmalahan dihancurkan, padahal justru demi
nilai-nilai itulah Komunisme perlu dilawan.
Suatu pola tanggapan lain serinkali dilancarkan secara konkrit dalam masyarakat
yang serba kaya atau konsumeristis. Masyarakat semacam itu berpandangan akan
menaklukkan Marxisme dalam bidang materialisme melulu, dengan menunjukkan bahwa
masyarakat pasar bebasa lebih mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia dari
pada Marxisme, tetapi denganmengesampingkannilai-nilai rohani juga.
Kenyataannya, pola tata-sosial seperti itu di satu pihak memang menunjukkan
kegagalan usaha sistim Marxis untuk menciptakan masyarakat baru yang lebih
baik; dilain pihak, sejauh merongrong otonomi kehidupan, keluhuran nilai moril
dan hukum serta kebudayaan, maupun menyangkal pentingnya agama, tata-sosial itu
sejalan dengan Marxisme, dan sama-sama memerosotkan manusia ke dalam bidang
perekonomian melulu, dan ke dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmani
semata-mata.
20.Selama periode itu juga
makin meluaslah proses ”dekolonisasi”: banyak bangsa memperoleh atau merebut
kembali kemerdekaan dan haknya, untuk secara bebas menentukan nasibnya sendiri.
Tetapi dengan mendapat kembali kedaulatan politiknya itu Negara-Negara itu baru
beranjak pada awal perjalanannya menuju kemerdekaan yang sejati. Sebab
sektor-sektor ekonomi yang sangat menentukan masih dikuasai oleh
perseroan-perseroan asing yang besar, yang tidak bersedia mengikat diri untuk
ikut mengusahakan pembangunan jangka panjang bangsa yang menampungnya.
Demikianlah kehidupan politik sendiri dikendalikanoleh kekuasaan-kekuasaan
asing, sedangkan dalam kawasan nasional sendiri tetap masih terdapat suku-suku
yang belum terintegrasikan menjadi kesatuan nasional yang sejati. Selain itu
masih sungguh terasa kekurangan akan kelompok yang kompeten, untuk melaksanakan
aparat pemerintahan dengan jujur dan saksama. Begitu pula masih dibutuhkan
lembaga-lembaga yang kompeten, untuk secara efektif mengelola bidang
perekonomian.
Menghadapi situasi internasional sekarang ini, banyak sekali orang yangmasih
mengira, bahwa Marxisme mampu merintis semacam jalan pintas untuk membangun
Bangsa dan Negara. Maka muncullah aneka bentuk Sosialisme dengan ciri-ciri khas
nasional. Tuntutan-tuntutan yang wajar akan kesejahteraan tanah air, pelbagai
bentuk nasionalisme pun juga militarisme, begitu pula beberapa asas yang
dijabarkan dari tradisi-tradisi rakyat-yang ada kalanya selaras juga dengan
ajaran sosial kristiani,-beitu pula konsep-konsep Marxisme-Leninisme, itu semua
bercampur-baur dengnabanyak ideologi, yang mengenakan pola yang serba
berlain-lainan.
21. Akhirnya perlu diingat
juga, bahwa seusai Perang Dunia II, dan sebagai reaksi melawan kekejamannya,
makin meluaslah keprihatinan yang kian mendalam akan hak-hak manusia, yang
diakui dan diterima sepenuhnya olah berbagai Dokumen internasional[52],
dan-boleh dikatakan-dengan penyusunan suatu ”Hak Bangsa-Bangsa” yang baru, yang
selalu juga menampung sumbangan-sumbangan Takhta suci. Penopang dan
bagaikan poros perkembangan itu ialah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tetapi
bukansaja telah berkembang kesadaran akan hak-hak setiap manusia, melainkan
juga akan hak-hak bangsa masing-masing, karena sekaligus tumbuhlah pemahaman,
betapa perlunya tindakan yang nyata untuk menyerasikan berbagai
ketidak-seimbangan yang gawat antara berbagai kawasan dunia. Dalam arti
tertentu ketimpangan di pelbagai bidang itu telah menggeser titikberat
masalah sosial dari tingkat nasional ke arah taraf internasional[53].
Sementara proses perkembangan itu kami kenangkan dengan senang hati, toh tidak
boleh didiamkan saja, bahwa keseluruhan segala kebijakan bantuan untuk
pembangunan tidak selalu mencapai hasil yang positif. Perserikatan
Bangsa-Bangsa sendiri pun belum berhasil menciptakan upaya-upaya yang efektif
untuk menyelesaikan konflik-konflik internasional tanpa melalui perang, yang di
masa mendatang masih perlu dipecahkan oleh Keluarga bangsa-bangsa.
BAB III
TAHUN 1989
22. Bertolak dari situasi
dunia yang tadi telah dilukiskan, dan panjang-lebar diuraikan juga dalam
Ensiklik ”Sollicitudo Rei Socialis”, dapat difahamilah makna yang tak terduga
dan memberi harapan yang besar, yang tercantum dalam peristiwa-peristiwa
tahun-tahun terakhir ini. Puncaknya tercapai pada
kejadian-kejadian tahun 1989 di Negara-Negara Eropa Tengah dan Timur. Tetapi
peristiwa-peristiwa itu meliputi jangka waktu jauh lebih panjang dan kawasan
dunia yang jauh lebih luas. Sebab dalam dasawarsa 1980-an di beberapa Negara
Amerika Latin, pun juga di Afrika dan Asia, berbagai pemerintah diktatorial dan
opresif digulingkan. Di daerah-daerah lain mulailah perjalanan yang memang
sulit tetapi berbuah subur, proses perombakan menuju struktur-struktur
kenegaraan, yang memungkinkan partisipasi lebih luas dan menampakkan keadilan
lebih mantap. Sumbangan yang amat berbobot, bahkan cukup menentukan, diberikan
oleh kesanggupan Gereja untuk membela dan memantapkan hak-hak manusia. Sebab
dalam situasi-situasi yang terpengaruh kuat oleh ideologi tertentu, sedangkan
sejumlah aliran yang beraneka-ragam mengaburkan makna martabat semua orang,
Gereja dengan jelas-tegas mengajarkan, bahw asetiapmanusia, entah bagaimana pun
keyakinannya, mengemban citra Allah dalam dirinya, oleh karena itu memang
selayaknya dihargai dan dihormati. Seringkali mayoritas rakyat menyetujui
pernyataan itu. Maka dari itu dicari cara-cara perjuangan dan pemecahan
masalah-persoalan politik yang lebih menghormati martabat pribadi.
Selanjutnya dari proses sejarah itu muncullah bentuk-bentuk baru demokrasi,
yang menimbulkan harapan akan berlangsungnya perubahan dalam keseluruhan
struktur-struktur sosial-politik yang serba rapuh, pun masih juga dibebani oleh
rangkaian ketidak-adilan dan kebencian, yang mengakibatkan banyak penderitaan,
dan oleh keadaan ekonomi yang cukup0 parah, serta oleh konflik-konflik sosial
yang sungguh gawat. Maka dari itu b ersama denganGereja semesta kami bersyukur
kepada Allah atas kesaksian yang sering berjiwa kepahlawanan, yang dalam
situasi sesukar itu telah diberikanoleh banyak para gembala, oleh jemaat-jemaat
beriman secara keseluruhan, oleh orang-orang kristiani perorangan, dan oleh
orang-orang lain yang beriktikad baik. Dan sekaligus kami mendoakan, supaya
Allah berkenan menopang usaha-usaha semua orang, yang bertujuan membangun masa
depan yang lebihabik. Sebab itu merupkan tanggung jawab bukan hanya para warga
Negara-Negara yang bersangkutan, melainkan segenap umat kristiani dan semua
orang yang berkehendak baik. Sebab memang perlu dibuktikan,bahwa masalah-persoalan
serba kompleks yang dihadapi oleh bangsa-bangsa itu dapat dipecahkan melalui
dialog dan solidaritas, tanpa perjuangan dan perang untuk membinasakan lawan.
23. Di antara sekian banyak
faktor, yang menyebabkan tumbangnya pemerintah-pemerintah yang diktatorial itu,
ada beberapa yang layak disebutkan secara khusus. Sudah tentu suatufaktor yang
menentukan yang menimbulkan pergolakan itu, ialah pelanggaran hak-hak kaum
pekerja. Sebab tidak boleh dilupakan, bahwa krisis mendasar dalam pemerintahan-pemerintahan,
yang berani mempropagandakan suatu kedaulatan, bahkan suatu diktatur atas kaum
pekerja, mulai dengan timbulnya gerakan-gerakan besar di Polandia atas nama
“Solidaritas”. Sebab massa para pekerja sendirilah, yang tegas-tegas menolak
ideologi yangberdalih menyarakankepentingan mereka. Sedangkan mereka itu
berdasarkan pengalaman kerja dan penindasan yang sungguh kejam dan pahit
menemukan lagi dan bagaikan menyingkapkan isi dan asas-asas ajaran sosial
Gereja.
Layak pula dikemukakan: runtuhnya “blok” atau kekuasaan semacam itu hampir di
mana-mana tercapai melalui perjuangan tanpa kekerasan, hanya
bersenjatakankebenarand an keadilan. Marxisme berpendirian bahwa hanya dengan
memperuncing konflik-konflik sosiallah pertikaian-pertikaian itu mungkin
dipecahkan melalui konfrontasi dengan kekerasan. Sedangkan perjuangan yang
mengakibatkan tumbangnya Marxisme dengan gigih tetap berdaya-upaya menempuh
setiapcara perundingan, dialog dan kesaksian akan kebenaran, menyapa hatinurani
pihak lawan, dan mencoba membangkitkan kesadaran mereka akan martabat pribadi
semua orang.
Nampaknya saja tata politik seluruh Eropa, yang dihasilkan oleh Perang Dunia
II, dan dikukuhkan oleh Perjanjian Yalta, hanya dapat digulingkan melalui suatu
perang yang lain lagi. Sebaliknya tata politik itu telah diatasi sama sekali
tanpa tindakan dankesanggupan menggunakan kekerasan dari pihak
kelompok-kelompok, yang tidak pernah mau menyerah kepada serangan-serangan
kekerasan, dan secara berangsur-angsur menemukan cara-cara yang efektif
untuk memberikan kesaksian tentang kebenaran. Itulahyang menyebabkan lawan
kehilangan senjatanya. Sebab kekerasan selalu membutuhkan pembelaan dan
pembenaran melalui kebohongan, dan menimbulkan kesan-kendati itu kesan yang
palsu-seolah-olah sedang membela suatuhak atausedang menanggulangi
ancaman-ancaman dari pihak-pihak lain[54]. Lagi kami mengucap syukur kepada
Allah, yang telahmeneguhkan hatibanyak orang di tengah cobaan-cobaan yang
berat, dan kamimemohon dalam doa, supaya teladan seperti itu dapat
bermanfaat juga di lain tempat dan dalam situasi-situasi yang lain. Semoga
banyak orang belajar memperjuangkan keadilan tanpa sedikit pun menggunakan
kekerasan, menolak perjuangan kelas dalam konflik-konflik dalam negeri, dan
menolak perang dalam menyelesaikan konflik-konflik internasional.
24. Kemudian suatu faktor lain
dalam krisis itu sudah barang tentu ialah tidak efisiennya seluruh sistim
perekonomian, yang tidak boleh dipandang melulu sebagai rintangan teknis,
melainkan merupakan konsekuensi pelanggaran hak-hak manusia mengenai usaha
swasta, pemilikan harta, dankebebasan di bidang ekonomi. Selain itu perlu
ditambahkan dimensi budaya dan nasional. Sebab manusia memang tidak mungkin
difahami melulu dari sudut ekonomi, atau didefinisikan semata-mata berdasarkan
keanggotaannya dalam golongan tertentu masyarakat. Manusia dimengerti
sepenuhnya, bila ia ditempatkan adalam suatu lingkup kebudayaan melalui bahasa
dan sejarahnya, dan melalui posisi yang diambilnya terhadap peristiwa-peristiwa
pokok hidupnya, misalnya terhadap kelahiran dan cinta kasih, terhadap kerja dan
kematian. Akan tetapi inti setiap kebudayaan terletak pada sikap manusia
terhadap rahasia yang paling mendalam, yaknimisteri Allah. Sebab
kemacam-ragaman kebudayaan pada dasarnya merupakan keanekaan cara menanggapi
pertanyaan tentang makna hidup setiap orang; bila pertanyaan itu ditiadakan,
kebudayaan dan kehidpan moril bangsa-bangsa pun mengalami kehancuran. Oleh
karena itu perjuangan untuk membela kerja manusia secara spontan dikaitkan
dengan perjuangan demi kebudayaan dan hak-hak nasional.
Akan tetapi yang sesungguhnya mengakibatkan perkembangan-perkembangan baru itu
ialah kekosongan rohani, yang ditimbulkan oleh ateisme, yang menyebabkan
generasi muda kehilangan arah yang tepat; pun tidak jarang menggerakkannya,
untuk-dalam menelusuri jati-dirinya sendiri beserta makna hidupnya terdorong
oleh hasrat yang tak terkendalikan-akhirnya menggali lagi urat-akar religius
kebudayaan bangsa mereka, dan menemukan kembali pribadi Yesus Kristus sendiri,
sebagai jawaban yang pada hakekatnya memadai terhadap kehausan akan kebenaran,
kebaikan dankehidupan, yang tertanam di hati setiap orang. Usaha menelusuri
jati-diri dan makna hidup itu diteguhkan juga oleh kesaksian mereka semua, yang
tetap setia kepada Allah. Sebab dulu Marxisme telah berjanji untuk mengikis
kebutuhan akan Allah dari hati manusia. Padahal hasil justru telah membuktikan,
bahwa itu sama sekali tidak mungkin, kecuali dengan sungguh mengacau-balaukan
hati manusia.
25. Peristiwa-peristiwa tahun
1989 menyajikan contoh berhasilnyakemauan yangkuat untukberunding dan semangat
Injil dalam menghadapi lawan yangberpendirian: tidak bersedia mengikat diri
pada prinsip-prinsip moril. Selaigus kejadian-kejadian itu merupakan peringatan
bagi siap pun, yangberdalihkan suatu “realisme politik” berusaha menyingkirkan
hukum dan moralitas dari gelanggang politik. Jelaslah perjuangan, yang
menghasilkan perubahan-perubahan pada tahun 1989, memerlukan pemikiran yang
jernih dan pengendalian diri, serta menuntut penderitaan dan pengorbanan. Dalam
arti tertentu perjuangan itu lahir dari doa, dan tidak terbayangkan tanpa
kepercayaan tak terhingga akan Allah, Tuhan sejarah, yang bagaikan menaruh hati
manusia dalam tangan-Nya. Maka dari itu bila manusia tahu menggabungkan
penderitaannya demikebenaran dan kebebasan dengan kesengsaraan Yesus Kristus di
salib, ia mampu mewujud-nyatakan mukjizat damai, pun juga mampu mengenali jalan
yang seringkali sempit antara sikap berkecilhati yang menyerah saja kepada
kejahatan di satu pihak, dan kekerasan di pihak lainnya, yang-dengan mengelabui
diri seolah-olah mampu mengalahkan kejahatan-justru melipatgandakannya.
Akan tetapi tidak dapat dilupakan, bahwa cara orang mengamalkan kebebasannya
memang terikat pada banyak persyaratan : memang kondisi-kondisi itu
mempengaruhi kebebasan, tetapi tidak mengekangnya; syarat-syarat itu dapat
mempermudah atau mempersukar pelaksanaan kebebasan, tetapi tidak dapat
menghancurkannya. Bukan saja ditinjau dari sudut etika manusia tidak boleh
mengabaikan kodratnya, yang diciptakan untuk kebebasan; tetapi dalam kenyataan
itu memang tidak mungkin juga. Sebab bilamana pun masyarakat ditata sedemikian
rupa, sehingga seluruh bidang pengamalan kebebasan yang sewajarnya dipersempit
dengan sewenang-wenang, atau bahkan ditiadakan sama sekali, akibatnya ialah,
bahwa hidup kemasyarakatan lambat-laun semakin kacau-balau dan merosot.
Lagi pula manusia, yang diciptakan untuk kebebasan, membawa serta luka-luka
dosa asal, yang terus menerus menjuruskannya ke arah kejahatan, dan
menyebabkannya membutuhkan penebusan. Bukan saja ajaran itu merupakan unsur
integral perwahyuan kristiani, melainkan memberi penejelasan yangamat berharga
dan penting sekali juga, karena sangat membantu untuk menyelami kebenaran
tentang manusia. Sebab manusia memang menuju ke arah kebaikan, tetapi dapat
juga berbuat jahat. Ia mampu melamapui kepentingannya yang langsung, tetapi toh
masih terikat juga padanya. Oleh karena itu tata masyarakat akan kian stabil,
semakin kenyataan itu diperhitungkan, dan kepentingan perorangan tidak
dipertentangkannya terhadap kesejahteraan masyarakat secara
keseluruhan,melainkan dicari jalan untukmenyelaraskan keduannya, sehingga
tercapailah hasil yang lebih baik lagi. Sebab di mana pun kepentingan
perorangan ditindas secara paksa, itu digantikan dengan sistim pengawasan
birokratis, yang menimbulkan tekanan berat, dan mengeringkan sumber-sumber
prakarsa dan daya-cipta. Bila orang-orang mengira mengetahui rahasia terdalam
tata masyarakat yang sempurna, seolah-olah sudah melumpuhkan segala bentuk
kejahatan, mereka lalu mengira pula boleh menggunakan upaya mana pun juga,
termasuk tipu-muslihat dan siasat-siasat yang kejam, untuk mewujudkan tata
masyarakat itu. Kemudian ideologi politik menjadi semacam “agama sekular”, yang
berpretensi semu, seakan-akan mampu menciptakan firdaus di dunia ini. Padahal
tiada masyarakat politik, -yang mempunyai otonomi dan hukum-hukumnya sendiri[55],-boleh
dicampuradukkan dengan Kerajaan Allah. Perumpamaan Injil tentang gandum dan
lalang (bdk.Mat 13:24-30, 36-43) dengan jelas mengajarkan, bahwa Allah
sendirilah yang akan memisahkan para warga Kerajaan dari anggota si Jahat, dan
bahwa pengadilan itu akan berlangsung pada akhir zaman. Barangsiapa
memberanikan diri untuk sejak sekarang ini mendahului pengadilan itu, ia
menaruh diri di tempat Allah, dan melawan kesabaran-Nya.
Berkat korban Kristus di salib sekali untuk selamanya kejayaan Kerajaan Allah
telah tercapai. Tetapi kehidupan kristiani menuntut perjuangan melawan
tipu-muslihat dan kekuatan kejahatan. Baru menjelang akhir sejarahlah Tuhan
akan datang lagi dalam kemuliaan-Nya untukmenjatuhkan pengadilanterakhir (bdk.
Mat 25:31), dengan membangun langit baru dan bumi baru (bdk. 2Ptr 3:13; Why 21:1).
Tetapi di sepanjang sejarah pertempuran antara kebaikan dan kejahatan tetap
akan mengamuk di lubuk hati manusia.
Segala sesuatu, yang diajarkan olehKitab suci tentang kenyataan terakhir
Kerajaan Allah, sekaligus membawa konsekuensi-konsekuensinya bagi kehidupan
masyarakat ”temporal”, yang menurut istilahnya sendiri-memang tercakup dalam
kurun waktu,beserta segala ketidaksempurnaan dan sifat sementaranya. Kerajaan
Allah, yang berada di dalam dunia tanpa berasal dari dunia, menyinari tata masyarakat
manusia, sementara daya-kekuatan rahmat merasukinya dan menghidupkannya.
Begitulah tuntutan-tuntutan masyarakat yang sungguh layak bagi manusia difahami
secara lebih gamblang; kesesatan-kesesatan dikecam; keberanian
untukmengusahakan yang serba baik diteguhkan. Dalam persatuan dengan semua
orang yang beriktikad baik, umat kristiani dan terutama kaum awam[56]
dipanggil untuktugas menjiwai kenyataan-kenyataan manusia dengan Injil.
26. Peristiwa-peristiwa tahun 1989 terutama
berlangsung di Negara-Negara Eropa Timur dan Tengah. Tetapi kejadian-kejadian
itu cukup bermakna dan berbobot bagi seluruh dunia, sebab menimbulkan
konsekuensi-konsekuensi positif maupun negatif, yang menyangkut seluruh
keluarga manusia. Konsekuensi-konsekuensi itu tidak berlangsung secara otomatis
atau menyerupai takdir yang tak terelakkan; melainkan terutama membuka
peluang-peluang bagi kebebasan manusia untuk bekerja sama dengan Rencana
belaskasihan Allah yang bertindak dalam sejarah.
Konsekuensi pertama di berbagai Negara ialah perjumpaan Gereja dengan gerakan
kaum pekerja, yang dulu muncul sebagai suatu reaksi etis dan khususnya
kristiani terhadap situasi ketidak-adilan yang sangat meluas. Selama kurang
lebih satu abad gerakan itu sebagian berada di bawah dominasi Marxisme atas
keyakinan, bahwa untuk melancarkan perlawanan efektif terhadap
penindasan, kaum pekerja harus menganut teori-teorinya yang berhaluan
materialisme di bidang perekonomian.
Di tengah proses hancurnya Marxisme tercetuslah ungkapan-ungkapan atas kemauan
kaum pekerja sendiri, yang menyuarakan tuntutan keadilan serta pengakuan
terhadap martabat kerja manusia menurut ajaran sosial Gereja[57].
Gerekan pekerja berpengaruh atas golongan para pekerja yang lebih besar dan
mereka yang beriktikad baik, demi pembebasan pribadi manusia dan penegakan
hak-haknya. Gerekan itu sekarang ini tersebar di banyak Negara, sama sekali
tidak menentang Gereja Katolik, malahan menyimak langkah-langkahnya penuh
perhatian.
Krisis Marxisme sama sekali tidak menyingkirkan darimuka bumi situasi-situasi
ketidak-adilan dan penindasan, yang oleh Marxisme sendiri disalah-gunakan
sewenang-wenang sebagai jalan untuk mengembangkan diri. Akan tetapi kepada
mereka , yang sekarang ini sedang mencari pandangan dan pelaksanaan yang baru
dan otentik untuk mengusahakan pembebasan Gereja bukan hanya menyajikan ajaran
sosialnya, dan pada umumnya pengajarannya tentang pribadi manusia yang ditebus
oleh Kristus, melainkan menyumbangkan juga jasa-bantuannya yang kongkrit dan sungguh
berarti, supaya jangan ada lagi orang-orang yang terdesak ke pinggiran
masyarakat atau menanggung penderitaan.
Belum lama ini hasrat yang tulus untuk memihak mereka yang tertindas dan untuk
tetap mengikuti arus perkembangan sejarah telah mendorong banyak orang beriman
untuk dengan aneka cara mencari kompromi antara Marxisme dan visi kristiani,
dan itu ternyata sama sekali tidak mungkin. Melampaui segala sesuatu yang dalam
usaha-usaha itu ternyata tidak efektif, zaman sekarang inimalahan mendorong,
supaya ditegaskan lagi nilai positif teologi seutuhnyta tentang pembebasan
manusia yang menyeluruh[58]. Ditinjau dari sudut itu, peristiwa-peristiwa
tahun 1989 akhirnya ternyata penting sekali juga bagi Negara-Negara Dunia
Ketiga, yang sedang merintis jalan pembangunannya, seperti telah diusulkan
sebelumnya oleh Negara-Negara Eropa Tengah dan Timur.
27. Konsekuensi kedua menyangkut bangsa-bangsa
Eropa sendiri. Banyak sekali tindakan melanggar keadilan, yang telah terjadi
terhadap perorangan maupun masyarakat, terhadap daerah-daerah dan bangsa-bangsa
tertentu selama masa merajalelanyaKomunisme, bahkan juga sebelumnya. Ketika itu
kebencian danpermusuhan semakin menjadi-jadi. Sekarang ada bahaya sungguh
nyata, jangan-jangan dengan runtuhnya pemerintah diktatorial ketidakadilan,
kebencian dan permusuhan itu muncul lagi dengan dahsyatnya, dan mengundang
konflik-konflik yang gawat serta menimbulkan penderitaan-penderitaan yang
berat, kalau perjuangan moril itu serta usaha penuh kesadaran untuk memberi kesaksian
tentang kebenaran akan mengendor. Padahal perjuangan itulah yang
dimasa lampau telah mendorong usaha-usaha. Oleh karena itu mudah-mudahan saja
kebencian dan kekerasan jangan sampai merajalela dihati orang-orang, terutama
mereka yang memperjuangkan keadilan;melainkan semoga semua orang semakin
dijiwai semangat damai dan pengampunan.
Tetapi yang diperlukan ialah berbagai keputusan konkrit untuk menciptkan atau
memantapkan berbagai struktur internasional, yang sebagai penengah dengan
tindakan-tindakan yang tepat memainkan peranan dalam konflik-konflik
internasional, sehingga masing-masing bangsa mampu mengakkan hak-haknya
sendiri, dan tercapailah persetujuan yang adil dan keseepakatan damai seturut
hak-hak bangsa-bangsa lain. Itu semua terutama dibutuhkanbagi Negara-Negara
Eropa, yang saling berhubungan erat berdasarkan ikatan kebudayaan bersama dan
sejarah berabad-abad lamanya. Diperlukan usaha raksasa, supaya bangsa-bangsa
yang telha menolak Komunisme, mengalami pembaharuan di bidang tata-susila dan
perekonomian. Sebab sudah cukup lama hubungan-hubungan yang mendasar di bidang
ekonomi serba timpang dan tidak wajar, dan keutamaan-keutamaan dasar kehidupan
ekonomi, misalnya: kejujuran, sifat layak dipercaya dan kerja keras,
dikesampingkan saja. Diperlukan pembaharuan penuh kesabaran di bidang materiil
dan moril. Sebab bangsa-bangsa yang menanggung keadaan parah karena sampai lama
serta terlantar menghendaki, supaya pemerintah-pemerintahnya memperbuahkan
hasil-hasil konkrit dan langsung berupa kesejahteraan tertentu, dan supaya
aspirasi-aspirasinya yang wajar dipenuhi sebagaimana layaknya.
Gugurnya Marxisme besar sekali dampaknya atas pembagian dunia dalam beberapa
kawasan yang saling tertutup, yang satu melawan yang lain, dan kesemuannya
saling menyaingi. Keruntuhanitu selanjutnya memperjelas kenyataan,betapa
bangsa-bangsa saling tergantung; begitu pula,bahwa jerih-payah manusia pada
hakekatnya dimaksudkan untuk menghimpun, dan bukan lagi untuk mencerai-beraikan
bangsa-bangsa. Sebab damai dan kesejahteraan merupakan nilai-nilai dambaan
segenap umat manusia, sedemikianrupa sehingga itu semua tidak dapat dinikmati
sewajarnya untuk jangka waktu yang lama, bila diperoleh atau dipertahankan
sampai merugikan bangsa-bangsa dan Negara-Negara lain, seraya melanggar hak-hak
mereka, atau menutup sumber-sumber kesejahteraa bagi mereka.
28. Dalam arti tertentu
pada berbagai bangsa Eropa masa “pasca-perang” yang sesungguhnya baru saja
mulai. Sebab penataan ulang sistim-sistim perekonomian, yang sampai akhir-akhir
ini bersifat “kolektif”, membawa serta berbagai masalah dan pengorbanan, yang
dapat dibandingkan juga dengna pengorbanan-pengorbanan dan kerugian-kerugian
yang membebani Negera-Negara Eropa Barat, ketika harus membangun diri lagi
sesudah Perang Dunia II. Maka sudah sewajarnyalah, bahwa dalam menanggulangi
kesulitan-kesulitan sekarang ini Negara-Negara yang dulu berpemerintahan
Komunis, memperoleh bantuan serentak dari Negara-Negara lain. Memang sudah
jelas, bahwa merekka senidirlah yang pertama-tama harus mengusahakan
pembangunan mereka sendiri. Akan tetapi Negara-Negara itu selayaknya juga
mendapat peluang yang wajar untuk mewujudkan pembangunan itu, dan itu
mustahiltanpa bantuan Negara-Negara lain. Lagi pula, situasi mereka sekarang,
yang penuh dengan kesulitan dan kekurangan, merupakan akibat suatu proses
historis, yang melibatkan Negara-Negara yang dulu berhaluan Komunis seringklai
sebagia bulan-bulanan melulu, bukan sebagai pemeran-serta. Maka Negara-Negara
itu berada dalam situasi sekarang ini bukan atas pilihan sendiri, atau akibat
kesalahan-kesalahan mereka sendiri, melainkan sebagai konsekuensi
peristiwa-peristiwa tragis, yang secara paksa ditimpakan atas mereka.
Demikianlah mereka terhalang, untuk tetap masih menempuh jalan pembangunan
sosial-ekonomi.
Bantuan Negara-Negara lain terutama di Eropa,-sebab Negara-Negara itu ikut
berperanan dalam peristiwa-peristiwa tadi, maka juga ikut bertanggung jawab
atasnya, -memang memenuhi kewajiban keadilan yang jelas. Akan tetapi bantuan
itu juga perlu diberikan demi kepentingan dan kesejahteraan seluruh Eropa, yang
sama sekali tidak akan dapat mengalami kehidupan damai, sekiranya pelbagai
konflik, yang bagaikan kelanjutan bersumber pada masa lamapu, justru semakin
meruncing akibat situasi kekacauan ekonomi, keresahan dalam negeri dan rasa
putus asa.
Akan tetapi keharusan membantu itu jangan sampai mengakibatkan lambannya
perencanaan dan usaha-usaha untuk menolong dan melindungi Negara-Negara Dunia
Ketiga. Sebab Negara-Negara itu pun masih banyak yang menanggung situasi
kemiskinan dankemelaratan, yang bahkanmasih jauh lebih parah lagi[59].
Yang akan dibutuhkan adalah suatuusaha istimewa untuk mengerahkansemua sumber
daya dan tenaga, yang diperlukan oleh seluruh dunia untuk mewujudkan
pengembangan ekonomi danpembangunan semesta, denganlebihdulu menentukan
prioritas-prioritas dan tata-urutan nilai-nilai, sebagai dasar untuk menyusun
perencanaa di bidang perekonomian dan politik. Akan dapat disediakan
sumber-sumber daya yang luar biasa besarnya, dengan membatalkan
perlengkapan-perlengkapanmiliter yang dulu disiapkan untuk menhadapi konflik
antara Timur dan Barat. Sumber-sumber daya itu seperti lazimnya-dapat disusun
bersama prosedur-prosedur yang sungguh andal, untuk menyelesaikan konflik-konflik,
dan dengna demikian prinsip pengendalian dan pengurangan persenjataan akan
berlaku juga di Negara-Negara Dunia Ketiga, melaui upaya-upaya yang tetap
melawan perdagangan senjata[60]. Tetapi yang pertama-tama akan diperlukan ialah
menaagalkan seluruh mentalitas, yang menganggap kaum miskin –orang-orang
maupn bangsa-bangsa-sebagai suatu beban dan gangguan yang menjengkelkan, yang
hanya menghabiskan hasil jerih-payah orang-orang lain saja. Sebab kaum miskin
menginginkan hak untuk ikut mendaya-gunakan buah-hasil konkrit itu, dan
menggunakan kemampuan kerja mereka untuk memperbuahkan hasil yang berfaedah,
dan dengan demikian menciptakan dunia yang serba lebih adil dan lebih sejahtera
bagi semua penghuninya. Peningkatan mutu hidup kaum miskin membuka peluang
sungguh besar bagi kemajuan moril dan bu-daya dan bahkan di bidang perekonomian
juga untuk semua orang.
29. Akhirnya janganlah
pembangunan dibatasi maknanya pada bidang perekonomian melulu,
melainkanhendaknya dimengerti sebagai pengembangan manusia seutuhnya[61]. Di
sini yang penting bukan saja supaya semua bangsa diangkat ke taraf
kesejahteraan, yang sekarang ini dinikmati oleh Negara-Negara yang lebihkaya,
melainkan teruatam asupaya melalui jerih-payah yang terpadu tercapailah
perihidup yang lebihlayak; lagi pula supaya martabat dan kreativitas setiap
orang makin meningkat secara konkrit, dan supaya berkembangah kemampuannya
untuk menanggapi panggilannya sendiri; demikianlah ia menjawab panggilan Allah
sendiri, yang ada di balik panggilannya itu. Pada puncak pembangunanlah
terletak pengamalan hak maupun kewajiban untuk mencari Allah dan mengenal-Nya,
serta untuk hidupmenurut kesadaran itu[62]. Adapun dalam
pemerintahan-pemerintahan totaliter dan diktatorial prinsip, bahwa kekerasan
diutamakan terhadap penalaran budi, dilaksanakan hingga
konsekuernsi-konsekuensinya yang ekstrim. Artinya: manusia dipaksa menanggung
dampak pandangan tertentu tentang kenyataan, yang dibeban kandengan kekerasan
atas dirinya, dan tidak dicapainya melalui daya-nalarnya sendiri atau dalam
kebebasan. Maka prinsip itu harus ditumbangkan. Harus diakui sepenuhnya
hak-hak suarahati manusia, yang hanya terikat pada kebenaran saja, yang
bersifat kodrati maupun yang diwahyukan. Sebab dalam pengakuan hak-hak itulah
terletak dasar utama segala tata-politik yang sungguh-sungguh merdeka[63]. Oleh karena itu amat pentinglah menegaskan lagi prinsip itu berdasarkan
berbagai alasan:
a) Sebab bentuk-bentuk lama
pemerintahan totaliter dan diktatorial belum semuannya dan seluruhnya teratasi,
bahkan masih ada bahaya, jangan-jangan masih kembali kekuatannya. Kenyataan itu
menuntut pembaharuan usaha untuk kerja sama dan solidaritas antara semua
Negara.
b) Sebab dalam Negara-Negara yang
sudah maju acap kali dipropagandakan dan diiklankan secara berlebihan
barang-barang konsumsi melulu, seraya dibangkitkan selera dan kecondongan ke
arah kenikmatan sesaat. Maka menjadi cukup sulit untuk mengenali dan mematuhi
tata-urutan nilai-nilai sejati bagi hidup manusiawi.
c) Sebab di berbagai Negara muncul
bentuk bentuk baru fundamentalisme keagamaan, yang diam-diam atau bahkandengan
terus terang melarang para penganut agama yanglain dari pada agama mayoritas
penduduk, untuk menggunakan sepenuhnya hak-hak mereka selaku warga-negara atau
pemeluk agama, dan tidak mengizinkan mereka untuk berperanserta dalam proses
pengembangan budaya, serta membatasi hak Gereja untuk mewartakan Injil, maupun
hak mereka yang mendengarkan pewartaan itu,untuk menerimanya dan bertobat
kepada Kristus. Tidak ada kemajuan sejati yang mungkin tanpa ditegakkannya hak
kodrati dan asasi untuk mengenal kebenaran dan menghayatinya. Penggunaan dan
pengembangan hak kodrati itu mencakup hak untuk mengenal dan secara bebas
menerima Yesus Kristus, yang merupakan harta-kekayaan manusia yang sejati[64].
BAB IV
MILIK PERORANGAN
HARTA-BENDA BUMI UNTUK SEMUA ORANG
30. Melawan Sosialisme pada zamannya Paus Leo XIII
dalam Ensiklik ”Rerum Novarum” dengn tegas dan berdasarkan berbagai argumen
menekankan, bahwa hak atas milik perorangan bersumber pada kodrat manusia
sendiri[65].
Hak yang mutlak perlu bagi otonomi dan pengembangan pribadi itu sampai sekarang
pun selalu dibela oleh Gerja. Begietu pula Gereja mengajarkan, bahwa pemilikan
harta-benda duniawi bukanlah hak yang mutlak, melainkan hakekatnya sebagai
hak manusiawi bukanlah hak yang mutlak, melainkan hakekatnya sebagai hak
manusiawi sekaligus mencantum batas-batasnya.
Sementara Sri Paus menegaskan hak atas milik perorangan, dengan sama
gamblangnya beliau nyatakan, bahwa ”penggunaan” harta duniawi secara bebas itu
wajib mematuhi hukum, bahwa harta-benda yang tercipta itu sejak awal-mula
diperuntukkan bagi semua orang, punjuga menaati kehendak Yesus Kristus seperti
tercantum dalam Injil. Tulis Paus Leo:”Mereka yang bernasib mujur
diperingatkan...: orang-orang kaya harus gemetar mendengar ancaman...Yesus
Kristus..bahwa suatu ketika pertanggung-jawaban yang cermat sekali harus
disampaikan kepada Allah Sang Hakim mengenai penggunaan harta mereka”. Dan
seraya mengutip Santo Tomas Akuino beliau menambahkan: ”Tetapi bila ditanyakan,
bagaimana seharusnya harta-benda itu digunakan, Gereja tanpa ragu-ragu sedikit
pun menjawab: janganlah manusia memandang harta-benda bumi sebagai miliknya
sendiri, melainkan sebagai milik umum...”. Sebab ”hukum dan penilaian Kristus
lebih penting dari hukum-hukum dan penilaian-penilaian manusia”[66].
Para Pengganti Paus Leo XIII mengulang-ulangi kedua pernyataan itu, yakni:
milik perorangan memang sungguh perlu, maka dari itu juga halal; tetapi serta-merta
milik itu ada batas-batasnya[67]. Konsili Vatikan II pun dengan saksama
menyajikan ajaran tradisional itu dengan kata-kata yang ada gunanya diulangi:
”Sambil menggunakan hal-hal itu manusia harus memandang harta-benda jasmani
yang dimilikinya seara sah bukan saja sebagai milinya sendiri, melainkan
seabgai milik umum juga, dalam arti: supaya itu semua dapat bermanfaat bukan
hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi orang-orang lain”. Dan sejenak
kemudian: ”Milik perorangan atau hak untuk menggunakan harta-benda jasmani
membuka peluang yang memang sungguh diperlukan oleh setiap orang, untuk
mewujudkan otonomi probadi maupun keluarganya, dan harus dipandang bagaikan
perluasan kebebasan manusia...Tetapi milik perorangan itu sendiri pada
hakekatnya mempunyai dimensi sosial, yang didasarkan pada hukum, bahwa
harta-benda bumi diperuntukkan bagi semua orang”[68]. Ajaran itu kami tandaskan lagi
juga, pertama dalam amanat kepada Sidang III para Uskup Amerika Latin di
Puebla, kemudian dalam Ensiklik ”Laborem Exercens” dan ”Sollicitudo Rei
Socialis”[69].
31. Sementara membaca ulang ajaran tentang hak atas
milik perorangan dan tentang diperuntukkannya harta-benda bumi bagi semua orang
itu dalam konteks zaman kita sekarang, dapat dikemukakan soal; dari manakah
asal harta-benda yang menopang kehidupan manusia, memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya dan merupakan sasaran hak-haknya itu.
Sumber pertama segala sesuatu yang baik ialah karya Allah sendiri yang
menciptakan bumi dan manusia, serta pmengurniakan bumi kepada manusia, supaya
manusia dengan jerih-payahnya menguasainya dan menikmati buah-hasilnya (bdk.
Kej 1:28-29). Allah menganugerahkan bumi kepada seluruh umat manusia, supaya
bumi menjadi sumber kehidupan bagi semua anggotanya, tanpa mengecualikan atau
mengutamakan siapapun juga. Itulah yang menjadi dasar mengapa harta-benda bumi
diperuntukkan bagi semua orang. Sebab berkat kesuburannya dan kemampuannya
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia,; bumi merupakan kurnia Allah yang
pertama untuk menjadi sumber kehidupan baginya. Tetapi bumi tidak menghasilkan
buah-buahnya tanpa tanggapan manusia yang khusus terhadap anugerah Allah, atau
: tanpa kerja. Melalui kerja manusia dengan menggunakan akal-budi dan
kebebasannya menguasai bumi, dan menjadikannya kediaman yang layak bagi
dirinya. Begitulah manusia menjadikan miliknya sebagian bumi yang diperolehnya
denganbekerja. Itulah asal-mula milik perorangan. Sudah jelaslah ia terikat
kewajiban untuk tidak menghalang-halangi sesamanya mendapat bagiannya dari kurnia
Allah. Bahkan ia harus bekerja sama dengan mereka untuk bersama-sama menguasai
seluruh bumi.
Di sepanjang sejarah dua faktor ini, yaknikerja dan bumi, selalu terdapat pada
awal setiap masyarakat manusia. Akan tetapi tidak selalu keduanya itu mempunyai
antar hubungan yang sama. Di masa lampau kesuburan alamiah bumi nampaknya dan
memang kenyataannya merupakan bagian utama kekayaan, sedangkan kerja merupkan
faktor pembantu dan penopang kesuburannya. Pada zaman kita sekarang peranan
kerja manusia semakin menonjol, yakni sebagai faktor produktif kekayaan jasmani
maupun rohani. Lagi pula jelaslah, bahwa kerja setiap orang menurut hakekatnya
berhubungan dengankerja orang-orang lain. Terutama sekarang ini bekerja berarti
bekerja sama dengan sesama dan bekerja untuk sesama; dengan kata lain: berbuat
sesuatu untuk seseorang. Kerja itu semakin subur dan produktif, semakin manusia
menyelami daya-daya produktif bumi, dan semakin ia mendalami
kebutuhan-kebutuhan sesama, yang mendapat manfaat dari kerjanya.
32. Tetapi zaman sekarang ini terdapat jenis
pemilikan yang khusus dan tidak kalah penting dari tanah, yakni:
menguasai pengetahuan, teknologi, dan seluruh bidang ilmu. Kekayaan
Negara-Negara yang sudah serba maju di bidang industri terutama terletak pada
jenis milik itu, jauh lebih dari pada sumber-sumber daya-alam.
Tadi baru saja dikatakan, bahwa manusia bekerja sama dengan sesamanya menjadi
anggota ”lingkup kerja bersama”, yang tahap demi tahap meliputi kawasan yang
makin luas, bahkan seluruh dunia. Barangsiapa menghasilkan sesuatu selebihnya
dari yang digunakannya sendiri, kebanyakan berbuat begitu supaya orang-orang
lain memanfaatkan hasil kerjanya itu juga, sesudah membayar harganya yang
wajar, berdasarkan mufakat melalui tawar-menawar secara bebas. Kemampuan untuk
tepat pada waktunya mengetahui kebutuhan-kebutuhan orang-orang lain dan
peraduan faktor-faktor yang serba menguntungkan danpaling sesuai untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan itu merupakan sumber kekayaan lain bagi masyarakat sekarang.
Di samping itu banyaki produk tidak dapat dihasilkan secara efektif melulu
berkat budinya perorangan saja, melainkan menuntut kerja sama banyak orang,
untuk mencapai sasaran pelaksanaannya, mengusahakan supaya usaha bersama itu
sungguh menanggapi kebutuhan-kebutuhan yang perlu dipenuhi, sanggup menanggung
risiko-risiko yang dituntut: itu semua pun dalam masyarakat sekarang merupakan
sumber kekayaan yang melimpah. Begitulah menjadi semakin jelas dan semakin
menentukan sistim-sistim kerja manusia yang terarah dan produktif, dan –sebagai
faktor utama kerja itu,-kemampuan menyusun rencana-rencana dan berwiraswasta[70].
Proses itu, yang mengungkapkan kebenaran tentang pribadi manusia, yang tiada
hentinya telah dikemukakan oleh iman kristiani, perlu ditelaah dengan cermat
dan saksama. Sesungguhnya, di samping bumi seumber daya utama bagi manusia
ialah manusia sendiri. Berkat kecerdasannya ia mampu menggali potensi-potensi
produktif bumi dan bermacam-macam cara untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusiawi.
Kerjanya yang diatur dengan baik dalam kerjasam aerat dengan sesama
memungkinkan pembentukan serikat-serikat kerja yang lebih luas dan layak
diandalkan untuk mengubah alam lingkungan dan lingkungan manusiawi. Dalam
proses itu diperlukan keutamaan-keutamaan yang cukup penting, misalnya:
kecermatan, ketekunan, kebijaksanaan dalam menanggung risiko-risiko yang wajar,
sifat andal, dan kesetiaan dalam hubungan-hubungan antar pribadi, keberanian
dalam melaksanakan keputusan-keputusan yang sukar dan meminta pengorbanan,
tetapi memang perlu untuk penyelenggaraan bisnis secara menyeluruh maupun untuk
menghadapi kemungkinan kondisi-kondisi yang tidak menguntungkan.
Ekonomi bisnis zaman sekarang mempunyai segi-segi yang menguntungkan, yang
berdasrkan kebebasan pribadi, yang terwujud di bidang perekonomian seperti juga
di sekian banyak bidang lainnya. Sebab kegiatan ekonomi merupakan sebagian
dalam kegitan manusiawi yang bermacam-ragam, dan di situ-seperti di bidang lain
yang mana pun-berlakulah hak atas kebebasan, begitu pula kewajiban menggunakan
kebebasan itu seturut suarahati. Tetapi penting juga diperhatikan
perbedaan-perbedaan yang cukupnyata antara arus-arus masyarakat sekarang dan
arus-arus di masa silam, juga yang belum begitu lama berselang. Di masa lampau
faktor utama pendapatan ialah tanah dankemudian modal, dalam arti keseluruhan
upaya-upaya dan sarana-sarana produksi. Sedangkan sekarang ini manusia sendiri
semakin berperan sebagai faktor yang utama; yakni: kemampuannya untuk memahami,
yang khususnya tampil melalui pengetahuan ilmiahnya; kemampuannya untuk
berorganisasi secara terpadu; begitu pula kemampuannya untuk menangkap
kebutuhan sesama dan memenuhinya.
33. Akan tetapi seharusnyalah risiko-risiko dan
masalah-persoalan yang berkaitan dengan proses itu sungguh dipertimbangkan.
Kenyataanya ialah,bahwa banyak orang-barangkali itu mayoritas-tidak mempunyai
upaya-upaya, yang memungkinkan mereka untuk secara mantap dan layak manusiawi
berperanserta dalam sistim kewiraswastaan dan perusahaan, yang titikberatnya
terletak pada kerja sendiri. Mereka itu tidak mampu memperoleh bekal
pengetahuan elementer, yang memungkinkan mereka memberi bentuk yang nyata kepad
adaya-cipta mereka, dan mengembangkanpotensi mereka. Mereka tidak mendapt
kesempatan juga unutk saling mengenal dan berkomuikasi sehingga bakat-kemampuan
mereka dihargai dan didaya-gunakan. Demikianlah mereka, -kalau tidak
sama sekali dijadikan sumber keuntungan melulu-dalam banyak hal toh
tersisihkan. Dan pengembangan ekonomi seolah-olah berlangusng di atas kepala
mereka. Itu kalau pengembangan tadi tidak masih menciutkan lagi lingkup
perekonomian mereka yang semula dan nyatari smencukupi untuk menghidupi mereka
itu, yang toh sudah serba sempit. Mereka tidak mampu bersaing , menandingi barang-barang
dagangan, yang diproduksi dengan cara-cara yang baru, dan yang tepatguna
menanggapi kebutuhan-kebutuhan. Mereka sendiri sebelumnya sudah biasa memenuhi
kebutuhan-kebutuhan itu dengan pola tradisional usaha terpadu. Terbujuk oleh
semarak kemewahan yang dipergelarkan, tetapi yatn tidak terjangkau oleh mereka,
dan sekaligus terdesak oleh kemelaratan, massa rakyat itu memadati kota-kota
Dunia Ketiga. Di situmereka seringkali tercabut dari akar-akar kebudayaan
mereka, dan berada dalam situasi pergolakan-pergolakan penuh kekejaman, tanpa
kemugkinan utuk berintergrasi dengan golongan penduduk lainnya. Martabat mereka
tidak diakui, dan ada kalanya dijalankan usaha-usaha untuk menghapus mereka
dari sejarah, melalui bentuk-bentuk pengurangan secara paksa, yang bertentangan
dengan martabat manusia.
Banyak orang lain, meskipun tidak sama sekali tersisihkan, hidup dalam situasi
dan di temapt-tempat, yang pertama-tama ditandai oleh perjuangan demi
kebutuhan-kebutuhan yang paling pokok. Di situ masih berlaku
kaidah-kaidah Kapitalisme pada masa awalnya dalam bentuk sedemikian ”kejam”nya,
sehingga sama sekali tidak kalah mengerikan dengan kekejaman masa-masa paling
runyam tahap pertama proses industrialisasi. Dalam kasus-kasus lain tanah masih
merupakan faktor terpenting dalam proses perekonomian, tetapi tmereka yang
mengerjakannya tidak dapat memilikinya, dan posisi mereka praktis merosot ke
kondisi perbudakan[71]. Dalam kasus-kasus itu sekarang pun-seperti pada
zaman Ensiklik ”Rerum Novarum”,-masih dapat digunakanistilah ”eksploatasi
tanpa perikemanusiaan”. Meskipun perubahan-perubahan besar telah terjadi dalam
masyarakat-masyarakat yang lebih maju, cacat-cela manusiawi dalam Kapitalisme
beserta dominasi harta-benda atas manusia sebagai konsekuensinya sama sekali
belum lenyap. Bahkan pada kaum miskin, kemelaratan akan harta materiil masih
diperberat lagi oleh tiadanya pengetahuan danpendidikan, sehingga mereka
terhalang untuk membebaskan diri dari perbudakan yang sangat memalukan.
Malangnya ialah”bahwa mayorita spenduduk Dunia Ketiga masih hidup dalam
kondisi-kondisi seperti itu. Tetapi kelirulah, bila istilah ”Dunia Ketiga”
hanya boleh diebrikan arti geografis saja. Di berbagai wilayah dan di berbagai
sekotr sosial”Dunai” itu telah disusun program-program pembangunan yang
terutama berpusatkan penghargaan terhadap ”sumber-sumber daya manusia”, bukan
pertama-tama terhadap sumber daya materiil.
Tidak terlalu jauh di masa lampua ada pendapat , bahwa Negara-Negara yang
lebihmiskin akan berkembang dengna memisahkan diri dari pasar dunia semesta,
dan dengan mengandalkan sumber-sumber dayanya sendiri. Akan tetapi pengalaman
tahun-tahun terakhir ini justru menunjukkan , bahwa Negara-Negara yang
menyendiri itu semakin lemah dan mengalami kemunduran. Sedangkan Negara-Negara
yang dapat berperanserta dalam percaturan umum perdagangan internasional
berkembang dengan baik. Maka agaknya masalah utama ialah menemukan cara yang
wajar untuk memasuki pasar internasional, bukan berdasarkan pada prinsip unilateral
eksploatasi sumber-sumber daya alam Negara –Negara itu, melainkanpada
penghargaan terhadap sumber-sumber daya manusiawai[72].
Tetapi aspek-aspek yang khas bagi Dunia Ketiga tampil juga di Negara-Negara
maju, yang ditandai oleh perubahan terus menerus pada pola-pola produksi dan
konsumsi, sehingga memerosotkan nilai ketrampilan-ketrampilan tertentu yang
telah tersedia serta kemahiran profesional, dan dengan demikian menuntut usaha
tiada hentinya untuk menatar kemahiran itu dan menyesuaikannya dengan
kondisi-kondisi baru. Mereka yang tidak mampu mengikuti laju perkembangan zaman
dengan mudah akan tersisihkan, dan bersama mereka angkatan usia lanjut, kaum
muda yang tidak mampu berintegrasi dengan baik dalam hidup kemasyarakatan, dan
pada umumnya mereka yang tak berdaya atau disebut juga ”Dunia Keempat”. Dalam
situasi itu kondisi kaum wanita pun sama seklai tidak mudah.
34. Agaknya baik pada tingkat nasional maupun dalam
rangka hubungan internasional pasar bebas merupakan upaya yang paling efektif
untuk mendaya-gunakan sumber-sumber daya dan untuk dengan tepat-guna memenuhi
kebutuhan-kebutuhan. Tetapi itu hanya berlaku bagi kebutuhan-kebutuhan yang
”dapat dikenai harga” atau mempunyai nilai beli, dan bagi sumber-sumber daya
yang ”dapat dipasarkan”, dan dapat memperoleh harga yang sewajarnya. Tetapi ada
berbagai kebutuhan manusia, yang tidak mendapat tempat di pasar. Merupakan
kewajiban cinta kasih dan keadilan yang berat untuk mencegah, jangan sampai ada
kebutuhan-kebutuhan dasar manusia yang tetap tidak terpenuhi, jangan sampai
orang-orang yang teretekan olehnya binasa. Lagi pula amat perlulah, bahwa
mereka yang serba miskinitu dibantu untuk memperoleh kemahiran, untuk memasuki
gelanggang pertukaran timbal-balik, untuk mengembangkan bakat-kemampuan mereka,
sehingga mereka dapat meningkatkan tepat-gunanya sumber-sumber daya serta
peluang-peluang yang tersedia bagi mereka. Bahkan lebih penting dari sistim
pertukaran barang-barang yang serasi, dan lebih penting dari bentuk-bentuk
keadilan yang khas baginya, berlakulah sesuatu yang menjadi hak manusia
berdasarkan hakekatnya sebagia manusia, karena keluhuran martabatnya. Sesuatu
yang menjadi haknya itu menuntut peluang baginya untuk tetap dapat hidup dan
dapat memberi sumbangan yang nyata demi kesejahteraan umum segenap umat
manusia.
Dalam situasi Dunia Ketiga tetap berlaku sepenuhnya, dan dalam berbagai kasus
masih perlu diwujudkan secar anyata, sesaran-sasaran yang diutarakan oleh
Ensiklik ”Rerum Novarum” untuk mencegah, jangan sampai kerja manusia merosot
dan manusia sendiri diperdagangkan belaka; yakni;: gaji harus cukup untuk
menanggung kehidupan keluarga; perlu ada jaminan sosial untuk menjamin hari tua
dan menanggulangi pengangguran; harus ada jaminan yang memadai bagi persyaratan
kerja.
35. Terbukalah gelanggang kegiatan dan perjuangan
demi keadilan, yang luas dan menjnjikan banyak hasil,bagi serikat-serikat buruh
dan organisasi-organisasi kaum pekerja lainnya, yang membela hak-hak mereka dan
melindungi kepentingan-kepentingan mereka sebagai pribadi. Seklaigus
organisasi-organisasi itu memainkan peranan penting sekali di bidang
kebudayaan, yakni memungkinkan kaumpekerja untuk berperanserta secara lebih
penuh dan lebih terhormat dalam kehidupan bangsa, dan mendukung perjalanannya
demi pembangunan.
Dalam arti itu tepatlah orang berbicara tentang perjuangan melawan sistim
perekonomian, kalau ini diartikansebagai upaya untuk mengamankan dominasi
mutlak modal, pemilikan sarana-sarana produksi dan tanah, melawan sifat bebas
dan pribadi kerja manusia[73]. Untuk ”mendampingi” perjuangan melawan sistim
perekonomian semacam itu, yang di sini disajikan seabgai alternatif bukanlah
sistim Sosialisme, yang kenyataannya berupa Kapitalisme Negara, melainkan
masyarakat kerja yang bebas, kewiraswastaan dan partisipasi. Masyarakat itu
tidak bertentangan denganpasar, tetapi memerlukan kepemimpinan para penguasa
Negara yang sewajarnya, supaya kebutuhan-kebutuhan seluruh masyarakat
terpenuhi.
Gereja mengakui peranan keuntungan yang wajar, sebagai indikator bahwa bisnis
berfungsi dengan baik. Sebab bila bisnis mendatangkan keuntungan, jelaslah
bahwa faktor-faktor produktif didaya-gunakan dengantepqat, dan bahwa
kebutuhan=kebutuhan manusiawi berkaitan dengannya dipenuhi sebagaimana layaknya.
Akan tetapi adanya keuntungan bukanlah satu-satunya indikator keadaan bisnis.
Mungkin saja perhitungan-perhitungan finansial serba beeres, tetapi tidak
mustahil pula orang-orang-yang merupakan modal paling berharga bagi bisnis
secara tidak layak menderita kerugian. Bukan saja itu ditinjau dari sudut moral
harus ditolak. Tetapi dapat dipastikan sebelumnya, bahwa itu akan merugikan
efisiensi perekonomian bisnis itu juga. Sebab maksud suatu badan bersama bukan
saja untuk mendatangkan keuntungan, tetapi juga supaya badan usaha itu sendiri
kenyataannya merupakan suatu rukun kekerabatan, yang para warganya dengan
pelbagai cara berusaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok mereka, dan
kesemuanya membentuk suatu kelompok khas, yang mengabdi seluruh masyarakat. Keuntungan
merupakan faktor pengendali kehidupan suatu bisnis, tetapi bukan faktor
tunggal. Sebab kecuali itu perlu dipertimbangkan juga faktor-faktor manusiawi
dan moril lainnya, yang dalam jangka panjang setidak-tidaknya sama pentingnya
bagi kehidupan seluruh bisnis itu.
Seperti telah diuraikan, harus disanggah pernyataan, seolah-olah sesudah
runtuhnya apa yang disebut ”Sosialisme Reil”, Kapitalisme-lah yangharus
dianggap sebagai satu-satunya pola organisasi ekonomi. Perlu dipatahkan
rintangan-rintangan dan monopoli-monopoli, yang tidak memungkinkan sekian
banyak bangsa mengembangkan diri. Perlu pula diciptakan bagi perorangan dan
Negara-Negara kondisi-kondisi yang utama untuk berperan-serta dalam
pembangunan. Sasaran itu menuntut dari segenap masyarakat internasional
usaha-usaha yang terencanakan dan penuh tanggung jawab. Negara-Negara yang
lebih kuat harus membuka peluang bagi Negara-Negara yang lebih lemah
untuk berintegrasi dalam kehidupan internasional. Dan Negara-Negara yang lebih
lemah hendaknya memanfaatkan kesempatan itu, dengan menjalankan usaha-usaha
maupun pengorbanan-pengorbanan yang dibutuhkan, dengan menjamin stabilitas
politik dan ekonomi, serta prospek masa depan yang pasti, dengan meningkatkan
kemahiran kaum pekerjanya sendiri, pun mengusahakan pembinaan kaum wiraswasta
yang tangguh dan menyadari tanggung jawab mereka[74].
Sekarang ini usaha-usaha positif untuk mencapai sasaran-sasaran itu terbentur
pada masalah berat, yang sebagian besar belum terpecahkan, yakni hutang luar
negeri Negara-Negara yang miskin. Memang tepatlah prinsip, bahwa pinjaman harus
dilunasi. Akan tetapi tidak boleh diharapkan atau dituntut pembayaran hutang,
bila itu menjuruskan ke arah pilihan-pilihan politik, yang mengakibatkan massa
besar rakyat menderita kelaparan dan jatuh ke dalam rasa putus asa. Janganlah
ada tuntutan, supaya pinjaman yang diadakan dilunasi dengan
pengorbanan-pengorbanan yang tidak tertanggung lagi. Dalam kasus-kasus itu
perlulah-seperti di sana-sini memang sudah terjadi-ditemukan cara-cara untuk
meringankan beban hutang, menangguhkan pembayarannya atau bahkan
membatalkannya, seturut hak asasi bangsa-bangsa atas kelestarian dan
kemajuannya.
36. Sudah selayaknya sekarang perhatian
diarahkan kepada masalah-masalah dan ancaman-ancaman khusus, yang muncul di
kalangan-kalangan ekonomi yang lebih maju, dan yang berkaitan dengan ciri-ciri
perekonomiannya. Pada tahap-tahap perkembangannya yang lebih dini manusia
selalu hidup tertekan oleh kebutuhan yang mendesak. Kebutuhan-kebutuhannya
tidak seberapa, dan dalam arti tertentu ditentukan oleh kondisi nyata fisiknya.
Dan kegiatan ekonomi terarahkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu. Akan
tetapi sekarang ini ternyata, bahwa soalnya bukan hanya menyediakan kuantitas
harta-benda yang mencukupi, melainkan perlu dilayani pula tuntutan kualitas:
mutu hasil-hasil produksi dan barang-barang untuk konsumsi; mutu jasa-pelayanan
yang dimanfaatkan oleh umum, mutu lingkungan dan kehidupan pada umumnya.
Tuntutan akan perihidup yang lebih memuaskan dan lebih bermutu itu sendiri
memang wajar. Akan tetapi mau tak mau harus dikemukakan juga pokok-pokok
tanggung jawab dan risiko-risiko yang menyertai tahap sejarah sekarang ini. Di
balik cara-cara munculnya dan ditentukannya kebutuhan-kebutuhan baru, selalu
ada faham yang kurang-lebih senada tentang manusia serta apa yang sungguh baik
baginya: dari pilihan-pilihan pelbagai hasil produksi dan barang-barang
konsumsi nampaklah kebudayaan tertentu, yang mencerminkan visinya tentang
keseluruhan hidup. Dari situ muncullah gejala konsumerisme. Adapun dalam
menyingkapkan kebutuhan-kebutuhan baru dan cara-cara baru untuk memenuhinya,
setiap orang harus berpedoman pada citra manusia yang seutuhnya, yang
mengindahkan semua dimensi hidupnya sebagai manusia, dan membawahkan
aspek-aspek jasmani dan alamiah kepada segi-segi batiniah dan rohani. Akan
tetapi bila yang langsung dianut ialah selera-seleranya sendiri, sedangkan
kenyataan pribadi yang berakal-budi dan bebas tidak dihiraukan, dapat muncul
sikap-sikap konsumerisme dan corak-corak hidup, yang secara obyektif tidak
pantas atau merugikan kesehatan jiwa-raga. Sistim perekonomian sendiri tidak
mempunyai norma-norma untuk dengan cermat membeda-bedakan cara-cara baru dan
lebih luhur untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia dari kebutuhan-kebutuhan
baru hasil rekaan melulu, yang menghambat pembinaan pribadi yang dewasa. Maka
perlu danmemang mendesaklah usaha-usaha besar-besaran di bidang pendidikan
dankebudayaan, yang mencakup pendidikan para konsumen, untuk secara bertanggung
jawab menggunakan kemampuan mereka untuk memilih, pembinaan kesadaran
bertanggung jawab yang mendalam pada kaum produsen, dan terutama pada mereka
yang berkecimpung dalam penggunaan media komunikasi sosial, begitu pula
campurtangan seperlunya dari pihak para pejabat Pemerintah.
Suatu contoh yang cukup mengesan tentang konsumsi yang dibuat-buat, berlawanan
dengankesehatan dan martabat manusia,dan jelas tidak mudah diawasi, ialah
penggunaan narkotika. Penyebarluasannya menandakan suatu cela yang gawat dalam
tata kemasyarakatan. Sekaligus juga dilandasi ”penafsiaran” yang materialistis
dan dalam arti tertentu juga destruktif terhadap kebutuhan-kebutuhanmanusia.
Dengan demikian kemampuan ekonomi bebas untuk menciptkana hal-hal baru diarahkan
kepada suatu sasaran yang berat sebelah dan tidak memadai. Maka
narkotika,begitu pula pornografi dan bentuk-bentuk konsumerisme lainnya, yang
menyalahgunakan kerapuhan orang-orang yang lemah, dimaksudkan untuk mengisi
kekosongan rohani, yang telah timbul sementara itu.
Memang tidak kelirulah menginginkan hidup yang lebih baik. Tetapi tidak dapat
dibenarkan cara hidup, yang dianggap lebih baik, bila sasarannya sekedar supaya
orang serba ”memiliki” saja, bukan menyangkut jati pribadinya sendiri, dan bila
ia ingin menambah-nambah saja miliknya, bukan supaya pribadinya semakin baik
melainkan supaya hidupnya berlangsung dalam kenikmatan yang mubazir saja[75].
Maka dari itu perlulah diciptakan pola-pola kehidupan yang ditandai oleh
hasrat-keinginan akan kebenara, keindahan, kebaikan, dan persekutuan hidup
dengan sesama demi kemajuan bersama, yang menentukan pilihan-pilihan mengenai
harta-benda konsumsi, penabungan-penabungan dan investasi-investasi modal.
Dalam hal itu kami tidak dapat hanya mengingatkan anda akan kewajiban mencintai
sesama, artinya kewajiban membantu dengna memberi ”dari kelimpahannya” sendiri,
dan kadang-kadang juga ” dari apa yang masih dibutuhkan”, untuk mencukupi apa
yang diperlukan bagi kehidupan kaum miskin. Kami meminta perhatian juga,bahwa
keputusan untuk menginvestasikan modal di tempat tertentu dan tidak di tempat
lain, di sektor produktif tertentu dan tidak di sektor lain, selalu merupakan
pilihan moril dan kultural. Mengindahkan sangat perlulah kondisi-kondisi tertentu
di bidang perekonomian dan stabilitas politik, keputusan tentang investasi,
yakni guna membuka kesempatan bagi bangsa tertentu untuk mendaya-gunakan
kerjanya dengan cara yang menguntungkan, juga bersumber pada sikap kemurahan
hati dan kepercayakan akan Penyelenggaraan ilahi, yang menampilkan
perikemanusiaan pihak yang mengambil keputusan itu.
37. Selain masalah konsumerisme, yang
memprihatinkan juga dan erat berhubungan dengannya ialah soal lingkungan hidup.
Karena manusia lebih ingin memiliki dan menikmati dari pada menemukan dan
mengembangkan dirinya, ia secara berlebihan dan tidak teratur menyerap
sumber-sumber daya bumi maupun hidupnya sendiri. Di balik pengerusakan alam
lingkungan yang bertentangan dengan akal sehat ada kesesatan di bidang
antropologi, yang memang sudah tersebar luas. Manusia, yang menyadari bahwa
dengan kegiatannya ia mampu mengubah dan dalam arti tertentu ”menciptakan”
dunia, melupakan bahwa kegiatannya itu selalu harus didasarkan pada pengurniaan
segalanya oleh Allah menurut maksud-Nya semula. Manusia mengira boleh semaunya
sendiri mendaya-gunakan bumi dan menikmati hasilnya, dengan menaklukkannya
tanpa syarat dengan kehendaknya sendiri, seolah-olah bumi tidak mengemban
tuntutan serta maksud-tujuannya semula yang diterimanya dari Allah, dan yang
manusia memang dapat mengembangkan, tidak boleh mengkhianati. Manusia bukannya
menjalankan tugasnya bekerja sama dengan Allah di dunia. Ia justru malahan mau
menggantikan tempat Allah, dan dengan demikian akhirnya membangkitkan pemberontakan
alam, yang tidak diaturnya tetapi justru disiksanya[76].
Dalam hal ini nampaklah
pertama-tama kemiskinan atau kepicikan pandangan dan wawasan manusia. Ia
terutama berusaha memiliki harta-benda,bukan memandangnya sesuai dengan
kebenaran. Ia kehilangan sikap peka akan keindahan tanpa mementingkan diri,
yang berakar dalam rasa kagum akan segala sesuatu yang serba indah, dan yang
menggelarkan dalam hal-hal yang kelihatan amanat Allah yang tidak kelihatan,
yang menciptakan itu semua. Sehubungan dengan ini umat manusia harus menyadari
tugas-kewajiban terhadap generasi-generasi di masa mendatang.
38. Kecuali pengrusakan alam lingkungan yang
bertentangan dengan akal sehat, di sini perlu disebutkan juga pengrusakan yang
masih lebih parah lagi, yakni yang menyangkut lingkungan manusiawi, sesuatu
yang sama sekali tidak mendapat perhatian sebagaimana seharusnya. Memang banyak
orang dengan tepat-sungguhpun jauh belum seperti harusnya-memprihatinkan
kelestarian habita alamiah pelbagai jenis margasatwa, yang terancam oleh
kepunahan; sebab mereka menyadari, bahwa masing-masing jenis berperanserta
secara khas dalam keseimbangan alam pada umumnya. Tetapi sungguh kuranglah
usaha-usaha untuk mengamankan kondisi-kondisi moril ”lingkungan manusiawi”.
Bukan saja Allah megurniakan bumi kepada manusia, yang harus mengolahnya dengan
mematuhi tujuan semula, mengapa bumi itu dianugerahkan sebagai harta kepadanya.
Akan tetapi oleh Allah manusia juga dikurniakan kepada dirinya sendiri. Maka
manusia wajib juga menghormati struktur kodrati dan moril yang diterimanya dari
Allah. Dalam konteks ini perlu disebutkan masalah-masalah serius urbanisasi
modern, dan perlunya perencanaan, supaya dalam proses urbanisasi itu sungguh
diperhatikan kehidupan para warga kota, lagi pula: betapa ”ekologi sosial
kerja” perlu diindahkan.
Dari Allah manusia menerima martabatnya yang hakiki, sekaligus juga kemampuan
untuk mengungguli setiap tata-sosial, untuk menuju ke arah kebenaran dan
kebaikan. Tetapi ia juga terikat pada kondisi-kondisi struktur sosial tempat
kediamannya, pada pendidikan yang telah diterimanya, dan pada lingkungan
hidupnya. Faktor-faktor itu dapat mempermudah atau mempersukarnya untuk hidup
menurut kebenaran. Adapun keputusan-keputusan yang menentukan bagi lingkungan
manusiawi, dapat menciptakan struktur-struktur khas dosa, yang
menghalang-halangi mereka, yang dengan berbagai cara tertindas olehnya, untuk
mencapai kepenuhan kesempurnaannya sebagai manusia. Pembongkaran
struktur-struktur semacam itu, dan penggantiannya dengan bentuk-bentuk rukun
hidup yang lebih ontentik, merupakan suatu tugas yang menuntut keberanian dan
kesabaran[77].
39. Struktur yang pertama dan mendasar bagi
”lingkungan manusiawi” ialah keluarga. Di situlah manusia dibekali dengan
pengertian-pengertian pertama dan utama tentang kebenaran dan kebaikan. Di situ
pula ia belajar apa arti mencintai dan dicinta, dan dengan demikian, apa
sebenarnya artinya: menjadi pribadi. Yang dimaksudkan di sini ialah keluarga
berdasarkan pernikahan. Di situ serah-diri timbal-balik antara suami danisteri
menciptakan lingkungan hidup, tempat anak dapat lahir dan mengembangkan
bakat-bakat pembawaannya, makin menyadari martabatnya, dan menyiapkan diri
untuk menghadapi nasibnya yang tinggal dan tidak terulang lagi. Akan tetapi
seringkali orang ditakut-takuti untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh
keturunan, dan terbawa untuk beranggapan, seolah-olah ia sendiri beserta
hidupnya lebih merupakan serangkaian perasaan-perasaan yang harus dialami,
bukan tugas yang harus dilaksanakan. Muncullah di situ sikap kurang bebas, yang
mendorongnya untuk menolak kesanggupan mengikat diri seumur hidup dengan
pribadi lain dan memperbuahkan keturunan, atau untuk menganggap keturunan
sebagai salah satu di antara sekian banyak ”hal” yang dapat diperoleh atau
tidak diperoleh menurut nafsunya sendiri, dan yang dapat bersaing dengan
kemungkinan-kemungkinan lain. Perlulah keluarga dihargai lagi sebagai kenisah
kehidupan. Sebab keluarga memang keramat. Di Situlah kehidupan sebagai kurnia
Allah dapat disambut sebagaimana layaknya, dan dilindungi terhadap sekian
banyak serangan yang menghadangnya, pun mampu bertumbuh, memenuhi persyaratan
perkembangan manusiawi yang sejati. Menghadapi apa yang disebut ”budaya maut”,
keluarga merupakan sanggar ”budaya kehidupan”.
Dalam hal ini kecerdasan manusia agaknya lebih cenderung untuk membatasi,
membendung atau menghancurkan sumber-sumber kehidupan, juga melalui
pengguguran, yang sudah begitu banyak dipraktekkan di mana-mana, daripada untuk
melindungi dan membuka kemungkinan-kemungkinan hidup. Dalam Ensiklik ”
Sollicitudo Rei Socialis” telah dikecam propaganda yang sistematis melawan
pertambahan kelahiran berdasarkan pandangan yang salah tentang
masalahkependudukan. Sebab di situ ”terjadi pelanggaran berat sekali terhadap
kebebasan pihak-pihak yang berkepentingan untuk menentukan pilihan mereka
sendiri.... Tak jarang mereka didesak dengan tekanan-tekenana yang teramat
beratnya, supaya mereka menyerah kalah kepada bentuk baru penindasan itu”[78].
Diterapkan pula kebijakan-kebijakan, yang melalui teknik-teknik baru makin
meluas lingkupnya, sehingga –ibarat dalam ”perang kimia”-menghancurkan
kehidupan jutaan manusia yang tanpa perlindungan.
Kecaman-kecaman itu tidak pertama-tama melawan sistim perekonomian, melainkan
terutama menentang sistim etika-budaya. Sebab ekonomi hnaya merupakan salah
satu segi dan dimensi kegiatan manusia yang bermacam-ragam. Kalau ekonomi
dimutlakkan, kalau produksi dan konsumsi menduduki tempat utama dalam kehidupan
sosial, dan menjadi satu-satunya nilai masyarakat yang tak terbawahkan kepada
nilai mana pun lainnya, alasannya bukan hanya dan bukan terutama terletak pada
sistim perekonimian sendiri, melainkan pertama-tama karena sistim sosial-budaya
tidak mau mengindahkan dimensi etis dan keagamaan, oleh sebab itu merosot, dan
hanya mementingkan produksi barang-barang dan penyelenggaraan jasa-jasa saja[79].
Itu semua dapat dirangkum dengan mengulangi, bahwa kebebasan perekonomian hanya
merupakan sebagian dalam kebebasan manusiawi. Bila kebebasan perekonomian
menjadi otonom, dengan kata lain: kalau manusia dianggap terutama sebagai
produsen atau konsumen, dan bukan sebagai pribadi yang berproduksi dan
berkonsumsi supaya hidup, lalu kebebasan perekonomian tiada hubungannya lagi dengan
pribadi manusia, dan akhirnya akan menyebabkan aliensi dan menindasnya[80].
40. Merupakan kewajiban Negara untuk membela dan
melindungi harta-milik umum, misalnya: alam lingkungan dan lingkungan manusiawi
dan harta-benda manusia. Itu semua tidak dpat dijamin melulu dengan pola-pola
dan sistim-sistim pasar. Pada zaman awal Kapitalisme dulu Negara harus membela
hak-hak kerja yang mendasar. Begitu pula menghadapi Kapitalisme baru sekarang
ini baik Negara maupun segenap masyarakat wajib membela harta-milik kolektif,
yang antara lain merupakan lingkup gerak bagi setiap perorangan, untuk secara
sah memperjuangkan maksud-tujuannya sendiri.
Di sini terdapat pembatasan lain bagi pasar. Ada kebutuhan-kebutuhan kolektif
dan kualitatif, yang tidak dapat dipenuhi melalui mekanisme-mekanisme pasar.
Ada kebutuhan-kebutuhan manusiawi yang penting, yang tidak terjangkau oleh
logika dasar. Ada nilai-nilai yang menurut hakekatnya tidak dapat dan tidak
boleh dijual-belikan. Tentu saja mekanisme-mekanisme pasar menyajikan banyak
keuntungan; antara lain: membantu untuk mengambil manfaat lebih besar dari
sumber-sumber daya; meningkatkan pertukaran produk-produk; terutama sangat
mementingkan keinginan-keinginan dan pilihan-pilihan pribadi, yang dalam suatu
kontrak bertemu dengankeinginan dan pilihan-pilihan pribadi lain. Tetapi
mekanisme-mekanisme itu membawa risiko ”pemujaan” pasar, yang tidak mau
tahu-menahu tentang nilai-nilai, yang menurut hakekatnya memang bukan barang
dagangan dan tidak dapat diperdagangkan semata-mata.
41.Dulu Marxisme mengecam masyarakat-masyarakat
borjuis kapitalis; khususnya mencelanya karena memperdagangkan kehidupan
manusiawi dan menyebabkan alienasinya. Penyanggahan itu berdarkan pengertian
yang salah dan tidak lengkap tentang lienasi, yang melulu dijabarkan dari
lingkup hubungan-hubungan antara produksi dan pemilikan, maksudnya dengan
mendasarkannya pada materialisme, selain itu juga denganmenyangkalsahnya dan
bergunanya hubungan-hubungan pasar bahkan di lingkupnya sendiri. Marxisme akhirnya
mengajarkan, bahwa hanya dalam masyarakat kolektiflah alienasi dapat
ditiadakan. Akan tetapi pengalaman sejarah Negara-Negara sosialis menunjukkan,
bahwa alienasi tidak dihapus oleh Komunisme, justru malahan menjadi lebih
parah, karena diperberat lagi dengan tidak tersedianya kebutuhan-kebutuhan
pokok dan dengan perekonomian yang tidak efisien.
Di lain pihak pengalaman sejarah di Barat memperlihatkan, bahwa kendati analisa
Marxis terhadap alienasi beserta dasarnya itu memang salah-juga di
masyarakat-masyarakat Barat alienasi merupakan kenyataan, disertai dengan
hilangnya makna kehidupan yang sesungguhnya. Itu terjadi pada konsumerisme ,
bila manusia terjerat oleh kenikmatan-kenikmatan yang palsu dan dangkal, serta
kurang ditolong untuk secara otentik dan konkrit mengalami dirinya sebagai
pribadi manusiawi. Alienasi berlangsung dalam kerja juga, bila kerja diatur
sedemikian rupa, sehingga yang diutamakan di atas segalanya ialah hasil-hasil
maupun keuntungan-keuntungannya tanpa dihiraukan apakah pekerja karena
kerjanya lebih atau kurang mengembangkan diri sebagai manusia, sejauh
komunikasi dalam kelompok pendukungnya semakin intensif dan akrab, atau
sebaliknya ia semakin merasa tersendiri di tengah persaingan yang sengit
sekali, tiada saling mengenal, sementara ia sebagai manusia melulu
diperhitungkan sebagai alat, bukan sebagai tujuan.
Pengertian alienasiperlu disoroti melalui visi Kristiani. Menurut pandangan itu
terjadi alienasi, bila upaya-upaya dan tujuan diputarbalikkan. Bila manusia
tidak mengakui keunggulan dan keagungan pribadi dalam diri sendiri maupun
sesama, ia juga tidak mampu menemukan makna kemanusiaannya yang sesungguhnya,
atau menjalin hubungan dan persekutuan dengan sesama. Padahal Allah
menciptakannya untuk kebersamaan itu. Sebab melalui serah dirinya secara
bebaslah manusia sungguh menemukan jati-dirinya sebagai harusnya[81].
Serah diri itu mungkin, karena pribadi manusia menurut hakekatnya mampu
melampaui dirinya. Manusia tidak dapat mempertaruhkan diri untuk suatu tata
realitas yang manusiawi belaka, untuk suatu ide yang abstrak, atau untuk
”utopia” khayalan semata-mata. Sebagai pribadi ia mampu menyerahkan diri kepada
pribadi atau pribadi-pribadi lain, dan akhirnya kepada Allah, Pencipta
kenyataan dirinya, dan satu-satunya yang mampu menerima persembahan dirinya
seutuhnya[82]. Manusia mengalami alienasi, bilaia tidak mau melampaui dirinya
atau mengalami peneyerahan dirinya, atau mengalami pembentukan rukun hidup
manusiawi yang sejati, terarahkan kepada tujuan terakhirnya, yakni Allah
sendiri. Masyarakat mengalami alienasi, bila dalam bentuk-bentuk
tata-sosialnya, dalam cara-caranya berproduksi dan berkonsumsi, mempersukar
penyerahan diri itu dan penggalangan solidaritas antara manusia.
Di masyarakat-masyarakat Barat eksploatasi, setidak-tidaknya dalam
bentuk-bentuk yang dianalisa dan dilukiskan oleh Karl Marx, sudah diatasi. Akan
tetapi alienasi tidak diatasi dalam pelbagai bentuk eksploatasi, bila
orang-orang saling menghisap, dan bila-sementara mereka secara makin canggih
memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka perorangan dan sekunder-mereka tidak mau
tahu-menahu tentang kebutuhan-kebutuhan yang utama dan sesungguhnya, yang juga
harus ikut menentukan cara-cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan lainnya[83].
Manusia, yang hanya berusaha menikmati dan memiliki saja, dan sudah tidak
mampu lagi mengendalikan nafsu-nafsu dan naluri-nalurinya, atau menundukkannya
melalui ketaatan kepada kebenaran, tidak dapat bebas. Kepatuhan terhadap
kebenaran, juga kebenaran mengenai Allah dan manusia, merupakan syarat pertama
kebebasan. Sebab dengan kepatuhan itu manusiamampu mengatur caranya menggunakan
hal-hal, dan keinginan-keinginannya beserta cara-cara untuk memenuhinya menurut
tata-nilai yang tepat, sehingga pemilikan harta-benda membuka peluang baginya
untuk mengembangkan diri. Pengembangan diri itu dapat dihalang-halangi melalui
manipulasi yang cerdik terhadap media komunikasi sosial, yang dengan penyajian
sistematis-teratur dan terus menerus menciptakan adat-kebiasaan serta arus-arus
pemikiran, tanpa memberi kesempatan untuk secara kritis mempertimbangkan
dasar-dasarnya.
42. Mengulangi pertanyaan pada awal uraian ini,
dapatkah dikatakan bahwa sesudah runtuhnya Komunisme sekarang ini
Kapitalismelah sistim sosial yang jaya, dan bahwa Kapitalisme harus menjadi
sasaran perjuangan Negara-Negara untuk membangun kembali perekonomian dan
masyarakat mereka? Haruskah sistim itu ditawarkan sebagai pola bagi
Negara-Negara Dunia Ketiga, yang sedang mencari jalan pengembangan ekonomi dan
pembangunan masyarakat yang sejati?
Jelaslah jawabannya cukup rumit. Kalau ”Kapitalisme” diartikan sebagai sistim
perekonomian, yang mengakui peranan utama dan positif bisnis, pasar, milik
perorangan, dan sebagai konseskuensinya tanggung jawab atas sarana-sarana
produksi, begitu pula kebebasan daya-cipta manusia di bidang ekonomi,
pertanyaan tadi harus dijawab dengan ”Ya!”, meskipun barangkali lebih tepat
dipakai istilah ”ekonomi bisnis”, atau ”ekonomi pasar”, atau ”ekonomi bebas”
begitu saja. Akan tetap kalau ”Kapitalisme” diartikan sebagai sistim,
dengankebebasan di bidang perekonomian yang tidak dicakup dalam konteks politik
yang tangguh sebagai suatu pola yang stabil, yangmengabdikan kebebasan itu
kepada kebebasan manusiawi secara menyeluruh, yang memandangnya sebagai
indikator khusus keseluruhan kebebasan, yang berporoskan etika dan hidup
keagamaan, pasti soal tadi harus dijawab ”Tidak” Pemecahan Marxisme mengalami
kegagalan. Tetapi kenyataannya di dunia tetap masih ada golongan-golongan masyarakat
yang diterlantarkan dan dihisap (terutama di Dunia Ketiga), dan mengalami
alienasi (terutama di Negara-Negara yang lebih maju). Gereja bersuara lantang
melawan kenyataan-kenyataan itu. Masih begitu besar massa rakyat yang sekarang
ini pun hidup dalam keadaan menyedihkan sekali, baik jiwa maupun raganya.
Tumbangnya Marxisme di sekian banyak Negara memang menyingkirkan suatu
rintangan untuk menanggapi soal-soal itu secara tepat dan realistis; tetapi
tidak memecahkannya. Bahkan ada bahaya, jangan-jangan disebarkan suatu ideologi
radikal berhaluan Kapitalisme, yang mempertimbangkan masalah-masalah itu pun
tidak mau, karena a priori sudah beranggapan, bahwa setiap usaha untuk
menanggapinya pasti sia-sia saja, dan yang secara nekad menyerahkan
penyelesaiannya kepada kekuatan-kekuatan pasar yang berkembang dengan leluasa.
43. Gereja tidak dapat menyajikan pola-pola
tertentu. Pola-pola yang konkrit dan sungguh efektif hanya dapat tercipta dalam
konteks pelbagai situasi, historis berkat usaha mereka, yang
secara bertanggung jawab menanggulagi masalah-persoalan konkrit dalam semua
seginya yang saling berkaitan[84]. Untuk tugas itu Gereja menyumbangkan ajaran
sosialnya sebagai pengarahan ideal yang amat dibutuhkan. Seperti telah
disebutkan, ajaran itu mengakui nilai positif pasar dan bisnis; tetapi
serta-merta menunjukkan, bahwa keduannya harus ditujukan kepada kesejahteraan
umum. Ajaran itu menunjukkan pula wajarnya usaha kaum pekerja untuk memperoleh
penghargaan sepenuhnya terhadap martabat mereka, dan untuk mendapat peranserta
yang lebih luas dalam kehidupan bisnis, sehingga-walaupun dalam kerjasama
dengan pihak-pihak lain dan di bawah pimpinan atasan mereka,-dalam arti
tertentu mereka toh dapat ”bekerja untuk kepentingan sendiri”[85],
dengan menggunakan kemahiran dan kebebasan mereka.
Pengembangan pribadi manusia seutuhnya melalui kerja tidak menghambat,
melainkan justru meningkatkan produktivitas dan efisiensi kerja sendiri,
meskipun dapat juga menggoyahkan struktur-struktur kekuasaan yang sudah membaku.
Suatu bisnis tidak dapat hanya dianggap sebagai ”serikat modal” saja, melainkan
sekaligus merupakan ”serikat pribadi-pribadi” yang mereka tanggung bersama,
dengan berbagai cara dan masing-masing dengan beban tanggung jawabnya sendiri,
baik oleh para pemasok modal yang dibutuhan bagi kegiatan bisnis, maupun oleh
mereka yang berperan-serta sebagai pekerja. Untuk mencapai sasaran-sasaran itu
masih diperlukan juga gerakan organisasi kaum pekerja yang cukup meluas, guna
memperjuangkan pembebasan dan pengembangan pribadi manusia seutuhnya.
Dalam terang ”hal-hal baru” sekarang ini telah dibahas lagi hubungan antara
milik perorangan atau swasta dan kenyataan, bahwa harta-benda bumi
diperuntukkan bagi semua orang. Manusia menyempurnakan diri dengan menggunakan
akalbudi dan kehendak bebasnya. Dalam mengembangkan diri itu ia mendaya-gunakan
harta-benda bumi sebagai sasaran maupun sarananya, dan menjadikan itu miliknya.
Kegiatannya itulah yang mendasari hak atas prakarsa perorangan dan untuk
memiliki harta pribadi. Melalui kerjanya manusia memperjuangkan bukan
hanya kepentingan sendiri, melainkan juga kepentingan sesama, dan bersama
dengan sesama. Setiap orang membawa sumbangannya bagi kerja maupun
kesejahteraan sesama. Manusia bekerja untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
keluarganya, golongannya sendiri, bangsanya, dan akhirnya seluruh bangsa
manusia[86].
Lagi pula ia berperanserta dalam rangka jerih-payah rekan-rekan sekerjanya
dalam bisnis yang sama, dalam rangka usaha para majikannya, pun pula dalam rangka
pendayagunaan hasil oleh para pemakai jasa, bagaikan dalam lingkup solidaritas
yang lambat-laun makin meluas. Juga pemilikan upaya-upaya produksi dalam
industri maupun dalam pertanian adalah wajar dan sah, bila mendukung kerja yang
berfaedah. Akan tetapi menjadi tidak halal, bilatidak membawa manfaat apa pun,
atau disalah-gunakan untuk merintangi usaha pihak lain, dengan maksud mendapat
keuntungan, yang tidak merupakan hasil perluasan kerja atau pengembangan
harta-kekayaan masyarakat secara keseluruhan, melainkan hasil pembatasan secara
paksa terhadapnya, hasil laba yang tak halal, eksploatasi, atau pemutusan
solidaritas di bidang kerja[87]. Pemilikan semacam itu sama sekali tidak dapat
dibenarkan, melainkan sebaliknya merupakan penyalah-gunaan di hadapan Allah
dan sesama.
Kewajiban mencari nafkah dengan memeras keringat sendiri juga mengandaikan
adanya hak untuk menjalankannya. Bila di suatu masyarakat hak itu secara
sistematis ditolak, bila di situ kebijakan-kebijakan perekonomian tidak memungkinkan
kaum pekerja untuk mencapai kondisi-kondisi kerja yang memadai, masyarakat itu
ditinjau dari sudut etika tidak dapat dibenarkan, dan tidak akan mencapai
kedamaian sosial[88]. Seperti pribadi manusia mewujudkan diri sepenuhnya melalui
serah-diri yang bersifat bebas, begitu pula pemilikan dari sudut moril
dapat dipertanggung jawabkan, bila pada saatnya yang tepat dan dengan cara-cara
yang tepat pula menciptakan peluang-peluang untuk kerja dan untuk pengembangan
manusiawi bagi semua orang.
BAB V
NEGARA DAN KEBUDAYAAN
44. Paus Leo XIII menyadari
amat pentingnya pandangan yang sehat tentang Negara, untuk menjamin
perkembangan kegiatan-kegiatan manusiawi yang sewajarnya, baik di bidang
rohani maupun di bidang jasmani, sebab keduanya memang sungguh perlu[89].
Oleh karena itu dalam suatu bagian Ensiklik ”Rerum Novarum” Sri Paus
membahas organisasi masyarakat beserta tiga aspek kekuasaannya, yakni kuasa
legislatif, eksekutif dan yudisial,-sesuatu yang pada zaman itu dianggap pokok
yang baru dalam ajaran Gereja[90]. Sistim itu mencerminkan suatu visi yagn
realistis tentang kodrat sosial manusia, yang memang memerlukan
perundang-undangan yang memadai untuk melindungi kebebasan semua orang. Maka
dari itu memang seyogyanyalah setiap kekuasaan diimbangi dengan
bidang-bidang tanggung jawab lainnya, untuk membatasi lingkup kekuasaan itu.
Itulah prinsip ”Hukum sebagai Norma” (”Rule of Law”), yang menegaskan, bahwa
Hukumlah yang berdaulat penuh, bukan kemauan perorangan yang sewenang-wenang.
Tetapi pada zaman modern ini ajaran itu ditentang oleh totalitarisme, yagn
dalam pola Marzisme-Leninisme beranggapan, bahwa ada sejumlah orang, yang
karena lebih menyelami hukum-hukum perkembangan masyarakat, atau karena
termasuk anggota kelas tertentu, atau karena lebih berat berhubungan dengan
sumber-sumber kesadaran kolektif yang lebih mendalam, sama seklai luput dari
kesalahan mana pun juga, dan karena itu dapat meng-claim kedaulatan mutlak bagi
diri sendiri. Perlu ditambahkan: totalitarisme bersumber pada penolakan
terhadap kebebaran yang obyektif. Sebab bila tidak ada kebenaran yang mengatasi
segalanya, dan bagi manusia menjadi norma untuk mewujudkan jati-diri-nya
sepenuhnya, sama sekali juga tidak ada prinsip yang pasti untuk menjamin
adilnya hubungan-hubungan antar manusia. Sebab kepentingan khas suatu kelas,
golongan atau Negara mau tak mau akan menimbulkan pertentangan antara pelbagai
pihak. Kalau tidak diakui adanya kebenaran yang melampaui segalanya, kekuatan
kekuasaanlah yagn unggul, dan setiap orang berusaha mengerahkan segala upaya
yang ada padanya untuk memaksakan kepentingan serta pandangannya sendiri dengan
mengesampingkan hak-hak sesamanya. Begitulah seseorang hanya akan dibiarkan
hidup, sejauh masih dapat diperalat demi kepentingan kaum berkuasa saja. Maka
akar totalitarisme modern terletak pada penolakan terhadap keluhuran martabat
pribadi manusia, yang sebagai citra kelihatan Allah yang tidak kelihatan,
menurut hakekatnya menjadi pengemban hak=-hak, yang tidak boleh dilanggar oleh
siapa pun juga, entah itu perorangan atau kelompok tertentu, kelas tertentu,
bangsa atau Negara sendiri. Bahkan mayoritas badan sosial mana pun tidak boleh
melanggar hak-hak itu dengan menentang minoritas, menyisihkannya, menindasnya,
menghisapnya, atau berusaha mengenyahkannya[91].
45. Budaya dan praktek
totalitarisme mencakup penolakan terhadap Gereja juga. Sebab Negara atau
partai, yang berpretensi mampu mengantar sejarah kepada kesejahteraan mutlak
purna, lagi pula menempatkan diri di atas semua prinsip, tidak dapat membiarkan
adanya penilaian obyektif tentang kebaikan atau kejahatan di luar kehendak para
penguasa Negara; sebab dalam situasi-situasi tertentu sikap-sikap serta
kebiasaan-keiasaan mereka pun tentu akan menjadi sasaran penilaian. Itulah yang
menjelaskan, mengapa totalitarisme berusaha menumpas Gereja, atau
setidak-tidaknya memperbudaknya dengan memperalatnya untuk menopang apara
ideologinya sendiri[92].
Selanjutnya Negara yang bersifat totaliter berusaha menyerap dalam dirinya
bangsa, masyarakat, keluarga dan golongan-golongan agama, serta menguasai para
warganya sendiri selaku perorangan. Jadi sementara mempertahankan kebebasannya,
Gereja melindungi kebebasan pribadi manusia, yang harus lebih menaati Allah
dari pada manusia (bdk. Kis 5:29), begitu pula kebebasan keluarga,
organisasi-organisasi sosial dan bangsa-bagnsa, yang kesemuannya mempunyai
lingkup otonomi serta kedaulatannya sendiri.
46. Gereja menghargai sistim
demokrasi, karena membuka wewenang yang luas bagi warganegara untuk berperanserta
dalam penentuan kebijakan-kebijakan politik, lagi pula memberi peluang kepada
rakyat bawahan untuk memilih para pemimpin, tetapi juga meminta pertanggung
jawaban dari mereka, dan-bila itu memang sudah selayaknya-menggantikanmereka
melalui cara-cara damai[93].
Maka Gereja tidak dapat mendukung pembentukan kelompok-kelompok kepemimpinan
yang ”tertutup”, dan menyalah-gunakan kekuasaan Negara demi
keuntungan-keuntungan perorangan, atau berdasarkan asas-asas ideologi tertentu.
Demokrasi yang sejati hanyalah dapat berlangsung dalam Negara Hukum, dan
berdasarkan faham yang tepat tentang pribadi manusia. Sebab demokrasi menuntut
dipenuhinya syarat-syarat, yang sungguh perlu untuk mengembangkan warga
perorangan, melalui pendidikan dan pembinaan dalam menerapkan prinsip-prinsip
yang sejati, dan untuk meningkatkan peranserta masyarakat yang semakin sadar
melalui struktur-struktur partisipasi dan tanggung jawab bersama. Zaman
sekarang ini memang ada anggapan seolah-olah Agnostisisme dan Relativisme
skeptis merupakan filsafah dan sikap dasar, yang pada umumnya sejalan dengan
demokrasi. Sedangkan siapa saja, yang penuh kesadaran meyakini kebenaran dan
dengan teguh berpegang padanya, dari sudut demokrasi tidak dapat dipercaya,
karena mereka sama sekali tidak menyetujui, bahwa kebenaran ditentukan oleh
mayoritas masyarakat, atau serba berubah-ubah akibat pengaruh aneka arus
politik. Akan tetapi di sini perlu diperhatikan,bahwa bila tidak ada kebenaran
paling asasi, yang mengarahkan dan mengatur kegiatan politik, di situ ide-ide
dan keyakinan-keyakinan dengan mudah dapat dimanipulasi sebagai upaya untuk
merebut kekuasaan. Akhirnya, seperti terbukti juga dari sejarah, demokrasi
tanpa prinsip-prinsip dengan mudah berubah menjadi totalitarisme terang-terangan
atau terselubung.
Gereja sama sekali tidak menutup mata juga terhadap bahaya fanatisme dan
fundamentalisme di kalangan mereka, yang atas nama suatu ideologi, dengan
pretensi tampil sebagai ilmiah atau berjiwa keagamaan, menganggap diri
berwenang memaksakan kepad apihak-pihak lain pandangan mereka sendiri tentang
manakah yang benar dan baik. Jelaslah kebenaran kristiani tidak termasuk aliran
semacam itu. Iman kristiani bukan suatu ideologi. Maka iman tidak menuntut
juga, supaya kenyataan sosial-politik yang bermacam-ragam dikekang dalam
kungkungan rambu-rambu tertentu. Sebab iman megakui,bahwa kehidupan manusia
berlangsung di sepanjang sejarah dalam kondisi-kondisi yang serba
berlain-lainan dan tidak selalu sempurna. Maka, karena mengakui keunggulan
martabat manusia, Gereja dalam cara-caranya bersikap dan bertindak selalu
menghormati kebebasan[94].
Tetapi hanya dengan menerima kebenaranlah kebebasan dihargai sepenuhnya dan
dengan sempurna. Tanpa kebenaran di dunia ini kebebasan pasti kehilangan
nilainya sama seklai, dan manusia menjadi bulan-bulanan serangan hawa-nafsu dan
korban manipulasi terang-terangan maupun terselubung. Adapun orang kristiani
menghayati kebebasan (bdk.Yoh 8:31-32) dan mengabdi kepadanya, sementara sesuai
dengan sifat misioner panggilannya ia selalu menyajikan kepada sesama kebenaran
yang telah dikenalnya. Sambil mengindahkan setiap unsur kebenaran, yang muncul
dalam pengalaman hidup setiap orang dan dalam kebudayaan masing-masing bangsa,
dalam dialog dengan sesamanya ia tiada hentinya mengungkapkan keyakinannya
tentan gapa saja, yang mengenai pribadi manusia diajarkanoleh iman dan
diteguhkan oleh penalaran yang cermat[95].
47. Sesudah tumbangnya
totalitarisme Marxis dan cukup banyak pemerintah lain yang totaliter, maupun
yang berasaskan ”keamanan nasional”, sekarang ini kebanyakan didambakan pola
demokrasi, kendati masih ada juga yang menentangnya, disertai dengan kepedulian
penuh gairah terhadap hak-hak manusiawi. Tetapi berkenaan dengan itu sanga
perlulah, bahwa bangsa-bangsa yang sedang dalam proses meninjau kembali
sistim pemerintahan mereka, meletakkan dasar yang otentik dan kokoh bagi
demokrasi dengan secara jelas tandas mengakui hak-hak asasi itu[96]. Di
antaranya yang pertama-tama perlu diutarakan ialah hak atas kehidupan. Erat
sekali berkaitan dengannya ialah hak anak untuk bertumbuh dalam rahim ibunya
sejak saat pertama ia dikandung, begitu pula hak untuk hidup dalam pangkuan
keluarga yang bersatu dan dalam lingkungan yang mendukung perkembangan kepribadian
anak; hak untuk mengembangkan akalbudi maupun kebebasannya sendiri dalam
mencari dan mengenal kebenaran; selain itu hak untuk bekerja, supaya
harta-benda bumi didaya-gunakan sebagaimana mestinya, dan dari padanya
diperoleh nafkah bagi setiap orang beserta mereka yang menjadi tanggungannya;
akhirnya hak untuk degnan bebas membangun keluarga, memperoleh dan mendidik
anak-keturunan, dengan menghayati seksualitasnya secara bertanggungjawab.
Adapun sumber dan rangkuman hak-hakitu dalam arti tertentu terletak pada
kebebasan beragama, dalam arti hak untuk hidup menurut kebenaran imannya
sendiri dan sesuai dengan keluhuran martabatnya sebagai pribadi[97].
Di Negara-Negara yang berhaluan demokrasi pun tidak selalu hak-hak ditegakkan
sepenuhya. Yang dimaksudkan di sini bukan hanya skandal pengguguran saja,
melainkan juga pelbagai aspek krisis dalam tubuh demokrasi sendiri, yang
agaknya ada kalanya kehilangan kekuasaan untuk mengambil keputusan-keputusan
demi kesejahteraan umum. Tuntutan-tuntutan yang muncul di kalangan masyarakat
tidak dipertimbangkan menurut norma-norma keadilan dan moralitas, melainkan
berdasarkan kekuatan jumlah suara yang diperoleh dan kemampuan finansial
kelompok-kelompok yang mendukungnya. Lambat-laun kemerosotan perilaku politik
itu merongrong segala kepercayaan dan menimbulkan sikap apatis, sehingga
partisipasi politik mengalami kemunduran, dan semangat kewarganegaraan
turun di kalangan masyarakat, yang merasa dirugikan dan mengalami
frustrasi. Oleh karena itu menjadi semakin sulit untuk mengintegrasikan
kepentingan-kepentingan khusus dalam visi yang utuh-menyeluruh tentang
kesejahteraan umum. Sebab kesejahteraan umum itu bukan melulu hasilpenjumlahan
kepentingan-kepentingan khusus,melainkan memerlukan suatu penilaian dan integrasi
kepentingan-kepentingan itu, berdasarkan tata-nilai yang seimbang, lagi pula
pada dasarnya menuntut pengertian yang cermat tentang martabat serta hak-hak
pribadi manusia[98].
Gereja menghormati otonomi tata demokrasi yang sah dan sewajarnya dan tidak
berhak untuk menyatakan kecondongannya yang khas terhadap bentuk
perundang-undangan atau tata kenegaraan yang mana pun juga. Sumangannya bagi
tata politik justru terletak pada visinya tetang martabat pribadi manusia, yang
dengan jelas diwahyukan sepenuhnya dalam misteri Sang Sabda yang menjelma[99].
48. Apa yang telah
diuraikan tadi berlaku juga bagi peranan Negara di bidang perekonomian. Sebab
kegiatan ekonomi, terutama yang menyangkut ekonomi pasar, tidak dapat
dikembangkan tanpa ketentuan-ketentuan hukum dan norma-norma yuridis maupun
politis. Sebaliknya kegiatan itu mengandaikan jaminanyang sungguh andal
terhadap kebebasan perorangan dan milik perorangan, begitu pula situasi moneter
yang stabil dan dinas-dinas Pemerintah yang tepat guna. Maka dari itu tugas
utama Negara ialah menjaminkepastian, sehingga kaum pekerja maupun para
produsen dapat menikmati buah-hasil kerja mereka, dan dengan demikian didorong
untuk bekerja secara efektif dan jujur. Bila tidak ada kepastian itu, sedangkan
korupsi para pejabat Pemerintah semakin menjadi-jadi, dan modal-modal untuk
secara tidak halal memperkaya diri serta keuntungan yang mudah diperoleh
semakin bertambah-tambah yang semuanya terwujud dalam tindakan-tindakan
melanggar hukum atau melulu berupa spekulasi, di situlah terdapat
salah-satu di antara hambatan-hambatan yang pokok bagi kemajuan dan tata
perekonomian.
Selanjutnya Negara wajib juga mengawasi dan mengatur cara-cara merealisasikan
hak-hak manusia di bidang perekonomian . Tetapi dalam hal itu tanggung jawab
utama tidak ada pada Negara, melainkan pada warga perorangan dan pelbagai
serikat serta kelompok, yang kesemuanya membentuk masyarakat. Negara tidak
dapat secara langsung menjamin hak kerja, tanpa hampir secara ”militer”
menguasai seluruh kehidupan ekonomi dan membatasi prakarsa warga
perorangan. Itu sama sekali tidak berarti seolah-olah di bidang itu Negara
tidak mempunyai wewenang, seperti didengung-dengungkan oleh mereka yang
menentang undang-undang mana pun juga di bidang perekonomian. Bahkan Negara
wajib mendukung kegiatan-kegiatan bisnis dengan menciptakan kondisi-kondisi
untuk menjamin tersediannya peluang-peluang kerja, degnan mendorong
kegiatan-kegiatan itu bila barangkali terasa masih kurang intensif, dan dengan
mendukungnya di masa-masa krisis yang gawat.
Selanjutnya Negara berhak campur tangan dengan kewibawaannya, bila
monopoli-monopoli tertentu menciptakan kondisi-kondisi atau
hambatan-hambatan,yang memperlambat laju pembangunan. Tetapi di samping
tugas-tugas menyelaraskan dan mengatur kegiatan-kegiatan demi pembangunan,
dalam keadaan-keadaan kekecualian Negara juga dapat mengambil-alih peranan
untuk sementara, bila sektor-sektor masyarakat atau sistim-sistim bisnis belum
memadai untuk berperanserta semestinya, karena masih cukuplemah atau baru saja
mulai jalan. Campurtangan untuk memberi bantuan itu, yang memang dibenarkan
bila ada alasan-alasan yang mendesak demi kesejahteraan umum, sedapat mungkin
harus dibatasi dalam kurun waktu tertentu, supaya sektor-sektor masyarakat dan
sistim-sistim bisnis itu tadi jangan sampai telanjur kehilangan
fungsi-fungsinya yang khas, dan supaya lingkup campur tangan Negara jangan
sampai meluas keluar proporsi, sehingga kebebasan ekonomi maupun kebebasan para
warganegara dirugikan.
Di masa-masa terkahir ini lingkup campur tangan Negara itu telah meluas
sedemikian rupa, sehingga muncullah pola kenegaraan yang dalam arti tertentu
baru, yakni: ”Negara Kemakmuran” (”Welfare State”). Perkembangan-perkembangan
itu telah berlangsung di berbagai Negara, supaya secara berangsur-angsur sekian
banyak kebutuhan dan kemelaratan ditanggapi secara makin tepat-guna, memenuhi
rencana-rencana, yang telah disusun untuk menanggulangi berbagai bentuk
kemiskinan serta keadaan darurat, yang tak layak bagi pribadi manusia. Akan
tetapi masih terjadi juga ekses-ekses dan eksploatasi, yang khususnya di
masa-masa terakhir ini mengundang kecaman-kecaman yang cukup pedas terhadap
”Negara Kemakmuran” itu, yang juga dijuluki ”Negara Bantuan Sosial”. Cacat-cela
dan aspek-aspek negatif ”Negara Bantuan sosial” itu bersumber pada pengertian
yang timpang tentang tugas-kewajiban Negara sendiri. Di situ pula prinsip
subsidiaritas perlu ditegakkan, yakni: suatu kelompok masyarakat tingkat lebih
tinggi jangan mencampuri kehidupan intern kelompok lebih rendah, atau
mengambil-alih fun gsi-fungsinya; tetapi sebaliknya harus mendukung dan
membantunya bila terdesak oleh berbagai kebutuhan, dan menolongnya memadukan
kegiatannya dengan kegiatan kelompok-kelompok sosial lainnya, selalu demi
kesejahteraan umum[100].
Dengan bercampur tangan secara langsung dan dengan demikian merebut tanggung
jawab masyarakat, ”Negara Bantuan Sosial” menekan daya-kekuatan sosial dan
manusiawi, dan mengakibatkan munculnya semakin banyak dinas-dinas pemerintah,
yang seringkali dikemudikan oleh sistim-sistim birokrasi,lebihdari pada oleh
kepedulian untuk sungguh melayani anggota masyarakat, dan yang disertai degnan
tambahan pembiayaan yang sangat besar. Tetapi barangsiapa mengenal suatu
kebutuhan dari lebih dekat, bahkan menjadi sesama terdekat bagi mereka yang
terdesak oleh kebutuhan itu, agaknya dapat lebih memahami dan memberi bantuan
yang lebih efektif juga. Perlu ditambahkan: tuntutan-tuntutan tertentu harus
ditanggapi bukansaja denganbantuan materiil, melainkan kebutuhan-kebutuhan
manusiawi yang lebih mendalam perlu dipenuhi juga. Ingatlah saja akan kondisi
hidup para pengungsi dan perantau, begitu pula mereka yang terlantar, lanjut
usia dan sedang sakit, dan mereka semua yang memerlukan segala macam
pertolongan, seperti mereka yang kecanduan narkotika. Mereka itu semua dapat
dibantu secara efektif, selain melalui proses pengobatan, juga melalui dukungan
persaudaraan yang mendalam.
49. Dengan karya-kegiatannya
di bidang itu Gereja selalu memberi bantuan, dan patuh-setia kepada perintah
Kristus Pendirinya senantiasa siap sedia untuk menolong menolong mereja yang
kekurangan, sedemikian rupa sehingga mereka tidak merasa direndahkan atau
dianggap sebagai obyek yang dilindungi semata-mata, melainkan diangkat dari
keadaan mereka melalui peningkatan martabat mereka selaku pribadi. Dengan rasa
syukur yang tiada hingganya kepada Allah harus dikemukakan, bahwa cinta kasih
yang sungguh-sungguh nyata tiada hentinya dilaksanakan dalam gereja, bahkan
pada zaman sekarang ini mengalami perkembangan yang intensif di pelbagai
bidang. Secara istimewa perlu disebutkan bakti sukarela, yang didukung oleh
Gereja. Gereja ikut meningkatkan usaha-usaha itu, sementara mendorong semua
orang untuk berpadu tenaga, supaya pengabdian sukarela itu mendapat dukungan
dan makin berkembang. Tetapi untuk mengatasi mentalitas individualisme, yang
sekarang ini semakin merajalela, dibutuhkan kesanggupan konkrit akan
solidaritas dan cinta kasih, mulai dari dalam keluarga dengan dukungan
timbal-balik antara suami dan isteri, kemudian dengan perhatian timbal-balik
yang nyata antara genarasi yang satu dan yang lain. Dalam artiitu keluarga
memutuskan untuk hidup sepenuhnya menurut panggilannya, dapat terjadi juga,
bahwa keluarga itu tidak mendapat bantuan Negara yang dibutuhkannya, sehingga
dengan demikian hidup tanpa jaminan yang sewajarnya. Maka dari itu cukup
mendesaklah, supaya kebijakan-kebijakan tentang kehidupan keluarga
ditingkatkan, begitu pula kebijakan-kebijakan sosial yang memusatkan perhatian
pada keluarga, yang perlu didukung dengan bantuan-bantuan yang memadai serta
upaya-upaya yang efisien, dalam mendidik anak-keturunan maupun memelihara
mereka yang lanjut usia, jangan sampai mereka itu keluar dari lingkungan keluarga,
dan untuk memperkokoh hubungan-hubungan antar generasi[101].
Di samping keluarga, kelompok-kelompok menengah lain memainkan peranan utama
dan membentuk jaringan-jaringan solidaritas yang khusus. Sebab sementara
memainkan peranannya, semua kelompok itu berkembang sebagai rukun-rukun hidup,
yang ibarat menganyam jaringan-jaringan sosial, sambil mencegah, jangan sampai
masyarakat merosot menjadi massa tanpa jati-diri dan anonim, sesuatu
yang-sayang sekali! –dalam masyarakat zaman sekarang sering sekali terjadi.
Dalam pelbagai jaringan hubungan-hubunganlah pribadi manusia mengarungi masa
hidupnya dan masyarakat berperan-serta secara semakin bertanggung jawab. Dewasa
ini manusia seringkali terhimpit antara dua pihak, yakni Negara dan pasar. Sebab
kadang-kadang ia nampaknya hanyalah berperan sebagai produsen dankonsumen saja,
atau sebagai sasaran administrasi Negara. Sedangkan sudah tidak terpikirkan
lagi, bahwa kehidupan masyarakat tidak terarahkan kepada pasar atau Negara
sebagai tujuannya. Sebab kehidupan itu sendiri mengemban nilai unik, yang harus
dilayani baik oleh Negara maupun oleh pasar. Manusia itu pertama-tama mencari
kebenaran, dan sekaligus melalui hidupnya berusaha mewujudkan kebenaran itu dan
semakin menyelaminya melalui dialog yang meliputi zaman-zaman yang silam maupun
yang akan datang[102].
50. Dari usaha mencari
kebenaran secara terbuka itu, yang diperbaharui di setiap generasi, faham
kebudayaan dan perilaku manusiawi bangsa memperoleh ciri-cirinya. Sebab pusaka
nilai-nilai tradisional yang telah diperoleh di masa lampau selalu menghadapi
tantangan dari pihak generasi muda. Tantangan itu tidak berarti mau menolak
atau menghancurkan a priori nilai-nilai itu, melainkan terutama: mau
menguji-cobanya pada kenyataan hidupnya sendiri, sehingga melalui uji-coba itu
nilai-nilai tadi lebih menjadi nyata, relevan, dan menyentuh pribadi, dengan
membedakan unsur-unsur tradisi yangmasih berlaku dari unsur-unsur yang bersifat
semu dan sesat, dan dari bentuk-bentuk yang sudah usang, yang dapat digantikan
dengan adat-istiadat yang mengikuti zaman.
Dalam konteks itu perlu diingat pula, bahwa pewartaan Injil pun meresap dalam
kebudayaan bangsa-bangsa, dengnamendukung kebudayaan dalam perjalanannya menuju
kebenaran, dan dalam proses penjernihan dan perkayaannya[103]. Akan tetapi bila
kebudayaan mengukung diri dan berusaha melestarikan unsur-unsur yang sudah
usang, serta menolak segala pertukaran pandagnan dan diskusi mengenai kebenaran
tentang manusia, kebudayaan itu mandul dan mulai merosot.
51. Seluruh kegiatan manusia
berlangsung dalam lingkup suatu kebudayaan, dan keduanya saling mempengaruhi.
Supaya kebudayaan itu mengalami pengembangan yang serasi, manusia harus
melibatkan diri sepenuhnya. Di situlah ia mengerahkan daya-ciptanya, kecerdasan,
dan pengetahuannya tentang dunia dan manusia. Di situ pula ia menggelarkan
kemampuannya untuk mengendalikan diri, serta menyumbangkan pengorbanannya,
solidaritasnya, serta kesediaannya untuk memajukan kesejahteraan umum. Maka
dari itu tugas yangpertama dan utama berlangsung dalam hati manusia. Tetapi
caranya berusaha membangun masa depannya sendiri tergantung dari pengertiannya
tentang dirinya dan tentang arah-tujuan hidupnya. Di situlah letak sumbangan
Gereja yang khusus dan menentukan bagi kebudayaan dan kemanusiaan. Sebab
Gereja menegakkan keluhuran perilaku manusiawi, yangmendukung kebudayan
perdamaian, melawan pola-pola yang mencerminkan, bahwa perorangan tenggelam
dalam massa, karena peranan maupun kebebasannya tidak diakui, sedangkan keagungannya
ditaruh dalam seni konflik dan perang. Gereja menyelenggarakan pelayanannya
dengan mewartakan kebenaran tentang penciptaan dunia, yang oleh Allah telah
dipercayakan ke dalam tangan manusia, supaya manusia menjadikannya subur dan
menyempurnakannya melalui kegiatannya, dan dengan menyiarkan kebenaran tentang
karya penebus, ketika Putera Allah menyelamatkan semua orang dan serta-merta
menghimpun umat manusia, supaya para anggotanya saling bertanggung jawab. Kitab
suci tiada hentinya berbicara tentang pengabdian seutuh hati terhadap sesama,
dan mendesak kita supaya bertanggung jawab atas segenap bangsa.
Kewajiban itu tidak terbatas pada lingkup keluarga, bangsa atau Negara,
melainkan tahap demi tahap meliputi segenap keluarga manusia, sehingga tiak
seorang pun boleh memandang dirinya asing atau tidak terlibat dengan nasib
sesama anggota umat manusia. Tidak seorang pun dapat mengatakan, bahwa ia tidak
ikut bertanggung jawab atas kesejahteraan saudaranya (bdk. Kej 4:9; Luk
10:29-37; Mat 25:31-46)! Keprihatinan yang siap-siaga dan berusaha sepenuhnya
terhadap sesama yang tertekan oleh kebutuhan yang mendesak-yang sekarang ini
sangat didukung juga oleh media komunikasi yang baru, yang mendekatkan
orang-orang satu dengan yang lain-secara khusus menjadi penting berkenaan
dengna cara-cara untuk memecahkan konflik-konflik internasional tanpa perang.
Jelaslah sudah, bahwa kekuatan dahsyat alat perlengkapan penghancuran, yang
sekarang ini terjangkau oleh Negara-Negara yang tak begitu besar juga, lagi
pula hubungan yang semakin erat antara bangsa-bangsa di seluruh dunia, sangat
mempersukar atau praktis tidak memungkinkan usaha untuk membatasi
konsekuensi-konsekuensi perang.
52. Paus Benediktus XV dan
para pengganti beliau dengan jelas sekali menyadari bahaya itu[104].
Kami sendiri-ketika Teluk Persia ditimpa perang begitu mengerikan-mengulangi
seruan:”Jangan pernah ada perang lagi!” Jangan! Jangan pernah ada perang lagi,
yang membinasakan rakyat tak berdosa, mengajarkan cara-cara membunuh, bahkan
menghancurkan kehidupan para pelaku pembunuhan juga, meninggalkan arus
kebencian dan rasa dendam yang berkelanjutan. Akhirnya masih mempersukar
pemecahan masalah-masalah, yang semula menimbulkan perang itu juga!Seperti
sekarang ini di Negara-Negara tertentu ganti dendam dan pembalasan perorangan
sudah berlaku kedaulatan hukum, begitu pula sudah mendesaklah, bahwa langkah
kemajuanseperti itu ditingkatkan dalam persekutuan bangsa-bangsa. Tetapi
hendaknya jangan dilupakan, bahwa biasanya perang itu disebabkan oleh faktor-faktor
yang sungguh berat dannyata, yakni: perlakuan-perlakuan yang bertentangan
dengan keadilan, aspirasi-aspirasi wajar yang tidak dipenuhi, kemelaratan, dan
eksploatasi massa yang sudah putus asa, yang tidak diberi kesempatan untuk
melalui cara-cara damai meningkatkan mutu hidup mereka.
Oleh karena itu istilah lain untuk damai ialah kemajuan[105]. Seperti ada tanggung
jawab bersama untuk menghindari perang, begitu pula ada tanggung jawab bersama
untuk mendukung kemajuan. Seperti di dalam kawasan suatu bangsa dapat dan
harus dikembangkan perekonomian sosial sedemikian rupa, sehingga pasar sendiri
ditujukan kepada kesejahteraan umum, begitu pula hal itu dibutuhkan pada
tingkat internasional. Untuk maksud itu perlulah ada usaha yang sungguh intensif
untuk menggalang saling pemahaman dan saling pengertian, dan untuk membina
kepekaan suara hati. Itulah kebudayaan yang sungguh didambakan, yang
meningkatkan kepercayaan akan potensi-potensi manusiawi yang ada pada kaum
miskin, pun juga bahwa mereka dapat disiapkan untuk melalui kerja meningkatkan
kondisi hidup mereka, dan untuk menyumbangkan peranserta mereka demi
kesejahteraan ekonomi. Tetapi supaya maksud itu tercapai, mereka yang
miskin-baik perorangan maupun Negara-membutuhkan jaminan-jaminan dan sarana-sarana
yang memadai. Menciptakan kondisi-kondisi itu merupakan tanggung jawab seluruh
dunia yang mau mendukung pembangunan, suatu usaha yang sekaligus berarti bahwa
sebagian dominasi dan kekuasaan, yang ada pada perekonomian-perekonomian yang
lebih sejahtera, dikorbankan[106].
Bila keputusan-keputusan semacam itu diambil, cara-cara hidup yang sudah
membaku dapat mengalami perubahan drastis, yakni untuk membendung pemborosan
sumber-sumber daya manusia dan alam, sehingga baik perorangan maupun
bangsa-bangsa di dunia ini berpeluang mendaya-gunakannya secukupnya. Di samping
itu semua diperhitungkan pula sumber-sumber materiil dan nilai-nilai rohani
baru, buah-hasil kerja serta kebudayaan para bangsa, yang sekarang berada di
pinggiran masyarakat internasional. Dengan demikian akhirnya tercapai
pengembangan harta-kekayaan manusiawi secara menyeluruh, yang menjadi milik
segenap keluarga bangsa-bangsa.
BAB VI
MANUSIA IALAH JALAN BAGI GEREJA
53. Menghadapi penderitaan
kaum pekerja Paus Leo XIII menyatakan: ”Tema ini kamidekati penuh kepercayaan,
sesuai semata-mata dengan hak kami....Dengan mendiamkannya saja kami akan
memberi kesan melalaikan kewajiban kami”[107]. Selama seratus tahun terakhir
ini Gereja sudah cukup sering mengungkapkan pandangannya, sambil dari dekat
memantau perkembangan terus menerus masalah sosial. Jelas Gereja tidak
menjalankan itu untuk memperoleh kembali hak-hak istimewa di masa lampau, atau
untuk menonjol-nonjolkan pandanganya. Satu-satunya maksudnya ialah menjalankan
reksa dan tanggung jawabnya atas manusia, seperti itu oleh Kristus sendiri
telah dipercayaikan kepadanya, yakni tentang manusia, yang menurut amana
Konsili Vatikan II merupakan satu-satunya makhluk, yang oleh Allah dikehendaki
demi dirinya sendiri, yakni supaya ia ikut menikmati keselamatan kekal.
Jelaslah yang dibicarakan di sini bukan manusia ”abstrak”, melainkan manusia
menurut kenyataannya, ”konkrit” dan ”menyejarah”. Yang menjadi pokok bahasan
ialah setiap manusia, sebab setiap manusia ditampung dalam misteri Penebusan,
dan dengan setiap manusia melalui misteri itu juga Kristus telah menyatukan
diri untuk selamanya[108]. Kesimpulannya ialah, bahwa Gereja tidak boleh
meninggalkan manusia, dan bahwa ”manusia itu sendirilah.....bagaikan jalan
utama, yang harus ditempuh oleh Gereja dalam menunaikan perutusannya,
melewati misteri Penjelmaan Sang Sabda dan Penebusan”[109].
Hanya itu sajalah prinsip yang mengarahkan ajaran sosial Gereja. Tahap
demi tahap Gereja telah mengembangkannya secara sistematis, terutama sejak
tahun yang kami kenangkan itu. Gereja menjalankannya, karena cakrawala penentu
seluruh kekayaan ajaran Gereja ialah manusia sendiri dalam seluruh kenyataan
konkritnya sebagai pendosa maupun orang benar.
54. Adapun sekarang ini ajaran
sosial Gereja memusatkan perhatian pada manusia, sebagaimana ia terlibat dalam
jaringan hubungan-hubungan yang serba rumit dalam masyarakat modern. Ilmu-ilmu
manusia dan filsafah memang besar sumbangannya untuk menafsirkan peranan
manusia yang sentral dalam masyarakat, sehingga manusia juga dapat lebih
memahami diri sebagai ”kenyataan sosial”. Akan tetapi hanya imanlah yang
sepenuhnya menyingkapkan baginya jati-dirinya yang sesungguhnya. Dan justru
iman itulah titik-tolak ajaran sosial Gereja, yang dengan memanfaatkan
sumbangan ilmu-pengetahuan maupun filsafat bermaksud sanggup manusia dalam
perjalanannya menuju keselamatan.
Maka Ensiklik ”Rerum Novarum” dapat disambut sebagai pelengkap yang sangat
berbobot bagi penyelidikan sosio-ekonomi menjelang akhir abad XIX. Tetapi
nilainya yang utama terletak pada kenyataan, bahwa Ensiklik itu merupakan
Dokumen Magisterium, yang bersama dengan Dokumen-dokumen lainnya yang sejenis
mendukung karya Gereja mewartakan Injil. Demikian menjadi jelaslah bahwa ajaran
sosial Gereja sendiri merupakan upaya yang tanggung bagi pewartaan Injil.
Sebagai upaya Evangelisasi ajaran sosial itu mewartakan Allah beserta misteri
keselamatan-Nya dalam Kristus kepada semua orang, dan justru karena itu
mengungkapkan hakekat manusia bagi diri manusia sendiri. Dalam rangka itu, dan
hanya dalam terang itulah semua pokok lainnya dibahas: hak-hak perorangan,
khususnya hak-hak ”kaum pekerja”, hak-hak yang menyangkut keluarga dan
pendidikan, tugas-kewajiban Negara, tata-kemasyarakatan pada tingkat nasional
dan internasional, kehidupan ekonomi dan kebudayaan, damai dan perang, hormat
terhadap kehidupan sejak di rahim ibu hingga saat kematian.
55. Gereja memahami ”makna
manusia” berkat perwahyuan ilahi. ”Sebab untuk sungguh menyelami diri kita
sebagai manusia, manusia sejati, manusia seutuhnya, kita perlu mengenal Allah
sendiri dulu”, demikian Paus Paulus VI, yang kemudian mengutip ungkapan Santa
Katarina dari Siena, yang mencetuskan gagasan itu juga dalam doanya: ”Dalam
hakekat-Mu, ya Allah yang kekal, akan kukenal hakekatku”[110].
Maka dari itu antropologi kristiani memang merupakan suatu fasal dalam teologi,
dan berdasarkan alasan itu pula ajaran sosial Gereja, dengan ulasannya tentang
manusia dan perhatiannya terhadap manusia serta perilakunya di dunia, ”termasuk
bidang teologi, khususnya teologi moral”[111]. Dimensi teologi itu agaknya
memang perlu untuk memahami maupun memecahkan masalah-masalah aktual dalam
masyarakat. Itu memang kena sasaran juga untuk menanggapi pemecahan ”ateis”-baiklah
ini diperhatikan-yang mengabaikan dimensi manusia yang penting sekali, yakni
dimensi rohani, begitu pula untuk menanggapi pemecahan-pemecahan yang berhaluan
serba memperbolehkan segala-galanya dan konsumerisme, yang berkedok
bermacam-macam dalih pada dasarnya bermaksud meyakinkan manusia, bahwa ia
bebas-merdeka dari segala hukum dan dari Allah sendiri, dan dengan demikian
mengung-kungnya dalam cinta dirinya melulu, sehingga ia akhirnya merugikan diri
sendiri maupun sesama.
Sementara Gereja mewartakan keselamatan Allah kepada manusia, dan melalui
sakramen-sakramen mengikut-sertakannya dalam kehidupan ilahi yang
disajikannya, bila Gereja dengan menekankan perintah cinta kasih terhadap Allah
dan sesama mengarahkan hidup manusia, Gereja sangat berjasa dalam memperkaya
martabat manusia. Tetapi, seperti Gereja tidak dapat meninggalkan misi
keagamaannya yang luhur demi manusia, begitu pula Gereja menyadari, bahwa
sekarang ini kegiatannya terbentur pada rintangan-rintangan dan
kesukaran-kesukaran yang besar sekali. Itulah sebabnya mengapa Gereja dengan
daya-kekuatan serta cara-cara yang selalu baru membaktikan diri kepada
pewartaan Injil demi pengembangan manusia seutuhnya. Juga di ambang millennium
ketiga Gereja tetap menjadi ”tanda....dan jaminan keunggulan pribadi manusia”[112],
sebagaimana itu selalu diusahakannya sejak awalmula riwayat hidupnya, seraya
mengarungi sejarah menyertai manusia. Ensiklik ”Rerum Novarum” sendiri
merupakan buktinya yang gemilang.
56. Pada ulang tahun
keseratus Ensiklik itu kamiingin menyampaikan terima kasih kepada siapa saja,
yang berusaha mempelajari, menyelami dan menyebarluaskan ajaran sosial
kristiani. Untuk maksud itu perlulah kerja sama Gereja-Gereja setempat. Maka
kami berharap, supaya kenangan sekarang ini membuka kesempatan bagi tumbuhnya
semangat baru untuk mempelajari, menyiarkan dan menerapkan ajaran itu dalam
situasi-situasi yang serba aneka.
Secara khusus kami menginginkan supaya ajaran sosial itu dikenal dan
dilaksanakan di berbagai Negara, yang sesudah tumbangnya ”Sosialisme Reil”
mengalami pergolakan besar dalam usaha pembaharuan. Di pihak lain Negara-Negara
Barat menghadapi risiko menganggap keruntuhan itu melulu sebagai kemenangan
tata perekonomiannya sendiri, dan karena itu tidak berusaha mengadakan
perbaikan-perbaikan yang perlu bagi sistim mereka itu. Sementara itu
Negara-Negara Dunia Ketiga lebih dari di masa lampau serba terhambat, berada
dalam kondisi jauh terbelakang, yang kian hari semakin parah.
Sesudah merumuskan prinsip-prinsip dan pedoman-pedoman untuk memecahkan masalah
kaum pekerja, Paus Leo XIII menyampaikan pernyataan yang sangat tegas, ”Setiap
orang harus mulai bekerja di bidangnya sendiri, dan itu sesegera mungkin,
supaya keadaan buruk yang sudah seperah itu jangan semakin sulit disembuhkan
karena pengobatan ditunda-tunda saja”. Dan beliau tambahkan: ”Mengenai Gereja
sendiri: bagaimana pun juga tak pernah Gereja akan ketinggalan bekerja sama!”[113].
57. Oleh Gereja amanat
sosial Injil tidak dapat dipandang sebagai suatu teori yang indah melulu,
melainkan terutama sebagai dasar yang nyata dan motivasi untuk bertindak.
Digerakkan oleh amanat itu beberapa orang di antara umat kristiani pertama
membagikan harta-miliknya kepada kaum miskin, dan dengan demikian memberi
kesaksian, bahwa sungguhpun berasal dari pelbagai lapisan masyarakat, mereka
toh tetap mungkin hidup bersama dalam damai dan keselarasan. Berkat kekuatan
Injil para rahib di sepanjang zaman bercocok-tanam, para reliduius pria maupun
wanita mendirikan rumah-rumah sakit dan penginapan-penginapan untuk menampung
kaum miskin, serikat-serikat maupun pria dan wanita perorangan dari golongan
mana pun membaktikan diri kepada mereka yang serba miskin dan tersingkirkan
melalui amal kemurahan hati, karena insyaf, bahwa amanat Kristus: ”Apa pun yang
telah kamu lakukan terhadapsalah seorang di antara saudara-saudara-Ku yang
paling hina ini, kamu lakukan terhadap Aku” (Mat 25:40) tidak dimaksudkan untuk
tetap menjadi suatu keinginan yang saleh melulu, melainkan supaya menjadi
kesanggupan hidup yang nyata.
Lebih dari di masa lampau Gereja menyadari, bahwa amanat sosialnya akan
berwibawa dan layak dipercaya terutama berdasarkan kesaksian lewat tindakan
nyata dari pada karena keserasian dan konsistensi intrinsiknya. Kesadaran itu
pulalah, yang mendasari sikap mengutamakan kaum miskin, kendati tanpa pernah
menolak kelompok-kelompok lain atau menjalankan itu tidak hanya terbatas pada
kemiskinan materiil, karena sudah jelaslah, bahwa khususnya di masyarakat
sekarang terdapat begitu banyak jenis kemiskinan, bukan di bidang perekonomian
semata-mata, melainkan juga di bidang pendidikan dan keagamaan. Cinta Gereja
penuh keprihatinan terhadap kaum miskin, yang memang sangat dititikberatkan
olehnya dan tetap berlangsung sebagai suatu aspek dalam pusaka tradisinya,
mendorongnya untuk menatap dunia, yang memang ditandai kemajuan teknologi dan
ekonomi, tetapi toh dilanda oleh kemelaratan sedemikian parahnya, sehingga
mencapai proporsi-proporsi yang amat mengerikan. Di kawasan Negara-Negara Barat
dialami aneka bentuk kemiskinan pada golongan-golongan rakyat yang serba
terlantar, kaum lanjut usia dan dan para penderita penyakit, para korban
konsumerisme, dan yang lebih gawat lagi: kemiskinan para pengungsi dan kaum
emigran. Sedangkan di Negara-Negara yang sedang berkembang diperkirakan akan
muncul krisis-krisis dahsyat , yang hanya mungkin dihindari, bila sebelum
terlambat diambil langkah-langkah pencegahan yang memadai pada tingkat
internasional.
58. Cinta kasih terhadpa
sesama, dan terutama terhadap kaum miskin, yang bagi Gereja menampilkan
Kristus, diwujudkan secara nyata dalam usaha untuk memajukan keadilan. Keadilan
takkan pernah tercapai sepenuhnya, selama orang miskin, yang meminta bantuan
untuk mempertahankan hidupnya, masih dianggap menggangu atau suatu beban, dan
bukan sebagai kesempatan untuk beramal baik, dan peluang untuk memperkaya
kepribadian. Hanya kesadaran itulah yang akan membangkitkan keberanian untuk
menempuh resiko dan mulai mengubah sikap, seperti diperlukan dalam usaha yang
serius untuk membantu sesama. Sebab soalnya bukanhanya memberikan hal-hal yang
sudah tidak dibutuhkan lagi, melainkan membantu sepenuhnya bangsa-bangsa yang
tersisihkan dan terlantar, yang terhalang untuk memasuki gelanggang
pengembangan ekonomi. Itu baru akan dapat terlaksana, bila didaya-gunakan
kelebihan buah –hasil bumi yang melimpah, dan terutama bila ada
perubahan-perubahan dalam corak-cara hidup, dalam pola-pola produksi dan
konsumsi, begitu pula dalam sistim maupun struktur-struktur pemerintahan yang
sudah membaku, yang sekarnag ini menguasai masyarakat. Soalnya bukan pula
meniadakan upaya-upaya organisasi kemasyarakatn, yang terbukti masih berfaedah,
melainkan mengarahkannya menurut pengertian yang memadai tentang kesejahteraan
umum, dan mengindahkan segenap keluarga manusia. Sebab sekarang ini terjadi apa
yang disebut ”globalisasi tata perekonomian”, yang memang tidak usah ditolak,
karena dapat membuka peluang-peluang yang luar biasa, untuk secara intensif
meningkatkan kesejahteraan. Akan tetapi semakin terasa betapa perlulah
internasionalisasi perekonomian itu diiringi dengan lembaga-lembaga
interansional yang efektif untuk mengendalikan serta mengarahkan tata
perekonomian bangsa-bangsa kepada kesejahteraan umum, sesuatu yang tidak mungkin
dilaksanakan oleh negara secara individual, kendati yang paling berkuasa di
seluruh dunia sekalipun. Untuk mencapai sasaran itu, perlulah koordinasi yang
semakin mantap antara Negara-Negara besar, begitu pula perlindungan
kepentingan-kepentingan maupun hak-wewenang seluruh bangsa manusia secara
serasi pada badan-badan internasional. Selain itu dalam memperhitungkan
konsekuensi-konsekuensi keputusan-keputusannya, badan-badan itu perlulah
mengindahkan secukupnya bangsa-bangsa serta Negara-Negara, yang kurang
berperanan dalam pasar internasional, melainkan justru tertindih oleh beban
kebutuhan-kebutuhan yang amat berat dan mendesak, sehingga memerlukan
bantuan-bantuan yang lebih besar untuk mengembangkan diri. Sudah jelaslah,
bahwa di bidang ini masih banyak sekali yang perlu diusahakan.
59. Oleh karena itu, supaya
tuntutan-tuntutan keadilan terpenuhi dan usaha-usaha manusia untuk
menegakkannya sungguh berhasil, diperlukan kurnia yang bersumber pada Allah.
Rahmat itu, disertai kerja sama manusia dalam kebebasannya merupakan kehadiran
Allah penuh misteri dalam sejarah dunia, yang tak lain ialah
Penyelenggaraan-Nya.
Pengalaman pembaharuan, yang berlangsung bila manusia mengikuti Kristus, harus
disalurkan kepada sesama dalam kenyataan konkrit sehari-hari
kesukaran-kesukaran serta perjuangan mereka, masalah-persoalan maupun
tantangan-tantangan yang mereka hadapi, sehingga semuannya itu disinari dan
menjadi lebih manusiawi dalam cahaya iman. Sebab iman tidak hanya membantu
untuk mengatasi keadaan-keadaan itu, melainkan menjadikan situasi-situasi
penderitaan lebih ringan ditanggung oleh manusia, sehingga ia tidak tercengkam
olehnya, dan lupa akan martabat serta panggilannya.
Selanjutnya ajaran sosial Gereja menampilkan dimensi penting sekali, yakni
bersifat interdisipliner. Sebab supaya satu-satunya kebenaran tentang manusia
semakin nyata dikonkritkan dalam peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi, dan
politik yang memang bermacam-ragam dan tiada hentinya silih-berganti, ajaran
sosial itu menjalin dialog dengan pelbagai ilmu-pengetahuan tentang manusia.
Ajaran Gereja mengasimilasikan buah-hasil ilmu-ilmu itu dalam dirinya, serta
membantunya untuk membuka dan memperluas lingkup pelayanannya kepada pribadi
manusia perorangan, yang dikenal dan dikasihinya dalam kepenuhan panggilannya.
Di samping dimensi interdisipliner itu perlu disebut juga dimensi kegunaan
praktis ajaran sosial itu dan pengakarannya dalam pengalaman konkrit. Sebab
ajaran itu menempatan diri pada tiik-temu antara kehidupan serta suarahati
kristiani di satu pihak dan kenyataan-kenyataan konkrit dunia di pihak lain.
Ajaran itu mengejawantahkan dalam usaha-usaha yang dijalankan oleh kaum beriman
secara perorangan, keluarga-keluarga, mereka yang berkecimpung di bidang kebudayaan
dan dalam hidup kemasyarakatan, para tokoh politik dan pemimpin Negara, untuk
mewujud-nyatakan serta menerapkan ajaran itu dalam sejarah.
60. Seraya menggariskan
prinsip-prinsip untuk memecahkan persoalan kaum pekerja, Paus Leo XIII
menulis:”Masalah yang sebesar itu jelas mengundang jerih-payah dan perjuangan
pihak-pihak lain juga”[114]. Sri Paus yakin, bahwa hanya bila semua tenaga
dan sumber daya dikerahkan secara terpadulah persoalan-persoalan berat yang
ditimbulkan oleh masyarakat industri akan dapat dipecahkan. Pernyataan itu
kemudian menjadi unsur permanen ajaran sosial Gereja. Itu pula yang
menjelaskan, mengapa Paus Yohanes XXIII mengalamatkan Ensiklik beliau tentang
perdamaian internasional sekaligus kepada ”semua orang yang beriktikad baik”.
Akan tetapi dengan sedih hati Paus Leo XIII menyaksikan, bahwa
ideologi-ideologi besar di zaman beliau, terutama Liberalisme dan Marxisme,
menolak kerja sama itu. Sementara ini telah terjadi banyak perubahan, khususnya
dalam tahun-tahun terakhir ini. Dunia zaman sekarang semakin menyadari, bahwa
pemecahan masalah-masalah besar dalam bangsa-bangsa dan pada tingkat
internasional sama sekali tidak terletak hanya dalam hal produksi perekonomian
atau dalam suat organisasi yuridis atau sosial masyarakat, melainkan menuntutu
adanya prinsip-prinsip etika serta keagamaan, begitu pula perombakan
mentalitas, perilaku dan struktur-struktur. Secara khas Gereja memandang diri
bertanggung jawab untuk melaksanakan peran serta itu, dan-seperti telah kami
cantumkan dalam Ensiklik ”Sollicitudo Rei Socialis”,-ada harapan cukup mantap,
bahwa golongan amat besar mereka, yang tidak memeluk agama mana pun juga, akan
mampu menyumbangkan pemikirannya untuk meletakkan dasar etika yang diperlukan
untuk menganggapi masalah sosial[115].
Selanjutnya dalam Ensiklik itu kami juga menyerukan kepada Gereja-Gereja
kristen dan semua agama yang tersebar di seluruh dunia, supaya semuanya
serentak memberi kesaksian tentang keyakinan-keyakinan kita bersama mengenai
martabat manusia yang diciptakan oleh Allah[116]. Sebab kami yakin, bahwa
sekarang ini dan di masa mendatang agama-agama akan memainkan peranan penting
sekali dalam memelihara perdamaian dan membangun masyarakat yang layak bagi
manusia.
Memang kesediaan untuk dialog dan kerja sama perlu bagi semua orang yang
berkehendak baik, terutama bagi perorangan maupun kelompok-kelompok yang
mengemban tanggung jawab khusus di bidang politik, sosial, dan ekonomi pada
tingkat nasional maupun internasional.
61. Pada awal masyarakat
industri suatu ”keharusan yang menyerupai beban budak belian”-lah, yang
mendorong Pendahulu kami, untuk mengangkat suara membela manusia. Selama
seratus tahun berturut-turut Gereja telah tetap setia terhadap kewajiban itu!
Memang benarlah,pada zaman penuh pergolakan, sementara pertentangan kelas
berkecamuk sesudah Perang Dunia I Gereja berperanserta untuk melindungi manusia
terhadap eksploatasi di bidang perekonomian dan terhadap tirani
pemerintah-pemerintah totaliter. Seusai Perang Dunia II Gereja menempatkan
martabat pribadi manusia di pusat amanat-amanat sosialnya, seraya menekankan
bahwa harta-benda materiil diperuntukkan bagi semua orang, dan bahwa tata
masyarakat harus bebas dari segala penindasan, dan didasarkan pada kemauan
untuk bekerja sama dan menggalang solidaritas. Sesudah itu Gereja terus menerus
menyerukan, bahwa pribadi manusia maupun masyarakat tidak hanya membutuhkan
harta-benda materiil itu, melainkan harta-kekayaan rohani dan keagamaanjuga.
Selanjutnya Gereja semakin menyadari, bahwa terlampau banyak orang tidak
menikmati kesejahteraan dunia Barat, melainkan menderita kemiskinan
Negara-Negara yang sedang berkembang,dan menanggung nasib yang sampai sekarang
pun masih ”menyerupai beban budak belian”. Maka Gereja telah dan tetap merasa
wajib untuk menyiarkan kenyataan-kenyataan itu sejelas mungkin dan
sejujur-jujurnya, walaupun menyadari bahwa seruannya itu tidak selalu akan
disambut baik oleh khalayak ramai.
Seratus tahun sesudah Ensiklik ”Rerum Novarum” terbit Gereja tetap masih
menghadapi hal-hal baru” dan tantangan-tantangan baru. Maka dari itu kenangan
ulang tahun keseratus ini harus meneguhkan kesanggupan berbakti pada semua
orang yang beriktikad baik, terutama pada umat beriman.
62. Ensiklik kami ini telah
melihat kembali masa lampau, tetapi terutama menjangkau ke arah masa depan.
Seperti Ensiklik ”Rerum Novarum” pada waktu itu, begitu pula Ensiklik kami
menjelang abad yang baru, dan –dengan bantuan Allah-dimaksudkan sebagai
persiapan untuk menyambutnya.
Di setiap masa ”Keadaan baru” yang sejati dan kekal-abadi bersumber pada Allah
yang bersabad:”Lihatlah, Aku membaharui segala sesuatu” (Why 21:5). Amanat itu
menunjuk kepada kepenuhan sejarah, bila Kristus ”menyerahkan kerajaan Allah dan
Bapa..., sehingga Allah menjadi semuannya dalam segalanya” (1Kor 15:24, 28).
Tetapi orang kristiani menyadari, bahwa ”keadaan baru”, yang kita
dambakan kepenuhannya bila Tuhan kelak datang kembali, sudah ada sejak dunia
diciptakan, atau lebih tepat sejak dalam diri Kristus Yesus Allah telah menjadi
manusia, dan bersama dengan-Nya serta dengan perantaraanNya telah terjadilah
”ciptaan baru” (2Kor 5:17; Gal 6:15).
Untuk menghakhiri Ensiklik ini kami mengucapkan syukur lagi kepada Allah yang
mahakuasa, yang telah mengurniakan kepada Gereja-Nya terang dan kekuatan, untuk
mendampingi manusia selama perjalanannya di dunia ini menuju zaman akhirat.
Selama millennium ketiga pun Gereja akan tetap sama kesetiaannya, sambil
menjadikan jalan manusia jalannya sendiri. Gereja menyadari, bahwa ia tidak
sendirian menempuh perjalanannya, melainkan bersama dengannn Kristus Tuhannya..
Sebab Dia sendiri telah menjadikan jalan manusia jalan-Nya sendiri, dan
menuntun perjalanan manusia, kendati tuntunan Tuhan itu tidak disadarinya.
Santa Maria, Bunda Sang Penebus, selalu mendampingi Kristus dalam perjalananNya
menuju umat manusia dan bersama dengannya. Maria mendahului Gereja dalam
peziarahan imannya. Semoga doanya sebagai Bunda menyertai bangsa manusia yang
menyongsong millenium mendatang, dalam kesetiaan sepenuh-penuhnya terhadap
Dia,yang ”sama kemarin dan hari ini dan selama-lamanya” (Ibr 13:8), yakni Yesus
Kristus Tuhan kita. Dalam nama-Nya itulah kami sampaikan berkat kami setulus
hati kepada anda sekalian.
Diterbitkan di Roma, di Gereja Basilik Santo Petrus, tanggal 1 Mei, pada hari
kenangan Santo Yusuf Pekerja, tahun 1991, tahun ke-tiga belas masa Kepausan
kami.
Paus Yohanes Paulus II
[1] PAUS LEO XIII, Ensiklik “Rerum Novarum” (tgl.15 Mei 1891): “Leonis XIII P.M.Acta”, Roma 1892, hlm. 97-144.
[2] PAUS PIUS XI, Ensiklik “Quadragesimo Anno” (tgl.15 Mei 1931): AAS 23 (1931) hlm.177-228; PAUS PIUS XII, Amanat Radio tgl. 1 Juni 1941: AAS 33 (1941) hlm. 195-205; PAUS YOHANES XXIII, Ensiklik “Mater et Magistra” (tgl.15 Mesi 1961): AAS 53 (1961) hlm.401-464; PAUS PAULUS VI, Surat Apostolik “Qctogesima Adveniens” (tgl.14 Mei 1971): AAS 63 (1971) hlm. 401-441.
[3] Bdk. PIUS XI, Ensiklik “Quadragesimo Anno”, III, loc.cit., hlm. 228.
[4] Ensiklik “Laborem Exercens” (tgl. 14 September 1981): AAS 73 (1981) hlm. 577-647; Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis” (tgl.30 Desember 1987): AAS 80 (1988) hlm.513-586.
[5] Bdk. S. IRENEUS, “Melawan Bidaah-Bidaah”, 1,10,1;3,4,1: PG 7,549 dsl.; 855 dsl.; S.Chr. 264,154 dsl.;211,44-46.
[6] PAUS LEO XIII, Ensiklik “Rerum Novarum”: loc. cit., hlm.132.
[7] Bdk. Misalnya: PAUS LEO XIII, Ensiklik “Arcanum Divinae Sapientiae” (tgl.10 Februari 1880): “Leonis XIII P.M. Acta”, II, Roma 1882, hlm. 10-40’ Ensiklik “Diuturnum Illud” (tgl.29 Juni 1881): “Leonis XIII P.M. Acta”,II, Roma 1882. hlm. 269-287; Ensiklik “Libertas Praestantissimum” (tgl.20 Juni 1888): “Leonis XIII P.M. Acta”,IV, Roma 1889, hlm.212-246; Ensiklik “Graves de Communi” (tgl.18 Januari 1901): “Leonis XIII P.M. Acta”, XXI, Roma 1902, hlm.3-20.
[8] Ensiklik “Rerum Novarum”, loc.cit., hlm.97.
[9] Dalam Ensiklik yang sama, loc.cit., hlm. 98.
[10] Bdk. Ensiklik yang sama, loc.cit. hlm. 109 dsl.
[11] Bdk. dalam Ensiklik yang sama: gambaran tentang kondisi-kondisi kerja; serikat-serikat pekerja yang tidak sesuai dengan agama kristiani: loc.cit., hlm.110 dsl,; hlm. 136 dsl.
[12] Dalam Ensiklik yang sama: loc.cit., hlm.130; bdk. hlm.114 dsl.
[13] Dalam Ensiklik yang sama: loc.cit., hlam.130.
[14] Dalam Ensiklik yang sama, 27: loc.cit., hlm.123.
[15] Bdk. Ensiklik “Laborem Exercens”, 1, 2, 6: loc.cit., hlm. 578-583; 589-592.
[16] Bdk. Ensiklik “Rerum Novarum”: loc.cit., hlm. 99-107.
[17] Dalam Ensiklik yang sama : loc.cit., hlm.102dsl.
[18] Bdk. Dalam Ensiklik yang sama: loc.cit., hlm.101-104.
[19] Bdk. Dalam Ensiklik yang sama: loc.cit., hlm. 134 dsl., 137 dsl.
[20] Dalam Ensiklik yang sama: loc.cit., hlm.135.
[21] Bdk. Dalam Ensiklik yang sama: loc.cit., hlm.128-129.
[22] Dalam Ensiklik yang sama: loc.cit., hlm.129.
[23] Dalam Ensiklik yang sama: loc.cit., hlm.129.
[24] Dalam Ensiklik yang sama: loc.cit., hlm.130 dan selanjutnya.
[25] Dalam Ensiklik yang sama: loc.cit., hlm.131.
[26] Bdk. “Pernyataan Universal tentang Hak-Hak Manusia” (“Universal Declaration of, tahun 1948).
[27] Bdk. Ensiklik “Rerum Novarum”: Loc.cit., hlm.121-123.
[28] Bdk. Dalam Ensiklik yang sama:loc.cit., hlm.12.
[29] Dalam Ensiklik yang sama: loc.cit., hlm. 126 dan selanjutnya.
[30] Pernyataan Universal tentang HakHak Manusia, tahun 1948; Pernyataan tentang penghapusan setiap bentuk intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama atau keyakinan orang-orang.
[31] Bdk. KONSILI VATIKAN II, Pernyataan “Dignitatis Humanae” tentang Kebebasan Beragama; PAUS YOHANES PAULUS II, Surat kepad apara Kepala Negara (tgl.1 September 1980):AAS 72 (1980) hlm. 1252-1260; Amanat untuk Hari Perdamaian Sedunia 1988: AAS 80 (1988)hlm.278-286.
[32] Bdk. Ensiklik “Rerum Novarum”: loc.cit., hlm.99-105’ 130 dam selanjutnya; 135.
[33] Dalam Ensiklik yang sama: loc.cit., hlm.125.
[34] Bdk. Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis”, 38-40: loc.cit., hlm.564-569; bdk. Juga PAUS YOHANES XXIII, Ensiklik “Mater et Magistra”: loc.cit., hlm.407.
[35] Bdk. PAUS lEO XIII, Ensiklik “Rerum Novarum”: loc.cit., hlm.114-116; PAUS PIUS XI, Ensiklik “Quadragesimo Anno”, III: loc.cit., hlm.208; PAUS PAULUS VI, Homili pada penutupan Tahun Yubileum (tgl.25 Desember 1975): AAS 68 (1976)hlm.145; Amanat untuk Hari Perdamaian Sedunia 1977: AAS 68 (1976)hlm.709.
[36] Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis”, 42: loc.cit. hlm.572.
[37] Bdk. Ensiklik “Rerum Novarum”; Loc.cit., hlm.101 dan selanjutnya; 104 dan selanjutnya; 130 dan selanjutnya; 136.
[38] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern, 24.
[39] Ensiklik “Rerum Novarum”: loc.cit., hlm.99.
[40] Bdk. Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis”, 15; 28: loc.cit., hlm. 530; 548 dan selanjutnya.
[41] Bdk. Ensiklik “Laborem Exercens”, no. 11-15: loc.cit., hlm. 602-618.
[42] PAUS PIUS XI, Ensiklik “Quadragesimo Anno”, III: loc.cit., hlm.213.
[43] Bdk. Ensiklik “Rerum Novarum”: loc.cit., hlm.121-125.
[44] Bdk. Ensiklik “Laborem Exercens”, 20: loc,cit., hlm. 629-632; Amanat kepada “International Labour Organization”(ILO) di Jenewa (tgl.15 Juni 1982): “Insegnamenti” V/2 (1982), 2250-2266; PAULUS VI, Amanat kepada ILO (tgl.10 Juni 1969): AAS 61 (1969) hlm. 491-502.
[45] Bdk. Ensiklik “Laborem Exercens”, 8: Loc.cit., hlm. 594-598.
[46] Bdk. PIUS XI, Ensiklik “Quadragesimo Anno”, 14: loc.cit., hlm. 178-181.
[47] Bdk. Ensiklik”Arcanum Divinae Sapientiae” (tgl. 10 Februari 1880): “Leonis XIII P.M. Acta”, II, Roma 1882, hlm.10-40; Ensiklik “Diuturnum Illud” (tgl. 29 Juni 1881): “Leonis XIII P.M. Acta”, II, Roma 1882, hlm. 269-287; Ensiklik “Immortale Dei” (tgl. 1 November 1885): “Leonis XIII P.M. Act”V, Roma 1886, hlm. 118-150; Ensiklik “Sapientiae Christianae” (tgl.10 Januari 1890): “Leonis XIII P.M.Act”, X, Roma 1891, hlm. 10-41; Ensiklik “Quod Apostolici Muneris” (tgl.28 Desember 1878): “Leonis XIII P.M.Acta”, I, Roma 1881, hlm. 170-183; Ensiklik “Libertas Praestantissimum” (tgl 20 Juni 1888): “Leonis XIII P.M.Acta”, VIII, Roma 1889, hlm 212-246.
[48] Bdk. LEO XIII, Ensiklik “Libertas Praestantissimum”, 10: loc.cit.,hlm. 224-226.
[49] Bdk. Amanat pada Hari Perdamaian Sedunia 1980: AAS 71 (1979) hlm.1572-1580.
[50] Bdk. Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis”, 20: loc.cit.,hlm.536 dan selanjutnya.
[51] Bdk. YOHANES XXIII, Ensiklik “Pacem in Terris” (tgl.11 April 1963),III:AAS 55 (1963) hlm. 286-289.
[52] Bdk. “Pernyataan Universal tentang Hak-Hak Manusia” , diterbitkan pada tahun 1948; YOHANES XXIII, Ensiklik “Pacem in Terris”, IV: loc.cit. hlm 291-296; “Final Act” pada Konferensi tentang Kerja Sama dan Keamanan di Eropa, Helsinki, 1975.
[53] Bdk. PAULUS VI, Ensiklik “Populorum Progressio” (tgl.26 Maret 1967),61-65: AAS 59 (1967) hlm. 287-289.
[54] Bdk. Amanat pada Hari Perdamaian Sedunia 1980: loc. cit., hlm. 1572-1580.
[55] Bdk. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern, 36; 39.
[56] Bdk. Anjuran Apostolik “Christifideles Laici” (tgl. 30 Desember 1988) 32-44: AAS 81 (1989) hlm. 431-481.
[57] Bdk. Ensiklik “Laborem Exercens”, 20: loc. cit., hlm. 629-632.
[58] Bdk. KONGREGASI UNTUK AJARAN IMAN, Instruksi “Libertatis Conscientia” tentang Kebebasan Kristiani dan Pembebasan (Tgl. 22 Maret 1986):AAS 79 (1987) hlm.554-599.
[59] Bdk. Amanat di gedung Pusat CEAO (“Commission Economique de l’Afrique de l’Quest”, Komisi Ekonomi Afrika Barat) pada Ulang Tahun kesepuluh “Seruan Bantuan untuk daerah Sahel” (Uagadugu, Burkina Faso, tgl. 29 Januari 1990): AAS 82 (1990), hlm. 816-821.
[60] Bdk. YOHANES XXIII, Ensikli “Pacem in Terris”, III: loc. Cit., hlm. 286-288/
[61] Bdk. Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis”, 27-28: loc. Cit., hlm. 547-550; PAULUS VI, Ensiklik “Populorum Progressio”, 43-44: loc. cit., hlm 278 dan selanjutnya.
[62] Bdk. Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis”, 29-31: loc. Cit., hlm. 550-556.
[63] Bdk. “Final Act” Konferensi di Helsinki dan Persetujuan Wina; LEO XIII, Ensiklik “Libertas Praestantissimum”, 5: loc. Cit., hlm. 215-217.
[64] Bdk. Ensiklik “Redemptoris Missio” (tgal. 7 Desember 1990), L’Osservatore Romano, tgl.23 Januari 1991.
[65] Bdk. Ensiklik “Rerum Novarum”: loc.cit., hlm. 99-107; 131-133.
[66] Dalam Ensiklik yang sama, loc.cit., 111-113 dan selanjutnya.
[67] Bdk. PIUS XI, Ensiklik “Quadragesimo Anno”, II: loc.cit., hlm.191; PIUS XII, Amanat Radio pada tgl. 1 Juni 1941: loc.cit., hlm. 199; YOHANES XXIII, Ensiklik “Mater et Magistra”: loc. cit., hlm. 428-429; PAULUS VI, Ensiklik “Populorum Progressio”, 22-24: loc.cit., hlm. 268 dan selanjutnya.
[68] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern, 69; 71.
[69] Bdk. Amanat kepada para Uskup Amerika Latin di Puebla (tgl. 28 Januari 1979), III, 4: AAS 71 (1979) HLM. 1999-201; Ensiklik “Laborem Exercens” , 14: loc. cit., hlm. 612-616; Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis”, 42: loc.cit., hlm.572-574.
[70] Bdk. Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis”, 15: loc.cit., hlm.528-531.
[71] Bdk. Ensiklik “Laborem Exercens”, 21: loc.cit., hlm. 632-634.
[72] Bdk. PAULUS VI, Ensiklik “Populorum Progressio”, 33-42: loc.cit. 273-278.
[73] Bdk. Ensiklik “Laborem Exercens”, 7:loc. Cit., hlm. 592-594.
[74] Bdk. Ensiklik yang sama, 8:loc.cit. hlm. 594-598.
[75] Bdk. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes “ tetnang Gereja dalam Dunia Modern, 35; PAULUS VI, Ensiklik “ Populorum Progressio”, 19: loc.cit.hlm. 266 dan selanjutnya.
[76] Bdk. Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis”, 34: loc.cit., hlm.559 dan selanjutnya; Amanat pada Hari Perdamaian Sedunia 1990: AAS 82 (1990) hlm.147-156.
[77] Bdk. Anjuran Apostolik “Reconciliatio et Poenitentia” (tgl.2 desember 1984), 16: AAS 77 (1985) hlm. 213-217 ; PIUS XI, Ensiklik “Quadragesimo Anno”, III: loc.cit.hlm.219.
[78] Ensikilik “Sollicitudo Rei Socialis” , 25: loc.cit., hlm. 544.
[79] Bdk. Ensiklik yang sama, 34:loc.cit., hlm. 559 dan selanjutnya.
[80] Bdk. Ensiklik “Redemptor Hominis” (tgl.4 Maret 1979), 15: AAS 71 (1979) hlm. 286-289.
[81] Bdk. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern, 24.
[82] Bdk. dalam Konstitusi yang sama, 41.
[83] Bdk. dalam Konstitusi yang sama, 26.
[84] Bdk. KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern, 36;Paulus VI, Surat Apostolik “Octtogesima Adveniens”, 2-5: loc.cit., hlm. 402-405.
[85] Bdk. Ensiklik “Laborem Exercens”, 15:loc.cit., hlm. 616-618.
[86] Bdk. dalam Ensiklik yang sama, 10: loc.cit., hlm. 600-602.
[87] Dalam Ensiklik yang sama, 14: loc.cit., hlm. 612-616.
[88] Bdk. dalam Ensiklik yang sama, 18: loc.cit., hlm. 622-625.
[89] Bdk. Ensiklik “Rerum Novarum”: loc.cit., hlm. 126-128.
[90] Dalam Ensiklik yang sama, hlm.121 dan selanjutnya.
[91] Bdk. LEO XIII, Ensiklik “Libertas Praestantissimum”: loc.cit., hlm.224-226.
[92] Bdk.KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern, 76.
[93] Bdk. Dalam Konstitusi yang sama, 29; PIUS XI, Amanat Radio pada Hari Natal, tgl.24 Desember 1944: AAS 37 (1945) hlm. 10-20.
[94] Bdk. KONSILI VATIKAN II, Pernyataan ”Dignitatis Humanae” tentang Kebebasan Beragama.
[95] Bdk. Ensiklik “Redemptor Missio”, 11: L’Osservatore Romano, tgl.23 Januari 1991.
[96] Bdk. Ensiklik “Redemptor Hominis”, 17: loc.cit., hlm.270-272.
[97] Bdk. Amanat untuk Hari Perdamaian Sedunia 1988:loc.cit., hlm. 1572-1580’ Amanat untuk Hari Perdamaian Sedunia 1991; L’Osservatore Romano, tgl.19 Desember 1990; KONSILI VATIKAN II, Pernyataan ”Dignitatis Humanae” tentang Kebebasan Beragama, 1-2.
[98] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern, 26.
[99] Bdk. Konstitusi yang sama, 22.
[100] PIUS XI, Ensiklik “Quadragesimo Anno”, I: loc.cit.hlm.184-186.
[101] Bdk. Anjuran Apostolik “Familiaris Consortio” (tgl.22 November 1981), 45: AAS 74 (1982) hlm. 136 dan selanjutnya.
[102] Bdk. Amanat kepada UNESCO (tgl.2 Juni 1980) : AAS 72 (1980) hlm. 735-752.
[103] Bdk. Ensiklik”Redemptoris Missio”, 39; 52: L’Osservatore Romano, 23 Januari 1991.
[104] Bdk. BENEDIKTUS XV, Anjuran “Ubi Primum” (tgl.8 September 1914): AAS 6 (1914) hlm.501. dan selanjutnya; PIUS XI, Amanat Radio kepada Umat Beriman Katolik dan seluruh Dunia (tgl.29 September 1938):AAS 30 (1938) hlm. 309 dan selanjutnya; PIUS XII, Amanat Radio kepada seluruh dunia (tgl.24 Agustus 1939): AAS 31 (1939) , hlm. 333-335; YOHANES XXIII, Ensiklik “Pacem in Terris”, III: loc.cit., hlm. 285-289; PAULUS VI, Amanat kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (tgl.4 Oktober 1965): AAS 57 (1965) hlm. 877-885.
[105] Bdk. PAULUS VI, Ensiklik “Populorum Progressio”, 76-77: loc. Cit., 294 dam selanjutnya.
[106] Bdk. Ajaran Apostolik “ Familiaris Consortio”, 48: loc.cit., hlm.139 dan selanjutnya.
[107] Ensiklik “Rerum Novarum”: loc.cit., hlm.107.
[108] Bdk. Ensiklik ”Redemptor Hominis” . 13: loc.cit., hlm.283.
[109] Ensilik yang sama, 14: loc.cit., hlm. 284 dan selanjutnya.
[110] PAULUS VI, Homili pada Sidang Umum Terakhir Konsili Vatikan II (tgl.7 Desember 1965): AAS 58 (1966)hlm. 58.
[111] Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis”, 41:loc.cit., hlm.571.
[112] KONSILI VATIKAN II, Konstitusi Pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern, 76; bdk. YOHANES PAULUS II, Ensiklik “Redemptor Hominis”, 13: loc.cit., hlm.283.
[113] Ensiklik “Rerum Novarum”: loc.cit., hlm.143.
[114] Ensiklik yang sama, hlm.107.
[115] Bdk. Ensiklik “Sollicitudo Rei Socialis”, 38: loc.cit., hlm. 564-566.
[116] Ensiklik yang sama, 47: loc.cit., hlm. 582.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar