GAUDIUM ET SPES - KEGEMBIRAAN DAN HARAPAN
KONSILI VATIKAN II
“ GAUDIUM ET SPES”
( KEGEMBIRAAN DAN HARAPAN)
KONSTITUSI PASTORAL
TENTANG GEREJA DI DUNIA DEWASA INI
LEMBAGA PARA HAMABA ALLA BERSAMA BAPA-BAPA
KONSILI SUCI DEMI KENANGAN ABADI
PENDAHULUAN
1.(Hubungan erat antara Gereja dan segena
keluarga bangsa-bangsa).
KEGEMBIRAAN DAN HARAPAN, duka dan kecemasan
orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita,
merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.
Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka.
Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam
Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa,
dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka
persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat
manusia serta sejarahnya.
2. (Kepada siapa amanat Konsili ditujukan?)
Maka, sesudah menjajagi misteri Gereja secara
lebih mendalam Konsili Vatikan Kedua tanpa ragu-ragu mengarahkan amanatnya
bukan lagi hanya kepada putera-putera Gereja dan sekalian orang yang menyerukan
nama Kristus, melainkan kepada semua orang. Kepada mereka semua Konsili
bermaksud menguraikan, bagaimana memandang kehadiran serta kegiatan Gereja di
dunia masa kini.
Jadi Konsili mau menghadapi dunia manusia,
dengan kata lain segenap keluarga manusia beserta kenyataan semesta yang
menjadi lingkungan hidupnya; dunia yang mementaskan sejarah umat manusia, dan
ditandai oleh jerih-payahnya, kekalahan serta kejayaannya; dunia, yang menurut
iman Umat kristiani diciptakan dan dilestarikan oleh cintakasih Sang Pencipta;
dunia, yang memang berada dalam perbudakan dosa, tetapi telah dibebaskan oleh
Kristus yang disalibkan dan bangkit, sesudah kuasa si Jahat dihancurkan, supaya
menurut rencana Allah mengalami perombakan dan mencapai kepenuhannya.
3.
(Pengabdian kepada manusia)
Ada pada zaman sekarang umat manusia terpukau
oleh rasa kagum akan penemuan-penemuan serta kekuasaannya sendiri. Tetapi
sering pula manusia dengan gelisah bertanya-tanya tentang perkembangan dunia
dewasa ini, tentang tempat dan tugasnya di alam semesta, tentang makna
jerih-payahnya perorangan maupun usahanya bersama, akhirnya tentang tujuan
terakhir segala sesuatu dan manusia sendiri. Oleh karena itu Konsili
menyampaikan kesaksian danpenjelasan tentang iman segenap Umat Allah yang
dihimpun oleh Kristus. Konsili tidak
dapat menunjukkan secara lebih jelas-mengenai kesetiakawanan, penghargaan serta
cintaksih Umat itu terhadap seluruh keluarga manusia yang mencakupnya, dari
pada denganmenjalain temu-wicara dengannya tentang pelbagai masalah itu.
Konsili menerangi soal-soal itu dengan cahaya Injil, serta menyediakan bagi
bangsa manusia daya-kekuatan pembawa keselamatan, yang oleh Gereja, di bawah
bimbingan Roh Kudus, diterima dari Pendirinya. Sebab memang pribadi manusia
harus diselamatkan, dan masyarakatnya diperbaharui. Maka manusia, ditinjau
dalam kesatuan dan keutuhannya, beserta jiwa maupun raganya, dengan hati serta
nuraninya, dengan budi dankehendaknya, akan merupakan poros seluruh uraiann
kami.
Maka Konsili suci mengakui, bahwa amat
luhurlah panggilan manusia, dan menyatakan bahwa suatu benih ilahi telah
ditanam dalam dirinya. Konsili menawarkan
kepada umat manusia kerja sama Gereja yang tulus, untuk membangun persaudaraan
semua orang, yang menanggapi panggilan itu. Gereja tidak sedikit pun
tergerakkan oleh ambisi duniawi; malainkan hanya satulah maksudnya: yakni,
dengan bimbingan Roh Penghibur melangsungkan karya Kristus sendiri, yang datang
ke dunia untuk memberi kesaksian akan kebenaran; untuk menyelamatkan, bukan
untuk mengadili; untuk melalyani, bukan untuk dilayani[1].
PENJELASAN PENDAHULUAN: KENYATAAN MANUSIA DI
DUNIA MASA KINI
4.
(Harapan dan Kegelisahan)
Untuk menunaikan tugas seperti itu, Gereja
selalu wajib menyelidiki tanda-tanda zaman dan menafsirkannya dalam cahaya
Injil. Demikianlah Gereja-dengan cara yang sesuai dengan setiap angkatan-akan
dapat menanggapi pertanyaan-pertanyaan, yang di segala zaman diajukan oleh
orang-orang tentang makna hidup sekarang dan di masa mendatang, serta tentang
hubungan timbal-balik antara keduanya. Maka perlulah dikenal dan difahami dunia
kediaman kita beserta harapan-harapan, aspirasi-aspirasi dan sifat-sifatnya
yang sering dramatis. Adapun beberapa ciri utama dunia sekarang dapat
digariskan sebagai berikut.
Dewasa ini umat manusia berada dalam periode
baru sejarahnya, masa perubahan-perubahan yang mendalam dan pesat
berangsur-angsur meluas ke seluruh dunia. Perubahan-perubahan itu timbul dari
kecerdasan dan usaha kreatif manusia, dan kembali mempengaruhi manusia sendiri,
cara-cara menilai serta keinginan-keinginannya yang bersifat perorangan maupun
kolektif, caranya berpikir dan bertindak terhadap benda-benda maupun sesama
manusia. Demikianlah kita sudah dapat berbicara tentang pemberontakan sosial
dan budaya yang sesungguhnya, serta berdampak juga atas hidup keagamaan.
Seperti terjadi pada krisis pertumbuhan mana
pun juga, perombakan itu membawa serta kesukaran-kesukaran yang tak ringan.
Demikianlah, sementara manusia begitu memperluas kekuasaannya, ia toh tidak
selalu mampu mengabdikannya kepada dirinya. Ia berusaha menyelami secara makin
mendalam rahasia batin jiwanya sendiri, namun acap kali nampak makin kuran
gpasti tentang dirinya. Lambat laun ia makin jelas menemukan hukum-hukum hidup
kemasyarakatan, tetapi sering ragu-ragu tentang bagaimana mengarahkannya.
Tidak pernah bangsa manusia begitu berlimpah
harta-kekayaan, kemungkinan-kemungkinan serta kekuatan ekonominya; akan tetapi
sebagian masih amat besar penghuni dunia tersiksa karena kelaparan dan
kekurangan, dan tak terhitunglah jumlah mereka yang sama sekali buta huruf.
Tidak pernah manusia mempunyai rasa kebebasan setajam sekarang ini; namun
sementara itu muncullah jenis-jenis baru perbudakan sosial dan psikis. Dunia
begitu mendalam merasakan kesatuannya serta saling tergantungnya semua orang
dalam solidaritas yang memang mesti ada; tetapi sementara itu tertimpa oleh
perpecahan yang amat gawat akibat kekuatan-kekuatan yang saling bermusuhan;
sebab masih tetap berlangsunglah pertentangan-pertentangan yang sengit di
bidang politik, sosial, ekonomi, ”kesukuan” dan ideologi; dan tetap berkecamuk
bahaya perang yang akan menggempur habis-habisan segala sesuatu. Sementara
bertambah intensiflah pertukaran pandangan-pandangan, istilah-istilah sendiri,
yang mengungkapkan faham-faham sangat penting, dalam keanekaan ideologi
menyadang arti cukup berlain-lainan. Akhirnya dengan tekun juga diusahaan terwujudnya
tata-dunia sekarang yang lebih sempurna, tetapi perkembangan rohani tidak
mengalami kemajuan yang serasi.
Karena terkena oleh sekian banyak situasi
yang serba kompleks, banyak sekali sesama kita sekarang ini, yang terhalang
untuk sungguh mengenali nilai-nilai yang lestari, pun untuk memadukannya dengan
penemuan-penemuan baru sebagaimana mestinya. Maka dari itu mereka
terombang-ambingkan antara harapan dan kecemasan, bertanya-tanya saja tentang
perkembangan dunia sekarang, dan tertekan oleh kegelisahan. Perkembangan itu
menantang, bahkan memaksa manusia untuk menanggapinya.
5.
(Perubahan situasi yang mendalam)
Kegoncangan rohani dewasa ini danperubahan
kondisi-kondisi hidup berhubungan dengan pergantian keadaan yang lebih luas.
Karena peralihan itu maka dalam pembinaan akalbudi ilmu matematika serta
pengetahuan alam, pun ilmu tentang manusia sendiri semakin diutamakan, begitu
pula di bidang kegiatan ketrampilan-ketrampilan teknik yang bersumber pada
ilmu-ilmu itu. Mentalitas ilmiah itu dengancara yang berlainan dengan masa
lampau membentuk peri-budaya dan cara-cara berpikir. Ketrampilan-ketrampilan
teknik sedemikian maju, sehingga mengubah muka bumi dan kini sudah berusaha
menaklukkan ruang angkasa.
Dengan cara tertentu akalbudi manusia juga
memperluas kedaulatannya atas kurun waktu: atas masa Islam melalui pengetahuan
sejarah, atas masa depan melalui prognose kemudian hari dan pelbagai
perencanaan. Ilmu-ilmu biologi, psikologi dan sosial, yang serentak maju pula,
bukan hanya membantu manusia untuk makin mengenal diri, melainkan menolongnya
jug auntuk memakai teknik-teknik yang tepat secara langsung mempengaruhi
kehidupan masyarakat. Sekaligus juga umat manusia semakin banyak memikirkan
cara-cara memprakirakan dan mengatur perkembagan demografis-(kependudukan_)nya.
Sejarah sendiri makin melaju cepat sedemikian
rupa, sehingga setiap orang hanya dengna susah-payah mampu mengikutinya. Nasib
persekutuan manusia telah menyatu, dan tidak lagi bagaikan menempuh jalur-jalur
sejarah yang berbeda-beda. Begitulah bangsa manusia beralih dari pengertian
tata-dunia yang lebih status kepada visi yang lebih dinamis dan bercorak
evolusi. Maka muncullah problematik baru yang amat besar, dan mengundang
analisa-analisa serta sintesa-sintesa baru pula.
6.
(Perubahan-perubahan dalam tata-masyarakat)
Dengan sendirinya komunitas-komunitas
tradisional setempat, misalnya keluarga-keluarga patriarkal, kelompok-kelompok
kekerabatan, suku-suku, desa-desa, pelbagai kelompok dan rukun hidup sosial
lainnya, dari hari ke hari mengalami perubahan-perubahan makin menyeluruh.
Pola masyarakat industri lambat laun makin
menyebar, mengantar berbagai bangsa kepada kekayaan ekonomi, serta secara
mendalam mengubah pengertian-pengertian dan kondisi-kondisi hidup
kemasyarakatan yang dulu bertahan berabad-abad lamanya. Begitu pula
berkembanglah praktek hidup di kota danproses urbanisasi, entah karena
bertambahnya kota-kota beserta penduduknya, atau karena gerak pertumbuhan, yang
memperluas kehidupan kota ke daerah pedesaan.
Alat-alat komunikasi sosial yang baru dan
lebih canggih menunjang pemberitaan peristiwa-peristiwa maupun penyebaran
cara-cara berpikir dan berperasaan secepat dan seluas mungkin, sambil
menimbulkan pelbagai reaksi beruntun.
Lagi pula janganlah diabaikan: betapa banyak
orang karena pelbagai alasan terdorong
untuk berpindah kediaman, dan mengubah cara hidup mereka.
Begitulah hubungan-hubungan manusia dengan
sesamanya tiada hentinya berlipatganda; dan serta-merta proses ”sosialisasi”
sendiri menimbulkan relasi-relasi baru, tanpa selalu mendukung pendewasaan
pribadi yang serasi dan mempererat hubungan-hubungan pribadi yang sesungguhnya
(”personalisasi”).
Perkembangan seperti itu memang lebih jelas
nampak pada bangsa-bangsa yang sudah menikmati keuntugan-keuntungan kemajuan
ekonomi dan teknik. Tetapi juga menggerakkan bangsa-bangsa yang sedang
mengusahakan perkembangannya, dan untuk daerahnya masing-masing ingin mengenyam
manfaat-manfaat industrialisasi dan urbanisasi. Bangsa-bangsa itu, terutama
yang menjunjung tinggi tradisi-tradisi lebih kuno, sekaligus merasa didorong
untuk menggunakan kebebasan mereka secara lebih masak dan lebih pribadi.
7.
(Perubahan-perubahan psikologis, moral dan keagamaan).
Perubahan mentalitas dan struktur-struktur
sering menimbulkan perbedaan pandangan tentang nilai-nilai yang diwariskan,
terutama pada kaum muda, yang acap kali kehilangan kesabaran, bahkan
memberontak karena gelisah. Mereka menyadari pentingnya jasa mereka dalam
kehidupan masyarakat, dan ingin lebih dini berperan serta di dalamnya. Oleh karena
itu dalam menunaikan tugas mereka para orang tua dan kaum pendidik tidak jarang
mengalami kesulitan yang semakin besar.
Adapun lembaga-lembaga, hukum-hukum serta
cara-cara berpikir dan berperasaan yang diwariskan oleh para leluhur agaknya
memang tidak selalu betul-betul cocok dengan situasi masa kini. Maka terasalah
kekacauan yang besar mengenai cara-cara maupun kaidah-kaidah bertindak.
Akhirnya hidup keagamaan sendiri terpengaruh
oleh keadaan-keadaan baru. Di satu pihak kemampuan mempertimbangkan secara lebih
kritis menjernihkannya dari pandangan dunia yang bercorak magis dan dari
takhyul-takhyul yang masih cukup luas tersebar, serta semakin menuntut
kepatuhan pribadi dan aktif terhadap iman. Dengan demikian tidak sedikitlah
orang yang lebih hidup kesadarannya akan kehadiran Allah. Tetapi di lain pihak
lebih banyaklah kelompok cukup besar, yang menjauhkan diri dari pengalaman
agama. Berbeda dengan di masa lampau, ingkar terhadap Allah serta agama, atau
tidak lagi mempedulikannya, bukan lagi merupakan kekecualian atau soal
perorangan saja. Sebab dewasa ini tidak jaranglah sikap-sikap itu diperlihatkan
sebagai tuntutan kemajuan ilmiah atau suatu humanisme baru. Itu semua di
pelbagai daerah bukan haya diungkapkan dalam kaidah-kaidah para filsuf,
melainkan secara sangat luas menyangkut dunia sastra dan alam kesenian, pun
juga penafsiran arti ilmu-ilmu manusia dan sejarah, serta hukum-hukum sipil
sendiri, sehingga banyak orang karena itu mengalami kekacauan batin.
8.
(Berbagai ketidak-seimbangan dalam dunia sekarang).
Perubahan sepesat itu , yang sering
berlangsung secara tidak teratur, bahkan juga kesadaran semakin tajam akan
perbedaan-perbedaan yang terdapat di dunia, menimbulkan atau malahan menambah
pertentangan-pertentangan dan ketidak-seimbangan.
Dalam pribadi manusia sendiri cukup sering
timbul ketidakseimbangan antara akalbudi modern yang bersifat praktis dan cara
berpikir teoritis, yang tidka mampu menguasai keseluruhan ilmu-pengetahuannya
atau menyusunnya dalam sintesa-sintesa yang serasi. Begitu pula muncullah
ketidak-seimbangan antara pemusatan perhatian pada kedayagunaan praktis dan
tuntutan-tuntutan moral suarahati, lagi pula sering kali antara
syarat-syarat kehidupan bersama dan
tuntutan pemikiran pribadi, bahkan juga kontemplasi. Akhirnya muncullah
ketidak-seimbangan antara spesialisasi kegiatan manusia dan visi menyeluruh
tentang kenyataan.
Adapun dalam kehidupan keluarga muncullah berbagai ketidak-serasian,
baik karena kondisi-kondisi kependudukan, ekonomi dan sosial, yang serba
mendesak, maupun karena kesulitan-kesulitan yang timbul antara
angkatan-angkatan yang beruntun, ataupun juga karena hubungan-hubungan sosial
yang baru antara pria dan wanita.
Muncullah pula pertentangan-pertentangan yang
sengit antara suku-suku, bahkan antara pelbagai lapisan masyarakat; antara
bangsa-bangsa yang kaya dan yang kurang mampu serta serba kekuarangan;
akhirnya, antara lembaga-lembaga internasional yang terbentuk atas keinginan
para bangsa akan perdamaian, dan ambisi mempropagandakan ideologinya sendiri
serta aspirasi-aspirasi kolektif yang terdapat pada bangsa-bangsa dan
kelompok-kelompok lain.
Itu semua membangkitkan sikap saling tidak
percaya dan bermusuhan, konflik-konflik dan kesengsaraan, yang sebabnya dan
sekaligus korbannya ialah manusia sendiri.
9.
(Aspirasi-aspirasi umat manusia yang
makin universal).
Sementara itu bertumbuhlah keyakinan, bahwa
umat manusia bukan hanya mampu dan harus semakin mengukuhkan kedaulatannya atas
alam tercuipta, melainkan juga bertugas membentuk tata kenegaraan,
kemasyarakatan dan ekonomi, yang semakin baik mengabdi manusia, dan membantu
masing-masing perorangan maupun setiap kelompok, untuk menegaskan serta
mengembangkan martabatnya sendiri.
Maka amat banyaklah yang dengan sangat
mendesak menuntut harta, yang mereka nilai dan mereka sadari sepenuhnya tidak
tersedia bagi mereka akibat
ketidak-adilan atau pembagian yang tidak sewajarnya. Bangsa-bangsa yang
sedang berkembang, seperti yang akhir-akhir ini meraih kemerdekaan, ingin ikut
memiliki harta peradaban zaman sekarang
bukan hanya di bidang politik melainkan juga di bidang ekonomi, dan ingin
secara bebas memainkan peran mereka di
dunia. Padahal makin lama mereka makin ketinggalan, sering sekali juga ekonomi
mereka makin tergantung dari bangsa-bangsa lebih kaya. Kaum wanita menuntut
kesamaan dengan kaum pria berdasarkan hukum maupun dalam kenyataan, bila
kesamaan itu belum mereka peroleh. Kaum buruh dan petani bukan saja hendak
mendapat nafkah yang mereka perlukan, melainkan dengan bekerja hendak
mengembangkan bakat-bakat pribadi mereka juga, bahkan berperan serta dalam
menata kehidupan ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Sekarang ini untuk
pertama kalinya dalam sejarah manusia semua bangsa sudah yakin, bahwa harta
kekayaan budaya dapat dan harus secara sungguh merata dinikmati oleh semua.
Adapun di balik semua tuntutan itu
tersembunyi suatu dambaan yang lebih mendalam dan lebih umum, yakni:
pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok haus akan kehidupan yang sepenuhnya,
bersifat bebas, dan layak bagi manusia, dengan dapat memanfaatkan segala
sesuatu yang secara begitu berlimpah dapat disajikan oleh dunia zaman sekarang.
Selain itu bangsa-bangsa berusaha semakin keras untuk mencapai suatu masyarakat
semesta.
Dengan demikian dunia masa kini nampak
sekaligus penuh kekuatan dan kelemahan, mampu menjalankan yang paling baik
maupun yang paling buruk. Baginya
terbuka jalan menuju kebebasan atau perbudakan, kemajuan atau kemunduran,
persaudaraan atau kebencian. Kecuali itu manusia menaydari kewajibannya
mengemudikan dengan cermat kekuatan-kekuatan yang dibangkitkannya sendiri, dan
yang dapat menindas atau melayaninya. Maka ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan
kepada dirinya.
10.
(Pertanyaan-pertanyaan mendalam umat manusia).
Memang benarlah ketidak-seimbangan yang
melanda dunia dewasa ini berhubungan dengan ketidak-seimbangan lebih mendasar, yang berakar dalam hati manusia.
Sebab dalam diri manusia sendiri pelbagai unsur saling berlawanan. Sebab di
satu pihak, sebagai makhluk, ia mengalami keterbatasannya dalam banyak hal;
tetapi di pihak lain ia merasa diri tidak terbatas dalam
keinginan-keinginannya, dan dipanggil untuk kehidupan yang lebih luhur.
Menghadapi banyak hal yang serba menarik, ia terus menerus terpaksa memilih di
antaranya dan melepaskan beberapa hal lainnya. Bahkan sebagai manusia lemah dan
pendosa, ia tidak jarang melakukan apa yang tidak dikehendakinya, dan tidak
menjalankan apa yang sebenarnya ingin dilakukannya[2]. Mak aia menerita
perpecahan dalam dirinya, dan itulah yang juga menimbyulkan sekian banyak
pertentangan yang cukup berat dalam masyarakat. Memang banyak sekali uga , yang
hidupnya diwarnai materialisme praktis, dan terhalang untuk menyadari dengan
jelas keadaan mereka yagn dramatis itu; atau sekurang-kurangnya tertindas oleh
duka-derita, sehingga terhalang untuk masih memperhatikan keadaan itu. Banyak
pula yang merasa dapat tenang-tenang saja menghadapi bermacam-macam tafsiran
terhadap kenyataan-kenyataan. Ada pula, yang mengharapakan pembebasan umat
manusia yang sejati dan sepenuhnya melulu dari usaha manusia, serta merasa
yakin bahwa kedaulatan manusia atas dunia di masa mendatang akan memenuhi semua keinginan hatinya. Pun
ada juga, yang sudah putus asa memikirkan makna hidup, serta memuji keberanian
mereka, yang menganggap hidup manusia sudah kehilangan semua artinya sendiri,
semata-mata. Namun, menghadapi perkembangan dunia dewasa ini, semakin banyaklah
mereka, yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sangat mendasar, atau
merasakannya lagi dengan tajam: apakah manusia itu? Manakah arti penderitaan,
kejahatan, maut, yang toh tetap masih ada, kendati tercapai kemajuan sebesar
itu? Untuk apakah kemenangan-kemenangan, yang dibayar semahal itu? Apakah yang
dapat disumbangkan manusia kepada masyarakat? Apakah yang dapat diharapkan
manusia dari padanya? Apakah yang akan menyusul kehidupan di dunia ini?
Adapun Gereja mengimani, bahwa Kristus telah
wafat dan bangkit bagi semua orang[3]. Ia mengurniakan kepada manusia terang
dan kekuatan melalui Roh-Nya, supaya manusia mampu menanggapi panggilannya yang
amat luhur. Dan di bawah langit tidak diebrikan kepada manusia nama lain, yang
bagi mereka harus menjadi pokok keselamatan[4]. Begitu pula Gereja percaya,
bahwa kunci, pusat dan tujuan seluruh sejarah manusia terdapat pada Tuhan dan
Gurunya. Selain itu Gereja menyatakan, bahwa di balik segala perubahan ada
banyak hal yang tidak berubah, dan yang mempunyai dasarnya yang terdalam pada
diri Kristus. Dia yang tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai
selam-lamanya[5]. Jadi di bawah cahaya Kristus, Gambar Allah yang tidak
kelihatan, Yang Sulung di antara segala ciptaan[6] itulah, Konsili bermaksud
menyapa semua orang, untuk menyinari misteri manusia, dan untuk bekerja sama
dalam menemukan pemecahan soal-soal yang paling penting pada zaman sekarang.
BAGIAN PERTAMA
GEREJA DAN PANGGILAN MANUSIA
11. (
Menanggapi dorongan Roh Kudus).
Umat Allah, terdorong oleh iman, bahwa mereka
dibimbing oleh Roh Tuhan yang memenuhi seluruh bumi, berusaha mengenali dalam
peristiwa-peristiwa, tuntutan-tuntutan serta aspirasi-aspirasi yang mereka
rasakan bersama dengan sesama lainnya pada zaman sekarang ini, mana sajakah
dalam itu semua isyarat-isyarat sejati kehadiran atau rencana Allah. Sebab iman
menyinari tentang keseluruhan panggilan manusia; oleh karena itu membimbing
akalbudi manusia kearah cara-cara memecahkan soal yang sangat manusiawi.
Konsili terutama bermaksud mempertimbangkan
dalam cahaya itu nilai-nilai, yagn dewasa ini sangat dijunjung tinggi, serta
menghubungkannya dengan Sumbernya yang ilahi. Sebab nilai-nilai itu, sejauh
berasal dari kodrat manusia yang dikurniakan oleh Allah, memang amat baik.
Tetapi akibat kemerosotan hati manusia nilai-nilai itu tidak jarang dibelokkan
dari arah yang seharusnya, sehingga perlu dijernihkan.
Bagaimanakah pandangan Gereja tentang
manusia? Apa sajakah yang agaknya perlu dianjurkan untuk membangun masyarakat
zaman sekarang?Manakah arti terdalam kegiatan manusia di seluruh dunia?
Pertanyaan-pertanyaan itu menantikan jawaban. Dari situ akan nampak lebih
jelas, bahwa Umat Allah dan bangsa manusia yang mencakupnya saling melayani,
sehingga nyatalah perutusan Gereja sebagai misi yang bersifat religius dan
justru karena itu juga sangat manusiawi.
BAB SATU
MARTABAT PRIBADI MANUSIA
12. (
Manusia diciptakan menurut gambar Allah).
Kaum beriman maupun tak beriman hampir
sependapat, bahwa segala sesuatu di dunia ini harus diarahkan kepada manusia
sebagai pusat dan puncaknya.
Apakah manusia itu? Di masa silam dan
sekarang pun ia mengemukakan banyak pandangan tentang dirinya,
pendapat-pendapat yang beraneka pun juga bertentangan: seringkali ia
menyanjung-nyanjung dirinya sebagai tolok ukur yang mutlak, atua merendahkan
diri hingga putus asa; maka ia serba bimbang dan gelisah. Gereja ikut merasakan
kesulitan-kesulitan itu secara mendalam. Diterangi oleh Allah yang mewahyukan
Diri, Gereja mampu menjawab kesukaran-kesukaran itu, untuk melukiskan keadaan
manusia yang sesungguhnya, menjelaskan kelemahan-kelemahannya, sehingga serta
merta martabat dan panggilannya dapat dikenali dengan cermat.
Adapun Kitab Suci mengajarkan bahwa manusia
diciptakan ”menurut gambar Allah”; ia mampu mengenal dan mengasihi Penciptanya;
oleh Allah manusia ditetapkan sebagai tuan atas semua makhluk di dunia ini[7],
untuk menguasainya dan menggunakannya sambil meluhurkan Allah”[8].”Apakah
manusia, sehingga Engkau mengingatnya?apakah anak manusia, sehingga Engaku
mengindahkannya?Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan
memahkotainya dengan kemulian dan hormat. Engkau menjadikannya berkuasa atas
buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya” (Mzm
8:5-7).
Tetapi Allah tidak menciptakan manusia
seorang diri: sebab sejak awalmula ”Ia menciptakan mereka pria dan wanita” (Kej 1:27). Rukun hidup
mereka merupakan bentuk pertama persekutuan antar pribadi. Sebab dari kodratnya
yang terdalam manusia bersifat sosial; dan tanpa berhubungan dengan sesama ia
tidak dapat hidup atau mengembangkan bakat-pembawaannya.
Maka, seperti kita baca pula dalam Kitab
Suci, Allah melihat”segala sesuatu yagn telah dibaut-Nya, dan itu semua amat
baiklah adanya” (Kej 1:31).
13.
(Dosa manusia).
Akan tetapi manusia, yang diciptakan oleh
Allah dalam kebenaran sejak awalmula sejarah, atas bujukan si Jahat, telah
menyalahgunakan kebebasannya. Ia memberontak melawan Allah, dan ingin mencapai
tujuannya di luar Allah. Meskipun orang-orang mengenal Allah, mereka tidak
memuliakan-Nya sebagai Allah; melainkan hati merkea yang bodoh diliputi
kegelapan, dan mereka memilih mengabdi makhluk dari pada Sang Pencipta[9]. Apa
yang kita ketahui berkat Perwahyuan itu memang cocok dengan pengalaman sendiri.
Sebab bila memeriksa batinnya sendiri manusia memang menemukan juga, bahwa ia
cenderung untuk berbuat jahat, dan tenggelam dalam banyak hal –hal yang buruk,
yang tidak mungkin berasal dari Penciptanya yang baik. Sering ia menolak
mengakui Allah sebagai dasar hidupnya. Dengan demikian ia merusak
keterarahannya yang sejati kepada tujuannya terakhir, begitu pula seluruh
hubungannya yang sesungguhnya dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia,
dan dengan segenap ciptaan.
Oleh karena itu dalam batinnya manusia
mengalami perpecahan. Itulah sebabnya, mengapa seluruh hidup manusia, ditinjau
sebagai perorangan maupun secara kolektif, nampak sebagai perjuangan, itu pun
perjuangan yang dramatis, antara kebaikan dan kejahatan, antara terang dan
kegelapan. Bahkan manusia mendapatkan dirinya tidak mampu untuk atas
kekuatannya sendiri memerangi serangan-serangan kejahatan secara efektif,
sehigga setiap orang merasa diri ibarat terbelenggu dengan rantai. Akan tetapi
datanglah Tuhan sendiri untuk membebaskan dan meneguhkan manusia, dengan
membaharuinya dari dalam, dan dengan melemparkan keluar penguasa dunia ini
(lih. Yoh 12: 31), yang menahan manusia dalam perbudakan dosa[10]. Adapun dosa
merongrong manusia sendiri dengan menghalang-halanginya untuk mencapai
kepenuhannya.
Dalam terang Perwahyuan itulah baik panggilan
luhur maupun kemalangan mendalam, yang dialami oleh manusia, menemukan
penjelasannya yang terdalam.
14.
(Kodrat manusia).
Manusia, yang satu jiwa maupun raganya,
melalui kondisi badaniahnya sendiri menghimpun unsur-unsur dunia jasmani dalam
dirinya, sehingga melalui dia unsur-unsur itu mencapai tarafnya tertinggi, dan
melambungkan suaranya untuk dengan bebas memuliakan Sang Pencipta[11]. Oleh
karena itu manusia tidak boleh meremehkan hidup jasmaninya; melainkan
sebaliknya, ia wajib memandang baik serta layak dihormati badannya sendiri,
yagn diciptakan oleh Allah dan harus dibangkitkan pada hari terakhir. Tetapi
karena manusia terlukai oleh dosa, ia mengalami pemberontakan pada badannya.
Maka dari itu martabat manusia sendiri menuntut, supaya ia meluhurkan Allah
dalam badannya[12], dan jangan membiarkan badan itu melayani
kecondongan-kecondongan hatinya yang tidak baik.
Akan tetapi manusia tidak salah, bila ia
menyadari keunggulannya terhadap hal-hal jasmani, dan tidak sekedar memandang
dirinya sebagai sebagian kecil saja dalam alam tercipta, atau sebagai unsur tak
bernama dalam masyarakat manusia. Sebab dengan hidup batinnya ia melampaui
semesta alam. Ia kembali kepada hidup batinnya yang mendalam itu, bila ia
berbalik kepada hatinya; di situlah Allah yang menyelami lubuk hati[13]
menantikannya; di situ pula ia mengambil keputusan tentang nasibnya sendiri di
bawah pandangan Allah. Maka dari itu, dengan menyadari bahwa jiwa dalam dirinya
bersifat rohani dan kekal abadi, ia tidak tertipu oleh khayalan yang
menyesatkan dan timbul dari kondisi-kondisi fisik atau sosial semata-mata,
melainkan sebaliknya ia justru menjangkau kebenaran yang terdalam.
15.
(Martabat akalbudi, kebenaran dan kebijaksanaan).
Sungguh tepatlah pandangan manusia yang ikut
menerima cahaya Budi ilahi, bahwa dengan akalbudinya ia melampaui seluruh alam.
Memang, dengan mengerahkan tanpa kenal lelah kecerdasan nalarnya di sepanjang
zaman, ia telah mencapai kemajuan dalam ilmu pengetahuan empiris, dalam
ketrampilan teknis dan dalam ilmu-ilmu kerohanian. Tetapi pada zaman sekarang
ini ia telah mencapai hasil-hasil yang gemilang terutama dengan menyelidiki
alam bendawi serta menaklukkannya kepada dirinya. Tetapi ia terus mencari dan
menemukan kebenaran yang semakin mendalam. Sebab pemahamannya tidak terbatas
pada gejala-gejala melulu, melainkan mampu menangkap dengan sungguh pasti
kenyataan yang terbuka bagi budi manusia, meskipun akibat dosa akalbudi itu
sebagian telah menjadi kabur dan lemah.
Akhirnya kodrat nalariah pribadi manusia
disempurnakan dan memang perlu disempurnakan melalui kebijaksanaan, yang dengan
cara yang meneyenangkan menarik budi manusia untuk mencari dan mencintai apa
yang serba benar dan baik. Dengan kebijaksanaan itu manusia diantar melalui
alam yang kelihatan kepada kenyataan yagn tidak kelihatan.
Adapun zaman kita sekarang, lebih dari
abad-abad sebelum ini, membutuhkan kebijaksanaan itu, supaya apa saja yang
ditemukan baru oleh manusia menjadi lebih manusiawi. Sebab bila tidak bangkit
orang-orang yang lebih bijaksana, nasib dunia di kemudian hari terancam bahaya.
Kecuali itu perlu diperhatikan, bahwa pelbagai bangsa, yang memang lebih miskin
harta ekonominya, tetapi lebih kaya kebijaksanaan, dapat menyumbangkan jasanya
yang sungguh besar kepada bangsa-bangsa lain.
Berkat kurnia Roh Kudus, manusia dalam iman
makin mendekat untuk berkontemplasi tentang misteri Rencana ilahi serta
menikmatinya[14].
16.
(Martabat hati nurani).
Di lubuk hati nuraninya manusia menemukan
hukum, yang tidak diterimanya dari dirinya sendiri , melainkan harus
ditaatinya. Suara hati itu selalau menyerukan kepadanya untuk mencintai dan
melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat. Bilamana
perlu, suara itu menggemakan dalam lubuk hatinya: jalankanlah ini, elakkanlah
itu. Sebab dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah.
Martabatnya ialah mematuhi hukum itu, dan menurut hukumitu pula ia akan
diadili[15]. Hati nurani ialah inti manusia yang paling rahasia, sanggar
sucinya; di situ ia seorang diri bersama Allah, yang sapaan-Nya menggema dalam
batinya[16]. Berkat hati nurani dikenallah secara ajaib hukum, yang
dilaksanakan dalam cintakasih terhadapa Allah dan terhadapa sesama[17]. Atas
kesetiaan terhadap hati nurani Umat Kristiani bergabung dengan sesama lainnya
untuk mencari kebenaran, dan untuk dalam kebenaran itu memecahkan sekian banyak
persoalan moral, yang timbul baik dalam hidup perorangan maupun dlaam hidup
kemasyarakatan. Oleh karena itu semakin besar pegaruh hati nurani yang cermat,
semakin jauh pula pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok menghindar dari
kemauan yang membabi-buta, dan semakin mereka berusaha untuk mematuhi
norma-norma kesusilaan yang obyektif. Akan tetapi tidak jaranglah terjadi bahwa
hati nurani tersesat karena ketidak-tahuan yang tak teratasi, tanpa kehilangan
martabatnya. Tetapi itu tidak dapat dikatakan tentang orang, yang tidak peduli
untuk mencari apa yang benar serta baik, dan karena kebiasaan berdosa hati
nuraninya lambat laun hampir menjadi buta.
17.
(Keluhuran kebebasan).
Adapun manusia hanya dapat berpaling kepada
kebaikan bila ia bebas. Kebebasan itu oleh orang-orang zaman sekarang sangat
dihargai serta dicari penuh semangat, dan memang tepatlah begitu. Tetapi
sering pula orang-orang mendukung
kebebasan dengan cara yang salah, dan mengartikannya sebagai
kesewenang-wenangan untuk berbuat apa pun sesuka hatinya, juga kejahatan.
Sedangkan kebebasan yang sejati
merupakan tanda yang mulia gambar Allah dalam diri manusia. Sebab Allah
bermaksud menyerahkan manusia kepada keputusannya sendiri[18], supaya ia dengan
sukarela mencari Penciptanya, dan dengan mengabdi kepada-Nya secara bebas
mencapai kesempurnaan sepenuhnya yang membahagiakan. Maka martabat manusia
menuntut, supaya ia bertindak menurut pilihannya yang sadar dan bebas, artinya:
digerakkan dan didorong secara pribadi dari dalam, dan bukan karena rangsangan
hati yang buta, atau semata-mata karena paksaan dari luar. Adapun manusia mencapai
martabat itu, bila ia membebaskan diri dari segala penawanan nafsu-nafsu,
mengejar tujuannya dengan secara bebas memilih apa yang baik, serta dengan
tepat-guna dan jerih-payah yang tekun mengusahakan sarana-sarananya yang
memadai. Kebebasan manusia terluka oleh dosa; maka hanya berkat bantuan rahmat
Allah mampu mewujudkan secara konkrit nyata arah-gerak hatinya kepada Allah.
Adapun setiap orang harus mempertanggungjawabkan perihidupnya sendiri di
hadapan takhta pengadilan Allah, sesuai dengan perbuatannya yang baik maupun
yang jahat[19].
18.
(Rahasia maut).
Di hadapan mautlah teka-teki kenyataan
manusia mencapai puncaknya. Manusia sungguh menderita bukan hanya karena rasa
sakit dan semakin rusaknya badan, melainkan juga, bahkan lebih lagi, karena
rasa takut akan kehancuran yang definitif. Memang wajarlah perasaan berdasarkan
naluri hatinya, bila ia mengelakkan dan menolak kehancuran total dan tamatnya
riwayat pribadinya untuk selamanya. Tetapi benih keabadian yang dibawanya serta
tidak dapat dikembalikan kepada kejasmanian belaka, maka memberontak melawan
maut. Segala upaya keahlian teknis, kendati sangat berguna, tidak mampu
meredakan kegelisahan manusia. Sebab lanjutnya usia yagn diperpanjang secara
biologis pun tidak dapat memuaskan kerinduannya akan hidup di akhirat, yang
berurat-akar dalam hatinya dan pantang hancur.
Sementara kenyataan maut sama sekali tidak
terbayangkan, Gereja yang diterangi oleh perwahyuan ilahi menyatakan, bahwa
manusia diciptakan oleh Allah untuk tujuan penuh kebahagiaan, melam-paui
batas-batas kemalangan di dunia. Kecuali itu kematian badan, yang dapat
dihindari seandainya manusia tidak berdosa[20], menurut iman kristiani akan
dikalahkan, karena manusia akan dipulihkan oleh Sang Penyelamat yang mahakuasa
dan penuh belaskasihan kepada keselamatan, yang telah hilang krena
kesalahannya. Sebab Allah telah dan tetap memanggil manusia, untuk dengan
seutuh kodratnya bersatu dengan Allah dalam persekutuan kekal-abadi kehidupan
ilahi yang tak kenal binasa. Kejayaan itu direbut oleh Kristus, yang dengna
wafat-Nya membebaskan manusia dari maut, dan telah bangkit untuk kehidupan[21].
Maka kepada setiap orang , yang dalam kecemasannya tentang nasibnya di kemudian hari merenungkan itu semua, iman
yang disajikan dengna dasar-dasar pemikiran yang tangguh menyampaikan jawaban.
Sekaligus iman membuka kemungkinan baginya untuk dalam Kristus berkomunikasi
dengan saudara-saudaranya terkasih yang sudah direnggut oleh maut, seraya
menumbuhkan harapan, bahwa mereka telah menerima kehidupan sejati di hadirat
Allah.
19.
(Bentuk-bentuk dan akar-akar ateisme).
Makna paling luhur martabat manusia terletak
pada panggilannya untuk memasuki persekutuan dengna Allah. Sudah sejak
asalmulanya manusia diundang untuk berwawancara dengan Allah. Sebab manusia
hanyalah hidup, karena ia diciptakan oleh Allah dalam cintakasih-Nya, dan
lestari hidup berkat cintakasih-Nya. Dan manusia tidak sepenuhnya hidup menurut
kebenaran, bila ia tidak dengan sukarela mengakui cintakasih itu, seta
menyerahkan diri kepada Penciptanya. Akan tetapi banyak di antara orang-orang
zaman sekarang sama sekali tidak menyadari hubungan kehidupan yang mesra dengan
Allah itu atau tegas-tandas menolaknya, sehingga sekaran gini ateisme memang
termasuk kenyataan yang paling gawat, dan perlu diselidiki dengan lebih cermat.
Istilah ”ateisme” menunjuk kepada
gejala-gejala yang sangat berbeda satu dengan lainnya. Sebab ada sekolompok
orang yang jelas-jelas mengingkari Allah; ada juga yang beranggapan bahwa
manusia sama sekali tidak dapat mengatakan apa –apa tentang Dia; ada pula yang
menyelidiki persoalan tentang Allah dengan metode sedemikian rupa, sehingga
masalah itu nampak kehilangan makna. Banyak orang secara tidak wajar melampaui
batas-batas ilmu-ilmu positif, lalu atau berusaha keras untuk menjelaskan
segala sesuatu dengan ara yang melulu ilmiah itu, atau sebaliknya sudah sama
sekali tidak menerima adanya kebenaran yang mutlak lagi. Ada yang menjunjung
tinggi manusia sedemikian rupa, sehingga iman akan Allah seolah-olah lemah tak
berdaya; agaknya mereka lebih cenderung untuk mengukuhkan kedudukan manusia
dari pada untuk mengingkari Allah. Ada juga yang menggambarkan Allah sedemikian
rupa, sehingga hasil khayalan yang mereka tolak itu memang sama sekali bukan
Allah menurut Injil. Orang-orang lain bahkan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
tentang Allah pun tidak, sebab rupa-rupanya mereka tidak mengalami kegoncangan
keagamaan, atau juga tidak menangkap mengapa masih perlu mempedulikan agama.
Selain itu ateisme tidak jarang timbul atau dari sikap memprotes keras
kejahatan yang berkecamuk di dunia, atau karena secara tidak masuk akal klaim
sifat mutlak di kenakan pada nilai-nilai manusiawi tertentu, sehingga
nilai-nilai itu sudah dianggap menggantikan Allah. Peradaban zaman sekarang
pun, bukannya dari diri sendiri, melainkan karena terlalu erat terjalin dengan
hal-hal duniawi, acap kali dapat lebih mempersulit orang untuk mendekati Allah.
Mamang, mereka yang dengan sengaja berusaha
menjauhkan Allah dari hatinya serta menghindari soal-soal keagamaan, tidak
mengikuti suara hatinurani mereka, maka bukannya tanpa kesalahan. Akan tetapi
kaum beriman sendiri pun sering memikul tanggungjawab atas kenyataan itu. Sebab
ateisme, dipandang secara keseluruhan, bukanlah sesuatu yang asali, melainkan
lebih tepat dikatakan timbul karena pelbagai sebab, antara lain juga karena
reaksi kritis terhadap agama-agama, itu pun di berbagai daerah terutama
terhadap agama kristiani. Oleh karena itu dalam timbulnya ateisme itu Umat
beriman dapat juga tidak kecil peransertanya, yakni: sejauh mereka-dengan
melalaikan pembinaan iman atau dengan cara memaparkan ajaran yang sesat, atau
juga karena cacat cela mereka dalam kehidupan keagamaan, moral dan
kemasyarakatan-harus dikatakan lebih menyelubungi dari pada menyingkapkan wajah
Allah yang sejati maupun wajah agama yang sesungguhnya.
20.
(Ateisme sistematis).
Sering pula ateisme modern mengenakan bentuk
sistematis. Terlepas dari sebab musabab lainnya, ateisme sistematis itu
mendorong hasrat manusia akan otonomi sedemikian jauh, sehingga menimbulkan
kesulitan terhadap sikap tergantung dari Allah yang mana pun juga. Mereka yang
menyatakan diri penganut ateisme semacam itu mempertahankan, bahwa kebebasan
berarti: manusia menjadi tujuan bagi dirinya sendiri; ialah satu-satunya
perancang dan pelaksana riwayat sendiri. Menurut anggapan mereka itu tidak
dapat diselaraskan dengan pengakuan
Tuhan sebagai Pencipta dan tujuan segala sesuatu; atau setidak-tidaknya
pernyataan semacam itu percuma saja. Ajaran itu didukung oleh perasaan
berkuasa, yang ditanam pada manusia oleh kemajuan teknologi zaman sekarang.
Di antara bentuk-bentuk ateisme zaman
sekarang janganlah dilewatkan bentuk, yang mendambakan pembebasan manusia
terutama dari pembebasannya di bidang ekonomi dan sosial. Bentuk ateisme itu
mempertahankan, bahwa agama pada hakekatnya merintangi kebebasan itu, sejauh
menimbulkan pada manusia harapan akan kehidupan di masa mendatang yang semu
saja, dan mengelakkannya dari pembangunan masyarakat di dunia. Maka dari itu
para pendukung ajaran semacam itu, bila memegang pemerintahan negara, dengan
sengitnya menentang agama; mereka menyebarluaskan ateisme, juga dengan
menggunakan upaya-upaya untuk menekan yang ada di tangan pemerintah, terutama
dalam pendidikan kaum muda.
21. ( Sikap Gereja menghadapi ateisme)
Dalam kesetiaannya terhadap Allah dan
terhadap manusia Gereja tidak dapat lain kecuali tiada hentinya, dengan sedih
hati tetapi juga dengan amat tegas, mengecam ajaran-ajaran maupun
tindakan-tindakan yang berbahaya itu, yang bertentangan dengan akalbudi dan
pengalaman umum manusiawi, dan meruntuhkan manusia dari keluhurannya menurut
asalnya, sebgaimana sebelum ini Gereja telah mengecamnya[22].
Tetapi Gereja berusaha menggali sebab
musababnya yang terselubung, mengapa dalam pemikiran kaum ateis Allah diingkari.
Karena menyadari beratnya masalah-persoalan yang ditimbulkan oleh ateisme, dan
karena terdorong oleh cintakasih terhadap semua orang, Gereja berpandangan,
bahwa soal-soal itu perlu diselidiki secara serius dan lebih mendalam.
Gereja berpendirian, bahwa pengakuan terhadap
Allah sama sekali tidak berlawanan dengan martabat manusia, sebab martabat itu
didasarkan pada Allah sendiri dan disempurnakan dalam-Nya. Sebab oleh Allah
berakalbudi dan berkehendak bebas. Tetapi terutama manusia dipanggil sebagai
putera untuk hidup dalam persekutuan dengan Allah dan ikut serta menikmati
kebahagiaan-Nya. Selain itu Gereja mengajarkan, bahwa karena harapan akan zaman
tera-khir tugas-tugas duniawi bukannya berkurang pentingnya; melainkan
penunaiannya justru diteguhkan dengan motivasi-motivasi yang baru. Sebaliknya,
bila tidak ada dasar ilahi dan harapan akan hidup kekal, martabat manusia
menanggung luka-luka amat berat, seperti sekarang ini sering ternyata; lagi
pula teka-teki kehidupan dan kematian, kesalahan maupun penderitaan, tetap
tidak terpecahkan, sehingga tidak jarang orang-orang terjerumus ke dalam rasa
putus asa.
Sementara itu setiap orang bagi dirinya
sendiri tetap menjadi masalah yang tak terselesaikan, ditangkap samar-samar.
Sebab pada saat-saat tertentu, terutama pada peristiwa-peristiwa hidup yang
agak penting, tidak seorang pun mampu menghindari sama sekali pertanyaan
tersebut di atas. Persoalan itu hanya Allah-lah yang dpaat menjawab sepenuhnya
dan dengan sepasti-pastinya, Dia yang memanggil manusia kearah pemikiran yang
lebih mendalam dan penyelidikan yang lebih rendah hati.
Adapun penawar bagi ateisme harus diharapkan
dari ajaran yang dipaparkan dengan baik, maupun dari perihidup Gereja serta
para anggotanya secara menyeluruh. Sebab panggilan Gerejalah menghadirkan dan
seperti mengejawantahkan Allah Bapa beserta Putera-Nya yang menjelma, dengan
terus menerus membaharui dan membersihkan diri di bawah bimbingan Roh
Kudus[23]. Itu terutama terlaksana melalui kesaksian iman yang hidup dan
dewasa, artinya telah dibina untuk memapu menangkap dengan jelas
kesulitan-kesulitan yang muncul dan mengatasinya. Kesaksian iman yang gemilang
itu di masa silam dan sekaran gini disampaikan oleh amat banyak saksi iman.
Iman itu harus menampakkan kesuburannya dengan merasuki seluruh hidup kaum
beriman, juga hidup mereka yang profan, dan dengan menggerakkan mereka untuk
menegakkan keadilan dan mengamalkan cintakasih, terutama terhadap kaum miskin.
Akhirnya untuk menampilkan kehadiran Allah sangat mendukunglah kasih
persaudaraan Umat beriman, yang sehati sejiwa berjuang demi iman yang bersumber
pada Injil[24] serta membawakan diri sebagai tanda kesatuan.
Akan tetapi Gereja, sungguhpun sama sekali
menolak ateisme, dengan tulus hati menyatakan, bahwa semua orang, beriman
maupun tidak, harus menyumbangkan jasa untuk membangun dengan baik dunia ini,
yang merupakan tempat kediaman mereka bersama. Tentu saja itu tidak dapat
terlaksana tanpa perundingan yang tulus dan bijaksana. Maka Gereja juga
menyesalkan diskriminasi antara kaum beriman dan kaum tak beriman, yang secara
tidak adil diberlakukan oleh beberapa pemimpin negara, yang tidak mengakui
hak-hak azasi pribadi manusia. Adapun bagi Umat beriman Gereja sungguh-sungguh
menghendaki kebebasan yang efektif, supaya mereka diizinkan juga untuk
mendirikan kenisah Allah di dunia ini. Dengan tulus hati Gereja mengundang kaum
ateis, untuk mempertimbangan Injil Kristus dengan hati terbuka.
Sebab bila Gereja mengembalikan harapan
kepada mereka, yang karena putus asa sudah tidak berpikir lagi tentang
perbaikan mutu hidup mereka, dan dengan demikian membela martabat panggilan
manusia, Gereja sungguh yakin, bahwa amanatnya menanggapi dambaan-dambaan hati
manusia yang paling rahasia. Pesan itu bukannya mengurangi harkat manusia,
melainkan melimpahkan terang, kehidupan dan kebebasan demi kemajuannya; dan
selain itu tiada sesuatu pun yang dapat memuaskan hati manusia:”Engkau telah
menciptakan kami untuk Dikau”, ya Tuhan, ”dan gelisahlah hati kami, sebelum
beristirahat dalam Dikau”[25].
22.
(Kristus Manusia Baru).
Sesungguhnya hanya dalam misteri Sabda yang
menjelmalah misteri manusia benar-benar menjadi jelas. Sebab Adam, manusia
pertama, menggambarkan Dia yang datang[26], yakni Kristus Tuhan. Kristus, Adam
yang Baru, dalam perwahyuan misteri Bpa aserta cintakasih-Nya sendiri,
sepenuhnya menampilkan manusia bagi manusia, dan membeberkan kepadanya
panggilannya yang amat luhur. Maka tidak mengherankan pula, bahwa dalam Dia
kebenaran-kebenaran yang diuraikan di atas mendapatkan sumbernya dan mencapai
puncaknya.
Dialah ”gambar Allah yang tidak
kelihatan”(Kol 1:15)[27]. Dia pulalah manusia sempurna, yagn mengembalikan
kepada anak-anak Adam citra ilahi, yang telah ternodai sejak dosa pertama.
Karena dalam Dia kodrat manusia disambut, bukannya dienyahkan[28], maka dalam
diri kita pun kodrat itu diangkat mencapai martabat yang amat luhur. Sebab Dia,
Putera Allah, dalam penjelmaan-Nya dengan cara tertentu telah menyatukan diri
dengan setiap orang. Ia telah bekerja memakai tangan manusiawi[29], Ia berpikir
memakai akalbudi manusiawi, Ia bertindak atas kehendak manusiawi, Ia mengasihi
dengan hati manusiawi. Ia telah lahir dari Perawan Maria, sungguh menjadi salah
seorang di antara kita, dalam segala sama seperti kita, kecuali dalam hal
dosa[30].
Dengan menumpahkan darah-Nya secara sukarela
Anak domba yang tak bersalah telah berpahala, memperolehkan kehidupan bagi
kita; dan dalam Dia Allah telah mendamaikan kita dengan Dirinya dan atara kita
sendiri[31]; dan Ia telah merebut kita dari perbudakan setan dan dosa, sehingga
kita masing-masing dapat berkata bersama Rasul Putera Allah ”telah mengasihi
aku, dan menyerahkan Diri bagiku”(Gal 2:20). Dengan menanggung penderitaan bagi
kita Ia bukan hanya memberi teladan supaya kita mengikuti jejak-Nya[32];
melainkan Ia juga memuliakan jalan; sementara jalan itu kita tempuh, hidup dan
maut disucikan dan menerima makna yang baru.
Adapun orang kristiani telah menyerupai citra
Putera, yakni yang Sulung di antara banyak saudara[33]; ia telah menerima
”kurnia sulung Roh”(Rom 8:23) dan karena itu menjadi mampu melaksanakan hukum
baru cintakasih[34]. Melalui Roh itu, ”jaminan warisan kita” (Ef 1:14), manusia
seutuhnya diperbaharui batinnya, hingga ”penebusan badannya”(Rom 8:23) : ”Bila
Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, tinggal dalam
kamu, maka Dia yang telah membangkit
Yesus Kristus dari antara orang mati, akan membangkitkan badanmu yang
fana itu juga, demi Roh-Nya yagn diam dalam kamu” (Rom 8: 11)[35]. Pastilah
kebutuhan dan tugas mendesak orang kristiani untuk melalui banyak dukaderita
berjuang melawan kejahatan dan menanggung maut; akan tetapi ia tergabungkan
dengan misteri Paska, menyerupai wafat Kristus, dan diteguhkan oleh harapan
akan melaju menuju kebangkitan[36].
Itu bukan hanya berlaku bagi kaum beriman kristiani,
melainkan bagi semua orang yang berkehendak baik, yang hatinya menjadi kancah
kegiatan rahmat yang tidak kelihatan[37]. Sebab karena Kristus telah wafat bagi
semua orang[38] dan panggilan terakhir manusia benar-benar satu, yakni bersifat
ilahi, kita harus perpegang teguh, bahwa Roh Kudus membuka kemungkinan bagi
semua orang, untuk dengan cara yang diketahui oleh Allah digabungkan dengan
misteri Paska itu.
Seperti itu dan seagung itulah misteri
manusia, yang berkat Perwahyuan kristiani mulai menjadi terang bagi Umat
beriman. Maka dengan perantaraan Kristus dan dalam Kristus disinarilah
teka-teki penderitaan dan maut, yang di luar Injil-Nya melanda kita. Kristus
telah bagnkit; dengan wafat-Nya Ia menghancurkan maut. Dan Ia telah
mengurniakan kehidupan kepada kita[39], supaya sebagai putera-puteri dalam Sang
Putera, kita berseru dalam Roh:”Abba, ya Bapa!”[40].
BAB DUA
MASYARAKAT MANUSIA
23.
(Maksud Konsili).
Di antara segi-segi utama dunia zaman
sekarnag termasuk berlipat-gandanya hubungan-hubungan timbal-balik antar
manusia. Kemajuan teknik dewasa ini amat banyak berjasa bagi perkembangan itu.
Akan tetapi dialog persaudaraan antar manusia tidak mencapai kesempurnaannya
dalam kemajuan itu, melainkan secara lebih mendalam kesempurnaan itu tercapai
dalam kebersamaan pribadi-pribadi, yang menuntut sikap saling menghormati
terhadap martabat rohani mereka yang sepenuhnya. Adapun untuk memajukan
persekutuan antar pribadi itu Perwahyuan
kristiani sangat membantu, sekaligus mengantar kita kepada pengertian hukum-hukum
kehidupan sosial, yang oleh Sang Pencipta telah ditulis dalam kodrat rohani dan
susila manusia.
Karena akhir-akhir ini dokumen-dokumen
Magisterium Gereja telah menyampaikan uraian yang lebih luas mengenai ajaran
kristiani tentang masyarakat manusia[41], maka Konsili hanya mengingatkan
beberapa kebenaran yang lebih penting saja, dan menjelaskan dasar-dasarnya
dalam terang Perwahyuan. Kemudian akan menggarisbawahi beberapa konsekuensi,
yang pada zaman kita sekarang cukup penting.
24. ( Sifat kebersamaan panggilan manusia
dalam rencana Allah).
Allah, yang sebagai Bapa memelihara semua
orang, menghendaki agar mereka semua merupakan satu keluarga, dan saling
menghadapi dengan sikap persaudaraan. Sebab mereka semua diciptakan menurut
gambar Allah, yagn ”menghendaki segenap bangsa manusia dari satu asal mendiami
seluruh muka bumi”(Kis 17:26). Mereka semua dipanggil untuk satu tujuan yang
sama, yakni Allah sendiri.
Oleh karena itu cintakasih terhadap Allah dan
sesama merupakan perintah yang pertama dan terbesar. Kita belajar dari Kitab
Suci, bahwa kasih terhadap Allah tidak terpisahkan dari cinta terhadap
sesama:”...sekiranya ada perintah lain, itu tercakup dalam amanat ini.
Hendaknya engkau mengasihi sesamamu seperti dirimu sendiri...Jadi kepenuhan
hukum ialah cintakasih” (Rom 13: 9-10); lih. 1Yoh 4:20). Menjadi makin
jelaslah, bahwa itu sangat penting bagi orang-orang yagn semakin saling
tergantung dan bagi dunia yang semakin bersatu.
Bahkan ketika Tuhan Yesus berdoa kepada Bapa,
supaya ”semua oran gmenjadi satu..., seperti kita pun satu” (Yoh 17:21-22), dan
membuka cakrawala yang tidak terjangkau oleh akalbudi manusiawi, ia
mengisyaratkan kemiripan antara persatuan Pribadi-Pribadi ilahi dan persatuan
putera-puteri Allah dalam kebenaran dan cintakasih. Keserupaan itu menampakkan,
bahwa manusia, yang di dunia ini merupakan satu-satunya makhluk yang oleh Allah
dikehendaki demi dirinya sendiri, tidak dapat menemukan diri sepenuhnya tanpa
dengan tulus hati memberikan dirinya[42].
25. (Pribadi manusia dan masyarakat manusia
saling tergantung).
Dari sifat sosial manusia nampaklah, bahwa
pertumbuhan pribadi manusia dan perkembangan masyarakat sendiri saling
tergantung. Sebab asas, subyek dan tujuan semua lembaga sosial ialah dan memang
seharusnyalah pribadi manusia; berdasarkan kodratnya ia sungguh-sungguh
memerlukan hidup kemasyarakatan[43]. Maka karena bagi manusia hidup
kemasyarakatan itu bukanlah suatu tambahan melulu, oleh karena itu melalui
pergaulan dengan sesama, dengan saling berjasa, melalui dialog dengan sesama
saudara, manusia berkembang dalam segala bakat-pembawaannya, dan mampu
menanggapi panggilannya.
Di antara ikatan-ikatan sosial, yang
diperlukan bagi pertumbuhan manusia, ada, seperti keluarga dan masyarakat
politik, yang lebih langsung selaras dengan kodratnya sedalam-dalamnya; ada
pula ikatan-ikatan yang lebih bersumber pada kehendak bebasnya. Pada zaman kita
sekarang, karena pelbagai sebab hubungan-hubungan timbal-balik dan saling
ketergantungan semakin berlipatganda. Karena itulah muncul pelbagai perserikatan dan lembaga, entah yang bersifat umum entah
swasta. Kenyataan yang disebut sosiali-sasi itu memang bukannya tanpa bahaya;
tetapi juga membawa banyak keuntungan, untuk memantapkan dan mengembangkan
sifat-sifat pribadi manusia dan membela hak-haknya[44].
Tetapi kalau pribadi-pribadi manusia untuk
memenuhi panggilannya, juga perihal agama, menerima banyak dari hidup
kemasyarakatan itu, di lain pihak tidak dapat diingkari, bahwa-karena
kondisi-kondisi sosial yang dialaminya dan karena sejak kecil ia tenggelam di
dalamnya,-sering pula orang –orang menjauh dari amal-perbuatan baik dan
terdorong ke arah yang tidak baik. Sudah jelaslah, bahwa gangguan-gangguan,
yang begitu sering timbul di bidang kemasyarakatan, sebagian bersumber pada
ketegangan dalam struktur-struktur ekonomi, politik dan sosial sendiri. Tetapi
secara lebih mendalam kekeruhan itu timbul dari cinta diri dan kesombongan
orang-orang, dan sekaligus merusak lingkungan sosial. Bila tata-tertib
tercemarkan oleh akibat-akibat dosa, manusia, yang dari semula condong ke arah
kejahatan, kemudian menghadapi ransangan-rangsangan baru untuk berdosa.
Dorongan-dorongan itu tidak dapat diatasi tanpa usaha-usaha yang tangkas berkat
bantuan rahmat.
26. (Memajukan kesejahteraan umum).
Karena saling ketergantungan itu semakin
meningkat dan lambat-laun meluas keseluruhan dunia, maka kesejahteraan umum
sekarang ini juga samkin bersifat universal, dan oleh karena itu mencakup
hak-hak maupun kewajiban-kewajiban, yang menyangkut seluruh umat manusia. Yang
dimaksudkan dengan kesejahteraan umum ialah: keseluruhan kondisi-kondisi hidup
kemasyarakatan, yang memungkinkan baik kelompok-kelompok maupun anggota-anggota
perorangan, untuk secara lebih penuh dan lebih lancar mencapai kesempurnaan
mereka sendiri. Setiap kelompok harus memperhitungkan kebutuhan-kebutuhan serta
aspirasi-aspirasi kelompok-kelompok lain yang wajar, bahkan kesejahteraan umum
segenap keluarga manusia[45].
Tetapi serta-merta berkembanglah kesadaran
akan unggulnya martabat pribadi manusia, karena melampaui segala sesuatu, lagi
pula hak-hak maupun kewajiban-kewajibannya bersifat universal dan tidak dapat
diganggu-gugat. Maka sudah seharusnyalah, bahwa bagi manusia disediakan segala
sesuatu, yang dibutuhkannya untuk hidup secara sungguh manusiawi, misalnya
nafkah, pakaian, perumahan, hak untuk dengan bebas memilih status hidupnya dan
untuk membentuk keluarga, hak atas pendidikan, pekerjaan, nama baik,
kehormatan, informasi yang semestinya, hak untuk bertindak menurut norma
hatinuraninya yang benar, hak atas perlindungan hidup perorangannya, dan atas
kebebasan yang wajar, juga perihal agama.
Jadi tata masyarakat serta kemajuannya harus
tiada hentinya menunjang kesejahteraan pribadi-pribadi; sebab penataan hal-hal
harus dibawahkan kepada tingkatan pribadi-pribadi, dan jangan sebaliknya,
menurut yang diisyaratkan oleh Tuhan sendiri ketika bersabda, bahwa hari Sabbat
itu ditetapkan demi manusia, dan bukan manusia demi hari Sabbat[46]. Tata dunia
itu harus semakin dikembangkan, didasarkan pada kebenaran, dibangun dalam keadilan, dihidupkan dengan
cintakasih; harus menemukan keseimbangannya yang semakin manusiawi dalam
kebebasan[47]. Supaya itu semua terwujudkan perlulah diadakan pembaharuan
mentalitas dan perubahan-perubahan sosial secara besar-besaran.
Roh Allah, yagn dengan penyelenggaraan-Nya
yang mengagumkan mengarahkan peredaran zaman dan membaharui muka bumi, hadir di
tengah perkembangan itu. Adapun ragi Injil telah dan masih membangkitkan dalam
hati manusia tuntutan tak terkendali akan martabatnya.
27. (Sikap hormat terhadap priabdi
manusa).
Beranjak kepada konsekuensi-konsekuensi
praktis yang cukup mendesak, Konsili menekankan sikap hormat terhadap manusia,
sehingga setiap orang wajib memandang sesamanya, tak seorang pun terkecualikan
sebagai ”dirinya yang lain”, terutama mengindahkan perihidup mereka beserta
upaya-upaya yang mereka butuhkan untuk hidup secara layak[48], supaya jangan
meniru orang kaya, yang sama sekali tidak mempedulikan Lazarus si miskin
itu[49].
Terutama pada zaman kita sekarang ini
mendesak kewajiban menjadikan diri kita sendiri sesama bagi setiap orang, siapa
pun dia itu, dan bila ia datang melayaninya secara aktif, entah ia itu orang
lanjut usia yang sebatang kara, entah tenaga kerja asing yang dihina tanpa
alasan, entah seorang perantau, atau anak yang lahir dari hubungan haram dan
tidak sepatutnya menderita karena dosa yang tidak dilakukannya, atau orang
lapar yang menyapa hatinurani kita seraya mengingatkan sabda Tuhan: ”Apa pun
yang kamu jalankan terhadap salah seorang saudaraKu yang hina ini , kamu
perbuat terhadap Aku” (Mat 25:40).
Selain itu apa saj ayang berlawanan dengna
kehidupan sendiri, misalnya bentuk pembunuhan yang mana pun juga, penumpasan
suku, pengguguran, eutanasia dan bunuh diri yang diengaja; apa pun yang melanggar
keutuhan pruabdi manusia, seperti pemenggalan anggota badan, siksaan yagn
ditimpakan pada jiwa maupun raga, usaha-usaha paksaan psikologis; apa pun yang
melukai martabat manusia, seperti kondisi-kondisi hidup yang tidak layak
manusiawi, pemenjaraan yang sewenang-wenang, pembuangan orang-orang,
perbudakan, pelacuran, perdagangan wanita dan anak-anak muda; begitu pula
kondisi-kondisi kerja yang memalukan, sehingga kaum buruh diperalat semata-mata
untuk menarik keuntungan, dan tidak diperlakukan sebagai pribadi-pribadi yagn
bebas dan bertanggung jawab: itu semua dan hal-hal lain yang serupa memang
perbuatan yang keji. Dan sementara mencoreng peradaban manusiawi,
perbuatan-perbuatan itu lebih mencemarkan mereka yang melakukannya, dari pada
mereka yang menanggung ketidak-adilan, lagi pula sangat berlawanan dengan
kemuliaan Sang Pencipta.
28.
(Sikap hormat dan cintakasih terhadap lawan).
Sikap hormat dan cintakasih harus diperluas
untuk menampung mereka pula, yang di bidang sosial, poltik atau pun keagamaan
berpandangan atau bertindak berbeda dengan kita. Sebab semakin mendalam kita
dengan sikap ramah dan cintakasih menyelami cara-cara mereka berpandangan,
semakin mudah pula kita akan dapat menjalin dialog dengan mereka.
Tentu saja cintakasih dan kebaikan hati itu
janganlah sekali-kali menjadikan kita acuh tak acuh terhadap kebenaran dan
kebaikan. Bahkan cintakasih sendiri mendesak para murid Kristus untuk
menyiarkan kebenaran yang membawa keselamtan kepada semua orang. Tetapi perlu
dibedakan antara kesesatan yang selalu harus ditolak, dan orangnya yang sesat,
yang tetap terus memiliki martabat pribadi, juga bila ia ternodai oleh
pandangan-pandangan keagamaan yang salah atau kurang cermat[50]. Allah
sendirilah satu-satunya yagn mengadili dan menyelami hati; maka Ia melarang
kita supaya jangan menjatuhkan pengadilan atas kesalahan batin siapa pun[51].
Ajaran Kristus meminta supaya kita mengampuni
perlakuan-perlakuan yang tak adil[52], dan memperluas perintah cintakasih
kepada semua musuh-musuh; itulah perintah Perjanjian Baru:”Kamu mendengar bahwa
dikatakan: Kasihilah sesamamu, dan bencilah musuhmu. Akan tetapi Aku berpesan
kepada kamu: Cintailah musuh-musuhmu, dan berbuatlah baik kepada mereka yang
membenci kamu; serta berdoalah bagi mereka yang menganiaya dan memfitnah
kamu”(Mat 5:43-44).
29.
(Kesamaan hakiki antara semua orang dan keadilan sosial).
Semua orang mempunyai jiwa yang berbudi dan
diciptakan menurut gambar Allah, dengan demikian mempunyai kodrat serta
asalmula yang sama. Mereka semua ditebus oelh Kristus, dan mengemban panggilan
serta tujuan ilahi yang sama pula. Maka harus semakin diakuilah kesamaan
dasariah antara semua orang.
Memang karena pelbagai kemampuan fisik maupun
kemacam-ragaman daya kekuatan intelektual dan moaral tidak dapat semua orang
disamakan. Tetapi setiap cara diskriminasi dalam hak-hak asasi pribadi, entah
bersifat sosial entah budaya, berdasarkan jenis kelamin, suku, warna kulit,
kondisi sosial, bahasa atau agama, harus diatasi dan disingkirkan, karena
bertentangan denganmaksud Allah. Sebab sungguh layak disesalkan, bahwa hak-hak
asasi pribadi itu belum di mana-mana dipertahankan secara utuh dan aman.
Seperti bila seorang wanita tidak diakui wewenangnya untuk dengan bebas memilih
suaminya dan menempuh status hidupnya, atau untuk menempuh pendidikan dan
meraih kebudayaan yagn sama seperti dipandang wajar bagi pria.
Kecuali itu, sungguhpun antara orang-orang
terdapat perbedaan-perbedaan yang wajar, tetapi kesamaan martabat pribadi
menuntut, agar dicapailah kondisi hidup yang lebih manusiawi dan adil. Sebab
perbedaan-perbedaan yang keterlaluan antara sesama anggota dan bangsa dalam
satu keluarga manusia di bidang ekonomi maupun sosial menimbulkan batu
sandungan, lagi pula berlawanan dengan keadilan sosial, kesamarataan, martabat
pribadi manusia, pun juga merintangi kedamaian sosial dan internasional.
Adapun lembaga-lembaga manusiawi, baik swasta
maupun umum hendaknya berusaha melayani martabat serta tujuan manusia, seraya
sekaligus berjuang dengan gigih melawan setiap perbudakan sosial maupun
politik, serta mengabdi kepada hak-hak asasi manusia di bawah setiap
pemerintahan. Bahkan lembaga-lembaga semacam itu lambat-laun harus menanggapi
kenyataan-kenyataan rohani, yang melampaui segala-galanya, juga kalau ada
kalanya diperlukan waktu cukup lama untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan.
30. (Etika individualis harus diatasi).
Mendalam serta pesatnya perubahan lebih
mendesak lagi, supaya janganlah seorang pun, karena mengabaikan perkembangan
zaman atau lamban tak berdaya, mengikuti etika yang individualis semata-mata.
Tugas keadilan dan cintakasih semakin dipenuhi, bila setiap orang menurut
kemampuannya sendiri dan menanggapi kebutuhan-kebutuhan sesama memberikan
sumbangannya sendiri dan menanggapi kebutuhan-kebutuhan sesama memberikan sumbangannya
kepada kesejahteraan umum, serta memajukan dan membantu lembaga-lembaga umum
maupun swasta, yang melayani peningkatan kondisi-kondisi hidup orang-orang. Ada
saja yang kendati menyuarakan pandangan-pandangan yang luas dan bernada
kebesaran jiwa, tetapi menurut kenyataannya selalu hidup sedemikian rupa ,
seolah-olah sama sekali tidak mempedulikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Malahan di pelbagai daerah tidak sedikit pula, yang meremehkan hukum-hukum dan
peraturan-peraturan sosial. Tidak sedikit juga, yang dengan bermacam-macam
tipu-muslihat berani mengelakkan pajak-pajak yang wajar maupun hal-hal lain
yang termasuk hak masyarakat. Orang-orang lain menganggap sepele beberapa
peraturan hidup sosial, misalnya, untuk menjaga kesehatan, atau untuk mengatur
lalu-lintas, tanpa mempedulikan, bahwa dengan kelalaian semacam itu mereka
membahayakan hidup mereka sendiri dan hidup sesama.
Hendaknya bagi semua merupakan kwajiban suci:
memandang hubungan-hubungan sosial sebagai tugas utama manusia zaman sekarang,
serta mematuhinya. Sebab semkain dunia bersatu, semakin jelas pulalah
tugas-tugas orang-orang melampaui kepentingan kelompok-kelompok khusus, dan
lama-kelamaan meluas ke dunia semesta. Itu hanyalah mungkin bila masing-masing
perorangan dan kelompok mengembangkan keutamaan-keutamaan moral dan sosial
dalam diri mereka sendiri, dan menyebarkannya dalam masyarakat. Dengan demikian
memang sesungguhnya-berkat bantuan
rahmat ilahi yang memang diperlukan-akan bangkitlah manusia-manusia
baru, yang membangun kemanusiaan yang baru pula.
31.
(Tanggung jawab dan keikut-sertaan).
Supaya setiap orang secara lebih saksama
menunaikan tugas hatinuraninya baik
terhadap dirinya maupun terhadap pelbagai kelompok yang diikutinya, ia harus
dengan tekun menjalani pembinaan menuju kebudayaan rohani yang lebih luas,
dengan memanfaatkan bantuan-bantuan besar, yang sekarang ini tersedia bagi
bangsa manusia. Terutama pendidikan kaum muda dari lapisan sosial mana pun juga
hendaknya diselenggarakan sedemikian rupa, sehingga bangkitlah kaum pria maupun
wanita, yang bukan saja berpendidikan tinggi, melainkan juga berjiwa besar,
karena memang mereka itulah yang sangat diperlukan untuk zaman sekarang.
Akan tetapi praktis orang hanya mencapai
kesadaran bertanggung jawab itu, bila kondisi-kondisi hidup memungkinkannya,
untuk menyadari martabatnya, dan untuk menanggapi panggilannya dengan
membaktikan diri kepada Allah dan sesama. Adapun kebebasan manusia sering kali
melemah, bila ia jatuh ke dalam kemelaratan yang amat parah; begitu pula kebebasan
itu merosot, bila orang menuruti saja kemudahan-kemudahan hidup yang
berlebihan, dan mengurung diri bagaikan dalam menara gading. Sebaliknya
kebebasan itu diteguhkan, bila orang menerima kebutuhan-kebutuhan hidup sosial
yang tak terelakkan, menyanggupi bermacam-macam tuntutan solidaritas antar
manusia, dan mengikat diri untuk mengabdi masyarakat.
Oleh karena itu pada semua orang perlu
didorong kemauan untuk melibatkan diri dalam usaha-usaha bersama. Memang layak
dipujilah pola bertindak bangsa, bila sebanyak mungkin warganegaranya dalam
kebebasan sejati melibatkan diri dalam urusan-urusan kenegaraan umum. Tetapi
perlu diperhitungkan juga keadaan nyata setiap bangsa, begitu pula perlunya
pemerintahan yang cukup kuat. Adapun supaya semua warganegara bergairah untuk
melibatkan diri dalam kehidupan pelbagai kelompok, yang seluruhnya membentuk
tubuh masyarakat, perlulah bahwa dalam kelompok-kelompok itu mereka temukan
nilai-nilai, yang menarik mereka, dan membangkitkan kesediaan mereka untuk
melayani sesama. Memang wajarlah pandangan kita, bahwa nasib bangsa manusia
dikemudian hari terletak di tangan mereka, yang mampu mewariskan kepada
generasi-generasi mendatang dasar-dasar untuk hidup dan berharap.
32. (
Sabda yang menjelma dan solidaritas manusia).
Allah menciptakan orang-orang bukan untuk hidup
sendiri-sendiri, melainkan untuk membentuk persatuan sosial. Begitu pula Ia
”bermaksud menguduskan dan menyelamatkan orang-orang bukannya satu persatu,
tanpa hubungan satu dengan lainnya. Tetapi Ia hendak membentuk mereka menjadi
umat, yang mengakui-Nya dalam kebenaran dan mengabdi kepada-Nya dengan
suci”[53]. Sejak awalmula sejarah keselamatan Ia memilih orang-orang bukan
melulu sebagai perorangan, melainkan sebagai anggota suatu masyarakat. Sebab
seraya mewahyukan rencana-Nya Allah menyebut mereka yang terpilih itu”Umat-Nya
(Kel 3; 7-12); kemudian di Sinai Ia mengikat perjanjian dengan Umat itu[54].
Sifat kebersamaan itu berkat karya Yesus
Kristus disempurnakan dan dipenuhkan. Sebab Sabda yagn menjelma sendiri telah
menghendaki menjadi anggota rukun hidup manusiawi. Ia menghadiri pesta
perkawinan di Kana, berkenan berkunjung ke rumah Zakeus, dan makan bersama
denganpara pemungut cukai dan orang-orang pendosa. Ia mewahyukan cintaksih Bapa
serta panggilan manusia yang luhur, dengan menunjuk kepada kenyataan-kenyataan
sosial yang sangat lazim dan menggunakan peribahasa serta lambang-lambang hidup
sehari-hari saja. Ia menguduska hubungan-hubungan antar manusia, terutama
hubungan keluarga, sumber kehidupan sosial. Dengan sukarela Ia mematuhi
hukum-hukum tanah-air-Nya. Ia menghendaki hidup sebagai buruh pada zaman-Nya
dan di daerah-Nya sendiri.
Dalam pewartaan-Nya Ia memerintahkan dengan
jelas kepada putera-puteri Allah, supaya mereka bertingkah-laku sebgai saudara
satu terhadap lainnya. Dalam doa-Nya Ia meminta, supaya semua murid-Nya menjadi
”satu”. Malahan Ia sendiri hingga wafat-Nya mengorbankan Diri bagi semua orang,
menjadi Penebus mereka semua.”Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih
seseorang yagn memberikan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya” ( Yoh 15:13).
Adapun para Rasul diperintahkan-Nya untuk mewartakan kepada semua bangsa warta
Injil, supaya bangsa manusia menjadi keluarga Allah, yang kepenuhan hukumnya
ialah cintakasih.
Sesudah wafat dankebangkitan-Nya, sebagai
Putera Sulung di antara banyajk saudara. Ia membentuk dengan kurnia Roh
Kudus-Nya suatu persekutuan persaudaraan di antara mereka semua yang
menerima-Nya dengan iman dan cintakasih, yakni dalam Tubuh-Nya, ialah Gereja.
Di situ semua orang saling menjadi anggota, dan sesuai dengan pelbagai kurnia
yang mereka terima, saling melayani.
Solidaritas itu selalu harus dikembangkan,
hingga harinya akan mencapai kepenuhannya, bila mereka yang diselamatkan berkat
rahmat, sebagai keluarga yang dicinta oleh Allah dan oleh Kristus Saudaranya,
akan melambungkan kemuliaan sempurna kepada Allah.
BAB TIGA
KEGIATAN MANUSIA DI SELURUH DUNIA
33.
(Masalah-persoalannya).
Manusia selalu telah berusaha mengembangkan
hidupny adengan jerih-payah danbakat-pembawaannya. Tetapi zaman sekarang ini,
terutama berkat ilmu-pengetahuan dan teknologi, ia telah dan tetap masih
memperluas kedaulatannya hampir atas alam semesta. Pertama-tama berkat bantuan
upaya-upaya aneka macam pertukaran (komunikasi) antar bangsa yang meningkat,
keluarga manusia lambat-laun makin mengakui dan membentuk diri sebagai satu
masyarakat di seluruh dunia. Dengan demikian banyak harta-nilai, yang dulu oleh
manusia terutama diharapkan dari kekuatan-kekuatan atas-duniawi, sekarang sudah
diusahakannya melalui kegiatannya sendiri.
Menghadapi usaha besar-besaran, yang sudah
merasuki seluruh bangsa manusia itu, banyak muncul pertanyaan-pertanyaan dalam
masyarakat. Manakah arti dan nilai jerih-payah itu? Bagaimana semua itu harus
dimanfaatkan? Tujuan manakah yang mau dicapai melalui usaha-usaha baik
perorangan maupun kelompok-kelompok? Adapun Gereja, yang menjaga khazanah sabda
Allah, yakni sumber kaidah-kaidah di bidang religius dan kesusilaan, mamang
tidak selalu siap menjawab pertanyaan-pertanyaan itu masing-masing. Tetapi
ingin memperpadukan cahaya perwahyuan dengan keahlian semua orang, supaya
menjadi teranglah jalan yang belum lama ini mulai ditempuh oleh masyarakat
manusia.
34.
(Nilai kegiatan manusiawi).
Bagi kaum beriman ini merupakan keyakinan
kegiatan manusia baik perorangan maupun kolektif, atau usaha besar-besaran itu
sendiri, yang dari zaman ke zaman dikerahkan oleh banyak orang untuk
memperbaiki kondisi-kondisi hidup mereka, memang sesuai dengan rencana Allah.
Sebab manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, menerima titah-Nya, supaya
menaklukkan bumi beserta segala sesuatu yang terdapat padanya, serta menguasai
dunia dalam keadilan dan kesucian[55]; ia mengemban perintah untuk mengakui
Allah sebagai Pencipta segala-galanya, danmengarahkan diri beserta seluruh alam
kepada-Nya, sehingga dengan terbawahnya segala sesuatu kepada manusia nama
Allah sendiri dikagumi di seluruh bumi[56].
Itu berlaku juga bagi pekerjaan sehari-hari
yang biasa sekali. Sebab pria maupun wanita, yang-sementara mencari nafkah bagi
diri maupun keluarga mereka-melakukan pekerjaan mereka sedemikian rupa sehingga
sekaligus berjasa-bakti bagi masyarakat, memang dengan tepat dapat
berpandangan, bahwa dengan jerih-payah itu mereka mengembangkan karya Sang
Pencipta, ikut memenuhi kepentingan sesama saudara, dan menyumbangkan kegiatan
mereka pribadi demi terlaksananya rencana ilahi dalam sejarah[57].
Oleh karena itu Umat kristiani tidak
beranggapan seolah-olah karya kegiatan, yang dihasilkan oleh bakat-pembawaan
serta daya-kekuatan manusia, berlawanan dengan kuasa Allah, seakan-akan ciptaan
yang berakalbudi menyaingi Penciptaannya. Mereka malahan yakin, bahwa
kemenangan-kemenangan bangsa manusia justru menandakan keagungan Allah dan
merupakan buah rencana-Nya yang tak terperikan. Adapun semakin kekuasaan
manusia bertambah, semakin luas pula jangkauan tanggungjawabnya, baik itu
tanggung jawab perorangan maupun tanggungjawab bersama. Maka jelaslah pewartaan
kristiani tidak menjauhkan orang-orang dari usaha membangun dunia, pun tidak mendorong
mereka untuk mengabaikan kesejahteraan sesama; melainkan mereka justru semakin
terikat tugas untuk melaksanakan itu[58].
35.
(Norma kegiatan manusia).
Adapun seperti kegiatan insani berasal dari
manusia, begitu pula kegiatan itu terarahkan kepada manusia. Sebab bila manusia
bekerja, ia bukan hanya mengubah hal-hal tertentu dan masyarakat, melainkan
menyempurnakan dirinya sendiri juga. Ia balajar banyak, mengembangkan
bakat-kemampuannya, beranjak keluar dari dirinya dan melampaui dirinya.
Pengembangan diri itu, bila diartikan dengan tepat, lebih bernilai dari
harta-kekayaan lahiriah yang dapat dikumpulkan. Manusia lebih bernilai karena
kenyataan dirinya sendiri dari pada karena apa yang dimilikinya[59]. Begitu
pula segala sesuatu, yang diperbuat orang untuk memperoleh keadilan yang lebih
penuh, persaudaraan yang lebih luas, tata-cara yang lebih manusiawi dalam
hubungan-hubungan sosial, lebih berharga dari pada kemajuan-kemajuan di bidang
teknologi. Sebab kemajuan-kemajuan itu memang dapat menyediakan semacam bahan
bagi pengembangan manusiawi, tetapi dipandang begitu saja sama sekali tidak
mewujudkan pengembangan itu sendiri.
Oleh karena itu inilah tolok ukur kegiatan
manusiawi: supaya kegiatan itu menurut rencana dan kehendak Allah selaras
dengan kesejahteraan sejati umat manusia, lagi pula memungkinkan manusia
sebagai perorangan maupun warga masyarakat untuk mengembangkan dan mewujudkan
sepenuhnya panggilannya seutuhnya.
36
(Otonomi hal-hal duniawi yang sewajarnya).
Akan tetapi agaknya banyak orang zaman
sekarang mengkhawatirkan, jangan-jangan karena hubungan yang terlampau erat
antara kegiatan manusia dan agama otonomi manusia, masyarakat dan
ilmu-pengetahuan dirintangi.
Bila yang kita maksudkan dengan otonomi
hal-hal duniawi ialah: bahwa makhluk-makhluk dan masyarakat sendiri mempunyai
hukum-hukum serta nilai-nilainya sendiri, yang demi sedikit harus dikenal,
dimanfaatkan dan makin diatur oleh manusia, maka memang sangat pantaslah
menuntut otonomi itu. Dan itu bukan hanya dituntut oleh orang-orang zaman
sekarang, melainkan selaras juga dengan kehendak Sang Pencipta. Sebab
berdasarkan kenyataannya sebagai ciptaan segala sesuatu dikurniai kemandirian,
kebenaran dan kebaikannya sendiri, lagi pula menganut hukum-hukum dan mempunyai
tata-susunannya sendiri. Dan manusia wajib menghormati itu semua, dengan
mengakui metode-metode yang khas bagi setiap ilmu-pengetahuan dan bidang
teknik. Maka dari itu penyelidikan metodis di semua bidang ilmu, bila
dijalankan secara sungguh ilmiah dan menurut kaidah-kaidah kesusilaan, tidak
pernah akan sungguh bertentangan dengan iman, karena hal-hal profan dan
pokok-pokok iman berasal dari Allah yang sama[60]. Bahkan barangsiapa dengan
rendah hati dan dengan tabah berusaha menyelidiki rahasia-rahasia alam, kendati
tanpa disadari pun ia bagaikan dituntun oleh tangan Allah, yang melestarikan
segala sesuatu dan menjadikannya sebagaimana adanya. Oleh karena itu bolehlah
kiranya disesalkan sikap-sikap tertentu , yang kadang-kadang terdapat juga di
kalangan Umat kristiani sendiri, sebab mereka kurang memahami otonomi
ilmu-pengetahuan yang sewajarnya. Karena dari situ timbul pertengkaran dan
perdebatan, sikap-sikap itu mendorong cukup banyak orang, untuk beranggapan
seolah-olah iman dan ilmu-pengetahuan itu saling bertentangan[61].
Akan tetapi bila”otonomi hal-hal duniawi”
diartikan: seolah-olah ciptaan tidak tergantung dari Allah, dan manusia dapat
menggunakannya sedemikian rupa, sehingga tidak lagi menghubungkannya dengan
Sang Pencipta, maka siapa pun yang mengakui Allah pasti merasa juga, betapa
pesatnya anggapan-anggapan semacam itu. Sebab tanpa Sang Pencipta makhluk
lenyap menghilang. Selain itu semua orang beriman, termasuk agama mana pun
juga, selalu mendengarkan suara serta pewahyuan-Nya dalam bahasa
makhluk-makhluk. Malahan kalau Allah dilupakan, ciptaan sendiri diliputi
kegelapan.
37.
(Kegiatan manusia dirusak karena dosa).
Adapun Kitab Suci, senada dengan pengalaman
dari zaman ke zaman, mengajarkan kepada keluarga manusia, bahwa kemajuan, yang
bagi manusia memang besar nilainya, di lain pihak membawa godaan yang gawat
juga. Sebab bila tata-nilai dikacaukan dan kejahatan dicampur adukkan dengan
kebaikan, masing-masing orang dankelompok hanyalah memperhatikan kepentingannya
sendiri, bukan kepentingan sesama. Demikianlah dunia bukan wahana persaudaraan
yang sejati lagi, sedangkan kemampuan manusia yang meningkat mengancam umat
manusia sendiri dengan kepunahan.
Sebab seluruh sejarah manusia sarat dengan
perjuangan sengit melawan kekuasaan kegelapan. Pergulatan itu mulai sejak awal
dunia, dan menurut amanat Tuhan[62] akan tetap berlangsung hingga hari kiamat.
Terjebak dalam pergumulan itu, manusia tiada hentinya harus berjuang untuk
tetap berpegang pada yang baik. Dna hanya melalui banyak jerih-payah, berkat
bantuan rahmat Allah, ia mampu mencapai kesatuan dalam dirinya.
Oleh sebab itu, seraya mengakui bahwa
kemajuan manusiawi memang dapat menunjang kebahagiaan manusia yang sejati,
Gereja Kristus, percaya akan rencana Sang Pencipta, toh tidak dapat lain
kecuali mengemakan pesan rasul:”Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia
ini”(Rom 12:2), artinya: dengan semangat kesia-siaan dan kejahatan, yagn
mengubah kegiatan insani-sebenarnya dimaksudkan untuk mengabdi kepada Allah dan
manusia-menjadi alat dosa.
Jadi kalau ada yang bertanya bagaimana
malapetaka itu dapat diatasi, Umat kristiani menyatakan, bahwa semua kegiatan
manusia, yang karena kesombongan dan cinta diri yang tidak teratur setiap hari
terancam bahaya, harus dimurnikan dan disempurnakan berkat salib dan
kebangkitan Kristus. Sebab manusia, yang ditebus oleh Kristus dan dalam Roh
Kudus dijadikan ciptaan baru, dapat dan wajib juga mencintai semua ciptaan
Allah. Ia menerima segalanya itu dari Allah, dan memandangnya serta
menghormatinya bagaikan mengalir dari tangan Allah. Atas itu semua manusia
mengucap syukur kepada Sang Pemberi kurnia; dalam kemiskinan dan kebebasan
rohani ia menggunakan alam ciptaan dan memetik hasilnya; dan demikianlah ia
diantar untuk memiliki dunia secara sejati seakan-akan tidak mempunyai apa-apa,
tetapi toh memiliki segalanya[63]. ”Sebab semua itu milikmu; adapun kamu milik
Kristus, dan Kristus milik Allah” (1Kor 3:22-23).
38. (
Dalam misteri Paska kegiatan manusia mencapai kesempurnaannya).
Sebab Sabda Allah sendiri, Pengantara dalam
penciptaan segala sesuatu, telah menjadi daging dan tinggal di bumi
manusia[64],; sebagai manusia sempurna ia memasuki sejarah dunia, seraya
menampung dan merangkumnya dalam Dirinya[65]. Sang Sabda mewahyukan kepada
kita, ”bahwa Allah itu cintakasih”(1 Yoh 4:8), sekaligus mengajarkan kepada
kita, bahwa hukum asasi kesempurnaan manusiawi dan karena itu juga
perombakan dunia ialah perintah baru
cintakasih. Maka Ia meyakinkan semua, yang percaya akan kasih-sayang ilahi,
bahwa jalan cintakasih terbuka bagi semua orang, dan bahwa usaha untuk
membangun persaudaraan universal tidak akan percuma. Sekaligus Ia mengingatkan,
bahwa cintakasih itu jangan hanya dikejar dalam hal-hal yang besar, melainkan
pertama-tama dalam situasi hidup yang serba biasa. Bagi kita semua yang pendosa
ini Ia menanggung maut[66]; dengan teladan-Nya Ia mengajarkan kepada kita pula,
bahwa kita pun harus mengangkat salib, yang oleh daging dan dunia dibebankan
atas bahu mereka yang mengejar perdamaian dan keadilan. Kristus, yang karena
kebangkitan-Nya ditetapkan menjadi Tuhan, dan yang diserahi segala kuasa di
langit dan di bumi[67], sudah berkarya di hati manusia karena kekuatan Roh-Nya,
bukan saja dengan membangkitkan kerinduan akan zaman yang akan datang,
melainkan demikian pula dengan menjiwai, memurnikan serta meneguhkan
aspirasi-aspirasi yang bersumber pada kebesaran jiwa, dan menggerakkan
usaha-usaha keluarga manusia untuk menjadikan hidupnya manusiawi, dan untuk
membawahkan seluruh bumi kepada tujuan itu. Adapun bermacam-ragamlah kurnia
Roh: ada yang dipanggil-Nya untuk memberi kesaksian jelas tentang kerinduan
akan kediaman sorgawi, dan untuk tetap menghidupkan dambaan itu dalam keluarga
manusia; ada pula yang dipanggil-Nya untuk membaktikan diri kepada pelayanan
sesama di dunia ini, dan untuk dengan pengabdian itu menyiapkan landasan bagi kerajaan sorgawi. Tetapi semua orang
dibebaskan-Nya untuk mengingkari cinta diri, dan menampung segala kekuatan
dunia ini ke dalam hidup manusiawi, dan dengan demikian melaju ke masa depan,
saatnya bangsa manusia sendiri menjadi persembahan yang berkenan kepada
Allah[68].
Jaminan harapan itu dan bekal untuk
perjalanan oleh Tuhan ditinggalkan kepada para murid-Nya dalam Sakramen iman,
saatnya unsur-unsur alamiah, yang dikelola oleh manusia, diubah menajdi Tubuh
dan Darah mulia, yakni perjamuan persekutuan persaudaraan, antisipasi perjamuan
sorgawi.
39.
(Bumi baru dan langit baru).
Kita tidak mengetahui bilamana dunia danumat
manusia akan mencapai kesudahannya[69]; tidak tahu pula, bagaimana alam semesta
akan diubah. Dunia seperti yang kita kenal sekarang, dan telah rusak akibat
dosa, akan berlalu[70]. Tetapi kita terima ajaran, bahwa Allah menyiapkan
tempat tinggal baru dan bumi yang baru, kediaman keadilan[71], yang
kebahagiaannya akan memenuhi dan melampaui segala kerinduan akan kedamaian yang
timbul dalam hati manusia[72]. Pada saat itu maut akan dikalahkan,putera-puteri
Allah akan dibangkitkan dalam Kristus, dan benih yang telah ditaburkan dalam
kelemahan dan kebinasaan, akan mengenakan yang tidak dapat binasa[73]. Cintakasih
beserta karyanya akan lestari[74], dan segenap alam tercipta, yang oleh Allah
telah diciptakan demi manusia, akan dibebaskan dari perbudakan kepada
kesia-siaan[75].
Kita memang diperingatkan, bahwa bagi manusia
tiada gunanya, kalau ia memperoleh seluruh dunia, tetapi membinasakan
dirinya[76]. Akan tetapi janganlah karena mendambakan dunia baru orang lalu
menjadi lemah perhatiannya untuk mengolah dunia ini. Justru harus tumbuhlah
perhatian itu, sehingga berkembanglah Tubuh keluarga manusia yang baru, yang
sudah mampu emberi suatu bayangan tentang zaman baru. Maka dari itu, sungguhpun
kemajuan duniawi harus dengan cermat dibedakan dari pertumbuhan Kerajaan
Kristus, tetapi kemajuan itu sangat penting bagi Kerajaan Allah, sejauh dapat
membantu untuk mengatur masyarakat manusia secara lebih baik[77].
Sebab nilai-nilai martabat manusia,
persekutuan persaudaraan dan kebebasan, dengan kata lain: semua buah hasil yang
baik, yang bersumber pada kodrat maupun usaha kita, sesudah kita sebarluaskan
di dunia dalam Roh Tuhan dan menurut perintah-Nya, kemudian akan kita temukan
kembali, tetapi dalam keadaan dibersihkan dari segala cacat-cela, diterangi dan
diubah, bila Kristus mengembalikan kepada Bapa kerajaan abadi dan universal:
”kerajaan kebenaran dan kehidupan, kerajaan kesucian dan rahmat, kerajaan
keadilan, cintakasih dan kedamaian”[78]. Di dunia ini Kerajaan itu sudah hadir
dalam misteri; tetapi akan mencapai kepenuhannya bila Tuhan datang.
BAB EMPAT
PERANAN GEREJA DALAM DUNIA ZAMAN SEKARANG
40.
(Hubungan timbal-balik antara Gereja dan Dunia).
Segala sesuatu yang telah kami uraikan
tentang martabat pribadi manusia, tentang masyarakat manusia, dan tentang arti
mendalam kegiatan manusia, merupakan dasar bagi hubungan antara Gereja dan
dunia, dan landasan bagi dialog timbal-balik antara keduanya[79]. Maka sekarang
dalam bab ini, dengna mengandaikan semuanya yang oleh Konsili ini telah
dipaparkan tentang misteri Gereja, yang merupakan bahan refleksi yakni Gereja
sejauh hadir di dunia, hidup bersamanya dan bertindak di dalamnya.
Gereja berasal dari cintakasih Bapa yang
kekal[80], didirikan oleh Kristus Penebus dalam kurun waktu, dan dihimpun dalam
Roh Kudus[81] Gereja itu mempunyai tujuan penyelamatan dan eskatologis, yang
hanya dapat tercapai sepenuhnya di zaman yang akan datang. Adapun Gereja sudah
hadir di dunia ini, terhimpun dari orang-orang yang termasuk warga masyarakat
dunia. Mereka itu dipanggil, supaya sudah sejak dalam sejarah umat manusia ini
sudah membentuk keluarga putera-puteri Allah, yang terus menerus harus
berkembang hingga kedatangan Tuhan. Keluarga itu terhimpun demi harta-harta
sorgawi, dan diperkaya dengannya. Keluarga itu oleh Kristus ”disusun dan diatur
di dunia ini sebagai serikat” [82]”dan dilengkapi dengan sarana-sarana yang
tepat untuk mewujudkan persatuan yang nampak dan bersifat sosial”[83].
Begitulah Gereja, sekaligus ”kelompok yang nampak dan persekutuan rohani”[84],
menempuh perjalanan bersama dengan seluruh umat manusia, dan bersama dengan
dunia mengalami nasib keduniaan yang sama. Gereja hadir ibarat ragi dan
bagaikan penjiwa masyarakat manusia[85], yang harus diperbaharui dalam Kristus
dan diubah menjadi keluarga Allah.
Adapun bahwa masyarakat duniawi dan sorgawi
itu saling merasuki, hanyalah dapat ditangkap dalam iman, bahkan tetap
merupakan misteri sejarah manusia, yang hingga perwahyuan sepenuhnya kemuliaan
putera-puteri Allah dikeruhkan oleh dosa. Seraya mengejar keselamatan sebagai
tujuannya sendiri, Gereja bukan hanya menyalurkan kehidupan ilahi kepada
manusia, melainkan dengan cara tertentu juga memancarkan pantulan cahaya-Nya ke
seluruh dunia, terutama dengan menyembuhkan dan mengangkat martabat pribadi
manusia, dengan meneguhkan keseluruhan masyarakat manusia, dan dengan memberi
makna serta arti yang lebih mendalam kepada kegiatan manusia. Begitulah Gereja,
melalui para anggotanya masing-masing maupun segenap persekutuannya, merasa
mampu berjasa banyak, untuk lebih memanusiawikan keluarga manusia beserta
sejarahnya.
Kecuali itu Gereja Katolik dengan senang hati
menyatakan penghargaannya yang tinggi terhadap apa saja yang untuk menunaikan
tugas yagn sama telah dan tetap masih dijalankan serentak oleh Gereja-Gereja
kristen atau jemaat-jemaat gerejawi lainnya. Sekaligus Gereja merasa sungguh
yakin, bahwa dalam banyak hak dan denganpelbagai cara ia dapat dibantu oleh
dunia, baik oleh setiap orang perorangan maupun oleh masyarakat manusia, berkat
bakat-kemampuan maupun kegiatan mereka, untuk merintis jalan bagi Injil. Di
sini diuraikan beberapa asas umum untuk secara tepat mengintensifkan pertukaran
serta bantuan timbal-balik di bidang-bidang, yang dengan cara tertentu dihadapi
bersama oleh Gereja dan dunia.
41.
(Bantuan yang oleh Gereja mau diberikan kepada setiap orang).
Manusia zaman sekarang sedang berusaha
mengembangkan kepribadiannya secara lebih penuh dan semakin mengenal serta mau
menegakkan hak-haknya. Adapun kepada Gereja dipercayakan untuk menyiarkan
misteri Allah, yang merupakan tujuan terakhir manusia. Maka Gereja sekaligus
menyingkapkan kepada manusia makna keberadaannya sendiri, dengan kata lain,
kebenaran yang paling mendalam tentang manusia. Sesungguhnya Gereja menyadari,
bahwa hanya Allah yang diabdinyalah, yang dapat memenuhi keinginan-keinginan
hati manusia yang terdalam, dan tidakpernah akan mencapai kepuasan sepenuhnya
dengan apa saja yagn disajikan oleh dunia. Selain itu Gereja menyadari, bahwa
manusia tiada hentinya didorong oleh Roh Allah, dan karena itu tidak pernah
akan acuh tak acuh belaka terhadap masalah keagamaan. Itu memang terbukti juga
bukan saja oleh pengalaman abad-abad yang silam, melainkan juga oleh aneka
macam kesaksian zaman sekarang. Sebab manusia selalu akan ingin mengetahui,
setidak-tidaknya secara samar-samar, manakah arti hidupnya, kegiatannya dan
kematiannya. Kehadiran Gereja sendiri mengingatkannya akan masalah-masalah itu.
Akan tetapi hanaya Allah, yang menciptakan manusia menurut gambar-Nya, dan
menebusnya dari dosalah, yang memberi jawaban paripurna kepada soal-soal itu,
yakni melalui perwahyuan dalam Kristus Putera-Nya yang telah menjadi manusia.
Barangsiapa mengikuti Kristus Manusia sempurna, juga akan menjadi manusia yang
lebih utuh.
Bertumpu pada iman itu Gereja dapat
mengamankan martabat kodrat manusia terhadap semua kegoncangan
pendapat-pendapat, misalnya yang terlalu meremehkan tubuh manusia atau
menyanjung-nyanjungnya secara berlebihan. Oleh hukum manusiawi mana pun juga
martabat pribadi dankebebasan manusia tidak dapat dijamin keutuhannya
sedemikian baik seperti oleh Injil Kristus, yang dipercayakan kepada Gereja.
Sebab Injil itu memaklumkan dan mewartakan kebebasan putera-puteri Allah,
menolak setiap perbudakan yang pada pada dasarnya bersumber pada dosa[86],
menghormati dengan sungguh-sungguh martabat suarahati beserta keputusannya
yangbebas, tiada hentinya mengingatkan, bahwa semua bakat manusia harus
disuburkan demi pengabdian kepada Allah dan sesama, dan akhirnya mempercayakan
siapa saja kepada cintakasih semua orang[87]. Itu memang sesuai dengan hukum
dasar tata-kristiani. Sebab memang Allah yang sama itu sekaligus Penyelamat dan
Pencipta, lagi pula hanya ada satu Tuhan bagi sejarah manusia dan sejarah
keselamatan. Tetapi dalam tata-ilahi itu juga otonomi yang sewajarnya bagi
makhluk, dan terutama bagi manusia tidak dihapus, justru malahan dikembalikan
kepada martabatnya, dan dikukuhkan dalamnya.
Oleh karena itu, berdasarkan Injil yang
dipercayakan kepadanya, Gereja mewartakan hak-hak manusia, dan mengakui serta
menjunjung tinggi dinamisme zaman sekarang, yagn di mana-mana mendukung hak-hak
itu. Tetapi gerakan itu perlu dijiwai oleh semangat Injil dan dilindungi
terhadap setiap bentuk otonomi yang palsu. Sebab kita dapat tergoda untuk
beranggapan, seolah-olah hak-hak pribadi kita hanya terjamin sepenuhnya, bila
kita dibebaskan dari setiap norma Hukum ilahi. Tetapi dengan cara itu martabat
pribadi manusia takkan diselamatkan, justru malahan akan runtuh.
42.
(Bantuan yang diusahakan oleh Gereja untuk diberikan kepada masyarakat
manusia).
Persatuan keluarga manusia amat diteguhkan
dan dilengkapi oleh kesatuan keluarga putera-puteri Allah yang didasarkan pada
Kristus[88].
Adapun misi khusus, yang oleh Kristus telah
dipercayakan kepada Gereja-Nya, tidak terletak di bidang politik, ekonomi atau
sosial; sebab tujuan yang telah ditetapkan-Nya untukGereja bersifat
keagamaan[89].
Tentu saja dari misi keagamaan itu sendiri
muncullah tugas, terang dan daya-kekuatan, yang dapat melayani pembentukan dan
peneguhan masyarakat manusia menurut Hukum ilahi. Begitu pula bilamana
diperlukan menurut situasi semasa dan setempat, misi itu dapat, bahkan wajib
juga membangkitkan kegiatan untuk melayani semua orang, terutama karya-karya
bagi mereka yagn sangat membutuhkannya, misalnya amal belaskasihan, dan
sebagainya.
Selain itu Gereja mengakui apa pun yang serba
baik dalam gerak perkembangan masyarakat zaman sekarang: terutama perkembangan
menuju kesatuan, kemajuan sosialisasi yang sehat dan solidaritas
kewarganegaraan dan ekonomi. Sebab pengembangan kesatuan selaras dengan misi
Gereja yang paling dalam, karena Gereja itu”dalam Kristus bagaikan sakramen, yaknitanda
dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia”[90].
Begitulah Gereja menunjukkan kepada dunia, bahwa persatuan sosial lahiriah yang
sejati bersumber pada persatuan budi dan hati, artinya pada iman dan cintaksih,
yang dalam Roh Kudus secara tak terceraikan mendasari kesatuan Gereja. Sebab
kekuatan, yang Gereja mampu meresapkan ke dalam masyarakat manusia zaman
sekarang, berupa iman dan cintakasih itu, yang dihayati secara efektif, bukan
berdasarkan suatu kekuatan lahiriah yang dijalankan melalui upaya-upaya
manusiawi melulu.
Kecuali itu berdasarkan misi dan hakekatnya
Gereja tidak terikat pada bentuk khas kebudayaan manusiawi atau sistim politik,
ekonomi atau sosial mana pun juga. Maka berdasarkan sifat universalnya itu Gereja
dan bangsa manusia, asal mereka mempercayai Gereja, dan sungguh-sungguh
mengakui kebebasannya yang sejati untuk menunaikan misinya itu. Oleh karena itu
Gereja mengingatkan putera-puterinya, tetapi juga semua orang, supaya mereka
dalam semangat kekeluargaan putera-puteri Allah mengatasi segala perselisihan
antar bangsa maupun antar suku, dan meneguhkandari dalam
perserikatan-perserikatan manusiawi.
Jadi apa pun yang serba benar, baik dan adil
dalam bermacam-ragam lembaga, yagn telah dan tiada hentinya dibentuk oleh
bangsa manusia, itu semua sangat dihormati oleh Konsili. Selain itu
dinyatakannya juga, bahwa Gereja hendak memabantu dan memajukan semua lembaga
semacam itu, sejauh itu tergantung padanya dan dapat digabungkan dengan
misinya. Yang paling diinginkan oleh Gereja yakni untuk mengabdi kepada
kesejahteraan semua orang, dan dapat mengembangkan diri dengan bebas di bawah
pemerintahan mana pun, yang mengakui hak-hak asasi pribadi dan keluarga serta
kebutuhan-kebutuhan akan kesejahteraan umum.
43. (
Bantuan yang diusahakan oelh Gereja melalui umat kristiani bagi kegiatan
manusiawi).
Konsili mendorong umat kristiani, warganegara
kedua pemukiman, supaya dijiwai oleh semangat Injil mereka berusaha menunaikan
dengan setia tugas-kewajiban mereka di dunia. Menyimpanglah dari kebenaran
mereka, yagn tahu bahwa di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap,
melainkan mencari pemukiman yang akan datang[91], dan karena itu mengira dapat
melalaikan tugas-kewajiban mereka di dunia, tanpa mengindahkan, bahwa justru
karena iman sendiri mereka lebih terikat kewajiban untuk menjalankan
tugas-tugas itu, menurut panggilan mereka masing-masing[92]. Akan tetapi tidak
kalah sesatlah mereka, yang sebaliknya beranggapan, bahwa mereka dapat sejauh
itu membenarkan diri ke dalam urusan-urusan duniawi, seolah-olah itu semua
terceraikan sama sekali dari hidup keagamaan, berdasarkan anggapan seakan-akan
agama itu melulu berarti melakukan kegiatan peribadatan serta sejumlah
kewajiban moral semata-mata. Perceraian antara iman yang diikrarkan dan hidup
sehari-hari banyak orang harus dipandang sebagai suatu kesempatan yang cukup
gawat pada zaman sekarang ini. Batu sandungan itu dalam Perjanjian Lama sudah
ditentang dengan sengitnya oleh para Nabi[93]; apa lagi dalam Perjanjian Baru
Yesus Kristus sendiri mengancamnya dengan siksaan-siksaan yang berat[94]. Oleh
karena itu janganlah secara salah kegiatan kejuruan dansosial di satu pihak
dipertentangkan terhadap hidup keagamaan di pihak yang lain. Dengan mengabaikan
tugas-kewajibannya di dunia ini orang kristiani melalaikan tugas-kewajibannya
terhadap sesama, bahkan mengabaikan Allah sendiri, dan membahayakan keselamatan
kekalnya. Lebih tepat hendaklah umat kristiani bergembira, bahwa mereka
mengikuti teladan Kristus yang hidup bertukang, dan dapat menjalankan segala
kegiatan duniawi, sambil memperpadukan semua usaha manusiawi, kerumah-tanggaan,
kejujuran, usaha di bidang ilmu-pengetahuan maupun teknik dalam suatu sintesa
yang hidup-hidup dengan nilai-nilai keagamaan, yang menjadi norma tertinggi
untuk mengarahkan segala sesuatu kepada kemuliaan Allah.
Secara khas-meskipun tidak
eksklusif-tugas-kewajiban maupun kegiatan keduniaan (sekular) termasuk
kewenangan kaum awam. Maka bila mereka, secara perorangan maupun kolektif,
bertindak sebagai warga dunia ini, hendaknya mereka jangan hanya mematuhi
hukum-hukum yang khas bagi masing-masing bidang kerja, melainkan hendaknya
berusaha juga meraih kemahiran yang sungguh bermutu di bidang itu. Hendaklah
mereka dengan sukarela bekerja sama dengan sesama yang mengejar
tujuan-tujuanyang sama. Hendaklah mereka mengakui tuntutan-tuntutan iman serta
dikuatkan olehnya, dan tanpa ragu-ragu-bila diperlukan-merekayasa usaha-usaha
baru dan mewujudkannya. Termasuk kewajiban bagi suarahati mereka yang sudah terbentuk
dengan baik, untuk mengusahakan supaya hukum ilahi tertanamkan dalam kehidupan
kota duniawi ini. Adapun dari para imam kaum awam hendaknya mengharapkan
penyuluhan dan kekuatan rohani. Tetapi janganlah mereka menyangka, seolah-olah
para gembala mereka selalu sedemikian ahli, sehingga-bila muncul soal mana pun,
juga yang cukup berat sekalipun,-para gembala itu mampu langsung memberikan
pemecahannya yang konkrit, atau seakan-akan para imam diutus untuk itu. Lebih
tetap hendaklah kaum awam dalam terang kebijaksanaan kristiani dan seraya
mengindahkan dengan cermat ajaran Magisterium[95], sanggup memainkan peranan
mereka sendiri.
Acap kali dalam situasi-situasi tertentu
pandangan kristiani sendiri akan menjuruskan mereka ke arah pemecahan tertentu
pula. Tetapi orang-orang beriman lainnya, dengan hati yang tak kalah tulus, seperti cukup sering
terjadi dan memang sewajarnya juga, akan mempunyai pandangan yang berbeda
tentang hal yang sama. Bila pemecahan-pemecahan yagn diajukan oleh pihak satu
dan lainnya, juga tanpa disengaja olehpihak-pihak itu, oleh banyak orang dengan
mudah dikaitkan dengan warta Injil,
mereka harus ingat bahwa dalam hal-hal itu tak seoran gpun boleh secara
eksklusif meng-klaim kewibawaan Gereja bagi pandangannya sendiri. Melainkan
hendaknya mereka selalu berusaha saling memberi penjelasan melalui musyawarah
yang tulus, sambil tetap saling mengasihi dan terutama mengindahkan
kesejahteraan umum.
Adapun kaum awam, yang dalam seluruh
kehidupan Gereja harus memainkan peranan aktif, tidak hanya wajib meresapi
dunia dengan semangat kristiani, melainkan dipanggil juga untuk dalam segalanya
menjadi saksi Kristus di tengah masyarakat manusia.
Sedangkan para Uskup, yang dipercayai tugas
untuk memimpin gereja Allah, bersama imam-imam mereka hendaknya menyiarkan
warta Kristus sedemiianrupa, sehingga semua kegiatan umat beriman di dunia
dilimpahi cahaya Injil. Selain itu hendaklah semua gemabal menyadari bahwa
dengan perilaku serta kesibukan-kesibukan mereka sehari-hari[96] mereka
menampilkan kepada dunia citra Gereja tertentu, yang bagi khalayak ramai
menjadi pedoman untuk menilai kekuatan dan kebenaran warta kristiani.
Hendaknya, melalui perihidup maupun kata-kata mereka bersama kaum religius
serta umat beriman mereka, memperlihatkan bahwa Gereja dengan kehadirannya
saja, beserta semua kurnia yang ada padanya, merupakan sumber yang tak kunjung
mengering bagi keutamaan-keutamaan, yang sangat dibutuhkan oleh dunia zaman
sekarang. Hendaklah mereka dengan tekun belajar meraih kecakapan sedemikian
rupa, sehingga mampu memainkan peranan mereka dalam menjalin dialog dengan
dunia serta orang-orang yang berpandangan bermacam-ragam. Tetapi terutama
hendaklah mereka memperhatikan pesan Konsili ini:”Karena sekarang ini umat
manusia semakin merupakan kesatuan di bidang kenegaraan, ekonomi dan sosial,
maka semakin perlu pulalah para imam bersatupadu dalam segala usaha dan karya
di bawah bimbingan para Uskup dan Imam Agung Tertinggi. Hendaklah mereka
menyingkirkan apa saja yagn menimbulkan perpecahan, supaya segenap umat manusia
dibawa ke dalam kesatuan keluarga Allah[97].
Sungguhpun Gereja berkat kekuatan Roh Kudus
telah tetap menjadi tanda keselamatan di dunia, tetapi sungguh disadarinya
pula, bahwa di antara para anggotanya[98], klerus maupun awam, dari abad ke
abad ada saja yang tidak setia kepada Roh Allah. Juga pada zaman kita sekarang
Gereja mengetahui, betapa besar kesenjangan antara warta yang disiarkannya
dankelemahan manusiawi mereka yang diserahi Injil. Entah bagaimana pun sejarah
menilai ketidak-setiaan itu, kita harus menyadarinya dan dengan gigih
memeranginya, supaya jangan merugikan penyiaran Injil. Begitu pula gereja
mengetahui, betapa ia dalam memupuk hubungannya dengan dunia, harus terus
menerus bertambah masak berkat pengalamannya dari zaman ke zaman. Dibimbing
oleh Roh Kudus, Bunda Gereja tiada hentinya ”mendorong para puteranya untuk
memurnikan dan membaharui diri, supaya tanda Kristus dengan lebih cemerlang
bersinar pada wajah Gereja”[99].
44. (Bantuan yang diperoleh Gereja dari dunia
zaman sekarang).
Adapun seperti bagi dunia pentinglah mengakui
Gereja sebagai suatu kenyataan sosial dalam sejarah dan sebagai raginya, begitu
pula Gereja sendiri menyadari, betapa banyak telah diterimanya dari sejarahdan
perkembangan umat manusia.
Pengalaman abad-abad yagn silam, kemajuan
ilmu-pengetahuan, harta-kekayaan yang tersembunyi dalam pelbagai bentuk
kebudayaan manusia, -hal-hal yagn secara lebih penuh menyingkapkan hakekat
manusia dan merintis jalan-jalan baru menuju kebenaran,-itu semua berfaedah
juga bagi Gereja. Sebab sejak awal sejarahnya Gereja telah belajar
mengungkapkan warta tentang Kristus melalui pengertian-pengertian maupun
bahasa-bahasa pelbagai bangsa, dan selain itu berusaha menjelaskannya dengan
kebijaksanaan para filsuf: maksudnya ialah untuk menyesuaikan Injil dengan daya
tangkap semua orang dan dengan tuntutan-tuntutan kaum arif-bijaksana,
sebagaimana wajarnya. Adapun cara yang sesuai untuk mewartakan sabda yang
diwahyukan harus tetap menjadi patokan bagi setiap penyiaran Injil. Sebab
dengan demikian pada setiap bangsa ditumbuhkan kemampuan untuk mengungkapkan
warta tentang Kristus dengan caranya sendiri, sekaligus dikembangkan pertukaran
yang hidup antara Gereja dan pelbagai kebudayaan bangsa-bangsa[100]. Terutama
pada masa sekarang, zaman perubahan-perubahan yang amat pesat dan
kemacam-ragaman cara berpikir, Gereja untuk meningkatkan pertukaran itu secara
istimewa memerlukan bantuan mereka yang hidup di dunia, benar-benar mengenal
pelbagai bidang dan cabang pengetahuan, serta sungguh menyelami inti
mentalitasnya, entah menyangkut mereka yang beriman entah kaum tak beriman.
Sudah sewajarnyalah segenap Umat Allah, terutama para gembala dan teolog,
mendengarkan, membeda-bedakan serta menafsirkan pelbagai corak bahasa zaman
sekarang, dan mempertimbangkannya dalam terang sabda ilahi, supaya Kebenaran
yagn diwahyukan dpaat ditangkap selalu makin mendalam, difahami semakin baik
dan di sajikan dengan cara yang makin sesuai.
Karena Gereja mempunyai tata-susunan
kemasyarakatan yang nampak dan yang melambangkan kesatuannya dalam Kristus,
maka Gereja dapat diperkaya dan memang diperkaya juga berkat perkembangan hidup
sosial manusia; bukan seolah-olah ada sesuatu yang kurang pada tata-susunan
yang diterimanya dari Kristus, melainkan untuk mengenalnya secara lebih mendalam,
untuk mengungkapkannya secara lebih cermat, dan untuk dengan lebih mudah
menyesuaikannya dengan zaman sekarang. Dengan penuh syukur Gereja menyadari
bahwa selaku jemaat seperti juga dalam putera-puterinya masing-masing ia
menerima aneka macam bantuan masyarakat dari setiap lapisan maupun kondisi
hidup. Sebab barangsiapa menurut rencana Allah mengembangkan masyarakat dalam
tata hidup berkeluarga, kebudayaan, hidup ekonomi maupun sosial, begitu pula
hidup berpolitik tingkat nasional maupun international, menyumbangkan
bantuannya yang bukankecil juga kepada jemaat Gereja, sejauh itu tergantung
dari hal-hal lahiriah. Bahkan Gereja mengakui, bahwa di masa lampau maupun
sekarang ia banyak berkembang berkat tentangan mereka yang melawan atau
menganiayanya[101].
45.
(Kristus, Alfa, dan Omega).
Sementara Gereja membantu dunia dan menerima
banyak dari dunia, yang dimaksudkannya hanyalah: supaya datanglah Kerajaan
Allah dan terwujudlah keselamatan segenap bangsa manusia. Adapun segala sesuatu
yang baik, yang oleh Umat Allah selam masa ziarahnya di dunia dapat disajikan
kepada keluarga manusia, bersumber pada kenyataan, bahwa Gereja ialah”sakramen
keselamatan bagi semua orang”[102], yang menampilkan dan sekaligus mewaujudkan
misteri cintakasih Allah terhadap manusia.
Sebab Sabda Allah sendiri-karena-Nya segala
sesuatu dijadikan-telah menjadi daging, supaya Ia sebagai manusia yang sempurna
menyelamatkan semua orang dan merangkum segalanya dalam Dirinya. Tuhanlah
tujuan sejarah manusia, titik-sasaran dambaan-dambaan sejarah maupun peradaban,
pusat umat manusia, kegembiraan hatisemua orang dan pemenuhan aspirasi-aspirasi
mereka[103]. Dialah yang oleh Bapa dibangkitkan dari kematian, ditinggikan dan
ditempatkan di sisi kanan-Nya; Dialah yang ditetapkan-Nya menjadi hakim bagi
mereka yang hidup maupun yang mati. Kita, yang dihidupkan dan dihimpun dalam
Roh-Nya, sedang berziarah menuju pemenuhan sejarah manusia, yang sepenuhnya
sesuai dengan rencana cintakasih-Nya: ”Mempersatukan dalam Kristus sebagai
Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi” (Ef 1:10).
Bersabdalah Tuhan sendiri: ”Sesungguhnya Aku
datang segera, dan Aku membawa upah-Ku untuk membalaskan kepada setiap orang
menurut perbuatannya. Akulah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian,
Yang Awal dan Yang Akhir”(Why 22:12-13).
BAGIAN KEDUA
BEBERAPA MASALAH YANG AMAT MENDESAK
PENDAHULUAN
46.
Sesudah menguraikan martabat priabdi manusia, dan untuk menunaikan tugas
manakah, baik perorangan maupun kemasyarakatan, ia dipanggil di seluruh dunia,
Konsili sekarang bermaksud untuk-dalam terang Injil dan pengalaman
manusia-mengarahkan perhatian semua orang kepada berbagai kebutuhan zaman
sekarang yang cukup mendesak dan sangat membebani umat manusia.
Di antara sekian banyak hal, yang sekarang
ini menimbulkan keprihatinan semua orang, terutama pokok-pokok berikutlah yang
seyogyanya diindahkan: perkawinan dankeluarga, kebudayaan manusiawi, kehidupan
sosial-ekonomi dan politik, perserikatan keluarga besar para bangsa dan
perdamaian. Semoga mengenai masing-masing bidang itu menjadi jelaslah asas-asas
pembawa terang yang bersumber pada Kristus, sehingga uamt beriman kristen
dibimbing olehnya, dan semua orang diterangi dalam mencari pemecahan bagi
sekian banyak masalah yang rumit.
BAB SATU
MARTABAT PERKAWINAN DAN KELUARGA
47.
(Perkawinan dankeluarga dalam dunia zaman sekarang).
Keselamatan pribadi maupun masyarakat
manusiawi dankristiani erat berhubungan dengan kesejahteraan rukun perkawinan
dan keluarga. Maka umat kristiani, bersama dengan siapa saja yagn menjunjung
tinggi rukun hidup itu, dengan tulus hati bergembira tentang pelbagai upaya,
yang sekarang ini membantu orang-orang untuk makin mengembangkan rukun cinta
kasih itu dan menghayatinya secara nyata, dan menolong para suami-isteri serta orang
tua dalam menjalankan tugas mereka yagn luhur. Lagi pula mereka memang
mengharapkan manfaat yang lebih besar lagi dari padanya, dan berusaha untuk
meningkatkannya.
Akan tetapi tidak di mana-mana martabat
lembaga itu sama-sama berseri-semarak, sebab disuramkan oleh poligami,
malapetaka perceraian, apa yang disebut percintaan bebas, dan cacat-cedera
lainnya. Selain itu cinta perkawinan cukup sering dicemarkan oleh cinta diri,
gila kenikmatan dan ulah-cara yang tidak halal melawan timbulnya keturunan. Kecuali
itu situasi ekonomis, sosio-psikologis dankemasyarakatan dewasa ini menimbulkan
gangguan-gangguan yang tak ringan terhadap keluarga. Akhirnya di
wilayah-wilayah tertentu dunia ini dengan cukup prihatin disaksikan munculnya
masalah-persoalan akibat pertambahan penduduk. Itu semua serba menggelisahkan
suarahati. Tetapi gairah-kekuatan lembaga perkawinan dankeluarga nampak jug
adari kenyataan, bahwa perubahan-perubahan masyarakat yang mendalam sekarang
ini, kendati kendala-kendala yang bermunculan dari padanya, sering kali toh
dengan pelbagai cara menampilkan hakekat sejati lembaga itu.
Oleh karena itu Konsili bermaksud menjelaskan
berbagai pokok ajaran Gereja, dan dengan demikian menerangi serta meneguhkan
umat kristiani dansemua orang yagn berusaha membela dan mengembangkan martabat
asli maupun nilai luhur dan kesucian status perkawinan.
48.
(Kesucian perkawinan dan keluarga).
Persekutuan hidup dan casi suami-isteri yang
mesra, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukumnya,
dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yagn tak dapat ditarik
kembali. Demikianlah karena tindakan manusiawi, yakni saling menyerahkan diri
dan saling menerima antara suami dan isteri, timbullah statu lembaga yang
mendapat keteguhannya, juga bagi masyarakat, berdasarkan ketetapan ilahi.
Ikatan suci demi kesejahteraan suami-isteri dan anak maupun masyarakat itu,
tidak tergantung dari kemauan manusiawi semata-mata. Allah sendirilah Pencipta
perkawinan, yang mencakup pelbagai nilai dan tujuan[104]. Itu semua penting
sekali bagi kelangsungan umat manusia, bagi pertumbuhan pribadi serta tujuan
kekal masing-masing keluarga sendiri maupun seluruh masyarakat manusia. Menurut
sifat kodratinya lembaga perkawinan sendiri dan cintakasih suami-istri tertujukan
kepada lahirnya keturunan serta pendidikannya, dan sebagai puncaknya bagaikan
dimahkotai olehnya. Maka dari itu pria dan wanita, yang karena janji perkawinan
“bukan lagi dua, melainkan satu daging” ((Mat 19:6), saling membantu dan
melayani berdasarkan ikatan mesra antar pribadi dan kerja sama; mereka
mengalami dan dari hari ke hari makin memperdalam rasa kesatuan mereka.
Persatuan mesra itu, sebagai saling serah diri antara dua pribadi, begitu pula
kesejahteraan anak-anak, menuntut kesetiaan suami-isteri yang sepenuhnya, dan
menjadikan tidak terceraikannya kesatuan mereka mutlak perlu[105].
Kristus Tuhan melimpahkan berkat-Nya atas
cinta casi yang beraneka ragam itu yang berasal dari sumber ilahi cinta casi,
dan terbentuk menurut pola persatuan-Nya dengan Gereja. Sebab seperti dulu
Allah menghampiri bangsa-Nya dengan perjanjian casi dan kesetiaan[106], begitu
pula Semarang Penyelamat umat manusia dan Mempelai Gereja[107], melalui
sakramen perkawinan menyambut suami-isteri kristiani. Selanjutnya Ia tinggal beserta
mereka, supaya seperti Ia sendiri mengasihi Gereja dan menyerahkan Diri
untuknya[108], begitu pula suami-isteri dengan saling menyerahkan diri saling
mengasihi dengan kesetiaan tak kunjung henti. Kasih sejati suami-isteri
ditampung dalam cinta ilahi, dan dibimbing serta diperkaya berkat daya
penebusan Kristus serta kegiatan Gereja yang menyelamatkan, supaya suami-isteri
secara nyata diantar menuju Allah, lagi pula dibantu dan diteguhkan dalam tugas
mereka yang luhur sebagai ayah dan ibu[109]. Oleh karena itu suami-isteri
kristiani dikuatkan dan bagaikan dikuduskan untuk tugas-kewajiban maupun
martabat status hidup mereka dengan sakramen yang khas[110]. Berkat
kekuatannyalah mereka menunaikan tugas mereka sebagai suami-isteri dalam
keluarga; merek adijiwai semangat Kristus, yang meresapi seluruh hidup mereka
dengan iman, harapan dan cinta kasih; mereka makin mendekati kesempurnaan
mereka dan makin saling menguduskan, dan dengan demikian bersama-sama makin
memuliakan Allah.
Maka dari itu, mengikuti teladan orang tua
dan berkat doa keluarga, anak-anak, bahkan semua yang hidup di lingkungan
keluarga, akan lebih mudah menemukan jalan perikemanusiaan, keselamatan dan
kesucian. Suami-isteri, yang mengemban martabat serta tugas kebapaan dan
keibuan, akan melaksanakan dengan tekun kewajiban memberi pendidikan terutama
di bidang keagamaan yang memang pertama-tama termasuk tugas mereka.
Anak-anak, selaku anggota keluarga yang
hidup, dengan cara mereka sendiri ikut serta menguduskan orang tua mereka.
Sebab mereka akan membalas budi kepad aorang tua dengan rasa syukur terima
kasih, cinta mesra serta kepercayaan mereka, dan seperti layaknya bagi
anak-anak akan membantu orangtua di saat-saat kesukaran dan dalam kesunyian
usia lanjut. Status janda, yang sebagai kelangsungan panggilan berkeluarga
ditanggung dengan keteguhan hati, hendaknya dihormati oleh semua orang[111].
Hendaknya keluarga dengan kebesaran jiwa berbagi kekayaan rohani juga dengan
keluarga-keluarga lain. Maka dari itu keluarga kristiani karena berasal dari pernikahan,
yang merupakan gambar dan partisipasi perjanjian cinta kasih antara Kristus dan Gereja[112], akan menampakkan
kepada semua orang kehadiran Sang Penyelamat yang sungguh nyata di dunia dan
hakekat Gereja yang sesungguhnya, baik melalui kasih suami-isteri, melalui
kesuburan yang dijiwai semangat berkorban, melalui kesatuan dan kesetiaan,
maupun melalui kerja sama yang penuh kasih antara semua anggotanya.
49. (Cinta kasih suami-isteri).
Sering kali para mempelai dan suami-isteri
diundang oleh sabda ilahi, untuk memelihara dan memupuk janji setia mereka
dengan cinta yang murni dan perkawinan mereka dengan kasih yang tak
terbagi[113]. Cukup banyakorang zaman sekarang amat menghargai pula cinta kasih
sejati antara suami danisteri, yagn diungkapkan menurut adat-istiadat para
bangsa dan kebiasaan zaman yang terhormat. Cinta kasih itu, karena sifatnya
sungguh sangat manusiawi, dan atas gairah kehendak dari pribadi menuju kepada
pribadi, mencakup kesejahteraan seluruh pribadi; maka mampu juga memperkaya ungkapan-ungkapan
jiwa maupun raga dengan keluhuran yang khas, serta mempermuliakannya sebagai
unsur-unsur dan tanda-tanda istimewa persahabatan suami-isteri. Tuhan telah
berkenan menyehatkan, menyempurnakan dan mengangkat cinta kasih itu dengan
kurnia istimewa rahmat dan kasih sayang. Cinta seperti itu memadukan segi
manusiawi dan ilahi, mengantar suami-isteri
kepada serah diri bebas dan timbal-balik, yang dibuktikan dengan
perasaan dan tindakan mesra, serta meresapi seluruh hidup mereka[114]. Bahkan
cinta itu makin sempurna dan berkembang karena kemurahan hati yang rela
berjerih-payah. Oleh karena itu jauh lebih unggul dari rasa tertarik yang
erotis melulu, yang ditumbuhkan dalam cinta diri, dan menghilang dengan cepat
dan amat menyedihkan.
Cinta kasih itu secara istimewa diungkapkan
dan disempurnakan dengan tindakan yang khas bagi perkawinan. Maka dari itu
tindakan-tindakan, yagn secara mesra dan murni menyatukan suami-isteri, harus
dipandang luhur dan terhormat; bila dijalankan secara sungguh manusiawi, tindakan-tindakan
itu menandakan serta memupuk penyerahan diri timbal-balik, cara mereka saling
memperkaya dengan hati gembira dan rasa syukur. Cinta kasih itu, yang
dikukuhkan dengan bakti timbal-balik , dan terutama dikuduskan berkat sakramen
Kristus, dalam suka maupun duka, dengan jiwa maupun raga, tetap setia tak
terpisahkan; oleh karena itu tetap
terhindarkan dari setiap perzinahan danperceraian. Lagi pula, karena kesamaan
martabat pribadi antara suami danisteri, yagn harus tampil dalam kasih sayang
timbal-balik dan penuh-purna, jelas sekali nampaklah kesatuanperkawinan yagn
dikukuhkan oleh Tuhan. Untuk tetap lestari menunaikan tugas-tugas yang
tercantum dalam panggilan kristiani itu, diperlukan tingkat keutamaan yang
tinggi. Oleh karena itu suami-isteri, diteguhkan oleh rahmat untuk perihidup
yang suci, hendaknya dengan tekun mengembangkan kebesaran jiwa dan semangat
berkorban, serta memohonnya dalam doa.
Cinta kasih suami-isteri yang sejati akan
dijunjung lebih tinggi, pun juga akan terbentuk pandangan umum yang sehat
tentangnya, bila suami-isteri kristiani sungguh menonjol karena kesaksian
kesetiaan dan keserasian dalam cinta itu dan karena penuhnya perhatian mereka
dalam mendidik anak-anak. Pasti cinta itu memainkan peranannya juga dalam
pembaharuan budaya, psikokolgis dan sosial, yang memang dibutuhkan bagi
perkawinan dan hidup berkeluarga. Hendaknya kaum muda pada saatnya menerima
penyuluhan yang sesuai tentang martabat cinta kasih suami-isteri, tentang
peranan dan pelaksanaannya, paling baik dalam pangkuankeluarga sendiri, supaya
mereka, berkat pembinaan dalam kemurnian, pada saat yang tetap dapat beralih
dari masa pertunangan yang dilewati secara terhormat kepada pernikahan.
50.
(Kesuburan perkawinan).
Menurut hakekatnya perkawinan dan cinta kasih
suami-isteri tertujukan kepada adanya keturunan serta pendidikannya. Memang
anak-anak merupakan kurnia perkawinan yang paling luhur, dan besar sekali
artinya bagi kesejahteraan orang tua sendiri. Allah sendiri bersabda: ”tidak
baiklah manusia hidup seorang diri” (Kej 2:18); lagi: ”Dia...yang sejak semula
menciptakan manusia pria dan wanita” (Mat 19:4). Ia bermaksud mengizinkan
manusia, untuk secara khusus ikut serta dalam karya penciptaan-Nya sendiri, dan
memberkati pria maupun wanita sambil berfirman: ”Beranak-cucu dan bertambah
banyaklah” (Kej 1:28). Oleh karena itu pengembangan kasih suami-isteri yang
sejati, begitu pula seluruh tata hidup berkeluarga yang bertumpu padanya,-tanpa
memandang kalah penting tujuan-tujuan perkawinan lainnya,-bertujuan supaya suami-isteri
bersedia untuk penuh keberanian bekerja sama dengan cinta kasih Sang Pencipta
dan Penyelamat, yang melalui mereka makin memperluas dan memperkaya
keluarga-Nya.
Dalam tugas menyalurkan hidup manusiawi serta
mendidiknya, yagn harus dipandang sebagai perutusan mereka yang khas,
suami-isteri menyadari diri sebagai mitra kerja cinta kasih Allah Pencipta dan
bagaikan penterjemah-Nya. Maka dari itu hendaknya mereka menunaikan tugas
mereka penuh tanggung jawab manusiawi serta kristiani. Hendaknya mereka penuh
hormat dan patuh-taat kepada Allah, sehati sejiwa dan dalam kerja sama,
membentuk pendirian yang sehat, sambil mengindahkan baik kesejahteraan mereka
sendiri maupun kesejahteraan anak-anak, baik yang sudah lahir maupun yang
mereka perkirakan masih akan ada; sementara itu hendaknya mereka pertimbangkan
juga kondisi-kondisi zaman dan status hidup mereka yang berifat jasmani maupun
rohani; akhirnya hendaknya mereka memperhitungkan kesejahteraan rukun keluarga,
masyarakat di dunia, serta Gereja sendiri. Penilaian itu pada dasarnya
suami-isteri sendirilah yang wajib mengadakan di hadapan Allah. Hendaknya
suami-isteri kristiani dalam cara mereka bertindak menyadari, bahwa mereka
tidakdapat mengambil langkah-langkah semaunya sendiri saja; tetapi selalu harus
dituntun oleh suara hati, yang harus disesuaikan dengan hukum ilahi sendiri;
mereka harus menganut bimbingan Wewenang Mangajar Gereja, yagn dalam terang
Injil memberi tafsiran otentik kepada hukum itu. Hukum ilahi itu menunjukkan
makna sepenuhnya cinta kasih suami isteri, melindunginya, serta mendorong ke
arah penyempurnaannya yang sungguh manusiawi. Begitulah suami-isteri kristiani,
penuh kepercayaan akan Penyelenggaraan ilahi dan sambil mengembangkan semangat
berkorban[115], meluhurkan Sang Pencipta dan menuju kesempurnaan dalam Kristus,
bila mereka atas tanggungjawab manusiawi maupun kristiani yang diwarnai
kebesaran jiwa menunaikan tugas mereka mengadakan keturunan. Di antara
suami-isteri, yang secara demikian memenuhi tugas yang diserahkan oleh Allah kepada
mereka, secara khas layak dikenangkan mereka, yang berdasarkan pertimbangan
bersama yang bijaksana, dengan jiwa yang besar sanggup menerima keturunan untuk
dididik sebagaimana harusnya, juga dalam jumlah yang lebih besar[116].
Akan tetapi perkawinan bukan hanya diadakan
demi adanya keturunan saja. Melainkan hakekat janji antara pribadi yang tak
dapat dibatalkan begitu pula kesejahteraan anak, menuntut supaya cinta kasih
timbal-balik antara suami-isteri diwujudkan secara tepat, makin berkembang dan
menjadi masak. Maka dari itu, juga bila keturunan, yang sering begitu
diinginkan, tidak kunjung datang, perkawinan tetap bertahan sebagai rukun hidup
yang lestari serta persekutuan hidup, dan tetap mempunyai nilainya serta tidak
dapat dibatalkan.
51.
(Penyelarasan cinta kasih suami-isteri dengan sikap hormat terhadap hidup
manusia).
Konsili memahami, bahwa dalam mengatur hidup
perkawinan secara laras-serasi suami-isteri sering dihambat oleh berbagai
situasi hidup zaman sekarang, dan dapat mengalami kenyataan-kenyataan, yang
tidak mengizinkan bertambahnya jumlah anak, setidak-tidaknya untuk sementara;
begitu pula kesetiaan cinta kasih dan penuhnya persekutuan hidup sering tidak
mudah dipertahankan. Padahal, bila kemesraan hidup berkeluarga terputus, tidak
jarang nilai kesetiaan terancam dan kesejahteraan anak dihancurkan. Sebab dalam
situasi itu pendidikan anak-anak, begitu pula keberanian untuk masih menerima
tambahan anak,dibahayakan.
Ada yang memberanikan diri memecahkan
soal-soal itu dengan cara yang tidak pantas, bahkan tidak merasa enggan untuk
menjalankan pembunuhan. Tetapi Gereja mengingatkan, bahwa tidak mungkin ada
pertentangan yang sesungguhnya antara hukum-hukum ilahi tentang penyaluran
hidup dan usaha memupuk cinta kasih suami-isteri yang sejati.
Sebab Allah, Tuhan kehidupan, telah
mempercayakan pelayanan mulia melestarikan hidup kepada manusia, untuk
dijalankan dengan cara yang layak baginya. Maka kehidupan sejak saat pembuahan
harus dilindungi dengan sangat cermat. Pengguguran danpembunuhan anak merupakan
tindak kejahatan yang durhaka. Sesualitas yang ada pada manusia, begitu pula
kemampuan manusiawi untuk melahirkanketurunan, secara mengagumkan mengatasi apa
saja yang terdapat pada taraf-taraf kehidupan yang lebih rendah. Oleh karena
itu tindakan yang khas bagi hidup perkawinan sendiri, yang diatur sesuai
martabat hidup manusiawi yang sejati, wajib dihadapi dengan sikap hormat yang
sungguh mendalam. Maka, bila soalnya bagaimana menyelaraskan cinta kasih
suami-isteri dengan penyaluran kehidupan secara bertanggung jawab, moralitas
cara bertindak tidak hanya tergantung dari maksud yang tulus atau penilaian
alasan-alasan saja. Moralitas itu harus ditentukan berdasarkan norma-norma yang
obyektif, dan dijabarkan dari hakekat pribadi serta tindakan-tindakannya; dan
norma-norma itu menghormati arti sepenuhnya yang ada pada saling penyerahan
diri dan pada keturunan manusiawi, dalam konteks cinta kasih yang sejati. Itu
semua tidak mungkin, kalau keutamaan kemurnian dalam perkawinan tidak diamalkan
dengan tulus hati. Puteri-puteri Gereja, yang berpegang teguh pada asas-asas
itu, dalam mengatur keturunan tidak boleh menempuh cara-cara, yang ditolak oleh
Wewenang Mengajar Gereja dalam menguraikan hukum ilahi[117].
Hendaknya semua saja menyadari, bahwa hidup
manusia dan tugas menyalurkannya tidak terbatas pada dunia ini melulu, pun
tidak dapat diukur dan dimengerti hanya dengan itu saja, melainkan selalu
menyangkut tujuan kekal manusia.
52. (Pengembangan perkawinan dan keluarga
merupakan tugas semua orang).
Keluarga merupakan suatu pendidikan untuk
memperkaya kemanusiaan. Supaya keluarga mampu mencapai kepenuhan hidup dan
misinya, diperlukan komunikasi hati penuh kebaikan, kesepakatan suami-isteri,
dan kerjasama orang tua yang tekun dalam pendidikan anak-anak. Kehadiran aktif
ayah sangat membantu pembinaan mereka, tetapi juga pengurusan rumahtangga oleh
ibu, yang terutama dibutuhkan oleh anak-anak yang masih muda, perlu dijamin,
tanpa maksud supaya pengembangan peranan
sosial wanita yang sewajarnya dikesampingkan. Melalui pendidikan
hendaknya anak-anak dibina sedemikian rupa, sehingga bila nanti sudah dewasa
mereka mampu penuh tanggung jawab mengikuti panggilan mereka, juga panggilan
religius, serta memilih status hidup mereka. Maksudnya juga, supaya bila
kemudia mereka mengikat diri dalam pernikahan, merkea mampu membangun keluarga
sendiri dalam kondisi-kondisi moril, sosial dan ekonomis yang menguntungkan.
Merupakan kewajiban orang tua atau para pengasuh, membimbing mereka yang lebih
muda dalam membentuk keluarga dengan nasehat bijaksana, yang dapat mereka
terima dengan senang hati; tetapi hendaknya para pendidik itu menjaga, jangan
sampai mendorong mereka melalui paksaan langsung atau tidak langsung, untuk
mengikat pernikahan atau memilih orang tertentu menjadi jodoh mereka.
Demikianlah keluarga, lingkup berbagai
generasi bertemu dan saling membantu untuk meraih kebijaksanaan yang lebih
penuh, dan untuk memperpadukan hak-hak priabdi-pribadi dengan tuntutan-tuntutan
hidup sosial lainnya, merupakan dasar bagi masyarakat. Maka dari itu siapa
saja, yang mampu memperngaruhi persekutuan-persekutuan dan kelompok-kelompok
sosial, wajib memberi sumbangan yang efektif untuk mengembangkan perkawinan dan
hidup berkeluarga. Hendaknya pemerintah memandang sebagai kewajibannya yang suci:
mengakui, membela dan menumbuhkan jati diri perkawinan dan keluarga, melindungi
tata susila umum, dan mendukung kesejahteraan rumahtangga, Hak orang tua untuk
melahirkan keturunan dan mendidiknya dalam pangkuan keluarga harus dilindungi.
Hendaknya melalui perundang-undangan yang bijaksana serta pelbagai usaha
lainnya juga mereka yang malang, karena tidak mengalami kehidupan keluarga,
dilindungi dan diringankan beban mereka dengan bantuan yang mereka perlukan.
Hendaknya umat beriman kristiani, sambil menggunakan
waktu yang ada[118] dan membeda-bedakan yang kekal dari bentuk-bentuk yang
dapat berubah, dengan tekun mengembangkan nilai-nilai perkawinan dankeluarga,
baik melalui kesaksian hidup mereka sendiri maupun melalui kerja sama dengan
sesama yang berkehendak baik. Dengan demikian mereka akan mencegah
kesukaran-kesukaran, dan mencukupi kebutuhan-kebutuhan keluarga serta
menyediakan keuntungan-keuntungan baginya sesuai dengan tuntutan zaman
sekarang. Untuk mencapai tujuan itu semangat kristiani umat beriman, suara hati
moril manusia, begitu pula kebijaksanaan serta kemahiran mereka yang menekuni
ilmu-ilmu suci, akan banyak membantu.
Para pakar ilmu-pengetahuan, terutama di
bidang biologi, kedokteran, sosial dan psikologi, dapat berjasa banyak bagi
kesejahteraan perkawinan dan keluarga serta bagi ketenangan suara hati,
bila-dengan memadukan hasil studi mereka-mereka berusaha menjelaskan secara
manusia yang dapat dipertanggung jawabkan.
Termasuk tugas para imam, untuk-berbekalkan
pengetahuan yang memadai tentang hidup berkeluarga-mendukung panggilan
suami-isteri dengan pelbagai upaya pastoral, pewartaan sabda Allah, ibadat
liturgis maupun bantuan-bantuan rohani lainnya dalam hidup perkawinan dan
keluarga mereka. Tugas para imam pula, untuk dengan kebaikan hati dan dengan
sabar meneguhkan mereka di tengah kesukaran-kesukaran, serta menguatkan mereka
dalam cinta kasih, supaya terbentuklah keluarga-keluarga yang sungguh-sungguh
berpengaruh baik.
Pelbagai karya, terutama himpunan-himpunan
keluarga, hendaknya berusaha meneguhkan kaum muda dan para suami-isteri
sendiri, terutama yang baru menikah, dengan ajaran maupun kegiatan, serta
membina mereka yang hidup berkeluarga, hidup kemasyarakatan dan kerasulan.
Akhirnya, hendaknya para suami-isteri
sendiri, yang diciptakan menurut gambar Allah yang hidup dan ditempatkan dalam
tata-hubungan antar pribadi yang otentik, bersatu dalam cinta kasih yang sama,
bersatu dalam suasana hati yang sama, bersatu pula dalam usaha saling
menguduskan[119], supaya mereka-dengan mengikuti Kristus sumber kehidupan[120],
di saat-saat kegembiraan maupun pengorbanan dalam panggilan mereka, karena
cinta kasih mereka yang setia,-menjadi saksi-saksi misteri cinta kasih, yang
oleh Tuhan diwahyukan kepada dunia dalam wafat dan kebangkitan-Nya[121].
BAB DUA
PENGEMBANGAN KEBUDYAAN
53. (
Pendahuluan).
Termasuk ciri pribadi manusia, bahwa ia hanya
dapat menuju kepenuhan kemanusiaannya yang sejati melalui kebudayaan, yakni
dengan memelihara apa yang serba baik dan bernilai pada kodratnya. Maka di mana
pun dibicarakan hidup manusia, kodrat dan kebudayaan berhubungan erat sekali.
Pada umumnya dengan istilah ”kebudayaan”
dimaksudkan segala sarana dan upaya manusia untuk menyempurnakan dan
mengembangkan pelbagai bakat-pembawaan jiwa-raganya. Ia berusaha menguasai alam
semesta dengan pengetahuan maupun jerih payahnya. Ia menjadikan kehidupan
sosial, dalam keluarga maupun dalam seluruh masyarakat, lebih manusiawi melalui
kemajuan tata susila dan lembaga-lembaga. Akhirnya di sepanjang masa ia
mengungkapkan, menyalurkan dan melestarikan pengalaman-pengalaman rohani serta
aspirasi-aspirasinya yang besar melalui karya-karyanya, supaya berfaedah bagi
kemajuan banyak orang, bukan segenap umat manusia.
Oleh karena itu mau tak mau kebudayaan
manusia mencakup dimensi historis dan sosial, dan istilah ”kebudayaan”
seringkali mengandung arti sosiologis dan etnologis. Dalam arti itulah orang
berbicara tentang kemacam-ragaman kebudayaan. Sebab dari pelbagai cara
menggunakan bermacam-macam hal, menjalankan pekerjaan dan mengungkapkan diri,
menghayati agama dan membina tata susila, menetapkan undang-undang dan
membentuk lembaga-lembaga hukum, memajukan ilmu-pengetahuan serta kesenian, dan
mengelola keindahan, muncullah pelbagai kondisi hidup yang umum serta pelbagai
cara menata nilai-nilai kehidupan. Begitulah dari tata hidup yang diwariskan
muncullah pusaka nilai-nilai yang khas bagi setiap masyarakat manusia. Beitulah
pula terwujudlah lingkungan hidup tertentu dengan corak historisnya sendiri,
yang menampung manusia dari bangsa dan zaman mana pun, dan yang menjadi sumber
nilai-nilai untuk mengembangkan kebudayaan manusia serta masyarakat.
ARTIKEL SATU: SITUASI KEBUDAYAAN PADA ZAMAN
SEKARANG.
54.
(Pola-pola hidup yang baru).
Ditinjau dari sudut sosial dan budaya
kondisi-kondisi hidup manusia modern telah berubah secara mendalam sedemikian
rupa, sehingga orang dapat berbicara tentang zaman baru sejarah manusia[122].
Maka untuk mengembangkan dan menyebarluaskan kebudayaan terbukalah cara-cara
baru. Cara-cara itu tersediakan berkat perkembangan luar biasa ilmu pengetahuan
alam dan manusia, juga ilmu-ilmu sosial, perkembangan teknologi, begitu pula
kemajuan dalam pengembangan serta penataan penggunaan upaya-upaya komunikasi
antar manusia. Karena itulah kebudayaan modern ditandai ciri-ciri khas:
ilmu-pengetahuan yang disebut”eksakta” sangat mengembangkan penilaian kritis;
penelitian-penelitian di bidang psikologi akhir-akhir ini memberi penjelasan
lebih mendalam tentang kegiatan manusiawi; ilmu-ilmu sejarah besar jasanya
untuk menelaah kenyataan-kenyataan dari segi perubahan serta perkembangannya
kebiasaan-kebiasaan hidup serta adat-istiadat menjadi semakin seragam,
industrialisasi, urbanisasi, dan sebab-sebab lainnya, yang meningkatkan
kebersamaan hidup, menciptakan pola-pola budaya baru (”mass culture”,
”kebudayaan massa”), yang menimbulkan cara-cara baru menyangkut perasaan,
tindakan danpenggunaan waktu terluang; serta merta meningkatnya pertukaran
antara pelbagai bangsa dan golongan-golongan masyarakat semakin lebar membuka
khazanah pelbagai bentuk kebudayaan bagi semua dan setiap orang, dan dengan
demikian lambat-laun disiapkan pula pola kebudayaan yang lebih umum, lagi pula
semakin mempererat dan mengungkapkan kesatuan umat manusia, bila makindihormati
ciri-ciri khas pelbagai kebudayaan.
55.
(Manusia pencipta kebudayaan).
Semakin besarlah jumlah pria maupun wanita
dari golongan serta bangsa mana pun juga, yan g menyadari bahwa merekalah
ahli-ahli serta pencipta-pencipta kebudayaan masyarakat mereka. Di seluruh
dunia semakin meningkatlah kesadaran akanotonomi dan tanggung jawab; dan itu
penting sekali bagi kemasakan rohani maupun moril umat manusia. Itu semakin
jelas, bila kita sadari proses menyatunya dunia serta tugas panggilan kita,
untuk membangun dunia yang lebih baik dalam kebenaran dan keadilan. Maka
demikianlah kita menjadi saksi lahirnya humanisme baru; di situlah manusia
pertama-tama ditandai oleh tanggung jawabnya atas sesamnya maupun sejarahnya.
(Kesukaran-kesukaran dan tugas-tugas).
Dalam situasi itu tidak mengherankanlah,
bahwa manusia, yang menyadari tanggung jawabnya atas kemajuan kebudayan,
memupuk harapan yanglebihluhur, tetapi dengan hati yang cemas pula menyaksikan
adanya banyak pertentangan-pertentangan yangmasih harus diatasinya.
Apakah yang perlu diusahakan, supaya
pertukaran kebudayaan yang lebih intensif, yang sebenarnya harus mendorong
pelbagai golongan dan bangsa ke arah dialog yangsejati dan subur, jangan justru
mengacaukan kehidupan masyarakat, atau menumbangkan kebijaksanaan para leluhur,
atau membahayakan watak-perangai bangsa-bangsa yang khas?
Bagaimanakah dinamisme dan meluas-ratanya
kebudayaan baru harus didukung, tanpa menyebabkan musnahnya kesetiaan yang
hidup terhadap pusakatradisi-tradisi? Hal itu secara khas terasa mendesak, bila
kebudayaan, yang lahir dari pesatnya kemajuan ilmu-pengetahuan dan teknologi,
perlu dipadukan dengan kebudayaan, yang pengembangannya bertumpu pada studi
klasik menurut pelbagai tradisi.
Bagaimana penyebaran ilmu-ilmu khusus, yang
begitu cepat dan terus meningkat, dapat diserasikan dengan keharusan mewujudkan
sintesa atau perpaduannya, begitu pula dengan keharusan melestarikan pada
manusia kemampuan untuk kontemplasi dan rasa kagum, yang mengantar kepada
kebijaksanaan?
Apakah yang harus diusahakan, supaya semua
orang ikut memanfaatkan nilai-nilai budaya di dunia, sendangkan sekaligus
kebudayaan mereka yang lebih ahli selalu mlenjadi makin unggul dan kompleks?
Akhirnya bagaimanakah harus dipandang wajar
otonomi yang di-”kalim” oleh kebudayaan, tanpa merosot menjadi humanisme yang
duniawi melulu, bahkanmelawan agama sendiri?
Di tengah pertentangan-pertentangan itu
kebudayaan zaman sekarang harus ditumbuhkan sedemikian rupa, sehingga
mengembangkan pribadi manusia seutuhnya secara seimbang, dan membantunya dalam
tugas-tugas, yang pelaksanaannya merupakan panggilan semua orang, terutama umat
beriman kristen, yang bersatu sebagai saudara-saudari dalam kesatuan keluarga
manusia.
ARTIKEL DUA: BERBAGAI KAIDAH UNTUK DENGAN
TEPAT MENGEMBANGKAN KEBUDAYAAN
57.
(Iman dan kebudayaan).
Dalam ziarah mereka menuju Kota Sorgawi umat
beriman kristen harus mencari dan memikirkan perkara-perkara yang di atas[123].
Dengan demikian tidak berkuranglah, melainkan justru semakin pentinglah tugas
mereka untuk bersama dengan semua orang berusaha membangun dunia secara lebih
manusiawi. Sesungguhnyalah misteri iman kirsten memberi mereka dorongan dan
bantuan yang amat berharga untuk secara lebih intensif menunaikan tugas itu,
dan terutama untuk menemukan makna sepenuhnya jerih-payah mereka itu, sehingga
kebudayaan mendapat tempatnya yang luhur dalam keseluruhan panggilan manusia.
Sebab bila manusia dengan karya tangannya
maupun melalui teknologi mengelola alam, supya menghasilkan buah dan menjadi
kediaman yanglayak bagi segenap keluarga manusia, dan bila ia dengan sadar
memainkan peranannya dalam kehidupan kelompok-kelompok sosial, ia melaksanakan
rencana Allah yang dimaklumkan pada awalmula, yakni menaklukkan dunia[124]
serta menyempurnakan alam ciptaan, dan mengembangkan dirinya. Sekaligus ia
mematuhi perintah Kristus yang mulia untuk mengabdikan diri kepada sesama.
Selain itu, bila manusia menekuni pelbagai
ilmu filsafat, sejarah serta ilmu matematika dan fisika, serta mengembangkan
kesenian, ia dapat berjasa sungguh besar, sehingga keluarga manusi aterangkat
kepada nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan serta kepada suatu visi
yang bernilai universal, dan dengan demikian lebih terang disinari oleh
Kebijaksanaan yang mengagumkan, yang sejak kekal ada pada Allah, menghimpun
segala sesuatu bersama dengan-Nya, bermain di muka bumi, dan menikmati
kehadiran-Nya bersama anak-anak manusia[125].
Dengan sendirinya jiwa manusia makin
dibebaskan dari perbudakan harta-benda, dan dapat lebih leluasa mengangkat diri
untuk beribadat kepada Sang Pencipta dan berkontemplasi. Bahkanatas dorongan
rahmat ia menjadi siap untuk mengenal Sabda Allah, yang sebelum menjadi daging
untuk menyelamatkan dan merangkum segala sesuatu dalam Dirinya sebagaui Kepala,
sudah berada di dunia, sebagai ”Terang sejati, yang menyinari setiap orang”
(Yoh 1:9)[126].
Memang kemajuan ilmu-pengetahuan dan
teknologi zaman sekarang, yang dengan metodenya tidak mampu menyelami hakekat
kenyataan yang sedalam-dalamnya, dapat membuka peluang bagi fenomenisme
danagnostisisme, bila metode penelitian, yang digunakan ilmu-ilmu itu,
disalah-artikan sebagai norma tertinggi untuk menemukan seluruh kebenaran.
Bahkan ada bahaya, jangan-jangan manusia karena terlampau mengandalkan
penemuan-penemuan zaman sekarang, merasa sudah memenuhi kebutuhannya sendiri,
dan tidak lagi mendambakan nilai-nilai yang lebih luhur.
Akan tetapi konsekuensi-konsekuensi
yangmalang itu tidak dengan sendirinya timbul dari kebudayan zaman sekarang;
tidak boleh pula menjeerumuskan kita ke dalam godaan, untuk tidak mengakui
nilai-nilai positifnya. Di antaranya yang dapat disebutkan: usaha mengembangkan
ilmu-pengetahuan dan kesetiaan yangcermat terhadap kebanaran dalam
penelitian-penelitian ilmiah, keharusan bekerja sama dengan rekan-rekan dalam
kelompok-kelompok teknik, semangat solidaritas international, kesadaran semakin
hidup para pakar akan tanggung jawab mereka untuk membantu dan bahkan
melindungi sesama, kemauan untuk memperbaiki kondisi-kondisi hidup bagi semua
orang, terutama bagi mereka yang dirampas tanggung jawabnya atau tertekan akibat
kemiskinan budaya. Itu semua dapat menimbulkan suatu disposisi untuk menerima
amanat Injil, dan kesenian itu dapat dijiwai dengan cinta kasih ilahi oleh Dia
yang telah datang untuk menyelamatkan dunia.
58.
(Hubungan antara Warta Gembira tentang Kristus dan kebudayaan manusia).
Ada bermacam-macam hubungan antara Warta
Keselamatan dan kebudayaan. Sebab Allah, yang mewahyukan Diri kepada umat-Nya
hingga penampakan Dirinya sepenuhnya dalam Putera-Nya yang menjelma, telah
bersabda menurut kebudayaan yang khas bagi pelbagai zaman.
Begitu pula Gereja, yang di sepanjang zaman
hidup dalam pelbagai situasi, telah memanfaatkan sumber-sumber aneka
kebudayaan, untuk melalui pewartaannya menyebarluaskan dan menguraikan
pewartaan Kristus kepada semua bangsa, untuk menggali dan makin menyelaminya,
serta untuk mengungkapkannya secara lebih baik dalam perayaan liturgi dan dalam
kehidupan jemaat beriman yang beranekaragam.
Tetapi sekaligus juga Gereja, yang diutus
kepada semua bangsa dari segala zaman dan di daerah mana pun, tidak terikat
secara eksklusif tak terceraikan kepad asuku atau bagnsa mana pun, kepada corak
hidup yang khas mana pun, kepada adat-istiadat entah yang lama entah yang baru.
Seraya berpegang teguh pada tradisinya sendiri, pun sekaligus menyadari perutusannya
yang universal, Gereja mampu menjalin persekutuan dengan pelbagai pola
kebudayaan. Dengan demikian baik Gereja sendiri maupun pelbagai kebuadayaan
diperkaya.
Kabar baik tentang Kristus tiada hentinya
membaharui perihidup dan kebudayaan manusia yang jatuh berdosa, dan melawan
serta memberantas kesesatan-kesesatan dan kemalangan, yang bersumber pada
bujukan dosa yang tak kunjung henti merupakan ancaman. Warta itu terus menerus
menjernihkan dan mengangkat adat-istiadat para bangsa. Warta itu bagaikan dari
dalam menyuburkan harta semarak jiwa serta bakat-pembawaan setiap bangsa dan
setiap masa dengan kekayaan adikodrati, meneguhkannya, melengkapinya, dan
membaharuinya dalam Kristus[127]. Begitulah Gereja, dengan menunaikan tugasnya
sendiri[128], sudah dengan sendirinya menjalankan peransertanya, dan mendorong
ke arah kebudayaan manusia dan masyarakat, serta melalui kegiatannya, juga di
bidang liturgi, mendidik manusia untuk kebebasan batin.
59.(Mewujudkan keserasian berbagai nilai dalam
pola-pola kebudayaan).
Berdasarkan alasan-alasan tadi Gereja
mengingatkan kepada siapa saja, bahwa kebudayaan harus diarahkan kepada
kesempurnaan pribadi manusia seutuhnya, kesejahteraan paguyuban dan segenap
masyarakat manusia. Oleh karena itu perlulah pembinaan jiwa sedemikian rupa,
sehingga berkembanglah kemampuan untuk merasa kagum, menyelami sesuatu,
merenungkannya, membentuk pendirian pribadi, dan memupuk semangat keagamaan,
kesusilaan dan sosial.
Sebab kebudayaan, yang langsung berakar dalam
sifat rasional dan sosial manusia, tiada hentinya memerlukan kebebasan yang
sewajarnya untukmengembangkan diri, serta membutuhkan kemampuan yang wajar pula
untuk bertindak secara mandiri dan menurut prinsip-prinsipnya sendiri. Maka
sudah selayaknyalah kebudayaan menuntut supaya dihormati, dan dalam arti
tertentu tidak dapat diganggu-gugat, tentu saja tanpa merongrong hak-hak
pribadi maupun persekutuan, baik yang khas maupun yang umum, dalam lingkup
kesejahteraan masyarakat.
Konsili sekarang ini, mengenangkan apa yang
diajarkan oleh Konsili Vatikan Pertama, menyatakan:”ada dua taraf pengetahuan”
yang terbedakan, yakni iman dan akalbudi; sudah tentu Gereja tidak melarang,
bahwa”alam budaya kesenian dan ilmu-pengetahuan manusia....masing-masing dalam
lingkupnya menggunakan asas-asas maupun metodenyanya sendiri”; maka ”sambil mengakui kebebasan yang wajar itu”,
Konsili menyatakan otonomi kebudayaan, terutama ilmu-pengetahuan, yang
sewajarnya[129].
Itu semua meminta juga, supaya manusia,
seraya mengindahkan tata nilai moril serta kepentingan masyarakat, dapat dengan
leluasa menyelidiki kebenaran dan menyatakan serta menyiarkan pendapatnya, dan
mengembagnkan kesenian mana pun; akhirnya disyaratkan pula, bahwa manusia
mendapat informasi tentang peristiwa-peristiwa umum sesuai dengan kebenaran[130].
Termasuk tugas pemerintah, bukan untuk
menetapkan sifat khas bentuk-bentuk kebudayaan, melainkan untuk memupuk
kondisi-kondisi dan sumbang-bantuan guna mengembangkan perihidup budaya di
antara semua orang, juga di antara kelompok-kelompok minoritas suatu
bangsa[131]. Oleh karena itu terutama perlu ditekankan, supaya kebudayaan
jangan dialihkan dari tujuannya, pun jangan dipaksa untuk mengabdi
kekuasaan-kekuasaan politik maupun ekonomi.
ARTIKEL TIGA: BEBERAPA TUGAS UMAT KRISTEN
YANG CUKUP MENDESAK TENTANG KEBUDAYAAN
60.
(Hak atas buah-hasil kebudayaan hendaknya diakui oleh semua dan diwujudkan
secara nyata).
Karena sekarang ini terbuka peluang untuk
membebaskan jumlah orang yangamat besar dari bencan kebodohan, maka merupakan
kewajiban yang cocok sekali dengan zaman sekarang, terutama bagi umat kristen,
untuk dengan tekun berdaya-upaya, supaya di bidang ekonomi maupun politik, pada
tingkat nasional maupun internasional, diambil keputusan-keputusan fundamental,
agar di mana punjuga diakui dan diwujudkansecara nyata hak semua orang atas
kebudayaan manusiawi dan sosial, selaras dengan martabat pribadi, tanpa
membeda-bedakan suku, pria atau wanita, bangsa, agama atau kondisi sosial. Maka
perlu disediakan kekayaan budaya yang mencukupi bagi semua orang, terutama yang
tergolong pada harta budaya yang mencukupi bagi semua orang, terutama yang
banyak orang lagi-karena buta aksara atau tidak mampu berperanserta secara
bertanggung jawab-terhalang dari kerja sama yang sungguh manusiawi demi
kesejahteraan umum.
Oleh karena itu perlu diperjuangkan, supaya
mereka yang cukup cerdas dapat menempuh studi pada tingkat yang lebih tinggi;
sedemikian rupa, sehingga dalam masayarakat mereka sedapat mungkin menunaikan
tugas-tugas, jabatan-jabatan dan jasa-pelayanan, yang sesuai dengan keahlian
maupun kemahiran yang telah mereka peroleh[132]. Begitulah setiap oran gdan
kelompok-kelompok sosial setiap bangsa akan mampu mencapai pemekaran perihidup
budaya yang sepenuhnya, serasi dengan bakat-kemampuan serta tradisi-tradisi mereka.
Kecuali itu perlu diusahakan dengan
sungguh-sungguh, supaya semua oran gmenyadari baik haknya atas kebudayaan,
maupun kewajiban yang mengikatnya, untuk mengembangkan diri dan membantu
pengembangan diri sesama. Sebab kadang-kadang ada situasi hidup dan kerja, yang
menghambat usaha-usaha manusi adi bidang kebudayaan dan menghancurkan seleranya
untuk kebudayaan. Hal itu secara khas berlaku bagi para petani dan kaum buruh;
bagi mereka itu seharusnya diciptakan kondisi-kondisi kerja sedemikian rupa,
sehingga tidak menghambat melainkan justru mendukung pengembangan diri mereka
sebagai manusia. Kaum wanita memang sudah berperanserta dalam hampir segala
bidang kehidupan. Tetapi seyogyanya merek amampu menjalankan peran mereka
sepenuhnya menurut sifat kewanitaan mereka. Hendaknya siapa saja berusaha,
supaya keterlibtan khas kaum wanita yang diperlukan bagi perihidup budaya
diakui dan dikembangkan.
61. (
Pendidikan untuk kebudayaan manusia seutuhnya).
Zaman sekaran gini menyusun sintesa pelbagai
cabang ilmu-pengetahuan dan kesenian masih lebih sukar dari pada dahulu. Sebab
sementara bertambahlah banyak serta beranekanya unsur-unsur, yang membentuk
kebudayaan, sekalgius berkuranglah kemungkinan bagi setiap orang untuk
menangkap dan memadukan itu semua secara organis, sehingga citra ”manusia yang
universal” semakin menghilang. Akan tetapi setiap orang tetap wajib
mempertahankan keutuhan pribadi manusia, yang ditandai nilai-nilai luhur
akalbudi, kehendak, suarahati dan persaudaraan, yang semuanya didasarkan pada
Allah Pencipta, dan secara mengagumkan telah disehatkan dan diangkat dalam
Kristus.
Terutama keluarga merupakan bagaikan ibu dan
pengasuh pendidikan yagn menyeluruh. Sebab di situ anak-anak dalam
dukungankasih mesra lebih mudah belajar mengenal tata-susunan nilai-nilai,
sedangkan bentuk-betnuk kebudayaan yang teruji seperti dengan sendirinya
merasuki jiwa para remaja sementara mereka bertambah umur.
Untuk pendidikan itu masyarakat zaman
sekarang menyajikan berbagai peluang, terutama berkat makin menyebarnya kepustakaan
dan upaya-upaya komunikasi yang baru di bidang kebudayaan dan sosial, yang
dapat mendukung kebudayaan secara keseluruhan. Sebab dengan berkurangnya waktu
kerja di mana-mana makin bertambahlah keuntungan-keuntungan bagi banyak orang.
Waktu terluang untuk menyegarkan jiwa dan memantapkan kesehatan jiwa-raga
hendaknya dimanfaatkan dengan baik, dengan kegiatan-kegiatan dan studi sesuka
sendiri, dengan wisata ke daerah-daerah lain (turisme), yang membantu manusia
mengembangkan bakat-kemampuannya. Tetapi orang-orang diperkaya juga dengan
saling mengenal, dengan latihan-latihan dan perlombaan olah-raga, yang membantu
untuk menjaga keseimbangan jiwa, juga dalam hidup bersama, begitu pula untuk
menjalin hubungan-hubungan persaudaraan antara orang-orang dari segala lapisan
dan bangsa serta dari berbagai suku. Oleh karena itu umat beriman kristen
hendaknya bekerja sama, supaya ungkapan-ungkapan kebudayaan
dankegiatan-kegiatan kolektif, yang menandai zaman kita sekarang, diresapi oleh
semangat manusiawi dan kristiani.
Akan tetapi semua faktor yang menguntungkan
itu tidak mampu mewujudkan pendidikan budaya manusia yang seutuhnya, bila
sementara itu pertanyaan mendalam tentang makna kebudayaan dan ilmu-pengetahuan
bagi pribadi manusia diabaikan.
62 (Menyelaraskan kebudayaan manusia dan
masyarakat dengan pendidikan kristiani)
Sungguhpun sumbangan Gereja bagi kemajuan
kebudayaan sungguh besar, dan pengalaman ternyatalah bahwa-karena sebab-musabab
yang sewaktu-waktu muncul-perpaduan kebudayaan dengan pendidikan kristiani
tidak selalu berlangsung mulus tanpa kesulitan.
Kesukaran-kesukaran itu tidak dengan
sendirinya pasti merugikan kehidupan iman; bahkan dapat merangsang budi untuk mencari
pengertian iaman yagn lebih cermat dan lebih mendalam. Sebab usaha-usaha
mengembangkan ilmu-pengetahuan, pengertian tentang sejarah dan filsafat, begitu
pula penemuan-penemuan akhir-akhir ini, menimbulkan persoalan-persoalan baru ,
yang mempunyai konsekuensi-konsekuensinya juga bagi hidup manusia, danjuga
mengundang penyelidikan-penyelidikan baru oleh para teolog. Kecuali itu mereka,
dengan tetap menggunakan metode-metode serta memenuhi tuntutan-tuntutan yang
khas bagi ilmu teologi, diajak untuk terus menerus mencari cara menyajikan
ajaran, yang lebih mengena bagi masyarakat sezaman. Sebab lainlah Chazanahnya
iman atau kebenaran-kebenaran sendiri, lain lagi cara mengungkapkannya, asal
makna maupun artinya tetapi sama[133]. Dalam reksa pastoral hendaknya jangan
hanya asas-asas teologi, melainkan penemuan-penemuan ilmu-pengetahuan profan jugalah,
terutama psikologi dan sosiologi, yang diakui dan digunakan secukupnya,
sehingga umat beriman pun diantara kepada kehidupan iman yang lebih murni dan
lebih dewasa.
Dengan caranya sendiri pula kesusastraan dan
kesenian cukup penting bagi kehidupan Gereja. Sebab keduanya berusaha menyelami
kodrat khas manusia, masalah-persoalannya maupun pengalamannya dalam
daya-upayanya mengenal serta menyempurnakan dirinya maupun dunia. Keduanya
mencoba menyingkapkan situasi manusia dalam sejarah dan di seluruh dunia,
menggambarkan duka-derita maupun kegembiraannya, kebutuhan-kebutuhan maupun
daya-kekuatannya, serta membayangkan kondisi hidup manusia yang lebih baik.
Begitulah keduanya mampu mengangkat hidup manusia, yang terungkapkan dalam
pelbagai corak-ragamnya sesuai dengan zaman dan daerah kediamannya.
Oleh karena itu perlu diusahakan, supaya para
seniman-seniman merasa, bahwa mereka dihargai oleh Gereja dalam kejuruan mereka
sendiri, lagi pula supaya dengan menikmati kebebasan yang sewajarnya mereka
lebih mudah mengadakan pertukaran dengan jemaat kristen. Juga bentuk-bentuk
baru kesenian, yang menanggapi selera masyarakat sekarang menurut perangai
pelbagai bangsa dansifat khas daerah-daerah, dihargai oleh Gereja. Hendaknya
itu semua mendapat tempatnya juga di tempat ibadat, bila dengan cara
pengungkapan yang disesuaikan, dan selaras dengan tuntutan-tuntutan liturgi,
mengangkat hati umat kepada Allah[134].
Demikianlah kemuliaan Allah tampil makin
cemerlang, danpewartaan Injil makin jelas bagi daya tangkap manusia, serta nampak bagaikan tumbuh
dari dalam kenyataan hidupnya.
Oleh karena itu hendaknya umat beriman hidup
dalam pergaulan erat dengan sesama mereka yang semasa, dan berusaha menyelami
dengan saksama corak-corak mereka berpikir dan berperasaan, yang terungkapkan
melalui kebudayaan. Hendaknya mereka mempertemukanpengetahuan tentang ilmu-ilmu
serta teori-teori yang baru, begitu pula penemuan-penemuan yang mutakhir,
dengan tata susila kristen maupun cara menyampaikan ajaran kristen, supaya
penghayatan agama dan keutuhan moril mereka berjalan sederap dengan
ilmu-pengetahuan dan teknologi yang terus maju. Dengan demikian mereka sendiri
mampu mempertimbangkan dan menafsirkansegala sesuatu dengan semangat kristen
yang utuh.
Mereka yang di Seminari-Seminari dan Universitas-Universitas
menenkuni ilmu-ilmu teologi hendaknya berusaha bekerja sama dengan para pakar
ilmu-pengetahuan lainnya, dengan memperpadukan tenaga maupun
pandangan-pandangan mereka. Hendaknya penyelidikan teologis sekaligus berusaha
mencapai pengertian yang mendalam tentang kebenaran yang diwahyukan, tanpa
kehilangan kontak dengan zamannya, supaya dapat mendampingi para pakar pelbagai
ilmudalam mengembangkan pengetahuan mereka tentang iman. Kerja sama itu akan sangat berfaedah bagi
pendidikan para calon imam. Sebab mereka akan lebih mampu menguraikan ajaran
Gereja tentang Allah, tentang manusia dan tentang dunia kepad aorang-orang
zaman sekarang, sehingga merekajuga lebih rela dan terbuka menerima pewartaan
itu[135]. Bahkan dihimbau, agar lebih banyak lagi kaum awam yang menerima
pendidikan yang memadai dalam ilmu-ilmu gerejawi, dan supaya umat beriman, baik
klerus maupun awam, mampu menunaikan tugas mereka, hendaknya mereka diberi
kebebasan yang sewajarnya untuk mengadakan penyelidikan, mengembangkan pemikiran,
serta di bidang-bidang keahlian mereka mengutarakan pandangan mereka dengan
rendah hati dan dengan tegas[136].
BAB TIGA
KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI
63.
(Beberapa segi kehidupan ekonomi).
Juga dalam kehidupan sosial ekonomi martabat
pribadi manusia serta panggilannya seutuhnya, begitu pula kesejahteraan seluruh
masyarakat, harus dihormati dan dikembangkan. Sebab manusialah yang menjadi
pencipta, pusat dan tujuan seluruh kehidupan sosial ekonomi.
Ekonomi zaman sekarang, seperti juga
bidang-bidang kehidupan sosial lainnya, ditandai oleh berkembangnya kedaulatan
manusia atas alam tercipta, oleh berlipatganda dan makin intensifnya
hubungan-hubungan serta ketergantungan timbal-balik, antara warga masyarakat,
kelompok-kelompok dan bangsa-bangsa, pun diwarnai juga oleh makin kerapnya
campurtangan kekuasaan politik. Sementara itu kemajuan-kemajuan dalam cara-cara
berproduksi danpertukaran harta-benda maupun jasa-jasa, telah menjadikan
ekonomi suatu upaya yang cocok, untuk dapat lebih efektif memenuhi kebutuhan-kebutuhan
keluarga manusia yang semakin bertambah.
Akan tetapi ada juga faktor-faktor yang
menimbulkan kegelisahan. Tidak sedikitlah orang, terutama di wilayah-wilayah
yang maju perekonomiannya, yang agaknya seperti dikuasai oleh soal ekonomi.
Akibatnya ialah, bahwa hampir seluruh hidup mereka secara pribadi dan sebagai
anggota masyarakat diresapi oleh semangat ”ekonomisme” baik pada bangsa-bangsa
yang mendukung kolektivisme ekonomi, maupun pada bangsa-bangsa lain. Pada saat
pertumbuhan perekonomian, asal saja diarahkan dandikoordinasi secara rasional
dan manusiawi, sebenarnya dapat memperlunak ketimpangan-ketimpangan sosial,
sering sekali perkembangan itu justru mempertajamnya, atau di sana-sini justru
berbalik mengakibatkan kemerosotan kondisi sosial kaum lemah dan perlakuan yang
merendahkan kaum miskin. Sementara sebagian amat besar rakyat masih serba
kekurangan hal-hal yang mutlak mereka butuhkan, ada sekelompok, juga di
daerah-daerah yang terbvelakang, yang hidup serba mewah dan menghambur-hamburkan
kekayaannya. Kemewahan berdampingan dengan keadaan yang menyedihkan. Sementara
sekelompok kecil mempunyai kekuasaan besar untuk mengambil keputusan-keputusan,
banyaklah orang yang praktis tidak mempunyai kemungkinan sedikit pun untuk
bertindak atas prakarsa dan tanggung jawab sendiri, dan yang sering pula
tertekan oleh kondisi-kondisi hidup dan kerja yang tidak pantas bagi pribadi
manusia.
Ketimpangan-ketimpangan sosial ekonomi yang
serupa terdapat juga antara pertanian, industri dan jasa-jasa, begitu juga antara
berbagai daerah dalam satu negeri. Pertentangan antara bangsa-bangsa yang lebih
maju perekonomiannya dan bangsa-bangsa lainnya semakin meruncing, sehingga
dapat membahayakan perdamaian dunia sendiri.
Masyarakat zaman sekarang makin jelas
menyadari perbedaan-perbedaan itu, justru karena sunggguh-sungguh yakin, bahwa
kemungkinan-kemungkinan lebih luas di bidang teknik dan ekonomi, yang tersedia
di dunia sekarang ini, sebenarnya dapat dan memang harus memperbaiki situasi
yang malang itu. Maka diperlukan banyak perombakan-perombakan dalam kehidupan
sosial ekonomi. Siapa saja membutuhkanperubahan mentalitas dan sikap-sikap.
Untuk maksud itulah di sepanjang zaman Gereja di bawah terang Injil telah
menggariskan asas-asas keadilan dan kewajaran, sesuai pula dengan tuntutan akal
sehat, bagi hidup perorangan maupunsosial, pun juga bagi kehidupan
internasional. Prinsip-prinsip itu telah dikemukankannya terutama akhir-akhir
ini. Menanggapi situasi zaman sekarang, dan terutama mengindahkan
tuntutan-tuntutan kemajuan ekonomi, Konsili bermaksud mengeguhkan asas-asas
itu, dan mengutarakan beberapa pedoman[137].
ARTIKEL SATU: PERKEMBANGAN EKONOMI
64.
(Perkembangan ekonomi melayani manusia).
Untuk menanggapi pertambahan penduduk dan
memenuhi aspirasi-aspirasi umat manusia yang makin meningkat, pada zaman
sekarang ini, lebih dari sebelumnya, memang tepatlah diusahakan peningkatan
produksi di bidang pertanian dan industri serta penyelenggaraan jasa-jasa. Maka
perlu didukung kemajuan teknik, semangat pembaharuan, pengadaan dan perluasan
usaha-usaha wiraswasta, penyesuaian metode-metode produksi, dan giatnya
daya=upaya siapa saja yang terlibat dalam proses produksi: dengan kata lain,
semua faktor yang menunjang perkembangan itu. Makna tujuan yang paling inti
produksi itu bukanlah semata-mata bertambahnya hasil produksi, bukan pula
keuntungan atau kekuasaan, melainkanpelayanan kepad amanusia, yakni manusia
seutuhnay, dengan menindahkan tata urutan kebutuhan-kebutuhan jasmaninya maupun
tuntutan-tuntutan hidupnya di bidang intelektual, moralm rohani dan keagamaan;
katakanlah: manusia siapa saja, kelompok manusia mana pun juga, dari setiap
suku dan wilayah dunia. Oleh karena itu kegiatan ekonomi harus dilaksanakan
menurut metode-metode dan kaidah-kaidahnya sendiri, dalam batas-batas
moralitas[138], sehingga terpenuhilah rencana Allah tentang manusia[139].
65.(Kemajuan ekonomi dikendalikan oleh
manusia).
Perkembangan ekonomi harus tetap dikendalikan
oleh manusia. Perkembangan itu jangan pula dipercayakan saja kepada
kesewenang-wenangan sekolompok kecil, atau kelompok-kelompok yang terlampau
berkuasa di bidang ekonomi, atau negara melulu, atau beberapa bangsa yang lebih
berkuasa. Akan tetapi di setiap lapisan masyarakat sebangyak mungkinorang,
dan-bila menyangkut hubungan-hubungan internasional-semua bangsa seharusnya
melibatkan diri secara aktif dalam mengendalikan perekonomian. Begitu pula
perlulah prakarsa-prakarsa swasta perorangan maupun kelompok-kelompok bebas
dikoordinasi serta digabungkan secara laras danserasi dengan usaha-usaha
pemerintah.
Perkembangan jangan pula diserahkan melulu
kepada proses hampir otomatis kegiatan ekonomi perorangan atau hanya kepada
kekuasaan pemerintah. Maka dari itu harus dikecam sebagai kekeliruan baik
teori-teori yang berdalihkan kebebasan palsu menentang perombakan-perombakan
yang sungguh perlu, maupun teori-teori yang mengorbankan hak-hak asasi
perorangan serta kelompok-kelompok demi organisasi kolektif penyelenggara
produksi.[140]
Maka hendaknya para warganegara menyadari,
bahwa termasuk hak maupun kewajiban mereka (yang juga harus diakui oleh
kekuasaan sipil): sedapat mungkin menyumbangkan jasa mereka demi perkembangan
masyarakat mereka yang sejati. Terutama di wilayah-wilayah yang belum maju
perekonomiannya,-karena di situ mendesak sekali bahwa segala upaya
dikerahkan,-kesejahteraan umum sangat dibahayakan oleh mereka, yang membiarkan
harta-kekayaan mereka sia-sia tak terpakai, atau pun juga oleh mereka,
yang-tanpa emngurangi hak pribadi untuk beremigrasi-membiarkan masyarakat
mereka terbengkalai tanpa upaya-upaya jasmani maupun rohani yang justru
dibutuhkannya.
66. (Perbedaan-perbedaan besar di bidang
sosial ekonomi perlu disingkirkan).
Supaya tuntutan-tuntutan keadilan dan
kewajaran terpenuhi, harus diusahakan dengan sungguh-sungguh, agar-tanpa
mengurangi hak-hak pribadi dan kekhususan setiap bangsa-ketimpangan-ketimpangan
besar di bidang ekonomi, yang disertai diskriminasi perorangan maupun kolektif,
yang sekarang masih ada dan sering masih bertambah parah, secepat mungkin
disingkirkan. Begitu pula di banyak daerah, mengingat kesulitan-kesulitan
khusus di bidang pertanian untuk memproduksi maupun memasarkan hasil bumi, kaum
petani memerlukan bantuan baik untuk meningkatkan produksi dan memasarkan
hasilnya, maupun untuk mewujudkan perubahan-perubahan dan
pembaharuan-pembaharuan yang dibutuhkan, begitu pula untuk mendapat penghasilan
yang wajar, supaya-seperti masih sering terjadi-mereka jangan tetap termasuk
golongan masyarakat yang lebih rendah. Kaum petani sendiri, terutama angkatan
muda, hendaknya dengan cekatan berusaha meningkatkan keahlian profesional
mereka, yang mutlak perlu bagi perkembangan pertanian[141].
Begitu pula keadilan dan kewajaran menuntut,
supaya mobilitas[142], yang mau tak mau menyertai perkembangan ekonomi, diatur
dengan baik, supaya kehidupan orang-orang perorangan beserta keluarga mereka
jangan kehilangan kepastiannya dan jangan menjadi tidak menentu. Terhadap kaum
buruh, yang berasal dari bangsa atau daerah lain, dan yang menyumbangkan kerja
mereka bagi pertumbuhan ekonomi bangsa atau daerah tertentu, hendaknya dengan
sungguh-sungguh dihindari setiap diskriminasi mengenai pembayaran upay maupun
kondisi kerja. Selain itu semua saja, terutama para pejabat pemerintah,
janganlah memandang para pekerja pendatang itu sebagai upaya-upaya produksi
melulu, melainkan sebagai pribadi-pribadi, yang harus dibantu untuk
mendatangkan keluarga mereka, untuk mengusahakan kediaman yang layak, dan untuk
berintergrasi dalam kehidupan sosial bangsa serta daerah yang menampung mereka. Akan tetapi sedapat mungkin
hendaknya di daerah-daerah mereka sendiri diciptakan lapangan kerja.
Dalam dunia ekonomi yang sekarang ini
mengalami perubahan-perubahan, seperti dalam pola-pola baru masyarakat
industri, yang misalnya saja ditandai oleh berkembangnya ”otomatisme”, perlu
diusahakan, supaya bagi setiap orang tersedialah pekerjaan yang cukup dan
cocok, begitu pula peluang bagi pendidikan kejuruan dan profesional yang
sesuai, dan supaya tetap terjaminlah nafkah hidup serta keluhuran martabat
manusia, terutama bagi mereka yang menghadapi kesukaran-kesukaran cukup besar,
karena menderita penyakit atau sudah lanjut usia.
ARTIKEL DUA: BEBERAPA PRINSIP YANG MENGATUR
SELURUH KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI
67.
(Kerja, persyaratan kerja, istirahat).
Kerja manusia, yang dilaksanakan untuk
produksi danpertukaran barang-barang dan untuk menyediakan jasa-jasa di bidang
ekonomi, lebih penting dari pada unsur-unsur kehidupan ekonomi lainnya, yang
bernilai melulu sebagai sarana-sarana.
Sebab kerja itu, entah dijalankan atas kemauan
sendiri atau berdasarkan kontrak dengan majikan, lagnsung bersumber pada
pribadi, yang seperti menaruh meterainya atas hal-hal di dunia ini, dan
menundukkannya kepada kehendaknya. Biasanya melalui kerjanya manusia mencari
nafkah bagi dirinya dan bagi mereka yang menjadi tanggungannya; ia menjalin
ikatan dengan saudara-saudarinya serta melayani mereka; ia dapat mengamalkan
cinta kasih yagn sejati, dan menyumbangkan kegiatannya demi penyempurnaan
ciptaan ilahi. Bahkan menurut keyakinan kita melalui kerja, yang dipersembahkan
kepada Allah, manusia digabungkan pada karya penebusan Yesus Kristus sendiri,
yang ketika Ia di Nazareth bekerja dengan tangan-Nya sendiri-memberi martabat
yang luhur kepada kerja. Dari situ timbullah bagi setiap orang kewajjiban untuk
bekerja dengan setia, tetapi juga hak atas kerja. Termasuk tugas masyarakatlah:
sesuai dengan situasinya yang khas, membantu para anggotanya menemukan lapangan
kerja yang memadai. Akhirnya kerja harus mendapat imablannya sedemikian rupa,
sehingga bagi manusia tersedialah kemungkinan untuk secara layak mengembangkan
bagi dirinya maupun kaum kerabatnya kehidupan jasmani, sosial, budaya dan
rohani, dengan mempertimbangkan tugas serta produktivitas masing-masing, pun
juga situasi perusahaan dan kesejahteraan umum[143].
Karena kebanyakan kegiatan ekonomi
berlangsung berkat kerja sama sekelompok orang, maka tidak adil dan tidak
manusiawilah menggalang dan mengatur kegiatan itu sedemikian rupa, sehingga
merugikan siapa saja yang bekerja. Tetapi cukup sering terjadi, juga zaman
sekarang ini, bahwa mereka yang menajalankan pekerjaan dalam arti tertentu
menjadi budak pekerjaannya sendiri. Tidak pernah itu dapat dibenarkan oleh apa
yang disebut hukum-hukum ekonomi. Oleh karena itu seluruh proses kerja yang
produktif harus disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan pribadi dan dengan
kewajiban-kewajibannya yang lain; terutamadengan kehidupan rumahtangganya,
khususnya bila menyangkut para ibu rumahtangga, selalu dengan mengindahkan
usia, dan apakah menyangkut pria atau wanita. Kecuali itu bagi para pekerja
hendaknya disediakan kesempatan untuk melalui kerja mereka sendiri
mengembangkan bakat kemampuan serta pribadi mereka. Walaupun untuk bekerja
mereka dengan tanggung jawab semestinya menggunakan waktu maupun tenaga mereka
, hendaknya mereka semua toh mendapat istirahat dan mempunyai waktu terluang
secukupnya, untuk menghayati kehidupan keluarga, budaya, sosial dan keagamaan.
Bahkan hendaknya mereka mendapat peluang juga, untuk secara bebas mengembangkan
daya-kemampuan mereka, yang barangkali kurang dapat mereka tumbuhkan dalam
kerja profesional mereka.
68.
(Peranserta dalam tanggung jawab atas perusahaan dan seluruh pengaturan
perekonomian; konflik-konflik mengenai kerja).
Dalam kegiatan-kegiatan ekonomi bergabunglah
pribadi-pribadi, yang bebas dan otonom, diciptakan menurut citra Allah. Oleh
karena itu, sementara diperhatikan tugas-tugas masing-masing, entah para
pemilik atau majikan, entah para pemimpin perusahaan atau buruh, dan tanpa
melemahkan kesatuan kepemimpinan perusahaan yang tetap diperlukan, hendaknya
adengan cara-cara yang harus ditentukan dengan cermat dikembangkan peranserta
aktif semua anggota dalam kebijakan perusahaan[144]. Tetapi karena seringkali
keputusan-keputusan tentang kondisi-kondisi sosial ekonomi diambil tidak lagi
oleh perusahaan sendiri, melainkan oleh lembaga-lembaga pada tingkat lebih
tinggi,-padahal dari keputusan-keputusan itu tergantung masa depan para pekerja
maupun anak-anak mereka,-maka hendaknya mereka sendiri berperanserta dalam
proses pengambilan keputusan, entah secara langsung, entah melalui wakil-wakil
yang mereka pilih dengan bebas.
Di antara hak-hak pribadi manusia yang paling
dasar perlu disebutkan hak kaum buruh untuk secara bebas membentuk
serikat-serikat, yang sungguh-sungguh mewakili mereka, dan dapat membantu untuk
mengatur kehidupan ekonomi dengan saksama, selain itu hak untuk secara bebas
ikut serta dalam kegiatan serikat-serikat itu tanpa risiko dikenai sangsi.
Melalui partisipasi yang diatur seperti itu, disertai dengan pembinaan sosial
ekonomi yang makin maju, akan makin berkembanglah pada semua kesadaran akan
tugas maupun kewajiban masing-masing. Dengan demikian mereka akan dibantu untuk
merasa diri terlibat, masing-masing menurut kemampuan serta kecakapannya
sendiri, dalam seluruh usaha pengembangan sosial ekonomi dan dalam usaha
mewujudkan kesejahteraan umum.
Tetapi bila timbul konflik-konflik sosial
ekonomi, perlu diusahakan supaya dicapai pemecahannya secara damai. Meskipun
selalu pertama-tama harus diusahakan musyawarah yang jujur antara pihak-pihak
yang berkepentingan, tetapi pemogokan, juga dalam situasi zaman sekarang, tetap
dapat merupakan upaya yagn sungguh perlu, kendati upaya terakhir, untuk
memperjuangkan hak-haknya sendiri, dan supaya terpenuhilah tuntutan-tuntutan
para buruh yang wajar. Tetapi hendaknya secepat mungkin diusahakan untuk
kembali mengadakan perundingan dan dialog guna mencapai mufakat.
69. (Harta-benda bumi diperuntukkan bagi
semua orang).
Allah menghendaki, supaya bumi beserta segala
isinya digunakan oleh semua orang dan sekalian bangsa, sehingga harta-benda
yang tercipta dengan cara yagn wajar harus mencapai semua orang, berpedoman pad
akeadilan, diiringi dengan cinta kasih[145]. Bagaimana pun bentuk-bentuk
pemilikan, sesuai ketetapan-ketetapan hukum bangsa-bangsa, pun menurut situasi
yang serba berbeda dan berubah-ubah, selalu harus diindahkan bahwa harta-benda
bumi diperuntukkan bagi semua orang. Oleh karena itu manusia, sementara
menggunakannya, harus memandang hal-hal lahiriah yang dimilikinya secara sah
bukan hanya sebagai milikny asendiri, melainkan juga sebagai milik umum, dalam
arti bahwa hal-hal itu dapat berguna tidak hanya bagi dirinya sendiri,
melainkan juga bagi sesamanya[146]. Tetapi semua orang berhak memiliki sebagian
harta-benda sehingga mencukupi bagi dirinya maupun kaum-kerabatnya. Begitulah
pandangan para Bapa dan Pujangga Gereja, yang mengajarkan, bahwa manusia wajib
meringankan beban kaum miskin, itu pun bukan hanya dari kelebihan
miliknya[147]. Mereka yang menghadapi kebutuhan darurat, berhak untuk mengambil
dari kekayaan orang-orang lain apa yang sungguh dibutuhkannya[148]. Karena di
dunia ini begitu banyaklah orang yang kelaparan, Konsili mendesak semua orang,
masing-masing secara perorangan, maupun mereka yang berwenang, supaya
mengenangkan pernyataan para Bapa:”Berilah makan kepada orang yang akan mati
kelaparan; sebab bila engkau tidak memberinya makan, engkau membunuhnya”[149],
dan sesuai dengan kemampuan masing-masing, sungguh membagikan dan menggunakan
harta-benda mereka, terutama dengan menyediakan bagi orang-orang perorangan
maupun bangsa-bangsa upaya-upaya, yang memungkinkan mereka itu untuk menolong
diri dan mengembangkan diri.
Dalam masyarakat-masyarakat, yang
perekonomiannya belum maju, tidak jarang asas, bahwa harta-benda diperuntukkan
bagi semua orang, sebagian terwujudkan berdasarkan adat-istiadat dan
tradisi-tradisi yang khas bagi masyarakat tertentu; yakni: masing-masing
anggotanya menerima apa yang sungguh-sungguh dibutuhkannya. Tetapi perlu
dihindari, jangan sampai kebiasaan-kebiasaan tertentu dianggap sama sekali
tidak dapat berubah, kalau ternyata sudah tidak menanggapi tuntutan-tuntutan
baru zaman sekarang lagi. Di lain pihak, hendaknya orang jangan secara tidak
bijaksana bertindak melawan kebiasaan-kebiasaan yang terhormat, yang asal saja
disesuaikan dengan situasi zaman sekarang, tetap masih sangat bermanfaat.
Begitu pula pada bangsa-bangsa yang perekonomiannya sudah sangat maju, suatu
jaringan lembaga-lembaga sosial untuk asuransi dan jaminan sosial dari pihaknya
dapat mempraktekkan prinsip, bahwa harta-benda diperuntukkan bagi semua orang.
Selanjutnya perlu dikembangkan jasa-pelayanan keluarga dan sosial, terutama
yang bertujuan pembinaan jiwa dan pendidikan. Tetapi dalam menyelenggarakan itu
semua toh harus dijaga, supaya para warga jangan sampai secara pasif melulu
menyerahkan segalanya kepada masyarakat, atau menolak beban tugas yang sudah
disanggupi dan tidak sanggup menjalankan pelayanan.
70.
(Penanaman modal dan masalah moneter).
Penanaman modal harus diarahkan kepada
penyediaan lapangan verja dan penghasilan yang mencukupupi bagi masyarakat
Semarang maupun di masa mendatang. Barangsiapa mengambil keputusan-keputusan
tentang investasi-investasi itu dan tentang penataan perekonomian,-entah
perorangan, entah kelompok-kelompok, atau pejabat-pejabat pemerintah,-wajib
memperhatikan tujuan-tujuan itu. Mereka harus pula memandang sebagai kewajiban
yang berat: di satu pihak menjaga, supaya diusahakan segala sesuatu yang
dibutuhkan untuk hidup secara layak manusiawi, baik bagi warga perorangan
maupun bagi seluruh masyarakat; dilain pihak memperhitungkan masa depan, dan
menetapkan keseimbangan yang sewajarnya antara kebutuhan-kebutuhan penggunaan
masa Semarang, baik perorangan maupun kolektif, dan tuntutan-tuntutan investasi
bagi generasi mendatang. Hendaknya selalu diperhitungkan juga
kebutuhan-kebutuhan yang serba mendesak di antara bangsa-bangsa dan di
daerah-daerah yang belum maju perekonomiannya. Di bidang moneter hendaknya
diusahakan, jangan sampai kesejahteraan bangsa sendiri serta bangsa-bangsa lain
dirugikan. Kecuali itu hendaknya diupayakan, agar kaum ekonomi lemah jangan
sampai menderita kerugian yang tidak adil akibat perubahan nilai mata uang.
71.
(Soal memperoleh harta-milik dan milik perorangan masalah tuan tanah).
Harta-milik dan betnuk-bentuk lain pemilikan
perorangan atas harta-benda lahiriah berperanserta dalam pengungkapan pribadi.
Selain itu membuka peluang baginya untuk menunaikan tugasnya dalam masyarakat
dan di bidang ekonomi. Maka amat pentinglah, bahwa tetap terbuka kemungkinan
memperoleh suatu hak milik atas hal-hal lahiriah.
Milik perorangan atau suatu penguasaan atas
harta-benda lahiriah memberi setiap orang ruang yang sungguh perlu untuk
mengembangkan otonomi pribadi maupun keluarganya, dan harus dipandang bagaikan
perluasan kebebasan manusiawi. Selanjutnya, karena iktu mendorong pelaksanaan
tugas-kewajiban, merupakan suatu syarat bagi kebebasan warga masyarakat[150].
Bentuk-bentuk penguasaan atau pemilikan
semacam itu sekarang ini bermacam-macam dan makin lama makin beraneka. Tetapi
kesemuanya-disamping jaminan-jaminan sosial, perundang-undangan dan jasa
pelayanan yang disediakan oleh masyarakat,- tetap merupakan sumber keamanan
yang tidak dapat diabaikan. Itu berlaku bukan hanya tentang harta-milik
jasmini, melainkan juga tentang kekayaan rohani, seperti kemampuan-kemampuan
profesional.
Adapun hak atas milik perorangan tidak
bertentangkan dengan baik yang ada pada pelbagai bentuk milik negara.
Perpindahan harta menjadi milik negara hanya dapat dilaksanakan oleh kewibawaan
yang berwenang, sesuai dengna tuntutan-tuntutan kesejahteraan umum dan di dalam
batas-batasnya, dengan diberikannya ganti rugi yang sungguh wajar. Selain itu
termasuk tugas pemerintah: mencegah, jangan sampai ada yang menyalahgunakan
milik perorangan melawan kesejateraan umum[151].
Tetapi milik perorangan sendiri pun menurut
hakekatnya mempunyai sifat sosial juga, yang didasarkan pada prinsip:
harta-milik diperuntukkan bagi semua orang[152]. Bila sifat sosial itu diabaikan,
harta-milik sering sekali membuka peluang bagi keserakahan dan kekacauan yang
parah, sehingga para penentang menemukan dalih untuk melawan hak atau milik
perorangan.
Di banyak daerah yang belum maju
perekonomiannya terdapat bidang-bidang tanah yang luas, bahkan sangat luas,
yang hanya setengah dikerjakan, atau demi keuntungan dibiarkan tidak dikerjakan
sama sekali, sendangkan masyoritas rakyat atau tidak mempunyai tanah, atau
hanya memiliki ladang yang sempit sekali. Padahal di lain pihak sangat jelas,
betapa sungguh mendesak ladang-ladang ditingkatkan buah-hasilnya. Tidak jarang
kaum buruh yang dipekerjakan oleh tuan-tuan tanah, atau yang mengolah sebagian
tanah sebagai tanah sewaan saja, hanya menerima upah atau mendapat bagi hasil
yang benar-benar tidak layak manusiawi, tidak mempunyai rumah yang pantas, dan
dihisap oleh petugas-petugas penengah. Mereka sedikit pun tidak mendapat
jaminan keamanan, danhidup dalam perhambaan pribadi sedemikian rupa, sehingga
kemampuan untuk bertindak atas kehendak sendiri dan secara bertanggung jawab
praktis dirampas dari mereka, dan setiap kemajuan di bidang budaya serta setiap
peranserta dalam kehidupan sosial dan politik bagi mereka tidak terjangkau.
Maka menganggapi pelbagai situasi itu amat perlulah perombakan-perombakan:
penghasilan perlu dinaikkan, kondisi-kondisi kerja harus diperbaiki, dalam
mempekerjakan buruh dibutuhkan kepastian sosial, dan diperlukan dorongan untuk
bekerja atas kemampuan sendiri; bahkan tanah yang kurang dikerjakan harus
dibagikan kepada mereka, yang mampu menjadikannya tanah subur. Dalam situasi
itu perlu disediakan sarana-sarana dan upaya-upaya yang dibutuhkan, terutama
bantuan pendidikan dan kesempatan untuk membentuk badan koperasi yang teratur.
Tetapi setiap kali kesejahteraan umum meminta pengambil-alihan harta-milik,
harus ditetapkan ganti rugi berdasarkan keadilan, dengan mempertimbangkan
seluruh situasi.
72.
(Kegiatan sosial ekonomi dan Kerajaan Kristus).
Umat Kristen, yang secara aktif melibatkan
diri dalam perkembangan sosial ekonomi zaman sekarang, serta membela keadilan
dan cinta kasih, hendaknya menyadari , bahwa mereka dapat berjasa besar bagi
kesejahteraan umat manusia dan perdamaian dunia. Dalam kegiatan-kegiatan itu
hendaknya mereka masing-masing maupun sebagai kelompok memberi teladan yang
cemerlang. Dengan kemahiran serta pengalaman yang mereka peroleh dan memang
sungguh dibutuhkan, hendaknya mereka mempertahankan tata nilai yang sebenarnya
di tengah kegiatan mereka di dunia , serta tetap setia terhadap Kristus dan
Injil-Nya, sehingga seluruh hidup mereka, sebagai perorangan maupun anggota
masyarakat, diresapi oleh semangat Sabda Bahagia, khususnya semangat
kemiskinan.
Barangsiapa patuh-taat kepada Kristus, dan
pertama-tama mencari Kerajaan Allah, akan menimba dari padanya cinta kasih yang
lebih kuat dan lebih jernih, untuk
membantu semua saudara-saudari, dan untuk berjiwakan cinta kasih melaksanakan
karya keadilan[153].
BAB EMPAT
HIDUP BERNEGARA
73.
(Kehidupan umum zaman sekarang).
Zaman sekarang ini ternyta berlangsung
perubahan-perubahan yang mendalam, juga dalam struktur kemasyarakatan dan
lembaga-lembaga bangsa-bangsa, yagn disebabkan oleh perkembangan mereka
dibidang budaya, ekonomi dan sosial. Perubahan-perubahan itu berpengaruh besar
atas hidup bernegara, terutama mengenai hak-hak dankewajiban-kewajiban semua
orang dalam mengamalkan kebebasan mereka sebagai warganegara dan dalam
mengusahakan kesejahteraan umum, pun juga mengenai cara mengatur hubungan antar
warganegara maupun hubungan mereka dengan pemerintah.
Kesadaran akan martabat manusia semkain
mendalam. Maka dipelbagai kawasan dunia ini muncullah usaha untuk membaharui
tata politik berdasarkan hukum, supaya hak-hak pribadi dalam kehidupan umum
lebih dilindungi, misalnya hak untuk dengan bebas mengadakan pertemuan dan
mendirikan organisasi; hak untuk mengungkapkan pendapat-pendapatnya sendiri,
dan untuk mengamalkan agama sebagai perorangan maupun di muka umum. Sebab
terjaminnya hak-hak pribadi merupakan syarat mutlak, supay apara warganegara,
masing-masing maupun secara kolektif, dapat berperan serta secara aktif dalam
kehidupan dan pemerintahan negara.
Seiring dengan kemajuan di bidang budaya,
ekonomi dan sosial, pada banyak orang makin kuatlah kemauan untuk memainkan
peranan lebih besar dalam mengatur hidup bernegara. Dalam kesadaran banyak
orang makinmendesaklah hasrat, supaya hak-hak kelompok-kelompok minoritas suatu
bangsa dipertahankan, tanpa mengabaikan kewajiban-kewajiban mereka terhadap
negara. Kecuali itu makinkuatlah sikap hormat terhadap orang-orang yang
berpandangan lain atau yang menganut agama lain. Serta merta makin meluaslah
kerja sama, supaya semua warganegara, dan bukan hanya beberapa orang saja ya gn
mempunyai hak istimewa, benar-benar dapat memanfaatkan hak-hak pribadi mereka.
Di lain pihak ada sikap menolak terhadap
semua sistem politik, yang masih berlaku di berbagai kawasan, dan yang
merintangi kebebasan kewarganegaraan dan keagamaan, menimbulkan jauh lebih b
anyak korban ambisi dan kejahatan politk, serta menggunakan kewibawaan mereka
bukan demi kesejahteraan umum, melainkan demi keuntungan suatu partai atau para
pemimpin sendiri.
Untuk membangun kehidupan politik yang
sungguhmanusiawi,tidak ada yagnlebih baik dari pada menumbuhkan semangat batin
keadilan dankebaikanhati serta pengabdian demi kesejahteraan umum, lagi pula
memantapkan keyakinan-keyakinan dasar tentang hakikat sejati negara, dan
tentang tujuan, tepatnya pelaksanaan serta batas-batas wewenang pemerintah.
74.
(Hakikat dan tujuan negara).
Orang-orang, keluarga-keluarga dan pelbagai kelompok, yang bersama-sama
membentuk masyarakat sipil, menyadari kurangnya kemampuan mereka untuk
mewujudkan kehidupan sungguh manusiawi. Mereka memahami perlunya rukun hidup
bersama yang lebih luas, yang memberi ruang kepada semua anggotanya, untuk dari
hari ke hari menyumbangkan tenaga mereka sendiri demi semakin terwujudnya
kesejahteraan umum[154]. Oleh sebab itu mereka membentuk negara menurut
pelbagai pola. Maka negara ada demi kesejahteraan umum, menemukan dasar
keberadaanya sepenuhnya serta maknanya dalam kesejahteraan itu, dan mendasarkan
hak kemandiriannya yang otentik padanya. Kesejahteraan umum mencakup
keseluruhan kondisi-kondisi kehidupan sosial, yang memungkinkan orang-orang,
keluarga-keluarga dan perhimpunan-perhimpunan mencapai kesempurnaan mereka
secara lebih penuh dan lebih mudah[155].
Memang banyak dan bermacam-macamlah orang-orang, yang berhimpun
mewumudkan negara, dan dapat secara wajar merasa condong kepada pelbagai
pendapat. Maka supaya jangan sampai, karena masing-masing mengikuti
pandangannya sendiri, negara, negara itu terpecah-belah, diperlukan kewibawaan,
yang mengarahkan daya-kemampuan semua warganya kepada kesejahteraan umum, tidak
secara mekanis atau otoriter, melainkan terutama sebagai kekuatan moril, yang
bertumpu pada kebebasan dan kesadaran akan kewajian serta beban yang telah
mereka terima sendiri.
Dengan demikian jelaslah negara dan pemerintah mempunyai dasarnya pada
kodrat manusia, dan karena itu termasuk tatanan yang ditetapkan oleh Allah.
Sedangkan penentuan sistem pemerintahan dan penunjukkan para pejabat pemerintah
hendaknya diserahkan kepada kebebasan kehendak para warganegara[156].
Kesimpulannya pula ialah, bahwa
pelaksanaan kekuasaan politik, baik dalam masyarakat sendiri, maupun di
lembaga-lembaga yang mewakili negara, selalu harus berlangsung dalam
batas-batas tata moral, untuk mewujudkan kesejahteraan umum yang diartikan
secara dinamis, menunurut tata perundang-undangan yang telah dan harus
ditetapkan secara sah. Maka para warganegara wajib patuh-taat berdasarkan
hatinurani mereka[157]. Dari situ jelas jugalah tanggung jawab, martabat dan
kewibawaan para penguasa.
Tetapi, bila para warganegara mengalami tekanan dari pihak pemerintah
yang melampau batas wewenangnya, hendaknya mereka jangan menolak apa pun, yang
secara obyektif memang dituntut demi kesejahteraan umum. Tetapi boleh saja
mereka memperjuangkan hak-hak mereka serta sesama warganegara melawan
penyalahgunaan kekuasaan itu, dengan tetap mengindahkan batas-batas, yang
digariskan oleh hukum kodrati dan Injil.
Pola-pola kongkrit, yang bagi negara menjadi pedoman untuk mengatur tata
susunannya sendiri dan berfungsinya pemerintahan, dapat bermacam-ragam sesuai
dengan sifat-perangai bangsa-bangsa dan perjalanan sejarah. Tetapi selalu harus
mengabdi kepada pembinaan manusia yang berbudaya, cinta damai dan berbaik hati
terhadap siapa saja, demi keuntungan segenap keluarga manusia.
75.
(Kerja sama semua orang dalam kehidupan umum).
Sama sekali sesuailah dengan
kodrat manusia menemukan struktur-struktur politik berdasarkan hukum, yang
selalu semakin baik dan tanpa diskriminasi membuka kesempatan efektif bagi
semua warganegara, untuk secara bebeas dan aktif berperanserta baik dalam menetapkan
dasar-dasar hukum bagi negara, dalam menentukan sistem pemerintahan negara dan
bidang-bidang serta sasaran-sasaran pelbagai lembaganya, maupun dalam
pemilihan para pejabat pemerintah[158].
Maka hendakn ya semua warganegara menyadari hak maupun kewajibannya untuk
secara bebas menggunakan hak suara mereka guna meningkatkan kesejahteraan umum.
Gereja memandang layak dipuji dan
dihormati kegiatan mereka, yang demi pengabdian kepada sesama membaktikan diri
kepada kesejateraan negara dan sanggup memikul beban kewajiban mereka.
Supaya kerja sama para warganegara, dijiwai kesadaran akan kewajiban
mereka, dalam kehidupan sehari-hari negara berhasil dengan baik, dibutuhkan
tata hukum positif, yang mencantumkan pembagian tugas-tugas serta lembaga-lembaga
pemerintah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, pun juga perlindungan hak-hak
yang efektif dan tidak merugikan siapa pun. Hendaknya diakui, dipatuhi dan
didukung hak-hak semua pribadi, keluarga-keluarga dan kelompok-kelompok beserta
pelaksanaannya[159], begitu pula kewajiban-kewajiban yang mengikat semua
warganegara. Di antaranya perlu disebutkan kewajiban untuk menunaikan
pelayanan-pelayanan materiil maupun personal bagi negara, yang diperlukan demi
kesejahteraan umum. Hendaknya para penguasa jangan menghalang-halangi
kelompok-kelompok keluarga, sosial atau budaya, instansi-instansi atau
lembaga-lembaga pengantara. Jangan pula mencabut ruang kegiatan mereka yang sah
dan efektif. Melainkan hendaknya para penguasa berusaha mengembangkan dengan
sukarela dan secara teratur kegiatan-kegiatan itu. Di pihak lain hendaknya para
warganegara, baik sebagai perorangan maupun secara kolektif, jangan menyerahkan
kekuasaan terlampau besar kepada pemerintah. Mereka jangan pula menuntut
keuntungan-keuntungan serta kemudahan-kemudahan yang berlebihan dan tidak pada
tempatnya dari pemerintah, sehingga mengurangi beban kewajiban perorangan,
keluarga-keluarga maupun kelompok-kelompok sosial.
Karena situasi zaman sekarang yang cukup rumit pemerintah sering terpaksa
bercampur tangan dalam soal-soal sosial, ekonomi dan budaya, untuk menciptakan
kondisi-kondisi yang lebih menguntungkan, sehingga para warganegara maupun
klompok-kelompok dibantu secara lebih efektif untuksecara sukarela mengusahakan
kesejahteraan manusia seutuhnya. Sesuai dengan kemajemukan wilayah-wilayah
danperkembangan bangsa-bangsa, hubungan-hubungan antara sosialisasi[160] dan
otonomi serta perekembangan pribadi dapat diberi arti bermacam-macam. Tetapi
bila demi kesejahteraan umum pelaksanaan hak-hak untuk sementara dibatasi,
hendaknya kebebasan selekas mungkin dikembalikan kalau keadaan sudah berubah.
Tetapi adalah bertentangan dengan kemanusiaan, bila kekuasaan politik jatuh ke
dalam bentuk-bentuk totaliter atau diktatorial, sehingga melanggar hak-hak
pribadi maupun kelompok-kelompok sosial.
Hendaknya para warganegara dengan kebebsaran jiwa dan kesetiaan memupuk
cinta tanah air, tetapi tanpa berpandangan picik, sehingga serentak tetap
memperhatiakn kesejahteraan segenap keluarga manusia, yang terhimpun melalui
pelbagai ikatan antar suku, antar bangsa dan antar negara.
Hendaknya segenap umat kristen menyadari panggilan mereka yang khas
dalam negara. Di situlah harus terpancarkan teladan mereka, yang terikat oleh
kesadaran akan kewajiban mereka mengabdikan diri kepada kesejahteraan umum yang
memang perlu ditingkatkan. Dengan demikian mereka menunjukkan dengan tindakan
yang nyata pula, bagaimana kewibawaan dapat diselaraskan dengan kebebasan,
prakarsa perorangan dengan keterikatan pada struktur-struktur seluruh tubuh
kemasyarakatan, kesatuan yagn diinginkan dengan kemajemukan yang menguntungkan.
Hendaknya mereka mengakui adanya pandangan-pandangan yang kendati berbeda satu
dengan lainnya, toh beralasan juga, mengenai cara mengatur hal-ihwal duniawi,
dan tetap menghormati sesama warganegara, yang dengan tulus membela
pendapat-pendapat itu, juga sebagai anggota partai. Partai-partai politik wajib
mendukung segala sesuatu, yang menurut pandangan mereka dibutuhkan bagi
kesejahteraan umum. Tetapi tidak pernah keuntungan pribadi boleh didahulukan
terhadap kesejahteraan umum.
Hendaknya secara intensif diusahakan pembinaan kewarganegaraan dan
politik, yang sekarang ini perlu sekali bagi masyarakat dan terutama bagi
generasi muda, supaya semua warganegara mampu memainkan peranannya dalam hidup
bernegara. Mereka yang cakap atau berbakat hendaknya menyiapkan diri untuk
mencapai keahlian politik, yang sukar dan sekaligus amat luhur[161], dan
berusaha mengamalkannya, tanpa memperhitungkan kepentingan pribadi atau
keuntungan materiil. Hendaknya mereka dengan keutuhan kepribadiannya dan
kebijaksanaan menentang ketidakadilan danpenindasan, kekuasaan sewenang-wenang
dan sikap tidak bertenggang rasa satu orang atau partai politik. Hendaknya
mereka secara jujur dan wajar, malahan dengan cinta kasih dan ketegasan
politik, membaktikan diri bagi kesejahteraan semua orang.
76.
(Negara dan Gereja).
Terutama dalam masyarakat yang bersifat majemuk, sangat pentinglah bahwa
orang-orang mempunyai pandangan yang tepat tentang hubungan antara negara dan
Gereja, dan bahwa ada pembedaan yang jelas antara apa yang dijalankan oleh umat
kristen, entah sebagai perorangan entah secara kolektif, atas nama mereka
sendiri selaku warganegara, dibawah bimbingan suara hati kristiani, dan di
pihak lain apa yang mereka jalankan atas nama Gereja bersama para gembala
mereka.
Berdasarkan tugas maupun wewenangnya Gereja sama sekali tidak dapat
dicampuradukkan dengan negara, dan tidak terikat pada sistem politik mana pun
juga. Sekaligus Gereja itu menjadi tanda dan perlindungan transendensi pribadi
manusia.
Di bidang masing-masing negara dan Gereja bersifat otonom, tidak saling
tergantung. Tetapi keduannya, kendati atas dasar yang berbeda, melayani
panggilan pribadi dan sosial orang-orang yang sama. Pelayanan itu akan semakin
efektif dijalankan oleh keduanya demi kesejahteraan umum, semakin baik
keduannya menjalin kerja sama yang sehat, dengan mengindahkan situasi setempat
dan semasa. Sebab manusia tidak terkungkung dalam tata duniawi melulu,
melainkan sementara mengarungi sejarah manusiawi ia sepenuhnya mengabdi kepada
panggilannya untuk kehidupan kekal. Gereja yang bertumpu pada cinta kasih Sang
Penebus, menyumbangkan bantuannya, supaya di dalam kawasan bangsa sendiri dan antara bagnsa-bangsamakin
meluaslah keadilan dan cinta kasih. Dengan mewartakan kebenaran Injil, dan
dengan menyinari semua bidang kegiatan manusiawi melalui ajarannya dan melalui
kesaksian umat kristen, Gereja juga menghormati dan mengembangkan kebebasan
serta tanggung jawab politik para
warganegara.
Para Rasul danpara pengganti mereka beserta rekan-rekan sekerja mereka
diutus untuk mewartakan Kristus Penebus dunia kepada masyarakat. Dalam
menjalankan kerasulan mereka mengandalkan kekuasaan Allah, yang sering sekali
justru dalam kelemahan para saksi menampilkan kekuatan Injil. Sebab barangsiapa
membaktikandiri kepad pelayanan sabda Allah, harus menggunakan cara-cara serta
bantuan-bantuan yang khas bagi Injil, yang dalam banyak hal berlainan dengan
sumber-sumber daya masyarakat duniawi.
Hal-hal duniawi dan perkara-perkara, yang dalam kondisi hidup manusia
melampaui dunia ini, berhubungan erat sekali; dan Gereja memanfaatkan hal-hal
duniawi sejauh dibutuhkan oleh perutusannya. Tetapi Gereja tidak menaruh
harapannya atas hak-hak istimewa yang ditawarkan oleh pemerintah. Bahkan akan
melepaskan penggunaan hak-hak tertentu yang diperolehnya secara sah, bila
karena penggunaanya ketulusan kesaksiannya ternyata disangsikan, atau bila
kondisi-kondisi kehidupan yang baru memerlukan pengaturan yang lain. Tetapi
selalu dan di mana-mana hendaknya ia diperbolehkan dengankebebesan yagn sejati
mewartakan imian, menyampaikan ajaran sosialnya, menunaikan tugasnnya dalam
masyarakat tanpa dihalang-halangi, dan menyampaikan penilaian morilnya, juga
tentang hal-hal yang menyangkut tata politik, bila itu dituntut oleh hak-hak
asasi manusia atau oleh keselamatan jiwa-jiwa, dengna menggunakan semua dan
hanya bantuan-bantuan, yang sesuai dengan Injil serta kesejahteraan semua
orang, menanggapi zaman maupun situasi yang berbeda-beda.
Sementara Gereja dengan setia berpaut pada Injil, dan menunaikan
perutusannya di dunia, Gereja, yang dipanggil untuk memelihara serta memupuk
apa pun yang serba benar, baik dan indah dalam masyarakat manusia[162]
,memantapkan perdamaian di antara manusia demi kemuliaan Allah[163].
BAB LIMA
USAHA DEMI PERDAMAIAN DAN PEMBENTUKAN
PERSEKUTUAN BANGSA-BANGSA
77.
(Pendahuluan).
Beberapa tahunini ditandai oleh kesengsaraan dan kesukaran-kesukaran
akibat perang yang sedang berkecamuk atau karena ancaman perang. Penderitaan
dan kesulitan-kesulitan itu masih tetap berlangsung dan Sangay membebani
masyarakat. Segenap keluarga manusia telah mencapai saat yang Amat iritis dalam
proses pendewasaannya. Umat manusia, yang lambat-laun telah berhimpun dan di
mana-mana sudah lebih menyadari kesatuannya, menghadapi tugas, yakni membangun
dunia yang sungguh-sungguh lebih manusiawi bagi semua orang di mana pun juga.
Tugas itu hanya dapat dilaksanakan, bila semua orang dengan semangat baru
mengarahkan diri kepada perdamaian yang sejati. Karena itulah amanat Injil,
yang menanggapi usaha-usaha dan aspirasi-aspirasi umat manusia yang luhur,
zaman sekarang ini memancarkan cahaya baru, sambil menyatakan para pembawa
damai bahagia, “karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Mat 5:9).
Oleh karena itu Konsili, sambil menjelaskan makna perdamaian yagn
otentik dan amat luhur, serta mengecam keganasan perang, bermaksud menyerukan
penuh semagnat kepada umat kristen, supaya dengan bantuan Kristus Pencipta
damai bekerja sama dengan semua orang untuk menggalang perdamaian dalam
keadilan dan cinta kasih di antara mereka, dan untuk menyediakan upaya-upaya
perdamaian.
78.
(Hakikat perdamaian).
Damai tidak melulu berarti tidak ada perang, tidak pula dapat diartikan
sekedar menjaga keseimbangan saja antara kekuatan-kekuatan yang berlawanan.
Damai juga tidak terwujud akibat kekuasaan diktatorial. Melainkan dengan tepat
dan cermat disebut “hasil karya keadilan” (Yes 32:17). Damai merupakan buah
hasil tata-tertib, yang oleh Sang Pencipta ilahi ditanamkan dalam masyarakat
manusia, dan harus diwujudkan secara nyata oleh mereka yang haus akan keadilan
yang makin sempurna. Sebab kesejahteraan umum bangsa manusia dalam kenyataannya
yang palilng mendasar berada di bawah hukum yang kekal. Tetapi mengenai
tuntutannya yang konkrit perdamaian tergantung dariperubahan-perubahan yang
silih berganti di sepanjang masa. Maka tidak pernah perdamaian tercapai sekali
untuk seterusnya, melainkan harus terus menerus dibangun. Kecuali itu, karena
kehendak manusia mudah goncang, dan terlukai oleh dosa, usaha menciptakan
perdamaian menuntut, supaya setiap orang tiada hentinya mengendalikan
nafsu-nafsunya, dan memerlukan kewaspadaan pihak penguasa yang berwenang.
Akan tetapi itu tidak cukup. Perdamaian itu di dunia tidak dapat
dicapai, kalau kesejahteraan pribadi-pribadi tidak dijamin, atau orang-orang
tidak penuh kepercayaan dan dengan rela hati saling berbagi kekayaan jiwa
maupun daya cipta mereka. Kehendak yang kuat untuk menghormati sesama dan
bangsa-bangsa lain serta martabat mereka, begitu pula kesungguhan menghayati
persaudaraan secara nyata mutlak perlu untuk mewujudkan perdamaian. Demikianlah
perdamaian merupakan buah cinta kasih juga, yang masih melampaui apa yang dapat
dicapai melalui keadilan.
Damai di dunia ini, yang lahir dari cinta kasih terhadap sesama,
merupakan cermin dan buah damai Kristus, yang berasal dari Allah Bapa. Sebab
Putera sendiri yang menjelma, Pangeran damai, melalui salib-Nya telah
mendamaikan semua orang dengan Allah. Sambil mengembalikan kesatuan semua orang
dalam satu bangsa dan satu tubuh, Ia telah membunuh kebencian dalam daging-Nya
sendiri[164], dan sesudah dimuliakan dalam kebangkitan-Nya Ia telah mencurahkan
Roh cinta kasih ke dalam hati orang-orang.
Oleh karena itu segenap umat kristen dipanggil dengan mendesak, supaya
”sambil melaksanakan kebenaran dalam cinta kasih” (Ef 4:15), menggabungkan diri
dengan mereka yang sungguh cinta damai, untuk memohon dan mewujudkan
perdamaian.
Digerakkan oleh semangat itu juga, kami merasa wajib memuji mereka, yagn
dalam memperjuangkan hak-hak manusia menolak untuk menggunakan kekerasan, dan
menempuh upaya-upaya pembelaan, yang tersedia pula bagi mereka yang tergolong
lemah, asal itu dapat terlaksana tanpa melanggar hak-hak serta
kewajiban-kewajiban sesama maupun masyarakat.
Karena manusia itu pendosa, maka selalu terancam, dan hingga kedatangan
Kristus tetap akan terancam bahaya perang. Tetapi sejauh orang-orang terhimpun
oleh cinta kasih mengalahkan dosa, juga tindakan-tindakan kekerasan akan
diatasi, hingga terpenuhilah sabda: ”Mereka akan menempa pedang-pedang mereka
menjadi mata bajak, dan tombak-tombak mereka menjadi pisau pemangkas. Bangsa
tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi
belajar perang” (Yes 2:4).
ARTIKEL SATU: MENGHINDARI PERANG
79.
(Keganasan perang harus dikendalikan).
Sungguhpun perang-perang terakhir bagi dunia telah mendatangkan kerugian
besar sekali di bidang materiil maupun moril, dari hari ke hari pun di kawasan
tertentu dunia perang tetap masih menimbulkan pengrusakan-pengrusakan. Bahkan,
sementara dalam perang dikerahkan segala macam senjata teknologi tinggi,
keganasannya sangat dikawatirkan akan membawa mereka yang bertempur kepada
kebiadaban, yang jauh melampaui kekejaman di masa lampau. Selanjutnya kompleksnya
situasi zaman sekarang dan rumitnya hubungan-hubungan internasional
memungkinkan, bahwa dengan cara-cara baru yang subversif dan penuh
tipu-muslihat, perang dingin tetap berlarut-larut. Dalam banyak situasi
penggunaan metode-metode teror dipandang sebagai cara baru berperang.
Menyaksikan keadaan umat manusia yang separah itu, Konsili pertama-tama
bermaksud mengingatkan akan tetap masih berlakuknya hukum kodrati bangsa-bangsa
serta asas-asasnya yang bersifat universal. Kesadaran umat manusia sendiri
semakin lantang menyiarkan asas-asas itu. Maka tindakan-tindakan yang secara
sengaja menentangnya, dan perintah-perintah yang mengharuskan tindakan-tindakan
itu diambil, bersifat durhaka, dan kepatuhan buta pun tidak dapat membenarkan
mereka yang menaatinya. Di antaranya terutama pantas disebutkan
tindakan-tindakan yang berdasarkan dalih atau dengan cara tertentu
mengakibatkan binasanya suku atau bangsa secara keseluruhan atau suatu suku
yang merupakan minoritas. Tindakan-tindakan itu harus dikecam dengan tajam
sebagai kejahatan yang mengerikan. Dan terutama layak sekali dipuji semangat
mereka, yang tidak takut-takut melawan oknum-oknum yang memerintahkannya secara
terbuka.
Mengenai masalah perang terdapat berbagai perjanjian internasional, yang
didukung oleh cukup banyak bangsa, untuk mengusahakan supaya kegiatan-kegiatan
militer beserta akibat-akibatnya berkurang kekejamannya. Misalnya:
perjanjian-perjanjian menyangkut nasib serdadu-serdadu yang terluka atau
ditahan, dan pelbagai ketentuan yang serupa. Perjanjian-perjanjian itu
hendaknya dipatuhi. Bahkansemua saja, terutama pemerintah-pemerintah dan para
pakar di bidang itu, wajib mengusahakan sedapat mungkin, supaya
persetujuan-persetujuan itu disempurnakan, dan dengan demikian lebih baik dan
tepat-guna memperbuahkan pengendalian keganasan perang. Kecuali itu kirannya
sudah sewajarnya, bahwa perundang-undangan berdasarkan suarahati menolak untuk
mengangkat senjata, sedangkan mereka sanggup berbakti kepada masyarakat dengan
cara lain.
Memang perang belum enyah dari hidup
manusia. Tetapi, selama akan ada bahaya perang, dan tidak ada kewibawaan
internasional yang berwenang dan dilengkapi upaya-upaya yang memadai, selama
itu- bila semua upaya perundingan damai sudah digunakan – pemerintah-pemerintah
tidak dapat diingkari haknya atas pembelaan negara mereka yang sah. Maka para
negarawan dan siapa saja yang ikut memikul tanggung jawab atas negara, harus
memandang perkara-perkara seserius itu secara serius pula, dan bertugas memperjuangkan
keselamatan rakyat yang dipercayakan kepada mereka. Tetapi memang lainlah
menjalankan kegiatan militer untuk membela rakyat sebagaimana harusnya, berbeda
lagi maksud untuk menaklukkan bangsa-bangsa lain. Dan adanya kekuatan perang
tidak menghalalkan setiap penggunaannya demi kepentingan militer atau politik.
Dan bila – sayang sekali- perang sudah pecah, tidak dengan sendirinya segala
sesuatu diperbolehkan antara pihak-pihak yang sedang bertikai.
Mereka sendiri, yang untuk mengabdi tanah air termasuk angkatan
bersenjata, hendaknya memandang diri sebagai pelayan-pelayan keamanan dan
kebebasan rakyat, lagi pula, selama menunaikan tugas itu dengan baik,
benar-benar berjasa untuk mempertahankan perdamaian.
80.
(Perang total).
Kengerian dan kejahatan perang meningkat luar biasa akibat bertambahnya
senjata-senjata teknologi tinggi. Sebab dengna mengerahkan senjata-senjata itu
kegiatan perang mampu menimbulkan kehancuran yang dahsyat dan menimpa siapa pun
juga. Maka penggempuran itu sudah jauh melampuai batas-batas bela diri yang
sewajarnya. Bahkan bila upaya-upaya itu, yang sudah tersedia dalam persenjataan
bangsa-bangsa yang besar, digunakan sepenuhnya, akan timbul pembantaian hampir
total dan timbal-balik antara kedua pihak yang bertempur, tidak terhitung
banyaknya kehancuran di dunia serta akibat-akibat fatal yang timbul dari
penggunaan senjata-senjata itu.
Itu semua mendesak kita untuk menilai perang dengna pandangan yang baru
sama sekali[165]. Hendaknya orang-orang zaman sekarang menyadari, bahwa akan
harus memberi pertanggung jawaban yang berat atas kegiatan-kegiatan perangnya.
Sebab dari keputusan-keputusan mereka sekarang ini akan banyak tergantunglah
kelangsungan masa depan.
Memperhatikan itu semua Konsili ini mengulangi kecaman-kecaman terhadap
perang total yang telah dilontarkan oleh Paus-Paus terakhir[166], dan
menyatakan:
Semua kegiatan perang, yang menimbulkan penghancuran kota-kota
seluruhnya atau daerah-daerah luas beserta semua penduduknya, merupakan tindak
kejahatan melawan Allah dan manusia sendiri, yang harus dikecam dengan keras
dan tanpa ragu-ragu.
Bahaya istimewa perang zaman sekarang yakni: bahwa bagi mereka, yang
memiliki senjata teknologi tinggi mutakhir, terbuka kesempatan menjalankan
tindak-tindak kejahatan semacam itu; lagi pula, karena suatu reaksi beruntun,
perang itu dapat mendorong kehendak manusia kearah keputusan-keputusan yang
paling mengerikan. Supaya itu di masa depan jangan pernah lagi terjadi, para
Uskup seluruh dunia yang sedang bersidang dengan sangat memohon siapa saja,
terutama para negarawan serta para panglima angkatan bersenjata, supaya tiada
hentinya merenungkan sungguh-sungguh tanggung jawab sebesar itu di hadirat
Allah dan di hadapan segenap umat manusia.
81. (Perlombaan senjata).
Senjata teknologi tinggi bukan hanya ditimbun untuk digunakan dalam
perang. Sebab, karena kekuatan pertahanan masing-masing pihak dianggap
tergantung dari kemampuan utuk dengan cepat menghalau lawan, penimbunan senjata
itu, yang dari tahun ke tahun terus meningkat, secara paradoksal dimaksudkan
untuk menakut-nakuti musuh-musuh yang mungkin muncul. Oleh banyak orang itu
dipandang sebagai upaya yang paling efektif untuk sekarang ini melestarikan
semacam ”perdamaian” internasional.
Apa pun mau dikatakan tentang metode menakut-nakuti itu, hendaknya semua
orang menyadari, bahwa perlombaan senjata, yang kini sudah ditempuh oleh cukup
banyak negara, bukan merupakan jalan yang aman untuk dengan mantap melestarikan
perdamian, dan bahwa apa yang disebut ”keseimbangan” yagn dihasilkannya
bukanlah perdamaian yang pasti dan sejati. Karenanya sebab-musabab perang
bukannya disingkirkan, justru malahan lambat-laun merupakan ancaman yangmakin
berat. Sementara untuk menyiapkan senjata yagn selalu baru dibelanjakan
harta-kekayaan yang berlimpah-ruah, sekian banyak malapetaka di seluruh dunia
sekarang toh tidak dapat disembuhkan sebagaimana harusnya. Olehnya
pertikaian-pertikaian internasional tidak dapat sungguh diatasi secara
mendasar, malahan bagian-bagian dunia lainnya ikut tertimpa. Maka perlulah
dipilih cara-cara baru, yang berawalmula pada semangat yang diperbaharui, untuk
menyingkirkan batu sandungan itu, pun supaya perdamaian yangsejati daat
dikembalikan kepada dunia, yang dibebaskan dari kegelisahan yagn menekannya.
Oleh karena itu sekali lagi perlu ditegaskan: perlombaan senjata
merupakan bencana yang paling mengerikan bagi umat manusia, dan melukai kaum
miskin dengan cara yang tidak mungkin dibiarkan saja. Sangat dikawatirkan,
jangan-jangan kalau perlombaan itu terus berlangsung, suatu ketika akan
mendatangkan segala bencana yang fatal, yang upaya-upayanya kini sedang
disediakan.
Diperingatkan oleh bencana-bencana, yagn sekarang ini telah dimungkinkan
oleh umat manusia sendiri, marilah kita memanfaatkan jangka waktu yang masih
tersedia bagi kita, untuk lebih menyadari tangungjawab kita, serta menemukan
cara-cara untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan kita melalui jalan yang
lebih layak bagi manusia. Dengan mendesak Penyelenggaraan ilahi meminta kita,
supaya membebaskan diri dari perbudakan lama kepada perang. Sekiranya kita
tidak bersedia menjalankan usaha-usaha itu, kita sudah tidak tahu lagi, akan
sampai di manakah kita ini melalui jalan sesat yang terlanjur kita tempuh itu.
82.
(Larangan mutlak terhadap perang, dan kegiatan internasional untuk mencegah
perang).
Jelaslah kita wajib berusaha, untuk sekuat tenaga menyiapkan masanya
perang mana pun juga atas persetujuan internasional dapat dilarang sama sekali.
Tentu syaratnya ialah: supaya didirikan lembaga kewibawaan universal, yang
diakui oleh semua pihak, dan mempunyai kekuasaan efektif, agar supaya
terjaminlah bagi semua orang keamanan, pelaksanaan keadilan, dan sikap
menghormati hak-hak manusiawi. Akan tetapi, sebelum lembaga kewibawaan yang
diinginkan itu dapat didirikan, perlulah lembaga-lembaga internasional
tertinggi yang ada sekarang mengadakan studi intensif tentang upaya-upaya yang
efektif untuk mewujudkan situasi semesta yang aman. Perdamaian
pertama-tamaharus diciptakan berdasarkan kepercayaan timbal-balik antara
bangsa-bangsa, dan tidak dipaksakan kepada negara-negara melalui persenjataan
yang menakutkan. Maka semua pihak wajib mengusahakan, supaya perlombaan senjata
akhirnya dihentikan; supaya pengurangan senjata sungguh dimulai, tidak sepihak
melulu, melainkan hendaknya dijalankan serentak oleh semua pihak berdasarkan
perjanjian, disertai jaminan-jaminan yang kuat dan efektif[167].
Sementara itu hendaknya jangan diremehkan usaha-usaha yang sudah
dansedang dijalankan, untuk menangkal bahaya perang. Seyogyanya didukunglah
kehendak baik sekian banyak orang, yang karena jabatan tinggi mereka menanggung
beban berat keprihatinan yang mendalam, tetapi terdorong oleh kesadaran akan
beratnya tanggung jawab mereka, berusaha mencegah perang yang begitu mereka
kawatirkan, kendati tidak mungkin mengalihkan pertahatian dari rumitnya
permasalahan seperti adanya sekarang. Perlulah Allah dimohon dengan sungguh, supaya
berkenan mengurniai mereka kekuatan untuk dengan tabah memulai dan dengan tekun
melanjutkan karya kasih mulia terhadap sesama itu, yakni dengan gagah perkasa
membangun perdamaian. Sudah pasti itu sekarang menuntut, agar mereka memperluas
cakrawala hati dan budi melampaui batas negara mereka sendiri, menanggalkan
egoisme nasional dan ambisi menguasai bangsa-bangsa lain, serta memupuk sikap
hormat yang mendalam terhadap seluruh umat manusia, yang dengan banyak jerih
payah sudah melangkah maju ke arah kesatuan semakin erat.
Tentang masalah perdamaian dan perlucutan senjata telah diadakan dengan
giat penelitian-penelitian yang tetap dilanjutkan dengan tekun, begitu pula
kongres-kongres internasional, yang membahasnya sebagai langkah-langkah pertama
menuju pemecahan soal-soal seberat itu. Usaha-usaha itu di masa mendatang perlu
dikembangkan secaralebih intensif untuk mencapai hasil-hasil yang praktis.
Kendati begitu hendaknya masyarakat menjaga, supaya jangan melulu mengandalkan
usaha-usaha beberapa pihak saja, tanpa menghiraukan sikap mental mereka
sendiri. Sebab para negarawan, yang bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa
mereka sendiri dan sekaligus ikut memajukan kesejahteraan seluruh dunia, sangat
tergantung dari pandangan-pandangan dan sikap mental khalayak ramai. Tidak ada
gunanya mereka bersusah-payah membangun perdamaian, selama permusuhan,
penghinaan, sikap curiga, kebencian ”rasial” dan ideologi-ideologi yang tegar
memecah-belah rakyat dan menimbulkan pertentangan. Maka mendesak sekalilah
kebutuhan akan pendidikan sikap mental yang diperbaharui dan akan inspirasi
baru terhadap pandangan umum. Mereka yang membaktikan diri dalam karya
pendidikan, terutama pembinaan genarasi muda, atau berusaha membentuk pandangan
umum, hendaknya menganggap sebagai kewajiban yang berat sekali membangkitkan
pada semua orang mentalitas baru yang ditandai cinta damai. Kita semua pun
perlu merombak sikap hati kita, mengarahkan pandangan ke seluruh dunia dan
memperhatikan tugas-tugas, yang dapat kita jalankan bersama, untuk meningkatkan
kesejahteraan umat manusia.
Jangan pula harapan semu mengelabui kita. Sebab kalau permusuhan
dankebencian tidak disingkirkan, dan di masa mendatang tidak diadakan
perjanjian-perjanjian yang andal dan jujur tentang perdamaian semesta,
barangkali umat manusia, yang kini sudah berada dalam bahaya besar, kendati
berbekalkan ilmu-pengetahuan yang mengagumkan, akan hanyut ke arah saat yang
fatal, yakni satnya tidak ada kedamaian lain lagi yang dialaminya, keculai
kedamaian maut yang mengerikan. Akan tetapi, sementara mengemukankan itu semua,
Gereja Kristus, yang berada di tengah kecemasan zaman sekarang, tiada hentinya
berpengharapan sangat teguh. Gereja bermaksud setiap kali, entah amanatnya
diterima atau tidak, mengulang-ulangi pesan Rasul:”lihat, sekarnag inilah waktu
yang berkenan kepada Allah” untuk pertobatan hati, ”sekarang inilah hari
penyelamatan”[168].
ARTIKEL DUA: PEMBANGUNAN MASYARAKAT
INTERNASIONAL
83.
(Sebab-musabab perpecahan dan cara mengatasinya).
Untuk membangun perdamaian pertama-tama
disyaratkan, supaya dicabutlah sebab-musabab perpecahan antar manusia, yang
menimbulkan perang, terutama tindakan-tindakan melawan keadilan. Tidak sedikit
di antaranya bersumber pada ketimpangan-ketimpangan ekonomi yang sudah
keterlaluan, pun juga pada terlambatnya usaha yang dibutuhkan untuk
mengatasinya. Ada pula yang timbal dari nafsu untuk menguasai dan sikap
menghina sesama, dan-kalau kita cari sebab-musababnya yang lebih dalam-dari iri
hati, sikap curiga, kesombongan, dan nafsu-nafsu egois lainnya. Karena manusia
tidak tahan menanggung sekian banyak kekacauan, maka akibatnya ialah,
bahwa-meskipun sedang tidak ada perang-dunia terus menerus ditimpa oleh
persaingan-persaingan antar manusia dan oleh tindakan-tindakan kekerasan.
Selain itu, karena kekacauan itu terdapat juga dalam hubungan-hubungan
internasioanl, maka mutlak perlulah bahwa untuk mengatasi atau mencegahnya, dan
untuk mengendalikan tindakan-tindakan kekerasan yang tidak terkekang,
lembaga-lembaga internasional bekerja sama dan dikoordinasi secara lebih baik
dan lebih mantap, pun juga tiada jemunya didorong pembentukan lembaga-lembaga,
yang memajukan perdamaian.
84.
(Persekutuan bangsa-bangsa dan lembaga-lembaga internasional).
Zaman sekarang ini makin meningkat dan kian eratlah hubungan-hubungan
timbal-balik antara semua warganegara dan sekalian bangsa di dunia ini. Maka,
supaya kesejahteraan umum bagi seluruh dunia diusahakan, dengan upaya-upaya
yang memadai dan tercapai secara lebih efektif, sudah perlulah persekutuan
bangsa-bangsa membentuk suatu struktur, yang cocok untuk tugas-tugas masa kini,
terutama sehubungan dengan daerah-daerah luas sekali, yang masih menderita
kemiskinan, yang tak boleh lagi dibiarkan berlarut-larut.
Untuk mencapai tujuan-tujuan itu lembaga-lembaga masyarakat
internasional harus berusaha memenuhi pelbagai kebutuhan umat manusia menurut
fungsi masing-masing, baik di bidang-bidang kehidupan sosial, termasuk nafkah
hidup, kesehatan, pendidikan, dankerja, maupun dalam berbagai situasi khusus,
yang dapat timbul entah di mana, misalnya kebutuhan umum negara-negara yang
sedang berkembang untuk meningkatkan pembangunan, kebutuhan untuk meringankan
beban penderitaan kaum pengungsi yang tersebar di seluruh dunia, pun juga untuk
membantu kaum emigran beserta keluarga-keluarga mereka.
Lemabga-lembaga internasional, untuk seluruh dunia maupun yang bersifat
regional, yang sudah ada sekarang, jelaslah berjasa besar bagi umat manusia.
Lembaga-lembaga itu tampil sebagai usaha-usaha pertama untuk meletakkan
dasar-dasar internasional bagi segenap masyarakat manusia, guna memecahkan
masalah-masalah amat berat zaman sekarang, yakni: mendukung kemajuan di seluruh
dunia, dan mencegah perang dalam bentuk mana pun juga. Di segala bidang itu
Gereja bergembira tentang mekarnya semangat persaudaraan yang sejati antara
umat kristen dan umat bukan kristen, yang kesemuanya mengusahkan, agar
dijalankan usaha-usaha semakin intensif untuk meringankan penderitaan yang
tiada hingganya.
85.
(Kerja sama internasional di bidang ekonomi).
Solidaritas umat manusia sekarang ini juga menuntut penggalangan kerja
sama internasional yang lebih erat di bidang ekonomi. Sebab, meskipun hampir
semua bangsa sudah merdeka, mereka jauh belum terluputkan dari
ketimpangan-ketimpangan yang keterlaluan dan dari segala bentuk ketergantungan
yang tidak wajar, dan jauh belum terhindarkan dari segala bahaya
persoalan-persoalan intern yang berat.
Perkembangan suatu bangsa tergantung dari sumber-sumber manusiawi dan
keuangan. Para warganegara setiap bangsa perlu disiapkan melalui pendidikan dan
pembinaan kejuruan untuk menjalankan pelbagai tugas di bidang ekonomi dan
sosial. Untuk itu diperlukan bantuan pakar-pakar mancanegara, yang sementara
memberi pertolongan tidak berlagak mau menguasai, melainkan bertindak sebagai
penolong dan rekan sekerja. Bantuan materiil tidak akan berguna bagi
bangsa-bangsa yang sedang berkembang, kalau aturan-aturan permainan dalam
perdagangan di dunia zaman sekarang tidak diubah secara mendalam. Kecuali itu
harus diberikan bantuan-bantuan lain oleh bangsa-bangsa yang sudah maju berupa
hibah-hibah, pinjaman-pinjaman atau investasi-investasi. Hendaknya di satu
pihak itu semua diberikan dengan kebesaran hati dan tanpa pamrih, dan dilain
pihak diterima secara terhormat.
Untuk mewujudkan tata ekonomi yang sejati bagi seluruh dunia perlu
dikesampingkan usaha-usaha yang berlebihan untuk mendapat keuntungan,
ambisi-ambisi nasional, aspirasi akan dominasi politik, perhitungan-perhitungan
militarisme, lagi pula tipu-muslihat untuk menyiarkan dan memaksakan
ideologi-ideologi. Disajikan banyak sistim ekonomi dan sosial. Dihimbau supaya
di bidang itu para pakar menemukan dasar-dasar umum bagi perdagangan dunia yang
sehat. Itu akan lebih mudah tercapai, bila masing-masing pihak menanggalkan
prasangka-prasangkanya, dan siap-sedia untuk menjalin dialog yang jujur.
86.
(Beberapa pedoman yang sesuai untuk zaman sekarang).
Untuk meningkatkan kerja sama itu kiranya
pedoman-pedoman berikut akan berguna:
a). Hendaknya bangsa-bangsa yang sedang berkembang sungguh
memperhatikan, supaya secara jelas dan tegas yang mereka canangkan sebagai
tujuan pembangunan ialah: penyempurnaan manusiawi yang seutuhnya bagi para warganegara.
Hendaknya mereka sadari, bahwa sumber serta dinamisme pembangunan terutama
terletak pada jerih-payah dan bakat-kemapuan bangsa sendiri; sebab pembangunan
tidak bolehhanya mengandalkan sumber-sumber dari luar saja, melainkan
pertama-tama harus didasarkan pada pengembangan sepenuhnya sumber-sumber milik
sendiri dan pada pemekaran kebudayaan serta tradisi mereka sendiri. Dalam hal
ini mereka, yang berpengarauh cukup besar terhadap sesama, seharusnya menjadi
panutan.
b). Bagi bangsa-bangsa yang sudah maju merupakan kewajiban sangat berat:
membantu bangsa-bangsa yang sedang berkembang untuk menunaikan tugas-tugas yang
tadi disebutkan. Maka dari itu hendaknya mereka menyesuaikan diri di bidang
mental danmateriil, seperti memang dibutuhkan untuk mewujudkan kerja sama
universal itu.
Demikianlah dalam perdagangan dengan negara-negara yagn lebih lemah dan
lebih miskin hendaknya sungguh diperhatikan kesejahteraan mereka itu. Sebab
mereka membutuhkan penghasilan, yang mereka peroleh dengan memasarkan hasil
produksi mereka sendiri, untuk menanggung kehidupan mereka.
c). Merupakan tugas masyarakat internasional: mengkoordinasi dan
mendorong pembangunan sedemikian rupa, sehingga sumber-sumber yang
diperuntukkan baginya dimanfaatkan seefektif mungkin dan secara merata sewajar
mungkin. Masyarakat internasional bertugas juga, tentu dengan mengindahkan asas
subsidiaritas, mengatur jaringan ekonomi dunia, sehingga berkembang menurut
prinsip keadilan.
Hendaknya dibentuk lembaga-lembaga yang berfungsi dengan baik, untuk
memajukan dan mengurusi perdagangan internasional, terutama dengan
bangsa-bangsa yang belum begitu berkembang, dan untuk mengganti
kerugian-kerugian, yang bersumber pada ketidak-seimbangan kekuatan yang terlampau
menggoncangkan antara bangsa-bangsa. Pengaturan itu, disertai bantuan-bantuan
yang sungguh dibutuhkan bagi bangsa-bangsa yang sedang berkembang, supaya
mereka mampu mewujudkan secara harmonis pembangunan mereka di bidang ekonomi.
d). Dalam banyak situasi mendesaklah kebutuhan meninjau kembali
struktur-struktur sosial ekonomi. Tetapi jangan diajukan pemecahan-pemecahan
teknis yang belum masak, terutama yang memang menyediakan keuntungan-keuntungan
materiil, akan tetapi bertentangan dengan kodrat rohani manusia serta
perkembangannya. Sebab ”manusia hidup bukan dari roti saja, melainkan dari
setiap sabda yang keluar dari mulut Allah” (Mat 4:4). Setiap bagian keluarga
manusia dalam dirinya dan tradisi-tradisinya yang terbaik membawa serta sebagian
kekayaan rohani, yang oleh Allah dipercayakan kepada umat manusia, sungguhpun
banyak orang tidak tahu-menahu tentang sumbernya.
87. (Kerja sama internasional sehubungan
dengan pertambahan penduduk).
Sungguh perlu sekalilah kerja sama internasional berkenaan dengan
bangsa-bangsa, yang zaman sekarang ini, di samping menghadapi sekian banyak
kesukaran lainnya, cukup sering dan teristimewa dibebani oleh kesulitan yang
timbul dari pesatnya laju pertambahan penduduk. Sungguh mendesaklah kebutuhan, untuk
melalui kerja sama sepenuhnya dan intensif antara semua bangsa, terutama
bangsa-bangsa yang lebih kaya, diadakan penjajagan, bagaimana semuannya, yang
diperlukan bagi kehidupan dan pendidikan masyarakat yang semestinya, dapat disediakan dan dibagikan dengan segenap
masyarakat manusia. Beberapa bangsa sebenarnya mampu menciptakan
kondisi-kondisi hidup yang jauh lebih
baik, seandainya berbekalkan pendidikan yang selayaknya, beralih dari
metode-metode bercocok-tanam yang kuno kepada teknik-teknik yang baru, dengan
menerapkannya pada situasi mereka dengan kearifan seperti mestinya, sementara
selain itu tata sosial diperbaiki, dan pembagian pemilikan tanah diatur secara
lebih adil.
Pemerintah mempunyai hak-hak maupun kewajiban-kewajibannya mengenai
masalah kependudukan dalam negaranya, dalam batas-batas kewenangannya;
misalnya: mengenai perundang-undangan sosial, juga yang menyangkut hidup
berkeluarga, mengenai perpindahan penduduk desa ke kota-kota, mengenai
penyuluhan tentang keadaan dan kebutuhan-kebutuhan bangsa. Karena sekarang ini
pemikiran orang begitu banyak berkisar sekitar masalah itu, maka dihimbau juga,
supaya tentang kesemuannya itu para pakar katolik pun, terutama di kalangan
Universitas, dengan segala keahlian mereka mengadakan studi dan usaha-usaha
serta makin mengembangkannya.
Banyak orang berpandangan, bahwa pertambahan penduduk dunia, atau
setidak-tidaknya di negara-negara tertentu, sungguh perlu dikurangi secara
radikal melalui segala upaya dan segala macam campurtangan pemerintah.
Menanggapi arus itu, Konsili menyerukan kepada semua orang, supaya jangan
menempuh cara-cara pemecahan, yang secara umum atau oleh pihak-pihak tertentu
dianjurkan atau kadang-kadang bahkan diharuskan, dan yang bertentangan dengan
hukum moral. Sebab menurut hak manusia yang tak dapat diganggu-gugat atas
perkawinan dan pengadaan keturunan, pertimbangan tentang jumlah anak tergantung
dari keputusan orangtua yang benar, dan sama sekali tidak dapat diserahkan
kepada keputusan pemerintah. Tetapi karena keputusan orangtua mengandaikan
suara hati yang terbentuk dengan tepat, maka penting sekalilah, bahwa bagi
semua orang terbuka kesempatan untuk mengembangkan kesadaran bertanggung jawab
yang cermat dan sungguh manusiawi, serta mengindahkan hukum ilahi, sambil
mempertimbangkan kondisi-kondisi pendidikan dan sosial dieprbaiki, dan terutama
agar pembinaan keagamaan atau sekurang-kurangnya pengajaran di bidang moral
diberikan seutuhnya. Selanjutnya hendaklah orang-orang dengan bijaksana diber
penyuluhan tentang kemajuan-kemajuan ilmiah dalam meneliti metode-metode yang
dapat membantu suami-isteri dalam mengatur jumlah keturunan, dan yang
keandalannya cukup teruji, lagi pula keselarasannya dengan tata moral sudah
dipastikan.
88.
(Peranan umat kristen dalam pemberian bantuan).
Untuk membangun tata masyarakat internasional, yang ditandai oleh
penghargaan yang nyata terhadap pokok-pokok kebebasan yang wajar serta
persaudaraan akrab semua warganya, hendaknya umat kristen dengan sukarela dan
seutuh hati menyumbangkan kerja samanya. Itu nampak semakin mendesak, karena
sebagian terbesar dunia masih menderita kemelaratan begitu parah, sehingga
dalam diri kaum miskin Kristus sendiri seolah-olah dengan suara lantang
mengundang para murid-Nya untuk mengamalkan cintakasih. Maka dari itu jangan
sampai orang-orang terbentur pada batu sandungan, yakni: bahwa beberapa negara,
yang sering mayoritas penduduknya beragama kristen, melimpah harta kekayaannya,
sedangkan negara-negara lain tidak mendapat apa yang sungguh mereka butuhkan
untuk hidup, dan tersiksa oleh penyakit-penyakit serta segala macam
penderitaan. Sebab semangat kemiskinan dan cinta kasih merupakan kemuliaan dan
kesaksian Gereja Kristus.
Maka layak dipuji dan didukunglah orang-orang kristen, terutama kaum
muda, yang dengan sukarela menyediakan diri untuk menolong sesama dan
bangsa-bangsa lain. Bahkan merupakan panggilan segenap Umat Allah, untuk
mengikuti pesan maupun teladan para Uskup, sekedar kemampuan mereka meringankan
penderitaan zaman sekarang, itu pun-menurut kebiasaan kuno dalam Gereja-bukan
saja dari kelebihan milik mereka, melainkan juga dari apa yang sungguh masih
mereka butuhkan sendiri.
Hendaknya cara mengumpulkan dan memabgikan bantuan, tanpa diurus dengan
kaku dan seragam, toh diatur dengan cermat di keuskupan-keuskupan, di
negara-negara dan di seluruh dunia, dan-di mana pun itu dianggap baik –secara
terpadu antara kegiatan umat katolik dan saudara-saudara kristen lainnya. Sebab
Roh cinta kasih tidak melarang pelaksanaan kegiatan sosial dankaritatif yagn
bijaksana dan teratur, justru malahan mewajibkannya. Oleh karena itu perlulah
mereka, yang bermaksud membaktikan diri untuk melayani negara-negara yang
sedang berkembang, mengalami pembinaan yang cocok juga dalam lembaga-lembaga
yang menghkhususkan diri bagi pengabdian itu.
89.
(Kehadiran Gereja yang efektif dalam masyarakat internasional).
Berdasarkan perutusan ilahinya Gereja mewartakan Injil serta menyalurkan
kekayaan rahmat kepada semua orang. Di mana-mana Gereja berperanserta
mengukuhkan perdamaian dan meletakkan dasar yang tangguh bagi persekutuan
persaudaraan antara manusia dan antara bangsa, yakni: pengertian akan
hukumilahi dan kodrati. Oleh karena itu dalam masyarakat bangsa-bangsa Gereja
sungguh-sungguh harus hadir, untuk mendukung dan membangkitkan kerja sama
antara manusia. Itu terjadi melalui lembaga-lembaganya yang bersifat umum,
maupun melalui kerja sama segenap umat kristen yang sepenuhnya dan dengan tulus
hati, dan diilhami melulu oleh keinginan untuk melayani semua orang.
Maksud itu akan tercapai secara lebih efektif, bila umat beriman
sendiri, penuh kesadaran akan tanggung jawab mereka sebagai manusia dan orang
kristen, dalam lingkungan hidup mereka sendiri berusaha membangkitkan kemauan
untuk siap-siaga bekerja sama dengan masyarakat internasional. Dalam hal itu
hendaknya perhatian istimewa dicurahkan kepada pembinaan kaum muda, dalam
pendidikan keagamaan maupun kewarganegaraan.
90.
(Peranan orang-orang kristen dalam lembaga-lembaga internasional).
Bagi orang-orang kristen suatu bentuk kegiatan internasional yang
berharga sekali sudah barang tentu ialah sumbangan tenaga, yang entah sebagai
perorangan entah secara kolektif, mereka berikan dalam lembaga-lembaga, yang
sudah atau masih perlu didirikan untuk meningkatkan kerja sama internasional.
Kecuali itu dalam pembangunan persekutuan bangsa-bangsa, yang ditandai
perdamian dan persaudaraan, pelayanan melalui pelbagai cara dapat diberikan
oleh pelbagai perserikatan katolik internasional, yang perlu makin dimantapkan,
dengan ditambahkannya jumlah rekan-rekan kerja yang dibina dengan baik, bantuan
yang mereka butuhkan, dan koordinasi tenaga-tenaga yang selaras. Sebab zaman
sekaran gini baik efektifnya kegiatan-kegiatan maupun kebutuhan akan musyawarah
memerlukan usaha-usaha bersama. Lagi pula perserikatan-perserikatan semacam itu
bukannya sedikit sumbangannya untuk memupuk minat-perhatian yang terbuka bagi
seluruh umat manusia, yang pasti tidak asing bagi umat katolik, pun juga untuk
membina kesadaran akan solidaritas serta tanggung jawab yang sungguh bersifat
universal.
Akhirnya dihimbau, supaya orang-orang katolik, untuk menunaikan tugas
mereka dalam masyarakat internasional sebagaimana mestinya, berusaha bekerja
sama secara aktif dan positif, baik dengan saudara-saudara terpisah, yang
bersama mereka bermaksud menghayati cinta kasih Injili, maupun dengan sekalian
orang yang mendambakan perdamaian sejati.
Adapun Konsili, seraya mengindahkan penderitaan-penderitaan tiada
hingganya, yang sekarang pun masih menyiksa mayoritas umat manusia, lagi pula
untuk di mana-mana memupuk keadilan maupun cinta kasih Kristus terhadap kaum
miskin, memandang sangat pada tempatnya mendirikan suatu lembaga universal Gereja,
yang misinya ialah mendorong persekutuan umat katolik, supaya kemajuan
daerah-daerah yang miskin serta keadilan sosial internasional ditingkatkan.
PENUTUP
91.
(Tugas setiap orang beriman dan Gereja-Gereja khusus).
Apa saja, yang oleh Konsili ini dihidangkan dari khazanah ajaran Gereja,
dimaksudkan untuk membantu semua orang zaman sekarang, entah mereka beriman
akan Allah, entah tidak mengakui-Nya secara eksplisit. Tujuannya: supaya mereka
lebih jelas memahami panggilan mereka seutuhnya, lebih menyelaraskan dunia
dengan martabat manusia yang amat luhur,
menghendaki persaudaraan universal dengan dasar yang lebih mendalam, dan atas
dorongan cinta kasih, melalui usaha terpadu terdorong oleh kebesaran jiwa,
menanggapi tuntutan-tuntutan masa kini yang memang mendesak.
Benarlah, menghadapi kemacam-ragaman situasi maupun pola kebudayaan di
dunia, penyajian ini dalam cukup banyak bagiannya sengaja hanya menampilkan
sifat serba umum: bahkan, meskipun sekedar menguraikan ajaran yangsudah
diterima dalam Gereja, tetapi karena yang dibahas ialah hal-hal yang terus
menerus mengalami perkembangan, ajaran itu masih akan perlu diteruskan dan
diperluas. Tetapi kami percaya, bahwa banyak hal, yang kami utarakan bertumpu
pada sabda Allah dan semangat Injil, dapat merupakan bantuan yang andal bagi
semua orang, terutama sesudah penerapannya pada masing-masing bangsa dan pola
berpandangan dijalankan oleh umat kristen di bawah bimbingan para Gembala.
92.
(Dialog antara semua orang).
Berdasarkan misinya menyinari seluruh dunia dengan amanat Injil, serta
menghimpun semua orang dari segala bangsa, suku dan kebudayaan ke dalam satu
Roh, Gereja menjadi lambang persaudaraan, yang memungkinkan serta mengukuhkan
dialog dari ketulusan hati.
Itu menyaratkan, supaya pertama-tama dalam
Gereja sendiri kita mengembangkan sikap saling menghargai dan menghormati serta
kerukukunan, dengan mengakui segala kemacam-ragaman yang wajar, untuk menjalin
dialog yang makin subur antara semua anggota yang merupakan satu Umat Allah,
baik para gembala maupun umat beriman lainnya. Sebab lebih kuatlah unsur-unsur
yang mempersatukan umat beriman dari pada yang menggolong-golongkan mereka.
Hendaknya dalam apa yang sungguh perlu ada kesatuan, dalam apa yagn diragukan
kebebasan, dalam segala sesuatu cinta kasih[169].
Tetapi hati kita sekaligus merangkul saudara-saudari, yang belum hidup
dalam persekutuan sepenuhnya bersama kita, beserta jemaat-jemaat mereka,
sedangkan kita sudah bersatu dengan mereka karena pengakuan iman kita akan Bapa
dan Putera dan Roh Kudus, dan karena ikatan cinta kasih, sementara kita
mengingat juga bahwa kesatuan umat kristen sekarang ini juga diharapkan dan
diinginkan oleh banyak orang yang tidak beriman akan Kristus. Sebab semakin
kesatuan itu, berkat besarnya kekuatan Roh Kudus, akan bertumbuh dalam
kebenaran dan cinta kasih, semakin akan menjadi pralambang pula bagi kesatuan
dan perdamaian bagi seluruh dunia. Maka dengan berpadu tenaga, dan dalam
bentuk-bentuk yangkian memadai untuk sekarang ini secara efektif mewujudkan
tujuan yang mulia itu, marilah kita berusaha supaya, sementara dari hari ke
hari makin hidup menurut Injil, kita bekerja sam asecara persaudaraan, untuk
mengabdikan diri kepada keluarga manusia, yang dalam Kritus Yesus dipanggil
menjadi keluarga anak-anak Allah.
Hati kita selanjutnya kita arahkan juga kepada semua orang yang mengakui
Allah, dan dalam tradisi-tradisi mereka melestarikan unsur-unsur religius dan
manusiawi. Yang kita harapkan ialah, semoga dialog yang terbuka mengajak kita
sekalian, untuk dengan setia menyambut dorongan-dorongan Roh, serta mematuhinya
dengan gembira.
Kerinduan akan dialog seperti itu, yang hanya dibimbing oleh cinta akan
kebenaran tentu sementara tetap berlangsung pula dalam kebijaksanaan sebagai
mestinya, dari pihak kita tidak mengecualikan siapa pun, termasuk mereka, yang
mengembangkan nilai-nilai luhur jiwa manusia, tetapi belum mengenal
Penciptannya, begitu pula mereka, yang menentang Gereja dan dengan aneka cara
menghambatnya. Karena Allah Bapa itu sumber segala sesuatu, kita semua
dipanggil untuk menjadi saudara. Maka dari itu, karena bersama mengemban
panggilan manusiawi dan ilahi yang sama itu, kita dapat dan memang wajib juga
bekerja sama tanpa kekerasan, tanpa tipu muslihat, untuk membangun dunia dalam
damai yang sejati.
93.
(Membangun dunia dan mengarahkannya kepada tujuannya).
Sambil mengenangkan sabda Tuhan:”Dengan demikian semua orang akan tahu,
bahwa kalian itu murid-murid-Ku, yakni bila kalian saling mengasihi”(Yoh
13:35), umat kristen tidak dapat menginginkan apa pun lebih sungguh-sungguh,
dari pada untuk mengabdikan diri secara makin penuh dan efektif kepada sesama
di dunia masa kini. Maka dari itu,
sambil dengan setia bertumpu pada Injil dan bersandar pada kekuatannya, dan
bersama dengan semua orang yang mencintai dan melaksanakan keadilan, mereka
telah menyatakan bersedia untuk menjalankan karya agung di dunia ini, yang
harus mereka pertanggung jawabkan terhadap Dia, yang pada hari terakhir akan
mengadili semua orang. Tidak semua orang yang berseru ”Tuhan, Tuhan!” akan
memasuki Kerajaan Surga, tetapi hanya merekalah, yang melaksanakan kehendak
Bapa[170], dan dengan giat menyingsingkan lengan baju. Bapa menghendaki, agar
dalam semua orang kita mengenali dan mencintai secara nyata Kristus. Saudara
kita , dengan kata-kata maupun tindakan , dan dengan demikian meberi kesaksian
akan kebenaran, serta menyiarkan kepada sesama misteri cinta kasih Bapa di
Surga. Dengan begitu semua orang di seluruh dunia akan dibangkitkan untuk
menaruh harapan yang hidup, yang merupakan kurnia Roh Kudus, supaya akhirnya
ditampung dalam damai dan kebahagiaan yang mulia, di tanah air yang bercahaya
gemilang berkat kemuliaan Tuhan.
”Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yangkita
doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam
kita, bagi Dialah kemuliaan di dalam jemaat dan dalam Kristus Yesus
turun-temurun sampai selama-lamanya. Amin” (Ef 3:20-21).
Semua dan masing-masing pokok yang telah diuraikan dalam Konstitusi ini
berkenan kepada para Bapa Konsili. Dan kami, atas kuasa Rasuli yang oleh
Kristus diserahkan kepada Kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan
menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagi pula
memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam
Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah.
Roma, di basilika S. Petrus, pada tanggal 7 Desember 1965.
Saya PAULUS Uskup Gereja Katolik:
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili).
[1] Lih. Yoh 3:17; 18:37; Mat 20:28; Mrk
10:45.
[2] Lih. Rom 7:14 dsl.
[3] Lih. 2Kor 5:15.
[4] Lih. Kis 4:12.
[5] Lih. Ibr 13:8.
[6] Lih. Kol 1:15.
[7] Lih. Kej 1:26; Keb 2:23.
[8] Lih. Sir 17:3-10.
[9] Lih. Rom 1:21-25.
[10] Lih. Yoh 8:34.
[11] Lih. Dan 3:57-90.
[12] Lih. 1Kor 6:13-20.
[13] Lih. 1Raj 16:7; Yer 17:10.
[14] Lih. Sir 17:7-8.
[15] Lih. Rom 2:14-16.
[16] Lih. Pius XII, Amanat radio “tentang
cara yang tepat untuk membina hatinurani pada kaum muda”, tgal. 23 Maret 1952:
AAS 44 (1952), hlm. 271.
[17] Lih. Mat 22:37-40; Gal 5:14.
[18] Lih. Sir 15:14.
[19] Lih. 2Kor 5:10.
[20] Lih. Keb 1:13; 2:23-24; Rom 5:21; 6:23;
Yak 1:15.
[21] Lih. 1Kor 15: 56-57.
[22] Lih. Pius XI, Ensiklik “Divini
redemptoris”, tgl. 19 Maret 1937:AAS 29 (1937) hlm. 65-106.-Pius XII, Ensiklik
“Ad Apostolorum Principis”, tgal.29 Juni 1958:AAS 50 (1958) HLM.
601-614.-Yohanes XXIII, Ensiklik “Mater et Magistra”, tgl. 15 Mei 1961:AAS 53
(1961) hlm. 451-452.-Paulus VI, Ensiklik “Ecclesiam Suam”, tgl.6 Agustus 1964:
AAS 56 (1964) hlm. 651-653.
[23] Lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi
dogmatis tentang Gereja, “Lumen Gentium”.art. 8.
[24] Lih. Flp 1:27.
[25] Lih. S. Agustinus, “Pengakuan”, I, 1: PL
32, 661.
[26] Lih. Rom 5:14.-Bdk. Tertulianus,
“Tentang kebangkitan daging”, 6: “Sebab apa yang diungkapkan oleh tanah liat,
melambangkan manusia yang akan datang, yakni Kristus”: PL 2, 802 (848); CSEL,
47, hlm.33, 12-13.
[27] Lih. 2Kor 4:4.
[28] Konsili Konstantinopel II, kanon
7:”Allah Sabda tidak diubah menjadi kodrat daging, begitu pula daging tidak
beralih menjadi kodrat Sabda”: DS. 219 (428).-Bdk. Juga Konsili Konstantinopel
III:”Sebab seperti daging-Nya yang amt suci, tidak bercela dan berjiwa, tidak
dienyahkan karena diilahikan, melainkan tetap bertahan dalam keadaan serta
caranya berada...”: DS.291 (556).-Bdk. Konsili Kalsedon:”...harus diakui dalam
dua kodrat secara tidak berbaur, tidak berubah, tidak terbagi, tidak
terceraikan”: DS. 148 (302).
[29] Lih. Konsili Konstantinopel
III:”begitulah kehendak manusiawinya yang diilahikan pun tidak dienyahkan”:
DS.291 (556).
[30] Lih. Ibr 4:15.
[31] Lih. 2Kor 5: 18-19; Kol 1: 20-22.
[32] Lih. 1Ptr 2:21; Mat 16:24; Luk 14:27.
[33] Lih. Rom 8: 29; Kol 1:18.
[34] Lih. Rom 8:1-11.
[35] Lih. 2Kor 4:14.
[36] Lih. Flp 3:10 ; Rom 8:17.
[37] Lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi
dogmatis tentang Gereja, “Lumen Gentium”, art 16.
[38] Lih. Rom 8:32.
[39] Bdk. Liturgi Paska menurut ritus
Bizantin.
[40] Lih. Rom 8:15 dan Gal 4:6; lih. Juga
Yoh1:12 dan 1 Yoh 3:1-2.
[41] Lih. Yohanes XXIII, Ensiklik “Mater et
Magistra”, tgl.15 Mei 1961: AAS 53 (1961) hlm. 257-304-Paulus VI, Ensiklik
“Ecclesiam Suam”, tgl. 6 Agustus 1964: AAS 56 (1964) hlm. 609-659.
[42] Lih. Luk 17:33.
[43] Lih. S. Tomas, ”Etika” I, pelajaran 1.
[44] Lih. Yohanes XXIII, Ensiklik ”Mater et
Magistra”: AAS 53 (1961) hlm. 418,-Lihat juga Pius XI, Ensiklik ”Quadragesimo
Anno”, tgl. 15 Mei 1931: AAS 23 (1931) hlm. 222 dsl.
[45] Lih. Yohanes XXIII, Ensiklik ”Mater et
Magistra”: AAS 53 (1961) hlm.417.
[46] Lih. Mrk 2:27.
[47] Lih. Yohanes XXIII, Ensiklik ”Pacem in
terris”: AAS 55 (1963) hlm. 266.
[48] Lih. Yak 2:15-16.
[49] Lih. Luk 16:19-31.
[50] Lih. Yohanes XXIII, Ensiklik ”Pacem in
terris”: AAS 55 (1963) hlm. 299 dan 300.
[51] Lih. Luk 6:37-38; Mat 7:1-2; Rom 2:1-11;
14:10-12.
[52] Lih. Mat 5:43-47.
[53] Lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi
dogmatis tentang Gereja, ”Lumen Gentium”, art 9.
[54] Lih. Kel 24:1-8.
[55] Lih. Kej 1:26-27; 9:2-3; Keb 9:2-3.
[56] Lih. Mzm 8:P7, 10.
[57] Lih. Yohanes XXIII, Ensiklik ”Pacem in
terris”: AAS 55 (1963) hlm. 297.
[58] Lih. ”Amanat para Bapa Konsili kepada
semua orang pada awal Konsili Vatikan II”, Oktober 1962: AAS 54 (1962)hlm.823.
[59] Lih. Paulus VI, Amanat kepada Corps
Diplomatik, tgl 7 Januari 1965: AAS 57 (1965) hlm. 232.
[60] Lih. Konsili Vatikan I, Konstitusi
dogmatis ”tentang Iman Katolik”, bab III: DS 1785-1786 (3004-3005).
[61] Lih. PIUS PASCHINI, ”Vitae opere di
Galileo Galilei” (hidup dan karya Galileo Galilei), dua jilid, Vatikan 1964.
[62] Lih. Mat 24:13; 13:24-30, 36-43.
[63] Lih. 2Kor 6:10.
[64] Lih. Yoh 1:3, 14.
[65] Lih. Ef 1:10.
[66] Lih. Yoh 3:16; Rom 5:8-10.
[67] Lih. Kis 2:36; Mat 28:18.
[68] Lih. Rom 15:16.
[69] Lih. Kis 1:7.
[70] Lih. 1Kor 7:31.-S. Irenues, ”Melawan
Bidaah-bidaah”, V, 36, I: PG 7, 1222.
[71] Lih. 2Kor 5:2; 2Ptr 3:13.
[72] Lih. 1Kor 2:9; Why 21:4-5.
[73] Lih 1Kor 15:42, 53.
[74] Lih. 1Kor 13:8; 3:14.
[75] Lih. Rom 8:19-21.
[76] Lih. Luk 9: 25.
[77] Lih. Pius XI, Ensiklik ”Quadragesimo
Anno”: AAS 23 (1931) hlm.207.
[78] Prefasi Hari Raya Kristus Raja.
[79] Lih. Paulus VI, Ensiklik ”Ecclesiam
Suam”, III: AAS 56 (1964) hlm.637-659.
[80] Lih. Tit 3:4: ”Filanthropia”=kasih
(Allah) terhadap sesama.
[81] Lih. Ef 1:3, 5-6, 13-14, 23.
[82] Konsili Vatikan II, Konstitusi dogmatis
tentang Gereja, ”Lumen Gentium” art.8.
[83] Konsili Vatikan II, Konstitusi dogmatis
tentang Gereja, ”Lumen Gentium” art.9; bdk. Art.8.
[84] Konsili Vatikan II, ibidem, art.8.
[85] Lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi
dogmatis tentang Gereja, art.38 beserta catatan 120.
[86] Lih. Rom 8:14-17.
[87] Lih. Mat 22:39.
[88] Lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi
dogmatis tentang Gereja, “Lumen Gentium”, art.9.
[89] Lih. Pius XII, amanat kepada para ahli
sejarah dan seniman, tgl.9 Maret 1956: AAS 48 (1956) hlm. 212 (“Sang Pendiri
ilahi, yakni Yesus Kristus, tidak memberi kepada Gereja perintah atau
menetapkan tujuan mana pun juga di bidang kebudayaan. Tujuan yang ditetapkan
oleh Kristus baginya bersifat keagamaan semata-mata (,,,). Gereja wajib
mengantar manusia kepada Allah, supaya ia menyerahkan diri kepada-Nya tanpa
syarat (..). Gereja tidak pernah dapat mengabaikan tujuan yang melulu
keagamaan, adikodrati itu. Makna semua kegiatannya, sampai pasal terakhir Hukum
Kanoniknya pun, hanya dapat menunjangnya secara langsung atau tidak langsung”).
[90] Lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi
dogmatis tentang Gereja, “Lumen Gentium”, art.1.
[91] Lih. Ibr 13:14.
[92] Lih. 2 Tes 3:6-13; Ef 4:28.
[93] Bdk. Yes 58:1-12.
[94] Bdk. Mat 23:3-33; Mrk 7:10-13.
[95] Lih. Yohanes XXIII, Ensiklik “Mater et
Magistra”, IV: AAS 53 (1961) hlm. 456-457; bdk. I: AAS, dalam jilid itu juga,
hlm. 407, 410-411.
[96] Lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi
dogmatis tentang Gereja, “Lumen Gentium”, art. 28.
[97] Lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi
dogmatis tentang Gereja, “Lumen Gentium”, art. 28.
[98] Lih. S. AMBROSIUS, tentang keperawanan,
VIII, 48: PL 16, 278.
[99] Lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi
dogmatis tentang Gereja, art. 15.
[100] Lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi
dogmatis tentang Gereja, “Lumen Gentium”, art. 13.
[101] Lih. Yustinus, “Dialog dengan Trifo”,
110: PG 6,729,;terb. OTTO 1897, hlm.391-393: “...Tetapi semakin kita/kami
mengalami penganiayaan semcam itu, semakin bertambah pula jumlah mereka yang
berkat nama Yesus menjadi beriman dan saleh”.-lih.Tedrtulianus, “Apologetik”,
bab 50,13: CORPUS CHRIST., seri Latin I, hlm.171: “Kami bahkan bertambah
banyak, setiap kali kami anda tuai(=anda aniaya): darah umat kristiani justru
menjadi benih!”.-lih. Konstitusi dogmatis tentang Gereja, “Lumen Gentium “,
art.9.
[102] Lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi
dogmatis tentang Gereja, “Lumen Gentium”, art. 48.
[103] Lih. Paus Paulus VI, Amanat pada
tanggal 3 Februari 1965.
[104] Lih. S. Agustinus, “De bono coniug”
(tentang nilai perkawinan): PL 40,375-376, 394.-S. Tomas, “Summa Theol”, Supl.
Soal 49. art.3 ad 1.-Dekrit untuk Umat Armenia: DS.702 (1327).-Pius XI,
Ensiklik “Casti Connubii”: AAS 22 (1930) hlm. 543-555; DS.2227-2238
(3703-3714).
[105] Lih. PiusXI, Ensiklik “Casti Connubii”:
AAS 22 (1930) hlm. 546-547; DS 2231 (3706).
[106] Lih. Hos 2; Yer 3:6-13; Yeh 16 dan 23;
Yes 54.
[107] Lih. Mat 9:15; Mrk 2:19-20; Luk
5:34-35; Yoh 3:29; 2Kor 11:2; Ef 5:27; Why 19:7-8; 21:2,9.
[108] Lih. Ef 5:25.
[109] Lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi
dogmatis tentang Gereja, “Lumen Gentium”art.11, 35,41.
[110] Lih. Pius XI, Ensiklik “Casti
Connubii”: AAS 22 (1930) hlm. 583.
[111] Lih. 1 Tim 5:3.
[112] Lih. Ef 5:32.
[113] Lih. Kej 2:22-244; Ams 5:18-20:
31:10-31: Tob 8:4-8; Kid 1:1-3; 2:16; 7:8-11; 1Kor 7:3-6; Ef 5:25:33.
[114] Lih. Pius XI, Ensiklik “Casti
Connubii”: AAS 22 (1930) hlm. 547 dan 548; DS. 2232 (3707).
[115] Lih. 1Kor 7:5.
[116] Lih. Pius XII, Amanat “Tra le visite”
(“ Di antara kunjungan-kunjungan”), tgl.20 Januari 1958: AAS 50 (1958) hlm. 91.
[117] Lih. Pius XII, Ensiklik “Casti
Connubii”: AAS 22 (1930) hlm. 559-561; DS.2239-2241 (3716-3718).-Pius XII,
Amanat kepada Pertemuan Perserikatan para Bidan di Italia, tgl. 29 Oktober
1951: AAS 43 (1951) hlm. 835-854.-Paulus VI, Amanat kepada para Bapak Kardinal,
tgl. 23 Juni 1964: AAS 56 (1964) hlm. 581-589. Atas perintah Paus, beberapa
masalah yang memerlukan penyelidikan yang baru dan lebihcermat, telah
diserahkan kepada Komisi untuk mempelajari masalah kependudukan, keluarga dan
kelahiran, supaya sesudah tugas itu selesai dijalankan, Paus sendiri yang
mengambil keputusan. Demikianlah, sementara ajaran Magisterium tetap berlaku,
Konsili tidak bermaksud menyajikan secara langsung pemecahan-pemecahan konkrit.
[118] Lih. Ef 5:16; Kol 4:5.
[119] Lih. “Sacramentarium Gregorianum”
(kumpulan upacara-upacara Gregorian): PL 78,262.
[120] Lih. Rom 5:15 dan 18;6:5-11; Gal 2:20.
[121] Lih. Ef 5:25-27.
[122] Lihat “Penjelasan pendahuluan”
Konstitusi ini, art.4-10.
[123] Lih. Kol 3:1-2.
[124] Lih. Kej 1:28.
[125] Lih. Ams 8:30-31.
[126] Lih. S. Ireneus, “Melawan
bidaah-bidaah”, III, 11,8: SAGNARD, “Sources chr.”, hlm. 200; bdk. Di situ
juga, 16,6: hlm.290-292; 21,10-22:hlm.370-372;22,3:hlm 378, dan lain-lain.
[127] Lih. Ef 1:10.
[128] Bdk. Amanat Pius XI kepada RP.M-D. Roland-Gosselin:
“Semaines sociales de France”(“Pekan-pekan sosial di Perancis”), Versailles,
1936, hlm. 461-462.
[129] Konsili Vatikan I, Konstitusi dogmatis
“Tentang Iman Katolik”, bab IV: DS.1795, 1799 (3015,3019).-Bdk. Pius XI,
Ensiklik “Quadragesimo Anno”: AAS 23 (1931) hlm. 190.
[130] Lih. Yohanes XXIII, Ensiklik “Pacem in
terris”: AAS 55 (1963) hlm.260.
[131] Lih. Yohanes XXIII, Ensiklik “Pacem in
terris”: AAS 55 (1963) hlm.283.-Pius XII, Amanat Radio tgl. 24 Desember 1941:
AAS 34 (1942) hlm. 16-17.
[132] Lih. Yohanes XXIII, Ensiklik “Pacem in
terris”: AAS 55 (1963) hlm.260.
[133] Lih. Yohanes XXIII, Amanat pada tgl 11
Oktober 1962, pada pembukaan Konsili: AAS 54 (1962) hlm. 792.
[134] Lih. Konstitusi tentang Liturgi,
“Sacrosanctum Concilium”, art 123.-Paulus VI, Amanat kepada seniman-seniwati di
Roma tgl. 7 Mei 1964: AAS 56 (1964)hlm. 439-442.
[135] Lih. Konsili vatikan II, Dekrit tentang
Pendidikan Imam dan Pendidikan Kristiani.
[136] Lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi
dogmatis tentang Gereja, “Lumen Gentium”, art.37.
[137] Lih. Pius XII, Amanat tgl.23 Maret
1952: AAS 44 (1952) hlm.273.-Yohanes XXIII, Amanat kepada ACLI, tgl 1 Mei 1959)
hlm. 358.
[138] Lih. Pius XI, Ensiklik “Quadragesimo
Anno”:AAS 23 (1931) hlm. 190 dan selanjutnya-Pius XII, Amanat, tgl.23 Maret
1952: AAS 44 (1952) hlm.276 dan selanjutnya –Yohanes XXIII, Ensiklik “Mater et
Magistra”: AAS 53 (1961) hlm. 450-Konsili Vatikan II, Dekrit tentang Alat-Alat
Komunikasi Sosial, art.6.
[139] Lih. Mat 16:26; Luk 16:1-31; Kol 3:17.
[140] Lih. Leo XIII, Ensiklik “Libertas
Praestantissimum”, tgl.20 Juni 1888:AAS 20 (1887-1888) hlm. 597 dan selanjutnya
–Pius XI, Ensiklik “Quadragesimo Anno”:AAS 23 (1931) hlm.191 dan selanjutnya
–IDEM “Divini Redemptoris”: AAS 29 (1937) hlm.65 dan selanjutnya-Pius XII,
Amanat Natal 1941:AAS 34 (1942) hlm.10 dan selanjutnya.-Yohanes XXIII, Ensiklik
“Mater et Magistra”: AAS 53 ( 1961) hlm.401-464.
[141] Mengenai soal-soal pertanian, lihat
terutama Yohanes XXIII, Ensiklik “Mater et Magistra”:AAS 53 (1961) hlm. 341 dan
selanjutnya.
[142] Mobilitas=gerak lalu-lalang pekerja
atau buruh antara tempat kediaman dan tempat kerjanya.
[143] Lih. Leo XIII, Ensiklik “ Rerum
Novarum”: AAS 23 (1890-91) hlm.649, 662 – Pius XI, Ensiklik “Quadragesimo
Anno”: AAS 23 (1931) hlm.200-201 –IDEM, Ensiklik “Divina Redemptoris”: AAS 29
(1937) hlm.92.-Pius XII, Amanat radio pada malam menjelang Natal 1942: AAS 35
(1943) hlm.20.-IDEM, Amanat tgl.13 Juli 1943:AAS 35 (1943) hlm.172.-IDEM,
Amanat radio ditujukan kepada kaum pekerja di Spanyol, tgl.11 Maret 1951:AAS 43
(1951) hlm.215.-Yohanes XXIII, Ensiklik “Mater et Magistra”:AAS 53 (1961)
hlm.419.
[144] Lih. Yohanes XXIII, Ensiklik “Mater et
Magistra”: AAS 53 (1961) hlm.408, 424, 427, istilah “curatio” (kebijakan)
diambil dari teks latin Ensiklik “Quadragesimo Anno”: AAS 23 (1931) hlm.
199.-Mengenai perkembangan persoalan, lih. Juga Pius XII, Amanat tgl.3 Juni
1950: AAS 42 (1950) hlm.485-488.-Paus Paulus VI, Amanat tgl. 8 Juni 1964: AAS
56 (1964) hlm. 574-579.
[145] Lih. Pius XII, Ensiklik “Sertum Laetitiae”:
AAS 31 (1939) hlm. 642.-Yohanes XXIII, Amanat konsistorial: AAS 52 (1960) hlm.
5-11.-IDEM, Ensiklik “Mater et Magistra”:AAS 53 (1961) hlm. 411.
[146] Lih. S. Tomas, “Summa Theol.”, II-II,
soal 32, art.5 ad 2; juga soal 66, art 2: bdk penjelasan dalam Leo XIII,
Ensiklik “Rerum Nocarum”: AAS 23 (1890-91) hlm. 651. –Lih. Juga Pius XII,
Amanat tgl.1 Juni 1941: AAS 33 (1941) hlm.199.-IDEM, Amanat radio, Natal 1954:
AAS 47 (1955) hlm. 27.
[147] Lih. S. Basilius, homili pada ayat
Lukas “Aku akan membongkar lumbung-lumbungku”, n.2: PG 31, 263.-Laktansius,
“Pelajaran-pelajaran Ilahi”, kitab V, tentang keadilan: PL 6, 565B.-S.
Agustiunus, komentar pada Injil Yohanes, uraian 50, n.6: PL 35,1760.-IDEM,
Ulasan tentang Mzm 147:12:PL 37, 1922,-S. Gregorius Agung, Homili tentang
Injil, homili 20: PL 76,1165.-IDEM, Kitab “Pedoman Pastoral”, bag. III, bab 21:
PL 77,87.-S. Bonaventura, komentar pada kitab III “Sententiae”, dist.33, soal
1: QUARACCHI III, 728.-IDEM, komentar pada kitab IV”Sententiae”, dist. 15, bag.II,
art.2, soal 1: edisi tersebut IV, 371b; soal tentang kelebihan milik: ms.
Assisi, Bibl.umum, 186 dsl., 112a-113a.-S. Albertus Agung, komentar pada Kitab
III “Setentiae”, dist.33, art.3, pemecahan 1: edisi BORGNET XXVIII, 611.-IDEM,
komentar pada Kitab IV “Sententiae”, dist. 15 art.16: edisi tsb. XXIX,
494-497.-Tentang arti “kelebihan milik” untuk zaman sekarang, lih. Yohanes
XXIII, Amanat radio-televisi tgl. 11 September 1962: AAS 54 (1962) hlm. 682: “
Merupakan kewajiban setiap orang, kewajiban yang mendesak bagi orang kristen,
untuk menilai kelebihan milik dengan ukuran kebutuhan sesama, dan untuk menjaga
sungguh-sungguh, supaya pengurusan dan pembagian harta-benda yang tercipta
menguntungkan bagi semua orang”.
[148] Dalam hal itu berlaku kaidah kuno: “dalam
kebutuhan darurat segala sesuatu menjadi milik umum, artinya harus dibagikan”.
Di lain pihak, mengenai lingkup serta cara menerapkan prinsip dalam teks
tersebut, kecuali para pengarang modern yang andal, lihatlah juga S. Tomas,
“Summa Theol.”II-II, soal 66, art.7. Jelaslah, bahwa untuk dengan cermat
menerapkan prinsip itu semua persyaratan yang secara moril dituntut harus
dipenuhi.
[149] Lih. Grasianus, Dekrit, bab 21, dist.
LXXXVI: FRIEDBERG I, 302. Pepatah itu sudah tercantum dalam PL 54, 591A dan PL
56, 1132B: bdk. Antoniarum 27 (1952) hlm. 349-366.
[150] Lih. Leeo XIII, Ensiklik “Rerum
Novarum”: AAS 23 (1890-91) hlm. 643-646.-Pius XI, Ensiklik “Quadragesimo Anno”:
AAS 23 (1931) hlm.191.-Pius XII, Amanat radio tgl 1 Juni 1941: AAS 33 (1941)
hlm.199.-IDEM, Amanat radio pada malam sebelum Natal 1942:AAS 35 (1943)
hlm.17.-IDEM, Amanat radio tgl. 1 September 1944: AAS 36 (1944)
hlm.253.-Yohanes.-XXIII, Ensiklik “Mater et Magistra”: AAS 53 (1961) hlm.
428-429.
[151]Lih. Pius XI, Ensiklik “Quadragesimo
Anno” : AAS 23 (1931) hlm.214.-Yohanes XXIII, Ensiklik “Mater et Magistra”: AAS
53 (1961) hlm.429.
[152] Lih. Pius XII, Amanat radio, Pentekosta
1941: AAS 33 (1941) hlm.199.-Yohanes XXIII, Ensiklik “Mater et Magistra”: AAS
53 (1961) hlm. 430.
[153] Tentang penggunaan harta-benda yang
tepat menurut ajaran Perjanjian Baru, lih. Luk 3:11; 10:30 dan selanjutnya;
11:41; 1Ptr 5:3; Mrk 8:36; 12:29-31; Yak 5:1-6; 1 Tim 6:8; Ef 4:28; 2Kor 8:13
dan selanjutnya 1 Yoh 3:17-18.
[154] Lih. Yohanes XXIII, Ensiklik “Mater et
Magistra” : AAS 53 (1961) hlm. 417.
[155] Lih. IDEM, ibidem.
[156] Lih. Rom 13:1-5.
[157] Lih. Rom 13:5.
[158] Lih. Pius XII, Amanat radio tgl. 24
Desember 1942: AAS 35 (1943) hlm. 9-24; tgl. 24 Desember 1944 :AAS 37 (1945)
hlm. 11-17.-Yohanes XXIII, Ensiklik “Pacem in Terris”: AAS 55 (1963) hlm. 263,
271, 277 dan 278.
[159] Lih. Pius XII, Amanat radio tgl. 1 Juni
1941 : AAS 33 (1941) hlm. 200.-YOHANES XXIII “ Pacem in Terris”: AAS 55 (1963)
hlm. 273 dan 274.
[160] Lih. Yohanes XXIII, Ensiklik “ Mater et
Magistra” : AAS 53 (1961) hlm. 415-418.
[161] Lih. Pius XI, Amanat: “ Ai dirigenti
della Federzaione Universitaria Cattolica” (kepada para pengurus Perserikatan
Universitas Katolik): “ Discorsi di Pio XI”: ed Bertetto, Torino, jilid I
(1960) hlm. 743.
[162] Lih. Konsili Vatikan II, Konstitusi
dogmatis tentang Gereja, “Lumen Gentium”, art.13.
[163] Lih. Luk 2:14.
[164] Lih. Ef 2:16; Kol 1:20-22.
[165] Lih. YOHANES XXIII, Ensiklik “Pacem in
Terris”, tgl. 11 April 1963: AAS 55 (1963) hlm. 291: “Oleh karena itu pada
zaman sekarang ini, yang membanggakan kekuatan atom, sama sekali sudah tidak
berlaku lagi, bahwa perang masih merupakan upaya yang cocok, untuk memulihkan
hak-hak yang telah dilanggar”.
[166] Lih. Pius XII, Amanat tgl. 30 September
1954: AAS 46 (1954) hlm. 589; Amanat radio tgl. 24 Desember 1954: AAS 47 (1955)
hlm. 15 dan selanjutnya; Yohanes XXIII, Ensiklik “Pacem in Terris”: AAS 55
(1963) hlm. 286-291.-Paulus VI, Amanat kepada Bangsa-Bangsa, tgl 4 Oktober
1965: AAS 57 (1965) hlm. 877-885.
[167] Lih. Yohanes XXIII, “Pacem in Terris”,
yang membicarakan pengurangan senjata: AAS 55 (1963) hlm. 287.
[168] Lih. 2 Kor 6:2.
[169] Lih. Yohanes XXIII, Ensiklik “Ad Petri
Cathedrum”, tgl. 29 Juni 1959 : AAS 51 (1959) hlm.513.
[170] Lih. Mat 7:21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar